Monday, December 19, 2005

Geliat Gadis Tunis

Gadis Tunis Dalam Gerimis


Sekelompok wanita Arab bermain musik. Mencari jati diri?

Udara dingin terasa semakin menusuk seiring malam yang merayap perlahan. Hujan baru saja reda. Mobil yang kutumpangi berjalan pelan, menyusuri kawasan Almanar, kawasan elit kota Tunis.

Di sebuah pom bensin, mobil berhenti. Dua orang pegawai berseragam biru datang menyambut. Dengan cekatan mereka bekerja. Seorang mengelap kaca mobil, kawannya mengisi bahan bakar. Dalam keremangan malam, sekilas kutatap wajah pegawai yang sedang mengelap kaca. Ada garis kecantikan yang tak tersembunyikan. Meski ia memakai topi lebar serta gerakan tubuh yang zig-zag. "Lihat Pak, sepertinya dia wanita", bisikku kepada Husein, sopir sekaligus pemilik mobil. "Ah, masa?" kata Husein seraya ikut melirik.

Sewaktu menyerahkan uang bayaran, Husein bertanya. "Kamu wanita yach?" Pegawai yang berdiri depan pintu mobil itu menjawab. "Ya Tuan, emangnya kenapa?" Bibirnya mengulum senyum, matanya hitam dan jernih. Seperti mata kelinci. Barangkali, mata semacam ini yang dimaksud lagu lama Hampir Malam di Jogya itu. Husein bertanya lagi, "kok kamu mau bekerja malam-malam begini. Apa tidak ada pegawai lelaki?" Nada bicara Husein agak sinis, maklum orang Saudi, negeri yang tidak mengenal kamus wanita bekerja.

Mobil bergerak meninggalkan pom bensin. Tanpa menunggu jawaban dari wanita tadi. Kala batinku masih penasaran, tengah malam begini, gadis-gadis muda itu bekerja di pom bensin. Diterpa angin, gerimis dan udara dingin. Mengapa mereka mau bekerja begitu? Mengapa pemerintah membiarkan mereka bekerja? Apakah memang tidak ada lelaki lagi? Apakah karena para wanita itu benar-benar perlu uang? Ah, rasanya tidak mungkin. Tunisia adalah negeri makmur. Termakmur kedua di Afrika Utara setelah Lybia. Pendapatan per kapitanya 3000 Dolar AS, tiga kali lipat Indonesia. Ataukah mereka bekerja atas nama emansipasi?

Kalau karena alasan yang disebutkan terakhir, memang sangat mungkin. Untuk hitungan Arab, Tunisia termasuk negara yang memberikan kebebasan perempuan secara luas. Jauh berbeda dengan Mesir, Iran, apalagi Saudi. Trend persamaan hak laki-laki dan wanita di Tunisia bukan hanya wacana hiasan bibir saja, tetapi sejak lama telah melebar ke tataran praktis realitas kehidupan.

Sejak masa awal kemerdekaan tahun 1956, pemerintah telah mengeluarkan hukum keluarga yang mengatur hak-hak wanita. Diantaranya adalah penghapusan poligami, pemberian hak bagi isteri untuk mengajukan cerai, juga hak pemeliharaan anak bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Semua aturan ini ditetapkan pada masa pemerintahan Habib Borguiba, presiden pertama Tunisia yang memang dikenal pejuang hak-hak wanita. Kini, di pintu gerbang makamnya di kota Monastir – 130 km timur kota Tunis- tertulis kalimat Borguiba Sang Pembebas Wanita Tunisia.

