Sunday, October 22, 2006

Buka Puasa

Berbuka Puasa Sampai Bodoh

Hari Jumat (13/10) lalu, aku diundang berbuka puasa di rumah dosen pembimbing tesis, Prof. Abdullatif Bou Azizi. “Kehormatan bagi saya, jika kamu berbuka di rumah saya", tutur Guru Besar Ushul Fiqh berusia 50 tahun ini. Wah, tentu ini kesempatan emas yang tak boleh kusia-siakan, pikirku. Kesempatan untuk mencicipi menu berbuka khas Tunis. Lebih dari itu, aku juga ingin tahu, bagaimana tradisi berbuka puasa mereka. Benarkah orang Arab itu makannya banyak ?!

Rumah Mewah Pak Dosen
Rumah Pak Dosen berada di Boumhal, sebuah kawasan elit, berjarak 12 km selatan kota. Untuk menuju ke sana, aku naik kereta api. Aku pergi bersama Arwani, seorang rekan mahasiswa S2.

Satu jam sebelum adzan magrib, kami sudah berada di stasiun Tunis. Suasana nampak sepi. Kereta juga tak penuh penumpang. Banyak kursi tak bertuan. Adalah tradisi di Tunis, satu jam menjelang berbuka, orang-orang sudah masuk rumah, lalu bersiap-siap duduk mengelilingi meja makan. Ramadan benar-benar menjadi momen kumpul keluarga.

Kereta melaju pelan. Aku segera menelpon Pak Dosen. Di stasiun az Zahra, kami turun. Rupanya Pak Dosen telah siaga di sana, menjemputku. Ia ditemani Anas, putera ketiganya yang berusia 12 tahun. "Ahlan wa sahlan", tutur pak Dosen seraya menyalami kami, erat. Lalu kami naik ke Sedan VW Seri Passat, milik Pak Dosen.

Tak sampai 10 menitan kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah mewah. Villa dua lantai, halamannya luas dengan rumput hijau dan pepohonan bunga. Seperti rumah-rumah elit di kawasan Pondok Indah. Rumah Pak Dosen ini boleh juga, pikirku. Tunisia memang mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi para Umar Bakri-nya. Maklum, anggaran pendidikannya saja mencapai 26,2 persen. Gaji tunjangan dosen bergelar profesor –menurut cerita seroang rekan- mencapai 2000 Dinar.

Makanan Pembuka
Rupanya, hidangan berbuka telah disiapkan oleh Pak Dosen. Sewaktu aku tiba senja itu, meja besar di ruang tamu, telah penuh dengan aneka makanan dan minuman. Ada Syurbah, Brick, kurma Tunis, Salatah/salad, Roti Tawar, Zaitun, Susu Murni dan Air Putih. Itulah menu standar untuk pembuka (takjil) berbuka puasa yang menjadi tradisi umum di Tunis. Selain menu utama, yang bisa berupa nasi kebuli atau kuskus plus daging.

Syurbah artinya kuah. Yakni makanan berkuah alias sup, isinya butiran gandum, potongan ayam serta bumbu penyedap. Bahan utama syurbah – yakni gandum butiran kecil itu – banyak dijual di toko-toko Tunis. Syurbah dinikmati bersama roti tawar Tunis yang panjang-panjang, hampir satu meter.

Brick adalah makanan khas berbuka ala Tunis. Bentuknya mirip martabak telor. Hanya saja, brick berukuran kecil-kecil. Bahannya terdiri dari telur, kentang rebus, ikan tuna, makdonis (daun penyedap mirip saledri) dan bumbu. Semua bahan itu diaduk rata dan dibungkus dengan adonan khusus terbuat dari gandum. Lalu, digoreng hingga kering.

Brick telah menjadi identitas khas Ramadhan di Tunis. Seperti halnya bubur Assida pada hari maulid Nabi atau ketupat di hari lebaran di Indonesia.

Kami duduk mengelilingi meja. Aku, Arwani, dua putera Pak Dosen, serta seorang bapak-bapak, famili Pak Dosen. Sambil menanti adzan magrib, Pak Dosen menuangkan air putih dan susu ke gelas. Sambil sesekali berbicara. Saat adzan magrib terdengar berkumandang, ia langsung mempersilahkan kami menyantap hidangan itu.

Mula-mula aku minum air putih, lalu kurma Tunis. Kurma yang terkenal di pasaran karena memiliki cici khas ; masih menempel pada tangkainya dan rasanya yang legit. Aku menikmati kurma sambil sesekali minum air putih dan susu. Air susu (halib) yang dihidangkan sore itu ada dua macam ; ada susu murni, dan ada susu kemasan dari toko. Orang Arab memang punya tradisi yang kuat dalam hal minum susu. Pantas tubuh mereka subur-subur.

