Monday, October 09, 2006

Tunis Tarawih

Imam Tarawih itu Berusia Senja


Para jemaah tarawih di pelataran dalam Mesjid Agung Zaituna, Tunis

Salat isya dan tarawih di Mesjid Agung Zaituna, selalu dipimpin oleh Syekh Muhammad al Khatwi, seorang ulama Tunis berusia 100 tahun.

Meski berusia senja, semangatnya tak kalah dengan anak muda. Bacaannya cepat, tetapi lancar, dengan lagu qiraat yang khas. Juz demi juz Alquran ia lewati hampir tanpa kesalahan atau lupa. Kecuali sesekali diselingi batuk. Maklum orang tua. Setiap usai salam , ia langsung bangkit berdiri seraya teriak ‘Ya Muin’, sebagai komando kepada para makmum untuk terus semangat. Tak sampai tiga detik kemudian, sang Syekh sudah bertakbir lagi untuk salat rakaat berikutnya.

Jujur, aku kagum pada sang syekh. Subhanallah, di usianya yang senja, ia begitu semangat berdiri memimpin salat tarawih 20 rakaat, seraya melantunkan lebih satu juz Alquran secara cepat, hampir tanpa kesalahan.

Syekh al Khatwi adalah imam besar di mesjid kebanggan muslim Tunis ini. Mesjid berarsitektur klasik, didirikan pada tahun 732 M. Mesjid yang berada di tengah-tengah kawasan kota tua, dikelilingi pertokoan pasar tradisional dan bangunan-bangunan antik bergaya Andalusia. Salat tarawih di mesjid tua nan bersejarah seperti Zaituna, serasa menyiratkan nuansa yang khas, berbeda dari biasa.

Seperti halnya di Zaituna, tarawih di mesjid-mesjid lain di kota Tunis, umumnya dilaksanakan dengan 20 rakaat. Jarang sekali mesjid yang mengadakan tarawih 8 rakaat. Semua imam membaca ayat Alquran dengan qiraat Qalun, yakni model bacaan Alquran yang diriwayatkan oleh Qalun (wafat tahun 220 H), dari Nafi (wafat 169 H). Nafi adalah salah seorang ulama ahli qiraat yang diakui sebagai salah satu dari 7 imam qiraat sab’ah – tujuh model qiraat yang diterima dunia Islam sebagai qiraat Alquran. Model bacaan qiraat Qalun memiliki beberapa perbedaan dengan qiraat Hafs, qiraat yang populer di Indonesia. Albaqarah ayat 184 misalnya, dibaca dalam qiraat Hafs : wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin..Sedangkan dalam qiraat Qalun dibaca tha’amu masakin... Perbedaan logat atau tanda baca, tanpa mengubah substansi makna.

Jemaah Bercelana Pendek
Setiap malamnya, sekitar seribu jemaah hadir di Mesjid Zaituna. Pria wanita, tua muda. Aku senang menyaksikan mereka begitu antusias salat. Mereka datang berbondong-bondong, kaum wanitanya menggunakan hijab.

Sayang sekali, kebanyakan jemaah pria tidak menggunakan busana sembahyang yang khas. Misalnya jubah atau peci. Atau setidaknya pakaian sopan biasa. Muslim Tunis biasa masuk mesjid dengan baju ala kadarnya. Tak ubahnya seperti mereka hendak masuk pasar atau kafe. Hanya berkemeja biasa, celana jeans, kaos oblong, bahkan celana pendek. Kadang lutut kelihatan. Dari jumlah jemaah yang sekitar 1000 orang itu, hanya beberapa saja yang memakai jubah.

Aku sempat bertanya-tanya, mengapa mereka tak mau berdandan ketika masuk mesjid. Tidakkah mereka memahami ayat khudzu zinatakum ‘inda kulli masjid. Sebuah perintah Allah agar umat beriman selalu memakai pakain yang bagus dan berhias, ketika memasuki mesjid.

Belakangan aku memahami, bahwa bukan tak mau mereka menggunakan segala atribut itu. Bukan mereka tak punya sorban, peci atau jubah. Juga bukan karena mereka tidak memahami makna ayat di atas. Kaum muslim Tunis masih takut dengan identitas-identitas formal keagamaan, seperti jubah, jenggot, jilbab, atau membawa Alquran ke ruang publik. Hingga hari ini, detik ini, umat Islam yang rajin menampakkan syiar-syiar keislaman, masih sering diawasi – bahkan diinterogasi pemerintah.

Kamis dan Jumat –5 dan 6 Oktober 2006- kemaren, siaran televisi Aljazeera memberitakan bahwa partai penguasa di Tunisia, melakukan penertiban – untuk tidak mengatakan pengekangan – atas jilbab. Mungkin diantara pembaca ada yang sempat menyaksikan berita itu. Itulah memang yang terjadi di negeri muslim yang kutinggali saat ini ; Tunisia.

