Pemilu Tunisia, Taruhan Kemulusan Revolusi Arab
Hari ini (26/10),
Tunisia akan menggelar pemiluhan umum (Pemilu) legislative. Lima jutaan pemilih
akan menyalurkan hak suaranya di TPS, guna menentukan masa depan negeri
berpenduduk 11 juta jiwa ini.
Ini adalah pemilu
kedua Tunisia setelah revolusi 2011 (Arab Spring) yang menumbangkan rezim
sekuler Ben Ali. Pemilu pertama, Oktober 2011, berlangsung secara aman, damai,
dan dinilai sebagai demokratis. Hasilnya, 217 kursi parlemen terisi dengan
komposisi : Partai Islam Nahda 89 kuri (41 %), Hizb al Muktamar 29 kursi (13
%), Hizb ar Ridha 26 kursi (26 kursi), Hizb at Takattul 20 kursi (9%), dan
sisanya dibagi habis oleh partai-partai gurem.
***
Akankah Pemilu
kedua ini juga berlangsung damai? Semoga saja ya. Karena Pemilu kedua ini
adalah salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan transisi Tunisia dari
revolusi menuju demokrasi.
Sejauh ini, masa
transisi di Tunisia berjalan cukup aman dan damai. Hiruk pikuk konstelasi
politik di kalangan elit, hanya terjadi di ruang parlemen, tidak berimbas pada
kehidupan rakyat bawah. Aktifitas harian rakyat tetap berjalan normal. Saya
melihat, ini terjadi karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang umumnya
baik, sehingga mereka umumnya berfikir rasional, tidak mudah terprovokasi untuk
ikut-ikutan ribut.
Berbeda misalnya
dengan revolusi yang terjadi di beberapa negara Arab lain, seperti Libya,
Mesir, Syria atau Yaman, yang kerap diwarnai perang saudara yang sering
menjatuhkan korban jiwa. Semua kelompok merasa benar sendiri dan tidak ada yang
mau mengalah. Di Libya sekarang ini malah hamper setiap warga memegang senjata.
Saya lihat di TV, dengan gagahnya para pemuda desa memberondongkan peluru ke
perkampungan saudara-saudarinya yang sebangsa dan setanah air. Laksana jagoan
dalam film. Di Syria, rakyat sipil menembakkan bedil sambil meneriakkan Allahu
Akbar.
Setiap kali
menyaksikan adegan-adegan itu di TV, rasanya saya ingin teriak, Hai orang Arab,
apa sih yang kalian inginkan? Tidakkah kalian sadar bahwa aksi-aksi kalian itu sebenarnya
merugikan kalian sendiri? Juga mengundang tawa orang-orang Amerika dan
Barat?
Yang pasti, aneka
konflik dan perang saudara yang terjadi di negara-negara itu membuat banyak
orang berfikir bahwa orang Arab tidak bisa berdemokrasi. Muncul teori di
sebagian kalangan bahwa revolusi Arab telah gagal.
Tapi teori ini
belum bisa sepenuhnya terbukti karena revolusi yang terjadi di Tunisia, hingga
sementara ini, masih terhitung mulus. Mulus dalam arti tetap berjalan sesuai
dengan agenda yang diamanatkan oleh revolusi. Di sisi lain, seperti yang saya
sebutkan di atas, konflik elit politik hanya terjadi di parlemen, tidak
berimbas pada kehidupan harian rakyat bawah.
Protes rakyat
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dilakukan melalui unjuk rasa damai
atau aksi mogok (idhrab). Sebagaimana pernah saya tulis pada bulan
Januari 2014 lalu dalam judul
“Negeri Ahli Mogok”. Kalaupun ada kontak senjata yang menimbulkan korban jiwa,
itu adalah agresi yang dilakukan militer Tunisia dalam rangka penyerbuan
terhadap kelompok-kelompok terduga teroris. Seperti penyerangan terhadap sarang
teroris di bukit Sya’anbi di propinsi Gasserine, dekat perbatasan Al
Jazair.
***
Berulang kali
Syekh Rashid Gannushi, pimpinan gerakan Nahdah, mengemukakan bahwa kunci
kesuksesan revolusi di Tunisia adalah karena kemauan berkompromi
antarkelompok-kelompok politik. Jumat (22/10) lalu, ia kembali menegaskan hal
itu pada hari kampanye terakhir yang digelar di alun-alun kota Tunis. Sirru
Najah ats Tsaurah at Tunisiyah huwa at Tawafuq baina al Ahzab as Siyasiah,
demikian tuturnya. Rahasia kesuksesan revolusi Tunisia adalah kesiapan kompromi
antarelit partai politik.
Tentang hal ini,
saya pernah menuliskannya secara khusus dalam judul “Mau Mengalah, Kunci
Kemulusan Revolusi Tunis”, Desember 2013 lalu.
Syekh Gannushi
tidak hanya mengucapkan kalimat itu, tetapi juga membuktikannya dengan aksi
konkret melalui partai yang dipimpinnya : Nahdah. Perjalanan masa transisi
revolusi Tunisia sejak 2011 hingga kini, membuktikan hal itu. Selama kurun
waktu 3 tahun, tiga kali Perdana Menteri ganti, atas desakan kaum oposisi sekuler.
Padahal, andai saja Nahdah selaku pemenang Pemilu “ngotot” dan mempertahakan
Hammadi Jebali – PM pertama, sebenarnya bisa saja. Pun juga ketika
penggantinya, Ali el Aridhi digoyang dari kursi PM pada akhir 2013 lalu, dengan
mudahnya Nahdah pun mengalah. Tanpa banyak komentar, Nahdah merelakan kursi PM
diduduki tokoh non partisan, Mehdi Jumah hingga hari ini.
Sikap kompromi
yang ditunjukkan partai pemenang ini bukan hanya dalam urusan kursi PM. Tetapi juga dalam berbagai isu lain,
termasuk sejumlah proyek perundang-undangan. Ketika kaum oposisi sekuler gencar
menyerang Nahdah dengan tuduhan akan mendirikan Negara Islam di Tunisia –bahkan
sekelompok lain yang saya baca di koran menyebutnya kekhalifahan Nahdah – Syekh
Gannushi segera menyangkal itu. Melalui wawancara media, orasi ilmiah dan juga sejumlah
buku yang ditulis, Gannushi menegaskan bahwa Nahda sedikitpun tidak akan
menjadikan Tunisia sebagai Negara “Islam”.
***
Wah, tulisan ini
jadi kemana-mana, semakin menjauh dari angle awal, yakni tentang Pemilu. Kita akhiri saja dulu ya pembaca. Saya akan
bersiap-siap untuk menonton jalannya Pemilu di sejumlah TPS yang akan segera
dibuka beberapa jam lagi.
Saya tidak ingin
melewatkan momen bersejarah ini begitu saja. Momen ketika warga Arab- Islam di
Tunisia bisa membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa diatur, bisa berbeda
pendapat. Dalam Bahasa modernnya, mereka pun bisa berdemokrasi. Agar tuduhan
sekelompok orang yang saya sebut di atas
– bahwa revolusi Arab telah gagal – tidak terbukti. Salam Manis dari Tunis.
No comments:
Post a Comment