Monday, June 19, 2006

Gairah Islam

Tunisia Merindukan Islam

Aku berpose di alun-alun kota Tunis, pada suatu Ahad siang
Ada peristiwa menarik yang kusaksikan di dalam bis kota tadi siang. Sang kondektur, seorang perempuan muda, membaca Alquran. Sambil duduk di kursi belakang sopir, usai menagih ongkos para penumpang.

Aku yang duduk persis di belakang perempuan itu, tertegun beberapa saat. Aku mencubit lenganku sendiri, sekedar memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Beberapa kali aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang berada di Mesir, negeri di mana Alquran dibaca orang, di semua tempat. Di kantor, di bis, di kereta, di toko-toko. Tua muda, pria wanita. Hingga polisi pun berjaga sambil membaca mushaf.

Di kota Tunis, kondektur atau sopir bis seorang gadis manis, memang bukan hal aneh. Bahkan kondektur bis grup Ibn Zuhr semuanya perempuan. Perempuan usia muda, antara 20 hingga 30 tahun. Perempuan bertubuh seksi dengan rambut terurai, yang tak segan-segan menyentuhkan jemarinya yang halus kepada telapak tangan para penumpang pria kala memberikan uang kembalian.

Tetapi, seorang gadis muda berprofesi kondektur membaca Alquran di dalam bis, itu baru aneh. Sepertinya masih jarang. Karena di negeri ini, sejauh yang kutahu, simbol-simbol formal keagamaan – seperti bacaan Alquran dan jilbab - masih belum begitu bebas berekspresi di ruang publik.

Sekulerisasi

Semuanya bermula dari selera penguasa alias faktor politik. Ar Rojul ala Dini Mulkihi, kata orang Arab. Corak beragama sang penguasa akan mewarnai kecenderungan beragama rakyatnya.

Hilangnya identitas formal keagamaan dari ruang publik, adalah – salah satu- buah dari proyek modernisasi dan sekulerisasi Islam yang dikampanyekan Habib Borguiba, presiden pertama Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Borguiba, yang belajar ilmu hukum di Perancis, nampaknya sangat silau dengan kemajuan Barat. Seolah Barat adalah model peradaban yang harus ditiru secara utuh. Menurut beberapa buku yang kubaca, Borguiba juga sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan pembaharuannya Kemal at Taturk di Turki.

Maka, periode kekuaasaan Borguiba diwarnai dengan aneka cerita marginalisasi Islam dari kehidupan publik. Pada awal-awal kekuasaannya, ia mengesahkan Code Personal Status, sebuah sistem hukum yang dinilai orang kala itu sebagai paling progressiv di dunia. Diantara poinnya, pelarangan poligami dan pengakuan kesetaraan hak antara pria dan wanita dalam keluarga. Hingga sempat menuai kritik keras dari kaum oposisi Islam yang dipimpin oleh Saleh Bin Yusuf, salah seorang ulama Ez Zitouna.

Pada tahun 1961, suatu siang bulan Ramadhan, Borguiba berpidato di parlemen. Ditayangkan oleh TV. Borguiba menyeru umat Islam Tunisia untuk tidak berpuasa Ramadhan. Alasannya, puasa melemahkan stamina dan produktivitas kerja. Dengan penuh percaya diri, Borguiba menyampaikan seruan ini sambil sesekali minum air putih.

Gelombang protes kembali terjadi. Murtadha Muthahari, seorang ilmuwan Iran, pun mengkritik Borguiba melalui salah satu bukunya. Belakangan, para ahli Ushul Fiqh kerap menyebut usulan Borguiba ini sebagai contoh dalam teori kemungkinan terjadinya pertentangan antara konsep maslahat dengan nash Alquran. Mungkinkah konsep Alquran – dalam hal ini kewajiban puasa Ramadhan - bertentangan dengan kemaslahatan manusia?!