Maka, aku selalu husnudhan kepada mereka, umat Islam Tunisia yang memakai celana pendek atau celana jeans butut di mesjid. Tanpa jenggot lebat. Alhamdulillah, mereka masih bisa konsisten untuk salat. Mereka rela mengabaikan perhiasan-perhiasan lahir, semata-mata agar tetap bisa salat berjamaah. Mereka sadar betul bahwa menjaga keimanan (hifdzu ad din) harus diutamakan melebihi segalanya. Meski itu dengan cara berpura-pura, mirip konsep taqiyyah dalam tradisi Syiah. Semoga mereka termasuk kategori orang yang dimaksud dalam hadis Nabi, sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh atau pakaian lahir kamu. Tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.

Tarawih Tanpa Kultum
Di seantero Tunisia ini, tak ada cerita, usai tarawih ada kultum. Berbeda dengan di Mesir, atau di Tanah Air. Ramadan adalah momen emas bagi para da’i atau khatib, untuk bisa berceramah di mana-mana. Baik dalam acara pengajian ramadan, ataupun kuliah tujuh menit (kultum) usai tarawih yang populer di mesjid-mesjid.

Ceramah ramadan merupakan saat para jemaah menyegarkan ingatan mereka tentang ajaran-ajaran agamanya. Saat tebaik untuk berdiskusi, merenung, memikirkan kualitas beragama selama ini. Aku ingat kisah lama di Kairo. Betapa malam-malam Ramadan menjadi momen bagi para ulama Al Azhar untuk men-charge pemahaman dan kesadaran beragama masyarakat. Ceramah-ceramah para ulama dengan segala gaya dan daya tariknya, menjadi salah satu penyemarak kegiatan tarawih. Hingga kemudian, Syekh Yusuf Al Qardhawi mengatakan bahwa Ramadan adalah salah satu diantara empat faktor penyebab gagalnya program kristenisasi di Mesir. Tiga faktor lainnya adalah Universitas Al Azhar, Salat Jumat, serta Alquran.

Entah kenapa di Tunisia ini tak ada kultum tarawih. Padahal ulamanya banyak. Seperti halnya Mesir yang memiliki Al Azhar. Di Tunisia pun ada Zaituna, lembaga pendidikan Islam yang telah ada sejak abad ke-8 Masehi, yang hingga kini tetap eksis dan melahirkan banyak ulama. Bisa jadi, tak adanya kultum juga karena alasan politis. Aku hanya berfikir, sayang banget momen Ramadan suci ini dilewatkan begitu saja.

Tarawih Terakhir
Aku menikmati malam-malam tarawih yang kulalui di Mesjid Zaituna. Di sana, ada keharuan yang mendalam, tatkala firman Tuhan disenandungkan dengan qiraat Qalun, oleh sang imam yang berusia senja. Jika sang imam terbatuk-batuk, aku kadang ingat syair lagu Iwan Fals, "...Pak Tua sudahlah, engkau sudah terlihat lelah..." Astagfirullah...

Tarawih di Zaituna juga menyiratkan harapan ketika menyaksikan antusiasme muslim Tunis untuk salat berjamaah ke mesjid yang berusia lebih dari 12 abad ini. Meski para jemaah itu hanya berbusana biasa. Tetapi aku kagum pada mereka, karena tentu mereka adalah hamba-hamba yang tetap setia kepada Tuhannya. Aku menaruh harapan besar kepada mereka ; muslim yang tetap setia menjaga tradisi agamanya, di tengah godaan kebebasan dan kegersangan spiritualitas, buah dari sekulerisasi dan globalisasi yang melanda Tunisia, negeri berpenduduk 11 juta dengan kompisisi hampir 100 persen muslim ini.

Aku berdoa kepada Allah Yang Kuasa. Semoga mereka yang salat di Zaituna ini, tergolong dalam umat yang melakukan qiyamullail, menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ikhlas. Sebagimana kandungan hadis Nabi. Barang siapa beribadah pada malam-malam Ramadan karena dasar iman dan ikhlas, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni..

Dari lubuk hati terdalam, aku juga memohon kepada Tuhan Yang Esa, agar tarawih indah ini, adalah tarawih terakhirku di tanah rantau. Karena aku ingin segera bertarawih bersama ayah bunda yang selalu kurindukan, nun jauh di sana...

Tunis al Khadra, 16 Ramadan 1427 H

4 comments:

  1. Dan...apa yang menjadi sabdamu Ya Rasul kian nyata, tidak lama lagi.....

    ReplyDelete
  2. Aduh cerita Ramadhan di Tunis-nya seru pisan euy. Makasih ya :-) oh ya gmn kalo buka puasa di sana? makanannya apa? ada ga makanan khas Tunis utk buka puasa, apa kalo bisa dg resepnya sekalian ya? hehehe... Gambarnya banyakin atuh ... (eh kalo bisa ding)
    :-)

    ReplyDelete
  3. Kang, dede preman, kangen cairo gak? Di sana ada Hag Ridho juga gak tuh? itu yang keliatan dengkulnya tapi bukan cewek kan ya, hehehehe

    ReplyDelete