Monday, March 27, 2006

Old Tunis

Eksotisme Kota Tua ;
Dari Kairo ke Tunis


Katedral St. Vincent de Paul di Borguiba Avenue, Tunis

Sewaktu di Kairo, aku paling senang duduk santai di tepian sungai Nil. Melewatkan senja hingga malam hari. Atau naik perahu, menelusuri Nil selama dua jam, dari Tahrir hingga Taman Kanatir. Bagiku, memandangi riak-riak air Nil adalah obat penawar lara.

Aku juga senang duduk berlama-lama di depan makam Imam Syafii atau di mesjid-mesjid keluarga Nabi (ahlul bait) seperti mesjid Imam Husen, Sayeda Zenab dan Sayeda Nafisa. Kadang aku ikut baca Yasin bareng orang Mesir, lalu berdzikir sambil bergoyang-goyang di mesjid pusat gerakan tarekat. Di tempat-tempat itu, bermunajat kepada Tuhan terasa lebih nikmat.

Kini aku tinggal di Tunis. Kota pantai di tepi Laut Tengah, berseberangan dengan Italia di daratan Eropa sana. Di kota Tunis memang tak ada sungai besar yang berair tenang seperti Nil. Gairah spiritualitas masyarakatnya pun tak sehangat Kairo. Tetapi, dibandingkan Kairo, kota Tunis jauh lebih hijau, bersih, tenang dan rapi. Untuk lokasi jalan-jalan santai (JJS), Tunis adalah pilihan yang tepat.

Seperti halnya Kairo, Tunis juga sarat dengan nilai sejarah. Menurut sebuah buku yang kubaca, Tunis adalah kota dengan struktur three in one. Dalam satu ‘Tunis’, terdapat tiga wajah kota yang memiliki karakter dan nilai sejarah yang berbeda. Ketiga wajah itu adalah Tunis Modern, Tunis Arab Islam dan Tunis Romawi

Wajah Tunis modern, terwujud di Borguiba Avenue. Sebuah jalan raya dengan 7 November Square-nya yang gemerlap. Di sepanjang jalan ini, bangunan-bangunan antik berdampingan dengan kemilau gedung-gedung modern serta pepohonan yang rindang

Gereja Katedral St. Vincent de Paul –peninggalan penjajah Perancis, didirikan tahun 1892- berdiri tegar di depan gedung kedutaan Perancis. Hotel Afrika dan Hotel el Hana menjulang tinggi, berdekatan dengan Gedung al Masrah al Baladi (Teater Nasional) yang berarsitek klasik. Di pelataran luas tepian jalan, terdapat kafe-kafe gaul dengan kursi-kursinya yang berderet rapi. Tempat duduk santai melepas lelah sambil cuci mata. Maklum, gadis-gadis manis lalu lalang diantara kelengangan jalan raya serta trem yang sesekali melintas. Sebuah iklan kartu kredit di stasiun TV swasta tanah air, menampilkan salah satu sudut eksotik Borguiba Avenue ini.

Sedangkan wajah Arab Islam abad pertengahan ditampilkan oleh Medina, sebuah kawasan kota tua peninggalan Islam. Luasnya sekitar 1 km persegi, yang dikelilingi oleh enam pintu gerbang di setiap sudut kota. Yakni Bab el Bahr, Bab Bnet, Bab Souika, Bab Sa’doun, Bab el Jedid dan Bab Manara. Dari Borguiba Avenue, kawasan Medina hanya terhalang Avenue de France sepanjang 200an meter.

Medina adalah kawasan pertokoan tradisional penyedia aneka souvenir khas Arab, menempati ruko-ruko yang memanjang, diantara lorong yang berkelok-kelok. Di tengah-tengah komplek Medina, terdapat Mesjid Agung Zaytuna, yang dibangun pada tahun 732 M oleh seorang gubernur Afrika, `Ubaidillah bin al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik dari dinasti Umayah .

Kawasan Medina kini menjadi obyek wisata sejarah yang terkenal di Tunis. Lokasi para turis berbelanja, membeli aneka oleh-oleh Tunis. Di pasar ini, ada toko pakaian, perhiasan, toko souvenir khas Arab Tunis, toko buku, rumah makan, kafe, hingga penginapan. Bangunan toko-toko itu menyatu satu sama lain. Atap tembok berbentuk lengkung menaungi jalanan di seluruh komplek Medina. Melindungi pejalan kaki dari terik mentari dan hujan. Nuansa Timur Tengah sangat kentara di pasar ini.

