Thursday, March 09, 2006

Seni Sunda di Tunis

Di Perantauan Aku Menari Jaipongan

Bermain angklung bersama anak-anak Indonesia di Tunis

Ada suasana lain yang terjadi pada Sabtu (4/3) sore di ruang Serba Guna KBRI Tunis. Instrumen lagu Sunda populer ”Es Lilin” terdengar lembut. Sepuluh orang berdiri melingkar di depan white board kecil. Mereka terdiri dari ibu-ibu, remaja puteri dan mahasiswa. Masing-masing memegang sebuah benda berukuran sedang yang terbuat dari bambu. Seorang lelaki muda bercelana jeans lusuh berdiri di antara mereka, mulutnya menyanyi-nyanyi kecil, sementara tangannya menunjuk-nunjuk deretan angka yang tertera di white board itu. Sesekali kepalanya bergoyang-goyang, menyanyi, atau berbicara sembari mengetuk-ngetuk white board seperti yang sedang memberi pengarahan. Tetapi senyum manisnya selalu tersungging.

Ternyata, angka-angka di atas white board itu adalah susunan not angka lagu Es Lilin. Dan kesepuluh orang itu memegang angklung, alat kesenian tradisional Jawa Barat. Sedangkan lelaki muda yang selalu tersenyum itu tak lain dari aku sendiri, hehehe...

Tim kesenian Dharma Wanita KBRI Tunis mulai menggeliat. Sabtu kemaren itu adalah latihan perdana kesenian angklung. Aku kebetulan diminta untuk memandu latihan ini. Tentu permintaan ini kusambut dengan suka cita. Karena bagiku, kesenian tradisional Sunda seolah telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jiwaku. Lembar perjalanan hidupku –sejak masa kecil di desa, masa remaja di kota Sukabumi, masa kuliah di Jakarta dan Kairo – sarat dengan cerita keakrabanku dengan aneka kesenian Sunda. Baik itu angklung, calung, kecapi-suling, wayang golek, gamelan, hingga tari jaipongan.
* * *
Semuanya bermula dari ibuku yang piawai menari jaipongan. Ibu yang asli Karawang, kini dikenal luas di desa kami sekarang, pinggiran selatan Sukabumi. Ya karena jaipongan itu.

Di rumah kami yang mungil, jaipongan adalah musik penyambut pagi serta pengantar tidur. Tiada hari berlalu tanpa irama jaipong. Menjelang Agustusan, kenaikan kelas atau pesta pernikahan orang desa, rumahku dipadati anak-anak desa yang belajar tari. Selama masa SD, beberapa kali aku menari di panggung.

Di rumah, kerap aku menari bersama ibu. Karena darinya aku belajar. Jika ada panggung wayang golek atau acara jaipongan, ibu mengajakku pergi menonton seraya bertutur tentang teori-teori jaipongan, tentang para seniman Sunda beserta karya-karyanya.

Lemari besar di rumah, penuh dengan koleksi kaset jaipongan dan lagu-lagu Sunda lainnya. Beberapa diantara kaset itu kubawa ke kota kala aku sekolah di Madrasah Aliyah. Kala santai atau hari libur, kerap aku menari di kamar, ditonton kawan-kawan kost serta keluarga ibu kost. Saat kuliah di IAIN Jakarta, aku biasa mendengarkan acara gentra parahyangan di radio Kayumanis setiap Ahad malam. Lagu-lagu favoritku, seperti Daun Pulus Keser Bojong, Serat Salira dan Banda Urang, kerap diputar di acara ini. Hingga tak jarang aku menari, ditonton kawan-kawan mahasiswa sekamar. Bagiku, menikmati jaipongan di perantauan seolah mengangankan kehadiran ibu.

