Kesepian di Kota Amman
Dalam perjalanan haji ini, sengaja aku memilih pesawat Royal Jordan agar bisa transit beberapa saat di Amman, ibukota Yordania. Setidaknya aku bisa tahu bandaranya, begitu pikirku. Secara kebetulan, harga tiket Royal Jordan jurusan Tunis – Jedah juga ternyata lebih murah dibanding maskapai lainnya, baik Tunis Air, Saudia Airlines, Qatar atau Emirat.
Jumat (17/11) sore, Royal Jordan yang kutumpangi meninggalkan bandara Tunis. Saat roda-roda pesawat mulai terasa bergerak, aku menggumamkan do’a safar, juga doa-doa lain, seraya berpasrah kepada Allah Yang Kuasa. ‘..Allahummaj’al hajjana hajjan mabrura, wa sa’yana sa’yan masykura, wa dzanbana dzanban maghfura...’ begitu diantaranya.
Dari balik jendela, aku menengok ke bawah sana. Nampak kota Tunis yang terhampar, di tepian Laut Tengah yang berair tenang. Bandara Tunis juga masih kelihatan. Kutajamkan pandanganku, barangkali masih bisa melihat 30-an orang Indonesia yang tadi mengantarku ke bandara. Mereka, para mahasiswa, staf KBRI beserta keluarganya. Mereka, orang-orang baik yang telah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Dalam setahun perjalanan studiku ini, dukungan, bantuan dan sumbangsih mereka sangat terasa. Tak mungkin kulupakan. Semoga Allah mencurahkan cinta-Nya kepada mereka.
Terlunta di Bandara
Perjalanan dari Tunis ke Amman hanya ditempuh selama 2 jam 50 menit. Sungguh tak terasa lama. Menjelang pukul 23.00 waktu Yordania, aku telah tiba di Queen Alia International Airport, Amman. Sebuah bandara yang tak terlalu besar, juga nampak kurang terawat. Entah karena saat itu malam hari, sehingga suasana nampak kurang jelas.
Di halte khusus penumpang transit, kursi-kursinya dibiarkan kosong. Kuamati, ternyata semuanya dipenuhi kotoran burung yang biasa bertengger di dinding pelapon atas gedung itu.
Aku berdiri bersama dua rekan seperjalanan serta beberapa orang Arab. Kami menanti bis jemputan menuju hotel. Menurut jadwal, aku transit di Amman selama 24 jam.
Cukup lama kami berdiri. Tetapi bis tak kunjung tiba. Beberapa kali aku mengubah posisi tubuh ; berdiri, jongkok, lalu duduk lesehan. Sambil mengobrol bersama dua rekan, ditemani kepulan asap Mars, rokok filter produksi Tunis yang kami bawa. Lumayan, beberapa batang Mars ternyata mampu menjadi pengusir dingin yang kami rasakan.
Sambil mengobrol, pandangan mataku terus mengitari suasana yang ada. Di bandara ini, kembali aku menemukan plang petunjuk jalan berbahasa Inggeris. Seperti welcome, exit, dan entrance. Sesuatu yang tak kutemukan di bandara Tunis atau Casablanca, Maroko. Karena di kedua negeri itu, semua istilah menggunakan bahasa Perancis.
Sesekali pria Arab Yordan berbaju jalabiah, berlalu di depan kami. Sebuah pemandangan yang mengingatkanku pada suasana Mesir sana. Pola berpakaian kaum pria yang sangat menyiratkan nuansa kearaban. Tak seperti di Tunis, kota dimana masyarakatnya lebih suka memakai stelan celana panjang dan kemeja biasa. Hanya satu-dua yang memakai jalabiah alias jubah.
Wisata Hanya Cerita
Menjelang pukul 01.00 dinihari, bis jemputan baru muncul. Bis yang membawaku ke hotel Alia, lokasi penginapanku selama 24 jam masa transit. Hotel yang berlokasi sekitar 2 km dari bandara. Atau masih terpaut jarak 20an km ke kota Amman.
Di hotel ini aku beristirahat. Melepas penat dan pegal tubuh akibat kelamaan nongkrong di bandara Amman.
Sabtu pagi usai sarapan, pihak hotel menawarkan beberapa paket wisata di Yordania. Berupa program kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di negeri kerajaan ini. Misalnya Paket Islamic Tour ke Laut Mati, Gua Ashabul Kahfi, Kota Tua Amman dan Makam Sahabat Nabi. Juga ada paket kunjungan ke Petra, kota peninggalan Romawi Kuno.