Dukungan politik atas hak-hak wanita juga dilakukan oleh Zainal Abidin Bin Ali, presiden Tunisia sekarang. Pada bulan Agustus 1993, ia mengeluarkan Undang-Undang tentang hak-hak wanita yang merupakan amandemen atas sejumlah peraturan lama yang masih dianggap bias gender. Suami isteri memiliki peran yang sama dalam upaya memelihara keharmonisan rumah tangga dan dalam hal urusan anak-anak. Pasal ini dianggap mengamandemen pasal isteri harus mentaati semua keputusan suami. Masih dalam UU itu, disebutkan bahwa suara sang ibu harus didengar dalam menentukan calon suami puterinya. Jadi, tak semata hak prerogatif sang ayah. Bagi wanita Tunisia yang menikah dengan pria asing lalu memiliki anak, maka sang anak bisa memperoleh hak kewarganegaraan Tunisia, sebagaimana ibunya. Sebuah penghargaan status yang – sepertinya – belum diterapkan oleh banyak negara Arab.

Masih banyak peraturan lain yang berpihak pada aktifitas dan ruang gerak kaum wanita Tunis. Imbasnya, saat ini trend wanita yang bekerja di luar rumah semakin populer. Pada tahun 2004, seperempat wanita Tunisia – dari total jumlah wanita 5 juta jiwa - berstatus bekerja secara resmi di berbagai bidang. Baik di perkantoran, dunia bisnis, hingga kerja-kerja lapangan semisal sopir taksi ataupun pegawai pom bensin seperti tadi. Setiap pagi, bis-bis umum dipadati kaum wanita muda yang berangkat kerja. Di ruas-ruas jalan kota Tunis, polisi wanita berkeliaran. Rata-rata berkulit putih, ramah, dan juga rupawan. Sewaktu aku berjalan santai di Borguiba Avenue, jalan utama di kota Tunis, seorang polisi wanita yang masih muda menyapaku." Bienvenue", tuturnya dengan senyum tersungging. Bienvenue adalah bahasa Perancis, artinya Selamat Datang. "Ahlan bik", jawabku pake bahasa Arab. Maklum, spontan agak-agak kaget. Di kota Tunis, ternyata polisi sangat ramah, bersahabat dan lebih enak dipandang, hehe...

“Hampir tak ada bidang kehidupan di negeri ini yang tidak melibatkan kaum wanita”, tutur Lamia, seorang mahasiswi Tunis di kelasku. Di bidang pekerjaan yang kasar sekalipun, semisal tukang listrik, tukang servis elektronik hingga tukang bangunan. “Semuanya biasa di sini. Wong sekolah kejuruan saja – semacam STM - banyak banget siswinya”, tutur dia lagi. Duh, gusti, itu sih kayaknya sudah melewati kodrat kewanitaan, komentarku. Bukankah kalau bekerja kasar mereka akan kehilangan kelembutan dan kecantikan? Bukankah dengan bekerja kasar begitu mereka malah merendahkan martabatnya sendiri? Lamia tertawa ngakak.

Fenomena wanita bekerja seperti itu ternyata tidak selalu disikapi positif oleh kalangan pria. “Kamu lihat sekarang di kantor-kantor, semuanya wanita”, tutur Khaled, seorang mahasiswa Tunis berusia 26 tahun, dengan nada geram bin iri. Tatapan matanya kosong menerawang. Mungkin ia takut ngga kebagian job, lalu menjadi pengangguran. “Jangan iri gitu ya akhi..”, aku so’ menasehati. “Iri khan tanda tak mampu”, lanjutku polos, apa adanya. Khaled hanya mesem

Kaum wanita Tunis juga duduk dalam dunia birokrasi, bersaing dengan kaum lelaki. Data resmi tahun 2004 menunjukkan bahwa 25 persen hakim di Tunisia adalah kaum wanita. Juga 26 persen posisi pengacaranya. Mereka menempati porsi 15 persen dari total anggota DPR, serta posisi seorang wakil ketua DPR. Mereka juga aktif di organisasi wanita, baik dalam maupun luar negeri.

Tunisia memang tidak dikenal karena pemikir-pemikirnya yang giat menyuarakan emansipasi wanita. Tidak seperti Maroko yang punya Fatima Mernissi, atau Mesir yang punya Qassim Amin, Rif’at Tahtawi atau yang sekarang masih ada, Nawal Sa’dawi.

