Monday, December 19, 2005

Jumat Keramat

Jumat Hari Keramat


Mesji Uqbah bin Nafi di Kairouan, 156 km selatan kota Tunis, didirkan pada tahun 50 H

Pada hari pertama keberadaanku di Tunis, aku langsung punya image yang tidak menarik tentang pola beragama orang Tunis. Mereka tidak pandai merawat mesjid, mereka bukan penikmat spiritualitas, mereka menganggap remeh salat.
Image itu mendadak muncul usai mengikuti salat Jumat di Mesjid Al Hawa, sebuah mesjid besar, tepat di depan kampus Universitas Zaytuna. Kala itu, Jumat pertamaku di Tunis, 11 Nopember 2005. Aku ikut salat Jumat gelombang ketiga, khatibnya baru naik mimbar pukul 14.30 atau 40 menit sebelum adzan Ashar. Khatib berkhutbah selama setengah jam, dan usai salat Jumat, muadzin langsung mengumandangkan adzan Ashar. Kami pun salat Ashar berjamaah di awal waktu.
Suasana dalam mesjid itu, polos tanpa banyak hiasan atau kaligrafi. Kebanyakan jemaahnya juga berpakaian biasa, hanya satu dua orang yang berjubah atau berpeci. Tak ada wirid-wirid atau lantunan ayat suci. Atau dzikir para jemaah tarekat seperti yang sering kusaksikan usai Jumatan dulu di Mesjid Husein, Kairo. Hatiku menduga-menduga, simbol-simbol formal keagamaan sepertinya tidak populer di negeri ini.
Jumat pertama yang sangat tidak menarik. Jumat yang gersang. Apalagi waktunya menjelang Ashar begitu. Aku yang belum terbiasa dan belum tahu, masih meragukan keabsahannya.
Sebenarnya, firasat ga enak sudah kurasakan sejak siang sebelum Jumat. Kala itu, menjelang jam 12an, aku berada di kantor kementrian pendidikan tinggi untuk mengambil surat pengantar studi dan beasiswa. Sekaligus lapor diri bahwa aku sudah berada di Tunis. Sebelumnya aku bersilaturahmi ke KBRI.
Saat di kementrian, aku sudah gelisah. Waktu dzuhur sudah tiba. Saatnya salat Jumat. “Tenang saja”, tutur seorang kawan, “kita bisa salat Jumat pada gelombang kedua atau ketiga nanti”,lanjut dia enteng. “Hah ? gelombang kedua dan ketiga ?” aku kaget. “ Ya, di Tunis ini, kita bisa pilih waktu salat Jumat. Ada yang mulai jam 12, setengah dua, dan setengah tiga. Tergantung sempatnya kita kapan”, sang kawan bertutur. Ya sudah, aku ikut saja. Meski hati bertanya-tanya dan prihatin. So’saleh, hehe..
Jam 12 lewat. Adzan dzuhur terdengar sayup-sayup. Disambung dengan ceramah Jumat. Tetapi suasana kantor kementrian masih saja ramai. Para pegawainya sibuk, serta tamu-tamu juga berdatangan. Di jalan raya sana, kendaraan tetap ramai, pejalan kakinya hilir mudik. Anak-anak sekolah berjalan bergerombol. Seolah bukan hari Jumat saja.
Duh Gusti, aku membathin. Tiba-tiba aku ingat Mesir, negeri yang sangat kaya dengan khazanah dan tradisi Islam. Orang-orangnya yang religius, mesjid-mesjidnya yang antik, serta ritual keagamaannya yang variatif, lekat dengan spiritualitas. Di Mesir, Jumat siang begini, aku biasanya sudah duduk di dekat mihrab mesjid bersejarah, menikmati lantunan ayat Alquran yang dikumandangkan secara live oleh seorang qari. Sambil menanti khatib naik mimbar.
Jam 13an aku baru selesai urusan di gedung kementrian. Mula-mula kami cari mesjid. Tetapi perut keroncongan minta diisi. “Ya sudah, kita makan dulu”, kata sang kawan. Aku sih setuju saja. Toh kalaupun sembahyang, pikiran takkan tenang. Dalam suasana begini, sikap mendahulukan makan atas salat, dibenarkan oleh syariat.
Maka kami pun masuk ke sebuah rumah makan murah. Menikmati kaftaji, makanan khas Tunis. Di tengah suasana rumah makan yang penuh pengunjung. Lagi-lagi aku bergumam, mengapa mereka tidak segera ke mesjid untuk salat Jumat.
Pada Jumat kedua, 18 Nopember 2005, aku bersiap-siap sejak pagi. “Aku ingin salat Jumat di awal waktu dan di mesjid besar”, pesanku kepada kawan senior. Karena aku tak mau Jumat kemaren terulang. Sang kawan mengiyakan. Dan menjelang jam 12, kami sudah berada di dalam mesjid Kasbah, sebuah mesjid besar dan megah di kawasan kota, 200 meter dari kantor Perdana Menteri.
Khatib naik mimbar di awal waktu dzuhur. Rata-rata jemaahnya berpakaian rapi. Sebagian berjubah serta peci merah khas Tunis itu. Banyak juga jemaah berjas dan dasi. Nampaknya mereka para pegawai kantoran. Maklum, Jumat di Tunis adalah hari kerja. Liburnya Sabtu-Ahad seperti di Indonesia. Sebelum Jumat, ada lantunan ayat Alquran oleh seorang qari. Usai Jumat, ada wiridan dan doa bersama. Isi khutbahnya juga menarik Perlahan, image-ku tentang salat Jumat dan pola beragama orang Tunis mulai membaik.