Jujur, aku merasa tergiur. Aku sangat ingin masuk ke gua Ashabul Kahfi, gua tempat tujuh pemuda tertidur selama lebih 300 tahun, sebagaimana kisah yang dituturkan Alquran dalam surat Al Kahfi. Aku juga ingin membuktikan aneka cerita orang tentang Laut Mati. Bahwa berenang di laut berkadar garam tinggi itu, tubuh akan tetap mengapung, takkan tenggelam.
Sayang sekali, persoalan klasik kembali menjadi ganjalan. Aku tak punya uang untuk jalan-jalan. Meski sebenarnya tiket wisata itu tak terlalu mahal. Paket Islamic Tour misalnya, yang hanya bertarif 40 Dolar AS.
Aku berunding dengan dua rekan. Uang pun dikumpulkan. Dihitung-hitung, ternyata hanya pas-pasan untuk tiket bertiga. Serta sisa beberapa dolar untuk sekedar jajan. Sebuah pertanyaan mencuat ke permukaan ; apakah kami akan nekad ikut program ini? Dengan konsekuensi di Tanah Suci nanti, kami tak memegang uang?!
Cukup lama kami berdiskusi. Hitung-hitungan untung rugi. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk tidak nekad ; tidak memaksakan pergi piknik. Keinginan untuk melihat beberapa pesona yang dimiliki negeri Yordania harus ditahan untuk sementara. Untuk kepentingan yang lebih besar. Insya Allah, dalam perjalanan pulang ke Tunis nanti, kami akan mengagendakan transit ke Amman lagi, begitu kesepakatan akhir kami. Itupun dengan satu syarat ; ada bekal uang yang cukup, hehe...
Aduh, sedih banget ternyata, ketika sebuah keinginan tak terpenuhi hanya karena persoalan tak ada uang.
Maka, kami harus menerima kenyataan. Sabtu siang hingga menjelang senja, kami lewatkan di dalam hotel Alia. Sesekali duduk di ruang lobi, melihat tamu-tamu hotel yang berlalu lalang. Lalu berjalan-jalan ke toko souvenir di dekat kolam renang. Atau sesekali kami kembali ke kamar, menonton film di TV. Karena itulah satu-satunya hiburan pengusir sepi yang gratisan.
Dalam kesepian tanpa uang, ternyata laju sang waktu terasa pelan. Detik-detik jam serasa tersendat. Sebuah siang di Hotel Alia, tepian kota Amman.
Madinah al Munawwarah, 12 Desember 2006
Dalam perjalanan haji ini, sengaja aku memilih pesawat Royal Jordan agar bisa transit beberapa saat di Amman, ibukota Yordania. Setidaknya aku bisa tahu bandaranya, begitu pikirku. Secara kebetulan, harga tiket Royal Jordan jurusan Tunis – Jedah juga ternyata lebih murah dibanding maskapai lainnya, baik Tunis Air, Saudia Airlines, Qatar atau Emirat.
Jumat (17/11) sore, Royal Jordan yang kutumpangi meninggalkan bandara Tunis. Saat roda-roda pesawat mulai terasa bergerak, aku menggumamkan do’a safar, juga doa-doa lain, seraya berpasrah kepada Allah Yang Kuasa. ‘..Allahummaj’al hajjana hajjan mabrura, wa sa’yana sa’yan masykura, wa dzanbana dzanban maghfura...’ begitu diantaranya.
Dari balik jendela, aku menengok ke bawah sana. Nampak kota Tunis yang terhampar, di tepian Laut Tengah yang berair tenang. Bandara Tunis juga masih kelihatan. Kutajamkan pandanganku, barangkali masih bisa melihat 30-an orang Indonesia yang tadi mengantarku ke bandara. Mereka, para mahasiswa, staf KBRI beserta keluarganya. Mereka, orang-orang baik yang telah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Dalam setahun perjalanan studiku ini, dukungan, bantuan dan sumbangsih mereka sangat terasa. Tak mungkin kulupakan. Semoga Allah mencurahkan cinta-Nya kepada mereka.
Terlunta di Bandara
Perjalanan dari Tunis ke Amman hanya ditempuh selama 2 jam 50 menit. Sungguh tak terasa lama. Menjelang pukul 23.00 waktu Yordania, aku telah tiba di Queen Alia International Airport, Amman. Sebuah bandara yang tak terlalu besar, juga nampak kurang terawat. Entah karena saat itu malam hari, sehingga suasana nampak kurang jelas.
Di halte khusus penumpang transit, kursi-kursinya dibiarkan kosong. Kuamati, ternyata semuanya dipenuhi kotoran burung yang biasa bertengger di dinding pelapon atas gedung itu.
Aku berdiri bersama dua rekan seperjalanan serta beberapa orang Arab. Kami menanti bis jemputan menuju hotel. Menurut jadwal, aku transit di Amman selama 24 jam.
