Buku Qardhawi Tak Lagi Dilarang
Satu lagi berkah dari Revolusi Yasmin tahun 2011 yang menggulingkan
rezim dictator di Tunis : tak ada lagi pelarangan atau pembredelan buku. Buku-buku
bertema Islam Politik, atau buku-buku karya para aktifis Muslim, kini bebas
beredar di pasaran.
Kisah pengekangan kebebasan berfikir dan pelarangan buku yang dilakukan
oleh penguasa, bukanlah cerita baru dalam sejarah peradaban manusia. Tahun
2002, Pemerintah Iran menghukum mati Hashem Agajari, seorang dosen yang
pemikiran-pemikirannya dinilai sesat. Nasr Hamid Abu Zeid di Mesir, divonis
murtad oleh Mahkamah Mesir pada tahun 1996 karena buku-bukunya yang dianggap melecehkan
Islam. Beberapa tahun sebelumnya – tepatnya tahun 1992 – Dr. Farag Fauda juga
dihukumi murtad oleh sekelompok ulama Mesir karena bukunya yang berjudul al
Haqiqh al Ghaibah. Bukunya dilarang beredar, Dr Fauda pun dibunuh. Dan hampir empat abad silam, Hamzah Fansuri dituduh
kafir oleh ar Raniry, penguasa Aceh kala itu. Tahun 1637, karya-karyanya yang bernuansa sufi
dibakar oleh para ulama pro istana.
Masih banyak kisah serupa lainnya, seperti yang dialami oleh Mansur al Hallaj (922 M) dan Ahmad bin Hanbal (855 M).
Mereka semua mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari penguasa, akibat
buah pemikiran mereka yang dinyatakan berbahaya.
Buku Pra Revolusi
Selama rentang tahun 2005-2007, aku menemukan hal yang serupa di Tunis
ini. Sejumlah karya intelektual terkemuka dilarang beredar oleh penguasa.
Sebutlah di antaranya Yusuf Qardhawi, Said Ramadhan al Buthi – yang baru wafat
beberapa minggu lalu, juga Sayyid Qutub dan al Maududi. Dari kalangan
intelektual local, ada Rasyid Ghanusyi.
Buku-buku mereka dilarang beredar, tidak boleh dikutip dalam karya
ilmiah, tidak boleh dimiliki. Pokoknya serba tidak boleh. (Beberapa kisah pelarangan buku di Tunis, pernah kutulis
dalam catatan harian di blog berjudul : Buku
Qardhawi Susah Dicari, 10 April
2006).
Aku masih ingat, kala itu buku Syekh Yusuf Qardhawi yang diboleh dibaca
hanya satu, yakni Fiqh Zakat, salah satu karyanya yang sangat populer. Buku
Syekh al Buthi yang aku temukan juga hanya satu ; Dhawabit al Mashlalah.
Buku itu pun kudapatkan setelah melalui perjuangan ; janjian rahasia dengan
petugas toko buku, transaksi silakukan sembunyi-sembunyi, kemudian di
perjalanan pulang, buku kusimpan rapi dalam lipatan baju dalam tas.
(Sebagaimana kututurkan dalam tulisan lama : Cerita Seru dari Tunis Book
Fair, 8 Mei 2006).
Karya-karya al Maududi dan Sayid Qutb malah tidak ada sama sekali.
Dilarang masuk oleh penguasa, karena ide-ide gerakan (al Harakah al
Islamiyah) yang mereka utarakan, dikhawatirkan mengubah pola pikir
masyarakat, kemudian menjadi kritis terhadap pemerintah. Kursi empuk bisa
terancam !
Pokoknya serba dibatasi, serba dihalang-halangi. Di warnet saja, konsumen tidak bebas beraksi. Pemilik warnet tak segan-segan mengamati situs-situs yang dibuka oleh
pelanggan, jangan sampai ada situs politik. Sekitar tahun 2005-2006, aku pernah
menyaksikan penjaga warnet langgananaku menegur – bahkan memarahi – seorang pemuda Tunis yang membuka situs politik. “Kalo warnet ini sampe ditutup aparat, aku bisa kehilangan usahaku !”, begitu ucapan
sang penjaga warnet dengan suara tinggi. Padahal sehari-hari, aku mengenalnya
sebagai orang yang kalem dan santun.
