Tunis, Ramadankum Mabrouk
Ramadan tiba, seluruh umat Islam di seantero jagat ini menyambut dengan suka cita. Tak terkecuali kaum muslimin di negeri yang kutinggal saat ini ; Tunisia.
“Biar saya tak menjalankan salat, tetapi kalo untuk urusan puasa, saya tak pernah lewat”, tutur Ahmad, seorang pemuda Tunis, penuh semangat. Ahmad, pemuda berusia 25 tahun, bekerja sebagai penjual kaset dan VCD di kawasan Medina, Old Tunis.
Aku manggut-manggut mendengar penuturan Ahmad. Telingaku sudah tak kaget mendengar ungkapan orang Tunis ; saya tidak salat.
Tetapi aku merasa kaget dengan semangat Ahmad. Tetap puasa, meski tak salat. Kalo begitu, apa makna puasa bagi kamu, ya akhi?! “Saya rajin puasa, karena bagi saya, puasa adalah sarana pembersihan diri, penyucian jiwa”, tutur Ahmad lagi. Tanpa ragu sedikit pun, alias penuh percaya diri. Kren, kren, aku bergumam. “Semoga Allah menerima ibadah puasa Anda”, timpalku berbasa-basi, seraya berlalu, meninggalkan Ahmad. “Ramadankum Mabrouk”, jawab Ahmad.
Ramadankum Mabrouk, secara harfiah berarti ‘semoga Ramadanmu penuh berkah’. Dalam arti luas, bisa disepadankan dengan kalimat ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Ramadankum Mabrouk, kalimat yang sangat sering kudengar pada hari-hari Ramadan di kota Tunis.
Dan Ahmad adalah contoh muslim Tunis yang rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’ pada setiap akhir pembicaraan. Ahmad adalah muslim Tunis yang bersuka cita kala Ramadan tiba. Selain Ahmad, ada sepuluh juta orang muslim lainnya, yang juga antusias menyongsong Ramadan dan rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’.
Ramadan tiba, seluruh umat Islam di seantero jagat ini menyambut dengan suka cita. Tak terkecuali kaum muslimin di negeri yang kutinggal saat ini ; Tunisia.
“Biar saya tak menjalankan salat, tetapi kalo untuk urusan puasa, saya tak pernah lewat”, tutur Ahmad, seorang pemuda Tunis, penuh semangat. Ahmad, pemuda berusia 25 tahun, bekerja sebagai penjual kaset dan VCD di kawasan Medina, Old Tunis.
Aku manggut-manggut mendengar penuturan Ahmad. Telingaku sudah tak kaget mendengar ungkapan orang Tunis ; saya tidak salat.
Tetapi aku merasa kaget dengan semangat Ahmad. Tetap puasa, meski tak salat. Kalo begitu, apa makna puasa bagi kamu, ya akhi?! “Saya rajin puasa, karena bagi saya, puasa adalah sarana pembersihan diri, penyucian jiwa”, tutur Ahmad lagi. Tanpa ragu sedikit pun, alias penuh percaya diri. Kren, kren, aku bergumam. “Semoga Allah menerima ibadah puasa Anda”, timpalku berbasa-basi, seraya berlalu, meninggalkan Ahmad. “Ramadankum Mabrouk”, jawab Ahmad.
Ramadankum Mabrouk, secara harfiah berarti ‘semoga Ramadanmu penuh berkah’. Dalam arti luas, bisa disepadankan dengan kalimat ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Ramadankum Mabrouk, kalimat yang sangat sering kudengar pada hari-hari Ramadan di kota Tunis.
Dan Ahmad adalah contoh muslim Tunis yang rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’ pada setiap akhir pembicaraan. Ahmad adalah muslim Tunis yang bersuka cita kala Ramadan tiba. Selain Ahmad, ada sepuluh juta orang muslim lainnya, yang juga antusias menyongsong Ramadan dan rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’.