Pasar ini memiliki bagian-bagian sesuai jenis barang jualannya. Ada Souk el Kuafi, Souk Et Trouk, Souk de la Laine dan Souk At Tarine. At Tarine adalah pasar parfum, Souk de la Laine adalah tempatnya pakaian dan tenunan Arab. Begitu seterusnya.

Warga Indonesia di Tunisia biasa mencari souvenir di Medina untuk dibawa pulang. Bagi kaum wanita, ada kerudung cantik khas Arab Tunis yang dinamakan Fasmina. Juga aneka kalung, gelang, serta gantungan kunci berbentuk telapak tangan yang dalam tradisi orang Tunis, diyakini sebagai telapak Fatimah az Zahra puteri Rasulullah. Beragam tembikar kerajinan tangan bercorak khas Arab juga tersedia. Kertas papyrus yang khas Mesir pun ada di sini.

Medina kerap mengingatkanku pada Khan Khalili, pasar tradisional di Kairo – dibangun pada abad 14 M - penyedia aneka souvenir khas Mesir, yang berlokasi di samping Mesjid Husen, tak jauh dari mesjid dan Universitas Al Azhar. Tapi, Medina jauh lebih luas ketimbang Khan Khalili. Menurut survei terkini sebuah majalah wisata, Medina adalah pusat perbelanjaan tradisional Arab yang paling bersih serta paling aman di kawasan Timur Tengah dan al Maghrib al Arabi.

Di Khan Khalili, ada kafe Al Fishawi, sebuah kafe bersejarah yang berlokasi di tengah-tengah komplek pasar. Beberapa kali aku duduk di sana, sekedar menyedot syisya dan mereguk kehangatan syahlab – minuman campuran santan, kacang, gula dan susu - bersama beberapa kawan. Aku senang duduk di sana. Meski suasana sumpek, pekat asap rokok, di tengah hiruk pikuk para turis yang lalu lalang dan syair lagu Ummi Kulsum yang terdengar mendayu-dayu. Serta bising suara obrolan orang-orang Mesir yang kadang diselingi teriakan polos itu. Semakin menegaskan warna Arab. Menurut cerita, sastrawan besar Naguib Mahfoudz sering melewatkan waktunya di sini, sekedar mencari inspirasi.

Di Medina, ada kafe Zaytuna yang tak kalah antik. Ruangannya jauh lebih luas dan bersih. Kursi-kursinya teratur, para pegawainya juga berbaju rapi. Selama musim panas, kafe Zaytuna dan kafe-kafe lain di kawasan Medina, buka hingga menjelang dini hari. Malam-malam Ramadan juga selalu ramai. Seorang kawan senior bertutur bahwa pada malam 17 Ramadan lalu, kafe ini menyediakan suguhan tarian eksotik kaum sufi dengan iringan musik Arab live yang menyalak-nyalak. “Pengunjungnya malam itu banyak banget”, tutur sang kawan. Kegiatan qiyamulail dan mencari lailatul qadar yang tak kalah seru dari Mesjid Agung Zaytuna yang berlokasi tak jauh di sebelahnya.

Itulah sisi eksotisme Old Tunis yang bisa kita jumpai di kawasan centre ville atau pusat kota. Gemerlapnya Borguiba Avenue yang modern, berdampingan dengan eksotisme Medina yang menyiratkan warna Arab Islam abad pertengahan.

Di tepian utara kota, ada Chartage, kawasan reruntuhan gedung-gedung tua peninggalan peradaban Romawi. Sekaligus menampilkan wajah ketiga Tunis ; wajah Romawi Kuno yang aku sebutkan tadi.

Chartage yang bermakna “kota baru” ini, mulanya dibangun pada tahun 814 SM. Kini, Chartage merupakan musium terbuka, terdiri dari puing-puing Roman Villas (perkampungan Romawi), istana dan gedung teater. Reruntuhan Baths of Antonious Pius dan katedral Acropolium juga masih nampak. Gedung Roman Theatre-nya kini kerap digunakan untuk acara-acara festival kesenian.


Tembok putih lengkung menaungi seluruh kawasan Medina, Old Tunis

Tunis adalah kota yang tak lebar. Penduduknya hanya satu juta jiwa. Tetapi menelusuri lekuk-lekuk jalanan kota Tunis serasa mengembara ke masa silam, menyusuri pernik-pernik pesona sejarah yang antik tanpa kehilangan sentuhan modern. Salam Manis dari Tunis.

Ahad 26 Maret 2006

No comments:

Post a Comment