Akankah Rezim Otoriter Kembali Berkuasa di Tunis
Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden (Tahap I) di Tunisia yang baru saja berlangsung,
dimenangkan oleh partai nasionalis sekuler. Sejumlah pihak mengkhawatirkan rezim
lama yang otoriter itu hidup lagi, sebagaimana yang telah terjadi di Mesir.
Suatu siang aku berjalan menyusuri gang sempit dekat kediamanku di kawasan Makal Zaim, Tunis. Terdengar obrolan rombongan ibu-ibu yang berjalan di belakangku.
Suatu siang aku berjalan menyusuri gang sempit dekat kediamanku di kawasan Makal Zaim, Tunis. Terdengar obrolan rombongan ibu-ibu yang berjalan di belakangku.
“Kamu kemaren
pilih Sibsi?”
“Ah tidak. Aku
disuruh suamiku milih Marzuki”
“Terus, kamu
pilih Marzuki?”
“Tidak juga. Aku
pilih Riyahi saja, hahaha..”
Aku tengok ke
belakang, ternyata tiga wanita separuh baya yang baru pulang dari pasar. Tangan
mereka menenteng belanjaan.
Di persimpangan,
aku belok kanan menuju kediaman. Ibu-ibu itu belok kiri. Obrolan mereka terus
berlanjut, diselingi sesekali gelak tawa.
***
Marzuki, Sibsi,
Riyahi, adalah nama-nama yang sedang jadi pembicaraan orang Tunis saat ini.
Selain Hamah al Hamami, Mohamed al Hashimi al Hamidi dan lain-lain. Mereka semua adalah calon presiden
yang baru saja berlaga di arena Pilpres yang diikuti oleh 23 kandidat
(dari semula 28), Minggu 26 Nopember
2014 lalu.
Hasilnya sudah
diumumkan. Al Baji Qaid as Sibsi yang diusung oleh Nida Tunis, meraih suara 39
persen suara, disusul oleh Dr Munsif Marzuki, sang presiden incumbent, dengan
33 persen. Di bawahnya lagi ada al Hashimi al Hamidi dari partai al Mahabbah, kemudian
sang pengusaha muda Salim Riyahi yang diusung al Ittihad al Wathani al Hurr.
Menurut aturan
Pilpres di Tunis, jika tidak ada calon yang meraih 50 persen plus 1, maka
diadakan pilpres putaran kedua,
diikuti oleh 2 calon tertinggi. Maka, as Sibsi dan Marzuki yang melenggang pada babak
final, akhir Desember ini,
insya Allah.
***
Kemenangan Sibsi
pada tahap pertama ini,
melengkapi kemenangan partainya pada Pileg 23 Oktober 2014 lalu. Saat
itu, Nida meraih 83 kursi (dari
total kursi parlemen 217). Partai Islam Nahdah berada di peringkat kedua (68
kursi), kemudian al
Ittihad al Wathani al Hurr (17 kursi) dan al Jabhah as Sya’biyah (12 kursi). Lainnya, hanya di
kisaran 5 kursi.
Kini, Sibsi
sedang berhadapan face to face dengan Marzuki. Dr Munsif Marzuki adalah
calon independen, alias tidak diusung oleh partai politik. Ia maju mengandalkan
popularitas, yang saat ini tengah menjabat sebagai presiden, sejak 2011.
Pada Pilpres
lalu, suara 33 persen yang dimiliki Marzuki nampaknya berasal dari kalangan
Islamis, termasuk Nahdah. Meskipun Nahdah menegaskan bersikap netral, tidak
mendukung kandidat manapun.
Marzuki
sebenarnya seorang intelektual yang berhaluan sekuler. Tahun 2011, ia bisa menjadi
presiden karena diusung oleh partai Takattul, yang berkoalisi dengan Nahdah dan
Partai Muktamar. Kesepakatan koalisi 3 partai hasil Pemilu 2011 ini adalah :
kursi presiden untuk Takattul, kursi ketua parlemen untuk Hizb al Muktamar, dan
kursi Perdana Menteri untuk Nahdah. Nahdah selaku partai pemenang Pemilu waktu
itu tidak tertarik mengambil kursi presiden, karena dalam system ketatanegaraan
di Tunis, kursi Perdana Menteri lebih punya ‘power’.
Dan Sibsi, adalah
tokoh 3 generasi. Sejak masa presiden Habib Borguiba (memerintah 1957-1987) dan
masa Ben Ali (periode 1987-2011), beberapa kali ia menjadi menteri. Pantas jika
kubu Marzuki menuduh Sibsi sebagai representasi rezim lama yang sekuler.