Borguiba nampaknya alergi dengan kekuatan Islam politik. Aktifitas umat Islam mendapat pengawasan ketat. Para dai, pemuka agama dan dosen tak bisa bebas berekspresi. Lembaga pendidikan Islam dikebiri, termasuk Universitas Ez Zitouna. Mulanya universitas mandiri, diperkecil ruang geraknya hingga hanya sebuah fakultas, dilebur dengan Universitas Tunis. Zitouna hanya merupakan Kuliyyat ez Zitouna lis Syariah wa Ushuluddin. Abdurrahman Heila, seorang pengacara senior Tunisia bertutur dalam salah satu bukunya bahwa pada awal dekade 1950-an, jumlah mahasiswa Aljazair di Zitouna lebih 1000 orang. Tahun 2006 ini, aku melihat, jumlah mahasiswa Aljazair di Ez Zitouna bisa dihitung dengan jari. Total jumlah mahasiswa asing saat ini hanya sekitar 500 orang, dari 36 negara.

Identitas keislaman yang lainnya pun diberangus. Ucapan Salam Alaikum diganti dengan Sabah al Khair, atau cukup dengan Aslama, atau hanya kata Salam saja. Jawabannya pun juga sama ; Salam. Saat awal-awal di Tunis, aku merasa miris mendengarnya. Meski substansi maknanya sama, ucapan salam alaikum terasa lebih nyaman di telinga, ketimbang kata salam atau aslama.

Toleransi

Sebaliknya, wajah Islam yang moderat dan toleran, sangat kuat dihembuskan di negeri ini. Islam yang damai, Islam yang penuh kompromi. Hak Azasi Manusia (HAM) menjadi materi pelajaran penting yang diajarkan di semua tingkat pendidikan.

Buah positifnya, masyarakat muslim Tunisia dewasa ini memang dikenal memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi. Bukan hanya toleransi antar umat beragama, melainkan juga toleransi sesama umat Islam. Meski menurutku, toleransi ini tidak selalu baik, karena pada titik tertentu, bisa sampai pada tahap pengabaian konsep amar makruf nahi munkar. Menjalankan ritual ibadah, diyakini sebagai urusan individu dengan Tuhan. Orang lain mau salat atau tidak, kita tidak perlu peduli.

Toleransi yang kelewatan tinggi ini juga mendangkalkan fanatisme beragama. Sekedar contoh, di negeri ini tak ada gelombang unjuk rasa menentang kelaliman Israel yang membantai muslim Palestina atau AS yang membunuh muslim tak berdosa di Irak. Sewaktu dunia Islam heboh dengan karikatur Nabi saw di Denmark, mungkin Tunisia satu-satunya negara muslim yang cuek, tidak pernah menggelar protes.

Banyak umat Islam yang secara sadar tidak melakukan salat. Bukan hal yang aneh jika kita mendengar pertanyaan seorang warga Tunis –biasanya kenalan baru – “Kamu salat atau tidak?!” Mula-mula aku kaget, kok pertanyaannya begitu. Jika pertanyaan itu dibalik kepada mereka, tak jarang aku mendengar jawaban, “saya muslim, tapi tidak salat”. Seorang kawan berseloroh, muslim Tunisia yang salat, itu benar-benar muncul dari kesadaran dirinya. Gadis berjilbab bisa dipastikan ia memiliki keyakinan kuat bahwa jilbab adalah perintah Tuhan.

Jadi, kebebasan menjalankan ibadah, sangat dijunjung tinggi. Atas nama toleransi. Fenomena yang berbeda dengan Saudi Arabia, negeri di mana pemerintahnya turut campur dalam persoalan apakah warganya salat atau tidak. Hingga bisa jadi, seseorang salat niatnya tak murni karena Tuhan semata, melainkan karena pengawasan formal manusia.

Seperti yang pernah kualami kala menunaikan ibadah haji tahun 2003 lalu. Beberapa hari aku tinggal di kota Jedah, sambil menunggu jadwal keberangkatan kapal laut yang akan membawaku pulang ke Mesir. Sore menjelang senja, aku iseng berkunjung ke warnet. Saat adzan magrib berkumandang, aku berhenti online, lalu bersiap-siap keluar warnet untuk pulang ke penginapan. Tapi si penjaga warnet yang orang Saudi, mencegahku keluar. “Tunggu, duduk dulu di sini sebentar”, katanya. Lampu di ruangan itu dimatikan. Aku kaget, ada apa gerangan. Penjaga warnet menyuruhku untuk diam. Beberapa pengguna warnet lainnya pun duduk terdiam tanpa kata-kata. Dalam keremangan ruangan tanpa lampu. Di luar sana, nampak polisi bolak-balik. “Itu polisi syariat”, bisik seorang kawan.

