Wednesday, December 03, 2014

Tunis Pilpres 2014

Akankah Rezim Otoriter Kembali Berkuasa di Tunis


Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Tahap I) di Tunisia yang baru saja berlangsung, dimenangkan oleh partai nasionalis sekuler. Sejumlah pihak mengkhawatirkan rezim lama yang otoriter itu hidup lagi, sebagaimana yang telah terjadi di Mesir.

Suatu siang aku berjalan menyusuri gang sempit dekat kediamanku di kawasan Makal Zaim, Tunis. Terdengar obrolan rombongan ibu-ibu yang berjalan di belakangku.
“Kamu kemaren pilih Sibsi?”
“Ah tidak. Aku disuruh suamiku milih Marzuki”
“Terus, kamu pilih Marzuki?”
“Tidak juga. Aku pilih Riyahi saja, hahaha..”
Aku tengok ke belakang, ternyata tiga wanita separuh baya yang baru pulang dari pasar. Tangan mereka menenteng belanjaan.
Di persimpangan, aku belok kanan menuju kediaman. Ibu-ibu itu belok kiri. Obrolan mereka terus berlanjut, diselingi sesekali gelak tawa.

***
Marzuki, Sibsi, Riyahi, adalah nama-nama yang sedang jadi pembicaraan orang Tunis saat ini. Selain Hamah al Hamami, Mohamed al Hashimi al Hamidi dan lain-lain. Mereka semua adalah calon presiden yang baru saja berlaga di arena Pilpres yang diikuti oleh 23 kandidat (dari semula 28), Minggu 26 Nopember 2014 lalu.

Hasilnya sudah diumumkan. Al Baji Qaid as Sibsi yang diusung oleh Nida Tunis, meraih suara 39 persen suara, disusul oleh Dr Munsif Marzuki, sang presiden incumbent, dengan 33 persen. Di bawahnya lagi ada al Hashimi al Hamidi dari partai al Mahabbah, kemudian sang pengusaha muda Salim Riyahi yang diusung al Ittihad al Wathani al Hurr

Menurut aturan Pilpres di Tunis, jika tidak ada calon yang meraih 50 persen plus 1, maka diadakan pilpres putaran kedua, diikuti oleh 2 calon tertinggi. Maka, as Sibsi dan  Marzuki yang melenggang pada babak final, akhir Desember ini, insya Allah.  

***
Kemenangan Sibsi pada tahap pertama ini, melengkapi kemenangan partainya pada Pileg 23 Oktober 2014 lalu. Saat itu, Nida meraih 83 kursi (dari total kursi parlemen 217). Partai Islam Nahdah berada di peringkat kedua (68 kursi), kemudian al Ittihad al Wathani al Hurr (17 kursi) dan al Jabhah as Sya’biyah (12 kursi). Lainnya, hanya di kisaran 5 kursi.

Kini, Sibsi sedang berhadapan face to face dengan Marzuki. Dr Munsif Marzuki adalah calon independen, alias tidak diusung oleh partai politik. Ia maju mengandalkan popularitas, yang saat ini tengah menjabat sebagai presiden, sejak 2011.

Pada Pilpres lalu, suara 33 persen yang dimiliki Marzuki nampaknya berasal dari kalangan Islamis, termasuk Nahdah. Meskipun Nahdah menegaskan bersikap netral, tidak mendukung kandidat manapun.

Marzuki sebenarnya seorang intelektual yang berhaluan sekuler. Tahun 2011, ia bisa menjadi presiden karena diusung oleh partai Takattul, yang berkoalisi dengan Nahdah dan Partai Muktamar. Kesepakatan koalisi 3 partai hasil Pemilu 2011 ini adalah : kursi presiden untuk Takattul, kursi ketua parlemen untuk Hizb al Muktamar, dan kursi Perdana Menteri untuk Nahdah. Nahdah selaku partai pemenang Pemilu waktu itu tidak tertarik mengambil kursi presiden, karena dalam system ketatanegaraan di Tunis, kursi Perdana Menteri lebih punya ‘power’.