Di Kairo, seni Sunda kembali kusapa. Padahal tak kuduga sebelumnya. Pertemuanku dengan Endang Rustiawan Burhanudin, seorang seniman Sunda yang juga guru Sekolah Indonesia Cairo (SIC), mengawali deretan panjang kisah pergumulanku dengan seni tradisi di negeri piramid. Pertengahan tahun 2002, aku mengkoordinir kegiatan latihan seni gamelan mahasiswa Jawa Barat. Atas dukungan KBRI, Pak Endang ditunjuk sebagai pelatih. Selama rentang Mei 2002- Oktober 2005, tim kami mengikuti 33 panggung kesenian Sunda. Aku terlibat didalamnya, baik sebagai pemetik kecapi, pemain angklung, calung, hingga penabuh gamelan. Di berbagai acara, baik panggung kemahasiswaan, pesta pernikahan, promosi kebudayaan KBRI, festival internasional, hingga acara di hotel berbintang.

Beberapa rekaman panggung gamelan selama di Mesir, kubawa kini ke Tunis. Juga aneka klip lagu Doel Sumbang, Nining Meida atau pop Sunda lainnya. Kala santai, kaset-kaset itu kunikmati. Sekedar nostalgia perekat kenangan. Sekaligus obat rinduku pada ibunda nun jauh di sana.

Sejak Maret 2006 ini, aku mendapat kepercayaan membantu KBRI menghidupkan seni tradisional di Tunis. Sebulan dua kali, aku mengenalkan seni angklung, kecapi dan kolintang pada masyarakat Indonesia di sini. Juga pada putera-puteri keluarga besar KBRI Tunis. Agar mereka tetap menjadi anak bangsa yang tak terserabut dari akar kebudayaan bangsanya sendiri. Jika semuanya memungkinkan, insya Allah tim kesenian kami akan ditampilkan dalam acara-acara promosi kebudayaan Indonesia di Tunisia.
Tentu aku sangat menikmati aktifitas ini. Terlebih di era sekarang, angklung pun bisa memainkan irama modern. Setelah seorang seniman angklung dari Bandung, Daeng Soetigna, pada tahun 1938, berhasil mengubah nada yang dihasilkan angklung, dari semula pentatonis menjadi diatonis. Maka angklung pun tak hanya bisa memainkan lagu Sunda, tetapi juga aneka lagu lainnya, hingga lagu klasik. Menurut Ensiklopedi Indonesia, Daeng Soetigna berhasil memainkan karya Johan Strauss, an der schonen blauen donau, dengan angklung.

Angklung juga punya nilai sejarah penting. Presiden Sukarno termasuk yang kesengsem dengan angklung. Daeng sering diundang ke istana untuk memainkan angklung. Pada tanggal 11 November 1946, Daeng memainkan angklung modern di hadapan para peserta Perundingan Linggarjati yang bersejarah itu. Kren khan angklung...!

* * *


Tim Gamelan Sunda dalam sebuah acara di Kairo, pertengahan 2005..(aku yg mana yach?!)
Keindahan seni tak hanya memperhalus budi dan memperelok dunia. Tetapi juga membangkitkan rinduku pada keindahan silam. Pada masa laluku yang indah, pada ibuku nun jauh di sana. Maka kala angklung itu kumainkan, kala kaset lagu-lagu Sunda itu kudengarkan, semangatku pulih, untuk segera merampungkan tugas akademisku yang tinggal beberapa tahap lagi. Agar aku bisa segera kembali ke desa, bertemu keluarga tercinta. Lalu menari jaipongan bersama ibu, seperti yang dulu-dulu itu...

Salam Manis dari TunisSenin 6 Maret 2006

1 comment:

  1. AnonymousJuly 14, 2007

    Langkung tipayun paralun anu kasuhun, wening galih anu dipamrih, hapunten anu diteda. Sim kuring rumaos parantos kumawantun nganjang ka Blog Salira .. tumbu laku kaukur ku umur, mawa seja panghegar manah nu bingah.

    Sarebu laku, salaksa lampah, bilih aya langkung saurbahe carek, da gaduh biwir teu diwengku, letah teu tulangan... amit widi nganjang geusan silaturahmi... neang baraya estu nu diseja.

    ReplyDelete