* * *
Kota Tunis memasuki Ramadan. Suasana berubah serentak, karena berkah Ramadan. Jumlah wanita berbaju ketat pengumbar aurat, tak sebanyak hari-hari sebelum Ramadan. Pasangan dua sejoli yang biasa bermesraan di Hadiqah Huquq al Insan juga tak ada. Berbeda dengan hari-hari kemaren.
Tak ada rumah makan dan kafe yang buka siang hari. Selama 10 hari pertama Ramadan, aku tak melihat satu pun orang Tunis yang terang-terangan tidak puasa di muka umum. Juga tak ada warung makan ditutupi kain, sehingga yang kelihatan hanya kaki para konsumen, seperti di terminal-terminal di tanah air. Di Tunis, yang nampak adalah wajah-wajah lelah, mereka yang menahan lapar, demi meraih ridha Tuhannya.
Meski Ramadan jatuh pada musim panas dengan terik diatas 4O derajat dan waktu siang yang panjang, muslim Tunis tetap saum. Bahkan ajakan Presiden Borguiba untuk tidak berpuasa pun tak digubris oleh muslim Tunis. Saat itu, Ramadan tahun 1961, Presiden Habib Borguiba berpidato di atas podium, disiarkan oleh televisi. Tanpa ragu, sang presiden minum air putih seraya mengajak muslim Tunis untuk tidak berpuasa. “Karena puasa bisa menurunkan stamina kerja”, demikian alasan Borguiba.
Kampanye anti puasa itu merupakan salah satu bentuk praktis dari program sekulerisasi - pendangkalan nilai-nilai agama dari kehidupan- yang dicanangkan oleh presiden Arab berfikiran Barat dan pengagum Kemal at Taturk ini. Hanya saja, ajakan sang presiden ini ternyata tak laku. Dalam soal puasa, masyarakat muslim Tunis rupanya tak bisa dikasih omong-omong, iming-iming, bahkan amang-amang.
Meski Ramadan jatuh pada musim panas dengan terik diatas 4O derajat dan waktu siang yang panjang, muslim Tunis tetap saum. Bahkan ajakan Presiden Borguiba untuk tidak berpuasa pun tak digubris oleh muslim Tunis. Saat itu, Ramadan tahun 1961, Presiden Habib Borguiba berpidato di atas podium, disiarkan oleh televisi. Tanpa ragu, sang presiden minum air putih seraya mengajak muslim Tunis untuk tidak berpuasa. “Karena puasa bisa menurunkan stamina kerja”, demikian alasan Borguiba.
Kampanye anti puasa itu merupakan salah satu bentuk praktis dari program sekulerisasi - pendangkalan nilai-nilai agama dari kehidupan- yang dicanangkan oleh presiden Arab berfikiran Barat dan pengagum Kemal at Taturk ini. Hanya saja, ajakan sang presiden ini ternyata tak laku. Dalam soal puasa, masyarakat muslim Tunis rupanya tak bisa dikasih omong-omong, iming-iming, bahkan amang-amang.
* * *
Kota Tunis di hari-hari Ramadan. Pasar-pasar selalu penuh, meski harga-harga sembako nampak lebih mahal.
Menurut cerita kawan-kawan senior, orang Tunis memang punya tradisi banyak berbelanja makanan di bulan Ramadan. Untuk bekal berbuka. Saat magrib tiba, semua makanan itu disantap. Non stop hingga tengah malam. Kecuali diselingi rehat salat tarawih - tentu bagi mereka yang salat.
Kukatakan ‘bagi mereka yang salat’, karena memang figur seperti Ahmad- puasa tanpa salat – itu fenomena biasa. Seorang kawan mahasiswi Indonesia yang tinggal serumah bersama 3 orang gadis mahasiswi Tunis bertutur, bahwa di rumah itu, hanya ia sendiri yang salat. Jika kebetulan sedang malas ke mesjid, sang kawan salat tarawih sendiri di kamar, disaksikan tiga rekan serumah, yang juga sama-sama mengaku muslim dan beriman kepada Allah.