Cukup lama kami berdiri. Tetapi bis tak kunjung tiba. Beberapa kali aku mengubah posisi tubuh ; berdiri, jongkok, lalu duduk lesehan. Sambil mengobrol bersama dua rekan, ditemani kepulan asap Mars, rokok filter produksi Tunis yang kami bawa. Lumayan, beberapa batang Mars ternyata mampu menjadi pengusir dingin yang kami rasakan.
Sambil mengobrol, pandangan mataku terus mengitari suasana yang ada. Di bandara ini, kembali aku menemukan plang petunjuk jalan berbahasa Inggeris. Seperti welcome, exit, dan entrance. Sesuatu yang tak kutemukan di bandara Tunis atau Casablanca, Maroko. Karena di kedua negeri itu, semua istilah menggunakan bahasa Perancis.
Sesekali pria Arab Yordan berbaju jalabiah, berlalu di depan kami. Sebuah pemandangan yang mengingatkanku pada suasana Mesir sana. Pola berpakaian kaum pria yang sangat menyiratkan nuansa kearaban. Tak seperti di Tunis, kota dimana masyarakatnya lebih suka memakai stelan celana panjang dan kemeja biasa. Hanya satu-dua yang memakai jalabiah alias jubah.
Wisata Hanya Cerita
Menjelang pukul 01.00 dinihari, bis jemputan baru muncul. Bis yang membawaku ke hotel Alia, lokasi penginapanku selama 24 jam masa transit. Hotel yang berlokasi sekitar 2 km dari bandara. Atau masih terpaut jarak 20an km ke kota Amman.
Di hotel ini aku beristirahat. Melepas penat dan pegal tubuh akibat kelamaan nongkrong di bandara Amman.
Sabtu pagi usai sarapan, pihak hotel menawarkan beberapa paket wisata di Yordania. Berupa program kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di negeri kerajaan ini. Misalnya Paket Islamic Tour ke Laut Mati, Gua Ashabul Kahfi, Kota Tua Amman dan Makam Sahabat Nabi. Juga ada paket kunjungan ke Petra, kota peninggalan Romawi Kuno.
Jujur, aku merasa tergiur. Aku sangat ingin masuk ke gua Ashabul Kahfi, gua tempat tujuh pemuda tertidur selama lebih 300 tahun, sebagaimana kisah yang dituturkan Alquran dalam surat Al Kahfi. Aku juga ingin membuktikan aneka cerita orang tentang Laut Mati. Bahwa berenang di laut berkadar garam tinggi itu, tubuh akan tetap mengapung, takkan tenggelam.
Sayang sekali, persoalan klasik kembali menjadi ganjalan. Aku tak punya uang untuk jalan-jalan. Meski sebenarnya tiket wisata itu tak terlalu mahal. Paket Islamic Tour misalnya, yang hanya bertarif 40 Dolar AS.
Aku berunding dengan dua rekan. Uang pun dikumpulkan. Dihitung-hitung, ternyata hanya pas-pasan untuk tiket bertiga. Serta sisa beberapa dolar untuk sekedar jajan. Sebuah pertanyaan mencuat ke permukaan ; apakah kami akan nekad ikut program ini? Dengan konsekuensi di Tanah Suci nanti, kami tak memegang uang?!
Cukup lama kami berdiskusi. Hitung-hitungan untung rugi. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk tidak nekad ; tidak memaksakan pergi piknik. Keinginan untuk melihat beberapa pesona yang dimiliki negeri Yordania harus ditahan untuk sementara. Untuk kepentingan yang lebih besar. Insya Allah, dalam perjalanan pulang ke Tunis nanti, kami akan mengagendakan transit ke Amman lagi, begitu kesepakatan akhir kami. Itupun dengan satu syarat ; ada bekal uang yang cukup, hehe...
Aduh, sedih banget ternyata, ketika sebuah keinginan tak terpenuhi hanya karena persoalan tak ada uang.
Maka, kami harus menerima kenyataan. Sabtu siang hingga menjelang senja, kami lewatkan di dalam hotel Alia. Sesekali duduk di ruang lobi, melihat tamu-tamu hotel yang berlalu lalang. Lalu berjalan-jalan ke toko souvenir di dekat kolam renang. Atau sesekali kami kembali ke kamar, menonton film di TV. Karena itulah satu-satunya hiburan pengusir sepi yang gratisan.
Dalam kesepian tanpa uang, ternyata laju sang waktu terasa pelan. Detik-detik jam serasa tersendat. Sebuah siang di Hotel Alia, tepian kota Amman.
Madinah al Munawwarah, 12 Desember 2006
barakallah. semoga menjadi haji mabrur. tiada lain pahalanya kecuali surga.
ReplyDeletealhamdulillah..sudah balik ya kang?
ReplyDelete