"Makanlah, jangan ragu-ragu", tutur pak Dosen sambil menyodorkan mangkuk syurbah kepadaku. Juga beberapa potong roti tawar. Aku mengangguk-angguk, seraya menyambut tawaran Pak Dosen. Brick, Salatah dan Zaitun juga tak kulewatkan. Ketiga makanan ini memang kusuka. Brick rasanya gurih. Salatah yang terdiri dari irisan aneka sayuran hijau, cocok dengan selera lidahku yang orang Sunda, hehe..(dimana-mana sama urang Sunda mah euy..) . Dan zaitun, buah pahit itu, sangat baik untuk kesehatan.

Di Tunis, hampir semua hidangan makanan disertai buah zaitun. Harganya murah meriah. Maklum, Tunisia adalah penghasil zaitun terbesar ketiga setelah Spanyol dan Italia.

"Makannya sedikit-sedikit saja, karena ini baru pemanasan", bisik Arwani yang duduk di sebelahku. Insya Allah, jawabku sambil mengangguk-angguk.

Makan Non Stop
Aku pun makan sedikit-sedikit, karena ini hanya makanan pembuka. Hanya warming up, alias pemanasan. Jangan sampai terlena, kemudian perut tak berdaya pada episode utama nanti. Orang Arab akan merasa tersinggung, jika tamunya tidak bergairah saat makan. Dikira makanannya tidak enak.

Sekitar sepuluh menitan kami menikmati takjil. Hingga kemudian kami rehat sejenak, untuk salat magrib berjamaah. Pak Dosen menjadi imam. Dalam tradisi Tunis, biasanya, tamu dipersilahkan menjadi imam salat. Tetapi kali ini, mungkin Pak Dosen berfikir, ah, tamuku hanya seorang mahasiswa, dan bukan orang Arab.

Usai salat, adalah saat menikmati makanan utama. Pak Dosen datang membawa wadah besar berisi nasi kebuli bercampur daging. Anas dan Amin – dua puteranya – membawa piring dan gelas. "Sore ini, saya suruh isteri memasak nasi, khusus untuk kalian, tamu saya", tutur Pak Dosen. Aku tersenyum. Orang Tunis memang terbilang jarang makan nasi. Belum tentu seminggu sekali. Menu hidangan utama mereka biasanya kuskus, makaruna, spageti atau roti. Tentu semua itu dihidangkan bersama daging atau ikan.

Pak Dosen mengisi piring-piring itu dengan nasi dan daging. Nasi kebuli berwarna kuning, dan potongan-potongan besar daging kambing. Sewaktu ia mengisi piring untukku, aku berkata, "jangan banyak-banyak dulu, Pak. Saya makan sedikit". "Oke,oke", kata Pak Dosen. Ah, tetapi ternyata, piring itu tetap saja penuh. Rupanya, orang Arab dan orang Asia, tak seragam dalam memaknai kata ‘sedikit’.

Akhirnya, aku mulai makan nasi. Salatah dan zaitun tetap kusertakan. Aku makan pelan-pelan, seperti halnya etika seorang tamu dalam tradisi kita yang orang Timur. Sambil sesekali memperhatikan cara makan Pak Dosen dan keluarganya. Mereka makan cepat sekali. Seperti yang tak dikunyah dahulu. Nasi di piringku masih separo, mereka rata-rata sudah nambah.

"Dede, ayo makan yang banyak. Dan kamu juga", kata Pak Dosen sambil memandang ke arah Arwani. Kebetulan piringnya sudah hampir kosong. Tanpa disuruh, Pak Dosen langsung menuangkan sesendok besar nasi ke piring Arwani. Arwani menolak. "Saya sudah kenyang Pak". "Ah, tidak, mazal tataharrak", kata Pak Dosen. Artinya, kamu masih bisa bergerak, kok. Ayo makan terus... ! Muka sang kawan nampak pucat. Aku menahan tawa.

Fatah, putera Pak Dosen yang kecil, datang membawa piring besar. Isinya tojin, serupa perkedel daging bercampur bumbu dan kentang. Potongannya besar-besar. Juga tanpa komando, Pak Dosen menyimpan tojin pada piring-piring kami yang belum kosong. Tojin memang lezat, tapi, mampukah aku menghabiskannya ?!

Aku segera mengendorkan ikat pinggang. Biar ruang dalam perutku lebih terbuka.

Kue, Buah dan Jilbab
Strategiku berhasil. Memperlambat habisnya nasi, hingga Pak Dosen tak menuangkan nasi dan daging tambahan ke piringku.

Cukup lama kami makan, hingga kemudian, meja segera dibersihkan oleh Amin, putera sulung Pak Dosen. Piring kotornya dibawa ke belakang. Saat kembali, Amin membawa wadah besar berisi mangkuk-mangkuk kecil berisi bubur krim ditaburi kacang. Serupa Asida, bubur khas Maulid itu.

