Air Mata Tertumpah di Padang Arafah
Aku bersama beberapa rekan petugas di Madinah
Cukup lama aku tak menulis di sini. Keberadaanku di Tanah Suci selama 77 hari - dalam rangka mengemban amanah sebagai petugas haji Indonesia - benar-benar membuatku sulit menyisakan waktu sekedar untuk menulis.
Di seberang jalan raya, aku melihat serombongan haji Indonesia berbaju ihram, berdiri menghadap arah kemah petugas. Mereka berteriak-teriak, beberapa diantaranya mengacung-acungkan tangan. Sepertinya sedang melakukan unjuk rasa.
Dari teriakan mereka serta sekilas obrolan para petugas yang sempat kudengar, aku baru tahu bahwa telah terjadi keterlambatan katering untuk jemaah, sejak kemaren sore.
Artinya, sejak Kamis sore hingga Jumat siang ini, para jemaah haji Indonesia menderita kelaparan, tanpa ada pasokan makanan.
Ya Allah, betapa berat penderitaan yang mereka rasakan. Semalaman di kemah Arafah, ditempa angin dingin yang menusuk, hanya mengenakan sehelai kain ihram. Tanpa makanan..! Air hangat pun tak ada.
Aku terus berjalan mengitari komplek perkemahan haji Indonesia. Kedua mataku mencari-cari pedagang makanan. Makanan apapun yang bisa kubeli, untuk segera kuantarkan ke kemah Uwa.
Di sebuah pertigaan, aku berpapasan dengan seorang rekan petugas yang sedang berlari-lari kecil. Tangannya memegang plastik putih berisi roti. “Dari mana ustad dapat roti itu?”, tanyaku tanpa basa-basi. “Tuh di ujung sana, ada orang jual. Tapi harus segera, hampir habis..”, tuturnya seraya menunjuk ke jalan arah kiri.
Aku pun berjalan ke sana, dengan langkah yang lebih cepat. Berjalan di antara deretan kemah haji Indonesia. Benar ternyata, di ujung jalan itu ada seorang pedagang roti tawar. Ia dikelilingi beberapa orang haji. Tetapi mereka bertengkar kecil. Nada-nada suara yang tinggi, serta raut kebingungan sang pedagang. Selidik punya selidik, rupanya mereka kecewa karena puluhan bungkus roti itu telah habis diborong oleh seorang ketua kloter.
Subhanallah, hanya itu ungkapan yang terucap. Lalu aku memutar haluan, berjalan menelusuri komplek perkemahan haji Indonesia. Aku membuntuti sang ketua kloter yang memborong roti tadi.
Ia berjalan agak cepat, hingga kemudian memasuki sebuah gerbang maktab. Puluhan jemaah menyambutnya, seraya merebut roti-roti tawar itu. Suasana menjadi tak tertib. Beberapa haji lain berlarian dari kemahnya. Teriakan-teriakan terdengar di antara mereka.
Aku tertegun terharu menyaksikan pemandangan itu. Ya Allah, mengapa semua ini bisa terjadi? Wahai Allah, mengapa Engkau sia-siakan para tamu-Mu?! Dalam suasana normal, tentu roti-roti tawar itu takkan dilirik oleh orang Indonesia. Tetapi hari ini, roti tanpa rasa itu menjadi sangat berharga.
Dalam sekejap, roti-roti itu telah berpindah tangan. Para jemaah yang belum kebagian, berlarian kesana kemari. Sebagian mereka, tentu orang-orang tua yang lemah, atau mereka yang menderita sakit.
Merasa tak tega berlama-lama di sana, aku kembali berjalan. Mencari penjual makanan. Tetapi memang tak ada. Konon, para penjual makanan dilarang masuk ke komplek perkemahan Arafah.
Akhirnya aku kembali ke perkemahan petugas. Meski hati terasa teriris, ingat Uwa di Maktab 55 sana yang saat ini tengah menderita kelaparan. Pun juga dua ratus ribu jemaah Indonesia lainnya. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada mereka.
Aku terus berjalan, di antara hiruk pikuk jemaah yang berlarian, juga para petugas yang sibuk menggotong para haji yang pingsan atau sakit.
Aku tiba di perkemahan petugas haji, ketika sebuah pertemuan sedang digelar. Pertemuan darurat yang diikuti oleh Duta Besar RI di Saudi, Amirul Haj Tarmizi Taher, beberapa anggota DPR, Wakil Muassasah, para ketua kloter serta para petugas haji. Juga nampak puluhan wartawan dari media-media nasional.
Aku mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Terdengar desakan kuat dari perwakilan jemaah, agar pemerintah mengusahakan makanan darurat dalam waktu yang cepat. Tanpa menunggu jatah makanan yang dijanjikan oleh Perusahaan Ana Katering. “Kami sudah bosan mendengarkan janji-janji. Kami ingin makanan segera. Aku sendiri masih bisa menahan lapar. Tetapi di sana, di kemahku, banyak orang tua yang lemah, jemaah jompo yang kepayahan...”, tutur seorang jemaah dengan suara yang lantang. Seorang ibu tua yang duduk di sebelahnya tak henti menangis.
Dubes, Amirul Haj serta anggota DPR itu bergiliran bicara. Sambil sesekali menerima telepon. Beberapa saat kemudian, pertemuan berakhir. Diantara kesepakatannya, pemerintah akan mendatangkan 200 ribu paket Indo Mie dari Jedah.
Aku kembali ke tenda. Bersama para petugas haji yang lain. Kami duduk terdiam, kebingungan. Karena persoalan makanan tak lagi berada dalam jangkauan kewenangan kami. Kami hanya petugas lapangan, bukan pemegang kebijakan. Dalam suasana itu, kami hanya bisa membantu para petugas medis mengobati jemaah sakit. Sambil menanti kedatangan mie instan yang dipesan itu.
Saat dzuhur tiba, khutbah wukuf disampaikan oleh KH Makruf Amin, seorang Ketua MUI. Dalam doa wukuf, tak lupa kami panjatkan permohonan, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada para jemaah Indonesia.
Pukul 14an, kontainer pembawa Indo Mie itu tiba. Alhamdulillah. Semua petugas dilibatkan dalam membantu distribusi Indo Mie ke tenda-tenda jemaah. Tak terkecuali aku. Kami berdiri berderet, mendistribusikan kotak-kotak mie instan itu secara estafet. Ribuan jemaah berdiri di jalanan depan kemah mereka. Acara wukuf tak lagi diisi dengan doa dan dzikir di dalam kemah, melainkan dengan berdiri berderet sambil menahan lapar.
Suasana hiruk pikuk. Banyak jemaah yang merebut dus-dus Indo Mie dari tangan para petugas. Rasa lapar yang teramat sangat, memaksa mereka melakukan itu. Beberapa petugas akhirnya melemparkan dus-dus itu ke dalam komplek perkemahan yang terhalang pagar tinggi itu.
ujian haji akbar...benar-benar mengharukan..
ReplyDeleteWaktu itu saya juga ikut menyaksikan penderitaan itu mang!! Semoga allah mengampuni pihak yang salah dalam mengambil kebijakan catering ARMINA!
ReplyDelete