Buku Pasca Revolusi
Angin perubahan tiba-tiba berhembus di Afrika Utara. Runtuhnya rezim
dictator Ben Ali pada hari Jumat, 14 Januari 2011, mengubah suasana Tunisia secara
drastis. Seperti yang telah kuceritakan dalam tulisan-tulisan terdahulu :
revolusi telah meluluhlantakkan system kehidupan orde lama, kemudian
menggantinya dengan lembaran baru yang lebih terbuka.
Kebebasan berfikir kini menemukan titik terangnya. Buku-buku beragam tema
mulai bermunculan. Tema-tema politik dan gerakan Islam yang dulu dianggap sensitive,
kini menjadi favorit. Buku-buku yang dulu dilarang, kini disayang. Mereka yang
dulu terisolir, kini malah diakomodir. Begitulah rumus dunia yang terus berubah. Tidak ada yang abadi kecuali
perubahan itu sendiri.
Hari ini, buku-buku Syekh Rasyid Ghanusi berjajar menghiasi lemari di
toko-toko buku. Di antara judul-judulnya yang sempat kucatat : (1) Min
Tajribah al Harakah al Islamiyah fi Tunis, (2) al Huriyah al Ammah fid
Daulah al Islamiyah, (3) Muqarabat fi Almaniyah wal Mujtama al Madani, (4)
al Wasatiyah inda Yusuf Qardawi, dan (5) al Harakah al Islamiyah wa
Masalat Tagyir. Di Maktabah Al Manar di Bab Menara, buku-buku pemimpin gerakan politik an Nahdlah ini
dipampang
di etelase terdepan.
Begitu juga buku-buku Qardhawi, kini tampil penuh percaya diri. Beberapa
toko buku malah menyediakan karya-karya beliau secara lengkap, misalnya Maktabah
Tunis di Jalan Inggris, dekat kantor pos
besar di pusat kota.
Buku-buku pemikiran Islam modern dan liberal, tetap mendapat tempat,
sama seperti pada masa pra-revolusi. Karya-karya cendekiawan local yang
berhaluan modern seperti Abdul Majid Syarafi, Muhamed Talbi dan Muhamed Hamzah,
masih mudah didapatkan di berbagai maktabah. Atau karya-karya intelektual Arab
lain seperti al Jabiri, Abu Zaid, atau Mohamed Arkoun, tetap diapresiasi.
Bahkan ada beberapa toko buku – di antaranya Dar al Ma’rifah di dekat stasiun
Barcelona – yang secara khusus menyediakan buku-buku pemikiran modern.
Tukang Buku Pasca
Revolusi
Tak hanya tema buku yang berubah. Sikap para penjaga toko buku
juga berubah ; lebih bebas
berpendapat. Mereka berani bersikap terkait buku jualannya Saat aku menanyakan
buku-buku karya pemikir modern di sebuah maktabah, sang pemilik toko mencibir,
seraya bertanya, “Untuk apa kamu baca buku orang liberal seperti dia?! Itu buku
yang ga bagus”
“Ya tidak apa-apa ga bagus juga. Saya mau beli”, tuturku sambil mengeluarkan dompet. Sang pemilik
toko langsung membuka lemari kaca dan mengeluarkan buku yang kumaksud. Transaksi
pun terjadi. Ah, dasar kamu, aku menggerutu. Tadi kamu bilang buku itu tidak
bagus dibaca, tapi ketika kamu lihat aku mengeluarkan dompet, kamu cepat-cepat keluarkan buku itu. Ideologimu ternyata masih kalah oleh duit. Salam manis dari Tunis.
Tunis al Khadra,
Selasa 9 April 2013
No comments:
Post a Comment