Rupanya, pada awal waktu salat, semua aktifitas publik harus dihentikan. Jika ketahuan, bisa kena sanksi. Pantas jika kegiatan warnet itu dihentikan sesaat; lampunya dimatikan, orang-orangnya disuruh diam. Setelah sepuluh menitan, lampu warnet dinyalakan kembali. Aku pun dibolehkan pergi. Saat berjalan, aku berusaha husnudzan, bahwa anak-anak muda di warnet itu akan segera salat maghrib.

Islam di Era Baru

Era sekulerisasi Islam telah berlalu dari bumi Tunisia. Karena Borguiba telah tiada. Presiden sekarang, Ben Ali, yang berkuasa sejak 1987, nampak lebih longgar terhadap wacana keislaman, selama itu tidak terkait dengan gerakan politik praktis.

Universitas Ez Zitouna dikembalikan kepada khittah-nya. Tak lagi cabang dari Universitas Tunis, melainkan kampus mandiri dengan tiga fakultas ; Syariah, Ushuludin dan Peradaban Islam. Gedung barunya yang megah, didirikan pada awal dekade 1990an. Dilengkapi fasilitas yang memadai.

Kran kebebasan berpolitik pun mulai dibuka. Sejak tahun 1999, pemilu presiden selalu diikuti oleh banyak calon. Maret 2006 lalu, pemerintah mengizinkan berdirinya partai kedelapan di Tunisia ; Parti des Verts pour Progress, yakni Partai Hijau untuk Kemajuan.

Menurut cerita seorang mahasiswa senior, jika dibandingkan dengan dekade 1990an, saat ini, jumlah muslimah berjilbab di Tunsia terbilang banyak. Pun jumlah mahasiswi berjilbab di kampus-kampus. Meski aku sempat kaget, segini dibilang banyak ?! Masya Allah, padahal mahasiswi berjilbab di kampus Ez Zitouna saja paling hanya 10 persennya saja

Bacaan Alquran mulai terdengar diputar orang di toko-toko, pasar atau di tempat umum lainnya. Termasuk gadis kondektur yang kusaksikan siang tadi, membaca Alquran dengan suara pelan, di sela-sela kesibukan kerjanya.

Dari sisi ini aku melihat ada kecenderungan global dalam tubuh masyarakat muslim di Tunisia, untuk kembali kepada Islam. Meski dalam tahap awal, Islam sebatas ukuran-ukuran formal ; jilbab dan bacaan Alquran. Meski tentunya juga kecenderungan ini masih akan berhadapan dengan puing-puing ideologi sekuler yang terlanjur melembaga dalam benak generasi Tunis sekarang, yakni mereka yang dilahirkan dan dibesarkan pada era Borguiba. Kuatnya arus budaya Barat yang melanda kawula muda kota Tunis saat ini, juga bisa menjadi salah satu tantangan lain.

Di negeri berpenduduk hampir 11 juta jiwa (99,5% muslim) ini, nilai-nilai Islam pernah disingkirkan secara sistematik dari pentas publik. Karena kepentingan politik yang rendah. Dan kini, setelah sekian tahun berlalu, di negeri termakmur ketiga di Afrika ini, bunga-bunga kebangkitan Islam mulai bermekaran.

Mampukah Islam kembali ‘hadir’ dan membawa perubahan dalam masyarakat Tunisia Modern ?!

Sebuah pertanyaan yang susah dijawab. Meski jalan ke sana sudah terbuka. Karena kerinduan muslim Tunisia terhadap Islam saat ini, bukan lagi kerinduan yang terlarang. Tetapi, perjuangan mereka sepertinya masih berat. Semoga Allah Yang Maha Kuasa, memberikan kekuatan kepada mereka, yang senantiasa gigih dan ikhlas berjuang menegakkan ajaran-Nya. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 17 Juni 2006

2 comments:

  1. AnonymousJune 20, 2006

    adakah ini merupakan pertanda bahwa roh islam akan kembali ke tunisia?

    ReplyDelete
  2. ini cerita yg sangat menarik. saya sendiri gak nyangka kalo ternyata tunisia negaranya sesekuler itu. keep writing :)

    ReplyDelete