Di Mesir, gaung emasipasi wanita memang terdengar nyaring. Tapi, kencangnya gaung itu masih terbentur tradisi beragama dan budaya patriarkis yang masih kentara. Poligami saat ini masih menjadi trend dan hal yang lumrah. Sinetron Haji Mutawalli yang bercerita tentang kisah sehari-hari sang haji bersama keempat isterinya, menjadi sinetron favorit pemirsa pada tahun 2002 lalu. Cerita tentang kekerasan suami terhadap isteri juga masih sering terdengar. Seperti yang pernah kututurkan dalam paket Serba-Serbi Mesir (SSM) berjudul Pria Mesir Nan Perkasa.

Di Tunis, cerita tentang poligami hanya dalam wacana diskusi. Seperti yang kualami dalam kuliah Huquq al Insan (Hak Asasi Manusia) beberapa hari lalu. Dosen kami, Dr Ali Syaibi yang juga seorang kolumnis media, dengan jeli menjelaskan duduk perkara penghapusan aturan poligami di Tunis. “Secara sosiologis, saat ini poligami bukan hal yang menarik bagi orang Tunisia”tuturnya seraya mengutip ayat walan ta’dilu bainanisaa walau harastum. Keadilan secara utuh tak mungkin bisa diwujudkan oleh suami yang poligami. Dan ayat ini memang dipegang kuat oleh para ulama madzhab Maliki –madzhab fikih orang Tunis – kala bicara soal poligami.

Dalam soal kewarisan, Tunisia menerapkan konsep Alquran ; wanita mendapat setengah bagian pria. Aku sempat berfikir, biasanya konsep waris Islam ini dituduh para aktifis feminisme sebagai bias gender, salah satu bukti ketidakadilan Islam terhadap wanita. Di Tunisia, negeri yang memberikan kebebasan luas bagi kaum wanita, konsep ini malah menjadi hukum positif. Di fakultas pascasarjana Universitas Zaytuna, kajian ilmu faraidh bahkan menjadi sebuah program studi tersendiri. Mungkin dalam tataran empirisnya terbukti, bahwa nilai keadilan konsep ini sangat ideal bagi kaum wanita. Subhanallah.

Inilah salah satu potret kaum wanita di Tunisia, negeri berpenduduk 10 juta jiwa dengan porsi 99 persennya muslim. Untuk ukuran Arab dan Afrika, Tunisia barangkali bisa dikategorikan terdepan dalam hal kebebasan dan jaminan hak kaum wanitanya. Aktifitas kaum hawanya tak terhalang oleh sekat politis, sosiologis bahkan teologis, tidak seperti di kebanyakan negara Arab dan Afrika lain. Mereka juga punya hak untuk tidak dimadu oleh suaminya. Maka cinta suami takkan lagi terbagi. Hanya saja, yang kasian khan suaminya ; tak bisa nambah. Nah, loe…
Kado Hari Ibu, 22 Desember 2005Salam manis dari Tunis

4 comments:

  1. Hehehe.. Rupa-rupanya gaung emansipasi juga sudah menyebar di mana-mana...

    Bisa menceritakan 'kehidupan malam' layaknya di Indonesia gak? Sekadar membandingkan :D

    ReplyDelete
  2. heheh, asyik ngebacanya.
    Salam Cairo...

    ReplyDelete
  3. He, he, stressing point paling akhir kok patriarkhis banget ya. Jadi, masih mau atau 'mengidamkan' poligami ceritanya?. Ha, ha, tapi tulisannya oke punya kok.

    ReplyDelete
  4. Well, saya sih setuju saja dengan konsep wanita bekerja, tak ada poligami dan sederet hak wanita lainnya. But i think jilbab is a must!! memakai jilbab adalah perintah langsung dari Allah. Jika kita mengaku bahwa kita beriman pada Allah SWT, maka dengan penuh iman LAKUKANLAH!!!
    Salam persahabatan ^_^

    ReplyDelete