Saturday, March 15, 2008

Kubah Emas

Berziarah ke Mesjid Mewah 
“...Kemegahan dapat menghantarkan perasaan
Menggerakkan jiwa, menggenapkan niat
Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan..”



Benarkah kemegahan dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan? Yakinkah Anda bahwa bermunajat di mesjid mewah akan membuat iman bertambah?

Anda yang penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan ini, silahkan datang ke Mesjid Dian al Mahri di Limo, Depok. Buktikan sendiri, bagaimana rasanya melaksanakan salat, berdoa dan beri’tikaf di mesjid mewah yang kubahnya dilapisi emas ini.

Mesjid Kubah Emas 
Rabu lalu aku berkunjung ke mesjid Dian al Mahri, beserta ratusan jemaah majelis taklim dari Pesantren Darul Iman, Pandeglang. Kami penasaran dengan cerita orang-orang, tentang keunikan dan kemewahan mesjid yang lebih dikenal dengan nama Mesjid Kubah Emas itu.
Sesuai dengan julukannya itu, mesjid ini memang menggunakan material emas dengan tiga teknik pemasangan. Pertama, serbuk emas (prada), yang terpasang pada mahkota plar / tiang capital. Kedua, gold plating, yang terdapat pada lampu gantung, railing tangga mezanin, pagar mezanin, ornament kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornament dekoratif di atas mimbar mihrab. Ketiga, gold mozaik solid yang terdapat di kubah utama dan kubah menara.
Bentuk mesjid seluas 8000 meter ini ini mengikuti arsitektur mesjid dengan ciri adanya kubah, minaret, halaman dalam serta aneka hiasan dengan elemen geometris dan obelis untuk memperkuat ciri keislaman pada arsitekturnya. Minaret yang berjumlah enam dibalut granit abu-abu dari Itali dengan ornamen yang melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat.
Bentuk kelima kubahnya mengacu pada gaya Persia dan India. Pada langit-langit kubah utama, terdapat lukisan langit yang warnanya dapat berubah sesuai warna langit pada waktu-waktu salat. Hal ini dimungkinkan dengan menggunakan teknologi tata cahaya atas bantuan komputer. Di tengah kubah, terdapat lampu kristal seberat 2,7 ton, rangkanya terbuat dari kuningan yang juga berlapis emas 24 karat.

Ingat Mesjid Maroko
Masih banyak lagi sisi-sisi kemegahan mesjid yang diresmikan pada 31 Desember 2006 ini. Tapi aku tak perlu bertutur lebih lanjut di sini, karena tempatnya takkan cukup untuk melukiskan semuanya.

Aku belum cerita tentang kaligrafinya yang ditulis dengan batu marmer hitam, mihrabnya yang empat pilar berbalut batu granit porto rose dari Afrika dan obelisk terbuat dari kuningan berbalut emas. Belum lagi eksterior mesjid, berupa taman-taman hijau dengan pot-pot bunga yang indah. Atau gedung-gedung sekitar mesjid – seperti rumah Dian al Mahri, Gedung Serba Guna, Villa, Ruko – yang juga mewah.

Dari sisi bangunan fisik, mesjid ini bisa membuat decak kagum semua orang. Terlebih bagi muslim Indonesia yang belum pernah melihat mesjid-mesjid Timur Tengah atau Persia.

Mesjid ini mengingatkanku pada kemegahan Mesjid Raja Hassan II di kota Cassablanca Maroko, yang kukunjungi pada pertengahan 2006 lalu. Yakni mesjid terbesar ketiga setelah Masjidil Haram di Mekah dan Mesjid Nabawi di Madinah. Mesjid di pantai yang dijuluki sebagai mesjid terapung, karena separuh bagiannya berada di atas laut, menghadap Samudera Atlantik.

Beberapa bagian dari Mesjid Raja Hassan II juga bertatahkan emas. Bahkan mesjid ini jauh lebih besar dan lebih megah dari mesjid al Mahri.

Tak Khusyu 
Di kota Cassablanca saat itu, aku bertanya kepada seorang pejabat kedutaan Indonesia di Maroko. Bagaimana perasaan Bapak saat beribadah di mesjid megah ini? ‘Ah, ini terlalu mewah untuk ukuran sebuah mesjid’, tutur pak pejabat., lurus, apa adanya.

Saat itu aku berfikir, kenapa jawaban si bapak begitu? Apakah ia mengaitkannya dengan nilai kekhusyuan ibadah? Apakah tadi ia tak khusyu salat karena pikiran lebih terpusat pada kemegahan dan kemewahan mesjid? Atau, apakah ia menyayangkan dana untuk memegah-megah mesjid itu yang seharusnya digunakan untuk program-program lain seperti pengentasan kemiskinan umat misalnya?