Aku sangat menikmati Jumat kedua ini. Hati terasa lebih tenang karena Jumat ditunaikan pada awal waktu. Aku ingat hadis Nabi yang melukiskan pahala orang datang pertama ke mesjid untuk Jumat, laksana berkurban dengan seekor sapi. Orang yang datang setelahnya menuai pahala senilai kurban dengan kambing. Lalu ayam, dan akhirnya telor. Jemaah yang tiba terlambat, tidak akan mendapat apa-apa karena malaikat pencatat amal telah menutup bukunya. Demikian hadis Nabi tentang keutamaan Jumat.
Berangkat dari kandungan hadis itu, aku jadi bertanya-tanya soal salat Jumat 3 gelombang yang diterapkan di Tunisia. Konon juga di beberapa negara Arab lain yang menganut madzhab Maliki. Apakah mereka tidak mengindahkan hadis keutamaan salat di awal waktu? Apakah mereka tidak ingin mendapat pahala kurban senilai sapi? Bukankah salat Jumat itu harus dilakukan secara segera sebagaimana semangat ayat fas’au ila dzikrillah wa dzarul bai’? Dengan adanya tiga pilihan waktu itu, bukankah nanti orang Islam akan cenderung bersantai dan menganggap enteng waktu salat? Bukankah orang yang menganggap enteng salat itu termasuk kategori munafik? Bukankah...? Bukankah...? Begitulah, hatiku bertanya-tanya. Semuanya serba bukankah. Maklum, berangkat dari ketidaktahuan.
Lalu, aku buka beberapa kitab fiqih populer, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Ternyata, tak ada satupun kaidah yang menyebutkan bahwa salat Jumat hanya harus dimulai awal waktu dzuhur. Aku pun mulai merasa tenang. “Tak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, tentang waktu pelaksanaan Jumat. Ia sama dengan waktu salat dzuhur, sejak tergelincirnya matahari hingga tiba waktu Ashar”, tulis Wahbah Zuhaili, ahli fikih kenamaan kontemporer asal Syria, dalam kitabnya Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu.
Hingga hari ini, enam Jumat telah kulalui di Tunis. Tiga gelombang Jumat itu telah kucoba. Kubagi rata ; masing-masing dua kali, di 6 mesjid yang berbeda ; Al Hawa, Zaytuna, Kasbah, serta tiga mesjid lain yang tidak kuketahui namanya. Masing-masing berlokasi di dekat KBRI, di kawasan Bourguiba Avenue, serta di kawasan Medina, Old Tunis
Secara perlahan, aku mulai menikmati salat Jumat di Tunis. Terlebih di mesjid-mesjid besar semisal Zaytuna, yang kadang diramaikan oleh wirid-wirid tarekat setiap usai Jumat sebagaimana di mesjid-mesjid Mesir. Aku juga mulai bisa menyesuaikan diri dengan 3 pilihan waktu salat Jumat. Aku mulai tahu, mesjid mana saja yang menggelar Jumat pada awal waktu, dan mana yang pada akhir waktu.
Dengan adanya 3 pilihan waktu, aktifitas kerja bisa terus berlangsung secara maksimal hingga jam 14.00. Bagi yang sibuk mendadak atau terjebak kemacetan, bisa tetap tenang selambatnya hingga jam 14an. Yang penting, Jumatnya tidak kelewat. Umat Islam bisa tetap salat Jumat untuk kepentingan akheratnya, tanpa kehilangan kesempatan untuk meraih prestasi dunia. Selaras dengan makna ayat wabtagi fiimaa atakallahu... Dari sisi ini pula, salah satu bukti keluwesan syariat Islam semakin terbukti. Subhanallah.
Jumat adalah hari keramat, sayyidul ayyam dan hajinya orang miskin. Dalam salat Jumat terdapat keberkahan dan doa mustajabah. Yusuf Qardawi mengatakan bahwa ada 4 faktor kegagalan kristenisasi di Mesir ; Alquran, Ramadan, Al Azhar, dan khutbah Jumat
Aku, sebisa mungkin akan selalu salat Jumat pada gelombang pertama. Karena ia lebih utama, pahalanya lebih besar sebagaimana hadis Nabi tadi. Tetapi dalam suasana terdesak atau sibuk mendadak, aku tetap tidak kehilangan kesempatan untuk meraih tiket ke surga, karena ada Jumat gelombang berikutnya. Insya Allah…

Senja Jumat 16 Desember 2005Salam Manis dari Tunis

2 comments:

  1. salam alaikum pa kolumnis.
    1. saya kira, hadis ttg pahala jumatan sebesar sapi sampai telur itu bukan soal salat di awal atau akhir waktu. itu soal kapan seorang muslim dapat hadir di mesjid dilihat dari waktu khutbah. jadi kalau datangnya menjelang ashar sebelum khutbah dimulai, lebih baik daripada datangnya hampir awal zhuhur setelah khutbah dimulai... (gitu ga ya?)
    2.soal hukumnya, ko pake landasan w.zuhaili, yg notabene orang baru? beliau paling sekedar mengkomentari yang sudah ada. ko tidak dari kitab2 malikiah langsung? tadinya saya membaca blognya menunggu jawaban saudara sebagai seorang mahasiswa pascasarjana bidang ushulfikh... tapi tetap kita tunggu kok

    ReplyDelete
  2. wah, asik banget ceritanya, tapi mesir jangan dilupakan ya?

    ReplyDelete