Dan Sibsi, adalah tokoh 3 generasi. Sejak masa presiden Habib Borguiba (memerintah 1957-1987) dan masa Ben Ali (periode 1987-2011), beberapa kali ia menjadi menteri. Pantas jika kubu Marzuki menuduh Sibsi sebagai representasi rezim lama yang sekuler. Kemenangan Sibsi adalah ancaman bagi kebebasan yang tengah dinikmati warga Tunisia saat ini. Jika Sibsi menang, nanti Tunis akan seperti Mesir : kembali ke pangkuan rezim otoriter. Bukankah Sibsi dan Sisi dalam tulisan Arab hanya beda titik?! Sibsi titiknya satu (huruf ba), dan Sisi titiknya dua (huruf Ya). Revolusi Melati diperjuangkan oleh anak muda, mengapa kekuasaan kemudian harus diserahkan kepada orang tua? Demikian di antara poin yang disuarakan oleh kubu Marzuki dalam kampanye ‘hitam’nya. Sibsi dinamakan orang tua, karena memang usianya sudah tak muda lagi : 87 tahun !

***
Aku amati di media cetak dan elektronik, persaingan nampak sudah mulai memanas. Di tengah suasana kota Tunis yang mulai memasuki musim dingin. Seperti halnya Prabowo vs Jokowi di tanah air pada pilpres lalu. Jika calon hanya dua, persaingan akan meruncing, karena tidak ada kubu penyeimbang alias penggembira.

Sejak hasil Pileg diumumkan pada akhir Oktober lalu, kubu Sibsi langsung beraksi. Dalam sebuah konferensi pers, Sibsi mengeluarkan pernyataan yang kontroversial : nasionalisme orang-orang Tunisia selatan masih diragukan. Karena di kawasan selatan, Nahdah meraup jumlah kursi secara signifikan dan mengalahkan Nida, partainya Sibsi. Sedangkan Nida menang di propinsi-propinsi utara.

Usai pengumuman hasil pilpres kemaren, Sibsi juga langsung menuduh orang-orang yang memilih Marzuki sebagai kelompok garis keras yang anti demokrasi. Kata Sibsi, Pilpres Desember ini adalah pertarungan antara kubu nasionalis versus Islam radikal.

Media local, baik cetak maupun elektronik juga mulai memuat berita-berita kampanye, serta serangan antarkubu. Kadang capek juga membacanya. Tapi aku amati, kampanye sehitam apapun, tidak menjelek-jelekkan lawannya secara personal. Tak seperti segelintir kelompok yang bermental picik di tanah air, yang ‘menggugat’ privasi sosok Jokowi atau sosok Prabowo.  Anak China lah, keislamannya diragukan lah, dan aneka tuduhan lain yang lebih banyak bohongnya itu.

Salah satu acara kampanye yang menarik adalah malam tadi, alias Selasa (02/12) malam. Yakni acara yang ditayangkan stasiun TV al Jazeera secara live : al Ittijah al Muakis, Pro Kontra. Dua nara sumber dari kedua kubu. Dari kubu Sibsi, ada Hasan ben Usman. Sedangkan dari kubu Marzuki, ada Salim Bouhudzair. Aku menonton acara ini. dari awal sampai akhir, kedua kubu berdebat panas. Khas orang Arab : tak ada yang mau mengalah.

Rabu dini hari ini, aku lihat sejumlah media online di Tunis ramai membicarakan acara andalan al Jazera ini. Beberapa menuding Dr. Faishal al Qasim – sang presenter acara - yang tidak adil, lebih condong ke Marzuki. Bahkan, kalimat pengantar yang disampaikan al Qasim pun dinilai provokatif. Ya maklum, al Jazera khan lebih dekat ke ikhwan. Pantas jika ia lebih memberikan ruang ke Marzuki, yang nampaknya akan didukung Nahdah, “adik kandung” ikhwanul muslimin.

*** 
Siapakah yang nanti akan terpilih sebagai presiden keempat di negeri di ujung utara benua Afrika ini? Jika Marzuki yang terpilih, apakah dapat dikatakan sebagai kemenangan kembali Islam politik di Tunisia? Jika as Sibsi yang menang, apakah ia juga akan seperti as Sisi di Mesir : menjadi symbol kembalinya rezim lama? Jika as Sisi membebaskan Mubarak dari segala tuduhan, apakah as Sibsi juga akan membebaskan Ben Ali? Kita lihat saja nanti ya. Kalo dijawab sekarang, terlalu dini untuk berspekulasi.

Siapapun yang menang, semoga kebebasan tetap dijamin. Agar ibu-ibu di perkampungan tetap bisa ngobrol tentang politik, seraya menenteng sayuran, seperti yang kusaksikan itu. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 03 Desember 2014   

No comments:

Post a Comment