Kemenangan Sibsi adalah ancaman bagi kebebasan yang tengah dinikmati warga
Tunisia saat ini. Jika Sibsi menang, nanti Tunis akan seperti Mesir : kembali
ke pangkuan rezim otoriter. Bukankah Sibsi dan Sisi dalam tulisan Arab hanya
beda titik?! Sibsi titiknya satu (huruf ba), dan Sisi titiknya dua (huruf Ya). Revolusi
Melati diperjuangkan oleh anak muda, mengapa kekuasaan kemudian harus
diserahkan kepada orang tua? Demikian di antara poin yang disuarakan oleh kubu
Marzuki dalam kampanye ‘hitam’nya. Sibsi dinamakan orang tua, karena memang
usianya sudah tak muda lagi : 87 tahun !
***
Aku amati di
media cetak dan elektronik, persaingan nampak sudah mulai memanas. Di tengah
suasana kota Tunis yang mulai memasuki musim dingin. Seperti halnya Prabowo vs
Jokowi di tanah air pada pilpres lalu. Jika calon hanya dua, persaingan akan
meruncing, karena tidak ada kubu penyeimbang alias penggembira.
Sejak hasil Pileg
diumumkan pada akhir Oktober lalu, kubu Sibsi langsung beraksi. Dalam sebuah
konferensi pers, Sibsi mengeluarkan pernyataan yang kontroversial :
nasionalisme orang-orang Tunisia selatan masih diragukan. Karena di kawasan
selatan, Nahdah meraup jumlah kursi secara signifikan dan mengalahkan Nida,
partainya Sibsi. Sedangkan Nida menang di propinsi-propinsi utara.
Usai pengumuman
hasil pilpres kemaren, Sibsi juga langsung menuduh orang-orang yang memilih
Marzuki sebagai kelompok garis keras yang anti demokrasi. Kata Sibsi, Pilpres
Desember ini adalah pertarungan antara kubu nasionalis versus Islam radikal.
Media local, baik
cetak maupun elektronik juga mulai memuat berita-berita kampanye, serta
serangan antarkubu. Kadang capek juga membacanya. Tapi aku amati, kampanye
sehitam apapun, tidak menjelek-jelekkan lawannya secara personal. Tak seperti
segelintir kelompok yang bermental picik di tanah air, yang ‘menggugat’ privasi
sosok Jokowi atau sosok Prabowo. Anak
China lah, keislamannya diragukan lah, dan aneka tuduhan lain
yang lebih banyak bohongnya itu.
Salah satu acara
kampanye yang menarik adalah malam tadi, alias Selasa (02/12) malam. Yakni
acara yang ditayangkan stasiun TV al Jazeera secara live : al Ittijah al
Muakis, Pro Kontra. Dua nara sumber dari kedua kubu. Dari kubu Sibsi, ada
Hasan ben Usman. Sedangkan
dari kubu Marzuki, ada Salim Bouhudzair. Aku menonton acara ini. dari awal sampai akhir, kedua kubu
berdebat panas. Khas orang Arab : tak ada yang mau mengalah.
Rabu dini hari
ini, aku lihat sejumlah media online
di Tunis ramai membicarakan acara andalan al Jazera ini. Beberapa menuding Dr.
Faishal al Qasim – sang presenter acara - yang tidak adil, lebih condong ke
Marzuki. Bahkan, kalimat pengantar yang disampaikan al Qasim pun dinilai
provokatif. Ya maklum, al Jazera khan lebih dekat ke ikhwan. Pantas jika ia
lebih memberikan ruang ke Marzuki, yang nampaknya akan didukung Nahdah, “adik
kandung” ikhwanul muslimin.
***
Siapakah yang
nanti akan terpilih sebagai presiden keempat di negeri di ujung utara benua
Afrika ini? Jika Marzuki yang terpilih, apakah dapat dikatakan sebagai
kemenangan kembali Islam politik di Tunisia? Jika as Sibsi yang menang, apakah ia juga akan seperti as Sisi di Mesir : menjadi symbol kembalinya
rezim lama? Jika as Sisi membebaskan Mubarak dari segala tuduhan,
apakah as Sibsi juga akan membebaskan Ben Ali? Kita lihat saja nanti ya. Kalo dijawab sekarang, terlalu dini untuk
berspekulasi.
Siapapun yang
menang, semoga kebebasan tetap dijamin. Agar ibu-ibu di perkampungan tetap bisa
ngobrol tentang politik, seraya menenteng sayuran, seperti yang kusaksikan itu.
Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, 03 Desember 2014
No comments:
Post a Comment