Aku berandai-andai, jika aku menjadi dia, salat sendirian disaksikan kawan-kawan terdekat yang tidak salat, sanggupkah aku istiqamah ?! Ah, semoga Allah memberikan kekuatan..
Menurut cerita kawan-kawan senior, orang Tunis memang punya tradisi banyak berbelanja makanan di bulan Ramadan. Untuk bekal berbuka. Saat magrib tiba, semua makanan itu disantap. Non stop hingga tengah malam. Kecuali diselingi rehat salat tarawih - tentu bagi mereka yang salat.
Kukatakan ‘bagi mereka yang salat’, karena memang figur seperti Ahmad- puasa tanpa salat – itu fenomena biasa. Seorang kawan mahasiswi Indonesia yang tinggal serumah bersama 3 orang gadis mahasiswi Tunis bertutur, bahwa di rumah itu, hanya ia sendiri yang salat. Jika kebetulan sedang malas ke mesjid, sang kawan salat tarawih sendiri di kamar, disaksikan tiga rekan serumah, yang juga sama-sama mengaku muslim dan beriman kepada Allah.
Aku berandai-andai, jika aku menjadi dia, salat sendirian disaksikan kawan-kawan terdekat yang tidak salat, sanggupkah aku istiqamah ?! Ah, semoga Allah memberikan kekuatan..
* * *
Ramadan tiba, mesjid-mesjid di kota Tunis mendadak semarak. Orang berduyun-duyun salat tarawih. Lorong-lorong sempit di kawasan Old Tunis, dipadati para jemaah yang membawa sajadah, menuju Mesjid Agung Zaituna yang dibanggakan. Mereka, orang-orang tua dan anak-anak muda. Membuatku sempat bergumam, Ya Allah, andai setiap malam kota Tunis seperti ini ; mesjid-mesjidnya dipenuhi manusia yang salat.
Mesjid-mesjid penuh, tetapi kafe-kafe juga semakin ramai. Kafe-kafe antik di kawasan Old Tunis, sekitar Mesjid Zaituna, pada malam-malam Ramadan ini malah semakin semarak. Orang-orang duduk bersantai, menikmati kopi, kadang sambil bermain kartu. Dalam iringan lagu-lagu Arab Klasik yang mendayu-dayu. Kucermati lagu-lagunya, ternyata syair-syair keagamaan. Biar di kafe, tetapi lagu-lagunya berupa syair-syair kaum sufi, salawat, atau sanjungan atas keagungan Ramadan.
Rupanya orang-orang yang duduk di kafe pun tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang tengah tarawih di mesjid. Mungkin mereka berfikir, berkah Ramadan bisa dinikmati dari mana saja. Meski dari kafe sekalipun. Ada-ada saja. Tunis, Ramadankum Mabrouk.
Tunis, 10 Ramadan 1427 H
Mesjid-mesjid penuh, tetapi kafe-kafe juga semakin ramai. Kafe-kafe antik di kawasan Old Tunis, sekitar Mesjid Zaituna, pada malam-malam Ramadan ini malah semakin semarak. Orang-orang duduk bersantai, menikmati kopi, kadang sambil bermain kartu. Dalam iringan lagu-lagu Arab Klasik yang mendayu-dayu. Kucermati lagu-lagunya, ternyata syair-syair keagamaan. Biar di kafe, tetapi lagu-lagunya berupa syair-syair kaum sufi, salawat, atau sanjungan atas keagungan Ramadan.
Rupanya orang-orang yang duduk di kafe pun tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang tengah tarawih di mesjid. Mungkin mereka berfikir, berkah Ramadan bisa dinikmati dari mana saja. Meski dari kafe sekalipun. Ada-ada saja. Tunis, Ramadankum Mabrouk.
Tunis, 10 Ramadan 1427 H
kegelisahan seorang santri..
ReplyDelete