Thursday, June 29, 2006

Islam Panas

Ber-Islam di Musim Panas
Di sebuah desa pinggiran Tunis.
Muslim Indonesia harus pandai bersyukur, tinggal di negeri khatulistiwa yang beriklim tropis. Suhu tetap sepanjang tahun, tidak terlalu dingin, juga tidak terlalu panas. Karena suhu yang tetap ini, akan banyak memberikan kemudahan dalam melaksanakan ritual ibadah. Berbeda dengan saudara-saudara kita, umat Islam yang tinggal di negeri empat musim. Iklim yang terlalu dingin atau terlalu panas, kerap mengganjal kenyamanan beribadah.

Sekedar contoh, adalah seperti yang kusaksikan dan kualami sendiri selama rentang 2002-2005 di Mesir dan kini, di Tunisia. Musim panas yang rutin terjadi selama rentang Juni – September setiap tahunnya, kerap menyisakan persoalan bagi umat Islam, terutama dalam menjalankan puasa, tahajud, subuh serta persoalan jilbab.

Siang selama musim panas lebih panjang ketimbang malam. Hari-hari ini, adzan subuh di kota Tunis adalah pukul 04. lewat 5 menit, sedangkan magrib pukul 20.45. Artinya, jika kita berpuasa, maka lamanya adalah hampir 17 jam, dengan suhu siang hari yang sangat panas. Seminggu terakhir ini, suhu rata-rata di kota Tunis adalah 40 derajat. Hari Jumat (23/6) lalu, suhu mencapai 46 derajat, angka yang barangkali tidak pernah terjadi di Indonesia. Siang tadi, suhu mencapai 42 derajat.

Aku membayangkan, betapa berat berpuasa pada hari-hari seperti ini. Suhu panas, angin pun panas. Badan cepat lelah, rasa haus terus terasa. Seorang kawan serumah yang rajin puasa Senin-Kamis pun berhenti puasa selama musim panas ini.

Bagaimana jadinya nanti, kala Ramadhan bertepatan dengan musim panas ini. Tentu umat Islam Tunisia – dan negara lainnya – akan merasakan kesulitan. Dari sisi ini, sedikit-sedikit aku memahami kampanye Presiden Habib Borguiba untuk tidak berpuasa Ramadhan pada awal dekade 1960-an. "Puasa menghilangkan stamina dan produktifitas kerja", kata dia. Karena kala itu, Ramadhan bertepatan dengan musim panas.

Malam-malam dilewatkan dengan begadang. Karena badan kegerahan hingga sulit tidur. Di Kairo, aku sering melihat taman-taman kota dipadati warga kota yang bersantai, melewatkan malam hingga menjelang dinihari. Kafe-kafe laris manis. Anak-anak kecil begadang hingga larut malam. Pun di Tunis. Bahkan di sini, taman-taman kota jadi tempat mojok para sejoli yang kasmaran. Baik tua, ataupun muda. Cuek, meski kadang dilihat orang banyak.

Menjelang dinihari – sekitar pukul 02 – udara mulai adem, maka kantuk pun mulai terasa. Inilah saatnya tidur. Pukul 04, adzan subuh berkumandang, ketika tidur sedang lelap-lelapnya. Hingga tak jarang, subuh kesiangan. Tahajud jelas terlewat.

Jika di rumah ada pendingin ruangan (AC), barangkali akan lebh mudah. Pukul 22 bisa tidur, agar tengah malam bisa bangun tahajud, lalu tidur lagi hingga Subuh tiba. Tapi khan AC bukan barang gratis.

Persoalan jilbab juga jadi fenomena menarik. Hari kemaren aku ketemu rekan-rekan mahasiswi Tunisia yang pada musim dingin lalu memakai jilbab. Tapi kemaren itu, jilbab tak lagi mereka kenakan. Bajunya serba tipis. Aku sempet pangling melihat mereka. “Aduh, panas begini, mana tahan aku memakai jilbab”, tutur salah seorang diantaranya.

Inilah suasana musim panas. Badan gerah, keringat nyaris tak henti. Maka pakaian yang dikenakan pun terbatas pada baju-baju tipis. Aku dan kawan-kawan serumah, biasa pake kaos oblong atau singlet dan celana pendek di dalam rumah. Di luar sana, para gadis Tunis pun mulai berbaju tipis, tak peduli bentuk tubuhnya dilihat orang.

Iklim yang panas menuntut mereka memakai baju begitu. Menutup aurat yang merupakan perintah Tuhan, lagi-lagi diabaikan. Tak sedikit kaum pria yang mulanya tak sengaja melihat mereka, tiba-tiba jadi terlena. Pandangan akhirnya tak bisa dijaga, karena pemandangan itu ada di mana-mana. Maka, pintu-pintu maksiat pun terbuka lebar.

Dan aku hanya kembali berfikir, betapa beratnya ber-Islam di musim panas. Bagaimana perjuangan seorang muslimah yang konsisten dengan jilbabnya di tengah kegerahan. Betapa kuatnya iman seorang muslim yang berpuasa, melawan dahaga yang tak terkira. Betapa hebatnya seseorang yang rela menyisihkan jadwal tidurnya yang sudah sedikit itu, untuk salat malam dan berusaha tidak kesiangan subuh.

Sebagai muslim yang belum bisa melakukan kesalehan ritual seperti itu, sementara ini aku hanya bisa bertekad segera menyelesaikan tugas akademisku di negeri ini, agar bisa segera pulang ke tanah air. Karena di sana, di negeriku, persoalan-persoalan seperti ini mungkin tidak akan ditemui. Puasa hanya 14 jam, di tengah udara yang sejuk. Panjang siang dan panjang malam selalu seimbang, sehingga jadwal salat tahajud pun bisa diatur, disesuaikan dengan jam tidur. Pun juga resiko kesiangan Subuh yang sangat kecil. Para muslimahnya, tetap bisa mengenakan jilbab tanpa ada keluhan kegerahan , sebagaimana beberapa gadis Tunis yang kutemui itu.

Dari sisi ini, sepertinya muslim Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk bisa menjadi saleh ritual. Ketimbang mereka, saudara-saudara seiman lain yang kebetulan tinggal di negeri empat musim. Tinggal kita sekarang yang menentukan jalan, akankah karunia ini dimanfaatkan. Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 27 Juni 2006

3 comments:

  1. AnonymousJune 29, 2006

    barangkali ini termasuk ujian bagi yang beriman.

    ReplyDelete
  2. AnonymousJuly 04, 2006

    semoga Allah selalu memperkuat iman kita

    ReplyDelete
  3. sehingga jadwal salat tahajud pun bisa diatur, disesuaikan dengan jam tidur. Pun juga resiko kesiangan Subuh yang sangat kecil. Miris rasanya mendengar kalimat ini, soalnya shalat tahajud saya molongpong dan subuh kerap kali kesiangan hiks..:(

    ReplyDelete