Mangkuk-mangkuk itu langsung disebar ; dibagikan ke setiap orang. "Ayo Dede, makan. Ini kue manis, rasanya enak. Ayo rasakan.. !" kata Pak Dosen. Aku pun mengangguk, seraya mencicipi bubur itu. Memang enak, tetapi manisnya minta ampun. Hingga aku pun tak yakin bisa menghabiskannya.

Untunglah aku masih menyisakan ruang dalam perutku untuk kue dan buah-buahan. Jadi, aku bisa menikmati bubur itu sedikit-sedikit. Sambil sesekali berbicara dengan Pak Dosen. Tentang Islam di Tunis, Islam di Indonesia, tentang kampus, juga tentang kesulitan-kesulitanku dalam menggarap tesis. "Nanti kamu lanjut S3 di sini, khan ?!", tanya Pak Dosen. Aku terdiam. "Pengennya begitu, Pak. Tapi saya ingin pulang dulu", tuturku apa adanya...

Untuk apa kamu pulang ?! "Ih, ari si Bapak", jawabku spontan. "Khan saya punya orang tua, saya rindu pada mereka. Mereka juga ingin segera punya cucu", tambahku sambil tersenyum. Pak Dosen mengangguk-angguk, kemudian ikut tersenyum. "Ya sudah, kamu daftar S3, terus pulang dulu, lalu kembali ke Tunis bersama isterimu", kata dosenku, yang ayah enam anak ini.

Aku termenung sejenak. Sambil mengunyah krim. "Itu sudah saya fikirkan Pak. Tetapi saya masih ragu soal jilbab. Jika isteri saya nanti memakai jilbab, tidakkah nanti saya bakal banyak menghadapi persoalan di Tunis ?!", aku berterus terang kepadanya. Di Tunis, pemakai jilbab memang masih sering merasa tidak nyaman, karena diawasi oleh pemerintah. Beberapa hari lalu, Menteri Agama Tunis menyatakan bahwa jilbab merupakan romzun min rumuzil fitnah. Salah satu sumber fitnah. Subhanallah.
Pak Dosen termenung sejenak. Sebagai orang Tunis, tentu ia sangat memahami persoalan ini. Dan aku, orang asing di negeri ini, cukup memahami, bagaimana dilema para ulama dan dosen agama di Tunis, kala dihadapkan pada pilihan ; mengusung idealisme dan kebenaran, ataukah ikut suara penguasa...

Pembicaraan kami terus berlanjut. Pembicaraan yang seru. Tapi isinya tak perlu dipaparkan di sini, hehehe.. Karena aku mau segera bercerita tentang Anas yang tiba-tiba datang lagi membawa wadah berisi buah-buahan. Ada pisang, apel, jambu dan anggur. Semua itu diletakkan di atas meja. "Oya, Dede, ini apel baladi. Rasanya lebih enak dari yang biasa. Ayo coba.. !" , tutur Pak Dosen sambil menyodorkan sebuah apel plus pisaunya. "Oh, iya Pak. Nanti saya makan", tuturku sambil menikmati krim. Tapi Pak Dosen nampaknya keukeuh, tangannya masih saja menyodorkan apel. Terpaksa kuambil, kupotong dan kucicipi sedikit-sedikit.

Kupegang perutku. Oh, rupanya sudah penuh lagi. Terpaksa kukendorkan lagi ikat pinggang, hingga satu tahap lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 20 seperempat. Tak lama lagi adzan isya. Kepalaku terasa puyeng, nafas agak tersengal-sengal. Aku kekenyangan, hingga seperti orang bodoh ; bingung, tak tahu harus berbuat apa lagi. Arwani yang duduk di sebelahku, sejak tadi sudah menyandarkan tubuhnya ke kursi. Teler juga. Barangkali ia juga kekenyangan. Akibat makan sampai bodoh. Di suatu senja Ramadhan, di rumah profesor pembimbing tesisku.

Tunis al Khadra, 29 Ramadhan 1427 H

4 comments:

  1. Kang Dede paling sip kalo cerita tradisi kuliner timur tengah memang...ied mubarak dan sukses dengan tesisnya (doakan tesis saya juga yah)

    ReplyDelete
  2. wah ceritanya keren euy...
    keren keren...
    tapi kok ga ada fotonya? padahal mo lihat yg teler karena kekenyangan tea hehehe...
    eit's ada yg berjilbab mo diajak ke tunis ya
    ehm ehm.. aku dukung yg satu ini lho...
    sip deh :)
    amin

    ReplyDelete
  3. Hahahaha... Rasain makan tuh yang kenyang. Perut bega' euy...

    Seharusnya waktu pergi, bawa kantong dari rumah. Kalo gak muat di perut, masukin dalam kantong diam-diam. hehehehe...

    ReplyDelete
  4. AnonymousMay 26, 2007

    saya baca cerita ini, koq jadi teringat sama fahrinya kang abik ya...?(pengalaman yang mengesanka:))
    *senyum2 sambil geleng2 kepala*

    ReplyDelete