Di Mesjid Dian al Mahri kemaren, ucapan si bapak itu kembali terngiang-ngiang di telinga. Terlebih usai salat dzuhur, saat hampir semua jemaah yang salat bersamaku, bukannya duduk bersimpuh untuk wirid dan doa. Melainkan sibuk berfoto ria, atau mengarahkan kamera-kamera digitalnya ke sudut-sudut indah ruangan mesjid.

Pun juga aku. Beberapa kali jepretan kamera kuarahkan pada beberapa bagian interior mesjid yang menarik. Aku tidak bisa memungkiri, bahwa kunjunganku ke mesjid ini lebih didominasi oleh motif wisata. Mungkin juga ribuan peziarah lainnya.

Karena niatnya sudah ‘terlanjur’ begitu, salatku di mesjid itu jadinya tidak lebih khusyu dari salat-salatku di mesjid lainnya. Astagfirullah.

Belajar dari pengalaman sementaraku (berziarah ke dua mesjid mewah : Cassablanca dan Depok) ini, aku merasa belum bisa membuktikan makna kalimat yang kutulis di atas. Kemegahan belum dapat menghantarkan perasaanku, menggerakkan jiwaku, menggenapkan niatku, untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Bagaimana dengan Anda?

Darul Iman Pandeglang, 15 Maret 2008

Friday, March 07, 2008

Dunia Baru

Dunia Baru di Negeri Baru


Aku di hari pernikahan, 18 Nopember 2007

Hingga hari ini, genap lima bulan aku berada di tanah air. Terhitung sejak kepulanganku dari Tunisia, 7 Oktober 2007 lalu.

Masa lima bulan ini, adalah saat-saat terpenting dalam hidupku. Kala aku mengakhiri petualangan panjangku di negeri orang, setelah selama enam tahun berturut-turut tinggal di Mesir dan Tunisia, tanpa pernah pulang ke tanah air sekali pun. Sebuah perjalanan panjang yang amat melelahkan.

Maka, kepulanganku ke tanah air, disambut dengan suka cita oleh keluarga tercinta. Ayah, ibu dan adikku, menyambut kedatanganku di bandara. Mereka datang bersusah payah dari Sagaranten, sebuah desa berjarak 60 km selatan kota Sukabumi.

Aku pulang pada penghujung Ramadhan. Maka, lebaran Iedul Fitri 1428 H pun kunikmati di kampung halaman, bersama keluarga. Tak terlukiskan, bagaimana kebahagiaanku saat itu.

* * *
Enam minggu kemudian – tepatnya tanggal 18 Nopember 2007 - aku melangsungkan pernikahan di kampung Kadupandak, Pandeglang, Banten. Saat aku menyatakan janji setia untuk hidup bersama Nurbaitillah Aminudin, isteriku yang kucintai.

Benar kata orang, menikah adalah ‘hidup baru’. Itu kubuktikan sendiri. Pernikahan ini telah mengubah jalan hidupku berikutnya.

Pasca pernikahan, aku mulai menjalani kehidupan yang benar-benar baru. Aku tinggal dalam lingkungan pesantren. Ya, pesantren milik keluarga isteri. Namanya Pesantren Terpadu Darul Iman, yang mengelola Madrasah Diniyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Majelis Taklim. Didirikan tahun 1991 oleh mertuaku, KH Aminudin Ibrahim LML. Beliau adalahpendiri sekaligus pengasuh pesantren, hingga hari ini.

Sebagai menantu, aku langsung diajak mertua untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan belajar mengajar. Seperti mengajar beberapa pelajaran agama di Madrasah Aliyah, kitab kuning, serta ekstra kulikuler. Aku juga turut membantu mertua dalam mendampingi dan membina para guru yang berjumlah 25 orang.

Sekali lagi, ini benar-benar hidup baru bagiku. Aku, yang selama sepuluh tahun terakhir, hidup di dunia kampus - berstatus mahasiswa- dengan segala kebebasan dan warna-warninya, tiba-tiba kini harus duduk manis memakai sarung dan peci. Lalu ratusan santri berbaju koko, bergiliran menciumi tanganku. Subhanallah. Aku tak menyangka bakal menjalani fase kehidupan yang begitu indah ini.
** *
Saat ini, aku benar-benar sedang terlarut dalam ‘hidup baru’ ini.
Suasana baru ini pula, ternyata menjadi sumber inspirasi yang juga baru bagiku. Ide-ide segar untuk bahan tulisan, mengalir di benakku, laksana derasnya air.

Pergulatanku dengan dunia pesantren yang kujalani sejak kemaren, hari ini - dan insya Allah juga esok - semoga menjadi sungai inpirasi yang takkan pernah kering. Kisah-kisah menarik seputar kehidupan santri, pesantren dan Islam secara umum, akan kututurkan di blog ini. Selain beberapa potret kehidupan pedesaan di Tanah Banten. Sekedar berbagi informasi, sharing ide dengan pembaca. Seperti halnya yang kulakukan saat aku di tanah rantau dulu.

Aku meyakini, lewat tulisan, dunia akan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Darul Iman Pandeglang, 20 Februari 2008