Monday, March 25, 2013

Tunis Poligami


Larangan Poligami Digugat Kembali

Para jilbaber muda di kota Tunis, tahun 2013

Terbukanya kran kebebasan sebagai akibat dari Revolusi Yasmin (Arab Spring) yang terjadi di Tunisia tahun 2011 lalu, berimbas luas ke hampir seluruh sector kehidupan. Tak terkecuali ranah hukum. Larangan poligami yang ditetapkan dalam Hukum Keluarga tahun 1956 kini mulai digugat. Usulan dibolehkannya poligami terus menguat.

“Larangan poligami selama ini di negeri kita, tidak menjadikan nasib kaum wanita kita menjadi lebih baik dari kaum wanita di negeri Arab yang lain”, tutur Nyonya Delnada Subhi berapi-api. Puluhan wanita yang duduk di sekitarnya spontan terkaget-kaget. Suasana riuh rendah dan tepuk tangan tak terbendung. Forum seminar ilmiah yang berlangsung awal Maret 2013 itu pun berubah menjadi pro kontra yang seru.

Nyonya Delnada – wanita separuh baya - hanyalah satu di antara sekian orang yang belakangan ini gencar mengusulkan amandemen hukum keluarga Tunisia (Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah) yang di dalamnya terdapat larangan poligami. Hukum keluarga yang ditetapkan pada tanggal 13 Agustus 1956 oleh Presiden Habib Borguiba yang berhaluan sekuler. Hukum keluarga yang dinilai paling progresif di dunia Islam kala itu.

Selain Delnada, terdapat sejumlah kelompok ormas dan juga partai politik yang mengusulkan hal yang sama : batalkan pasal pelarangan poligami.  Mereka adalah partai-partai dan ormas-ormas Islam militant, termasuk kelompok Salafi.

* * *
Pasal 18 dari Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah menyebutkan bahwa “Poligami itu dilarang. Barangsiapa menikah lagi padahal ia masih memiliki ikatan perkawinan dengan pasangan yang lain, maka ia dapat dikenai sanksi penjara selama 1 tahun dan wajib membayar denda sebesar 240 ribu milim…”

Larangan poligami ini merupakan salah satu usaha Presiden Habib Borguiba dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita di Tunisia. Selain melarang poligami, Borguiba mendorong kaum wanita untuk bekerja dan berkarir. Kaum wanita juga harus melepas jilbab, karena jilbab diidentikkan dengan keterbelakangan dan keterkungkungan. Kaum wanita – masih dalam pandangan Borguiba - memiliki kebebasan penuh atas dirinya, seperti dalam menentukan jodoh sendiri – tanpa campur tangan orang tua, serta turut berperan dalam menentukan jatuhnya talak atau tidak.  Artinya, suami bukan satu-satunya pihak pemegang otoritas talak.

Di gerbang makam Borguiba di kota Monastir, tertulis kalimat “Borguiba Muharrir al Mar’ah at Tunisiyyah”. Borguiba, sang pembebas wanita Tunisia.

Menurut beberapa buku yang kubaca, gagasan para tokoh pembaharuan pemikiran keislaman juga turut andil dalam pelarangan poligami di Tunisia kala itu. Seperti yang disampaikan oleh pejuang emansipasi wanita di Tunisia, Tahir al Hadad (1899-1935), dalam bukunya yang sangat popular di Tunis Imroatuna fis Syariah wal Mujtama.

Tahir Hadad mengatakan bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al Jahiliyah al ula). Hadad menggambarkan fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri beberapa orang wanita, bahkan tanpa batas. Para isteri itu diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas perilaku ini dengan menurunkan aturan secara bertahap (tadarruj fit tasyri’) ; mula-mula membatasi jumlah maksimal wanita yang dijadikan isteri hingga 4 orang. Kemudian Islam mensyaratkan sikap adil di antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan oleh seorang suami. Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan –sebenarnya - Islam bermaksud memberantas perilaku poligami ini. 

Hadad juga memandang bahwa poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu sendiri, yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan suami isteri. Ketiga hal itu akan terwujud jika seorang suami hanya mencurahkan kasih sayangnya pada satu orang isteri.

* * *
Era kebebasan kini tengah melanda Tunisia. Kesempatan emas untuk mengamandemen semua aturan bikinan rezim lama yang dianggap tidak pas.

Beberapa partai Islam dan ormas keagamaan, adalah mereka yang paling getol mengusulkan amandemen ini. Menurut mereka, pelarangan poligami tidaklah membawa kemaslahatan bagi umat Islam di Tunisia. Yang terjadi justru sebaliknya ; berbagai persoalan social bermunculan. Misalnya trend perselingkuhan, nikah bawah tangan (zawaj ‘urfi), perceraian dan fenomena meningkatnya jumlah perawan tua.

Mereka mengutip hasil survai yang dilansir baru-baru ini oleh sebuah koran nasional yang menyebutkan bahwa 80 persen suami dan 68 persen isteri di kota Tunis mengaku pernah melakukan selingkuh, dalam segala bentuknya. Mereka juga menunjuk data bahwa pada tahun 2010, terdapat 16 ribu pernikahan serta 9100 kasus perceraian. Penyebab utama perceraian ini adalah karena KDRT, sakit, isteri yang tidak perawan pada malam pertama, serta karena factor pihak ketiga dalam perkawinan.

Secara lebih ekstrim mereka mengatakan, mengapa alkohol (khamar) yang jelas-jelas keharamannya diperbolehkan beredar bebas di Tunisia, sedangkan poligami yang dibolehkan Tuhan malah dilarang? Dan seterusnya, dan seterusnya. Masih banyak argumentasi lain yang mereka sampaikan guna mendukung lolosnya pasal dibolehkannya poligami di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.

Berhasilkan usaha mereka nanti? Kita tunggu perkembangan berikutnya. Apakah dibolehkannya poligami akan menjadi solusi atas sejumlah persoalan sosial di Tunisia sebagaimana disebutkan di atas? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab dan rumit. Serumit poligami itu sendiri. Bagaimana menurut Anda? Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 25 Maret 2013

2 comments:

  1. bagaimana dengan hukum poligami sebelum reformaasi uu kelurga tunisia?
    apakah poligami masih diperbolehkan?

    ReplyDelete
  2. bagaimana dengan hukum poligami sebelum reformaasi uu kelurga tunisia?
    apakah poligami masih diperbolehkan?

    ReplyDelete