Tuesday, March 13, 2007

Tunis Studi

Tinggal di Tunisia, Belajar di Zaituna


Suasana sidang tesis Arwani di Universitas Zaituna, Tunis

Raut sumringah terus memancar dari wajah Arwani Syaerozi, lajang asal Cirebon berusia 27 tahun, ketika 80an orang bergiliran menyalami dan mengucapkan selamat kepadanya. “Syukron, syukron….ya’isyak..Barakallahu Fiik…”, hanya itu kata-kata yang sesekali terucap ketika membalas ucapan selamat. Ya’isyak dan Barakallahu Fiik adalah bahasa orang Tunis kala membalas aneka basa-basi, pujian atau ucapan terima kasih.

Senin (12/3) siang itu, pantas Arwani merasa gembira. Ia yang mengenakan stelan jas hitam dan peci hitam, baru saja mempertahankan tesis bertema Konsep Maqasid Syariah dalam Pemikiran Ibnu Hazm adz Dzahiri di depan sidang munaqasyah Fakultas Pascasarjana Universitas Zaituna, Tunis. Tiga dosen penguji yang terdiri dari Hisyam Krisha, Abdullatif Bouazizi dan Nuruddin al Khadmi– ketiganya profesor Ushul Fiqh - baru saja menghujaninya dengan aneka pertanyaan dan kritik seputar tesisnya selama hampir tiga jam.

Dan Arwani yang menyelesaikan S1-nya di Yaman itu menjawab setiap pertanyaan dengan penuh semangat serta bahasa Arab yang fasih. Sesekali ia mengutip ayat Alquran, Hadis Nabi atau pendapat ulama populer. Maklum, ia adalah seorang hafidz, penghafal Alquran. Dan ternyata, semua itu tak sia-sia ; Arwani dinyatakan lulus dengan yudisium hasan, sebuah standar nilai yang terhitung istimewa di kampus-kampus Tunisia.

Maka, Arwani layak bersukacita atas perjuangan yang telah dilewatinya. Ia juga layak menerima ucapan selamat dari orang-orang, termasuk dari Duta Besar RI di Tunis, Hertomo Reksodiputro SH beserta beberapa staf dan keluarganya, yang juga hadir di acara siang itu.

Laksana Keluarga BesarArwani adalah satu diantara lima belas mahasiswa Indonesia yang saat ini tengah belajar di Universitas Zaituna, Tunis. Keempat belas orang lainnya terdiri dari lima mahasiswa S1, tujuh mahasiswa S2 serta dua mahasiswa S3. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia di Mesir (5000 orang), Yaman (700 orang), atau Iran (sekitar 200 orang).

Sejak awal dekade 1990, jumlah mahasiswa Indonesia di Tunis setiap tahunnya memang sekitar lima belas orang. Pemerintah Tunisia hanya memberikan jatah tiga hingga lima mahasiswa baru bagi Indonesia setiap tahun. Kemudian, sistem belajar memungkinkan mahasiswa untuk selesai tepat waktu, sehingga jumlah mahasiswa baru selalu sama dengan jumlah yang selesai kuliah. Penumpukan jumlah mahasiswa kita seperti di Mesir, tak terjadi di Tunis.

Tinggal dalam komunitas mahasiswa satu negeri yang berjumlah sedikit– sejauh yang saya rasakan – memang lebih banyak enaknya. Konsentrasi belajar lebih maksimal. Tak banyak acara ini itu sehingga target studi bisa segera tercapai. Setiap hari saya bisa berangkat ke kampus, baik untuk membaca buku di perpustaan atau bertemu profesor pembimbing tesis. Saya juga punya banyak waktu senggang untuk mengunjungi Perpustakaan Nasional guna melengkapi referensi. Hal lainnya, jumlah mahasiswa yang sedikit membuat perhatian KBRI juga sangat baik. Aneka bantuan dan kemudahan – baik yang sifatnya resmi atau kekeluargaan – kerap kami dapatkan. Keakraban terjalin baik, sehingga kami merasa berada dalam sebuah keluarga besar ; keluarga WNI di Tunisia.

Dan salah satu bentuk perhatian baik dari KBRI itu adalah kehadiran Duta Besar, para staf KBRI serta keluarga di acara sidang tesis Arwani itu. Mereka hadir untuk memberi semangat kepada seorang anak ibu pertiwi, agar sukses meraih prestasi di depan publik orang asing. Mereka juga hadir dengan membawa oleh-oleh ; aneka kue khas Indonesia, untuk disuguhkan kepada para audiens yang multietnis ; ada orang Arab Tunis, Aljazair, Libya, Sudan, Turki, juga negara-negara Teluk dan Afrika. Kampanye keragaman budaya dan pesona Indonesia, meski dalam skala kecil...

Kampus Tertua
Kami semua belajar di Universitas Zaituna. Menurut catatan sejarah, kampus kami termasuk lembaga pendidikan Islam tertua. Cikal bakalnya adalah pengajian-pengajian halaqah ala pesantren yang digelar di Mesjid Agung Zaituna.

Pengajian-pengajian ini telah berlangsung sejak awal didirikannya Mesjid Agung Zaituna pada tahun 732 Masehi. Saat itu, Tunis diperintah oleh seorang gubernur bernama `Ubaidillah al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah. Materi yang diajarkan dalam halaqah-halaqah itu meliputi Alquran dan ilmu-ilmu keislaman secara umum. Waktu belajarnya adalah setiap usai salat fadhu.

Kegiatan pengajian yang menggunakan kitab kuning ini terus berlangsung selama berabad-abad. Hingga pada paruh kedua abad 19, mulai terjadi reformasi sistem pengajaran. Diantara bentuknya adalah penerapan sistem absensi, pengaturan jenjang dan jadwal belajar, pengajaran bahasa asing dan ilmu-ilmu umum, standarisasi ujian, serta pengembangan metode dialog.

Dalam buku Alaisa as Subh bi Qarib, Syekh Thahir ibn Asyur –seorang ulama terkemuka Tunisia yang wafat pada tahun 1973 - menuturkan bahwa pada reformasi pendidikan yang mendasar itu terjadi pada tahun 1292 H (sekitar tahun 1890 M) dan banyak diilhami oleh Muhammad Abduh dan Khairuddin at Tunisi. Nama yang disebutkan terakhir adalah seorang negawaran yang memiliki pengalaman melanglang buana ke negara-negara Eropa. Kekaguman Khairudin pada kemajuan Eropa serta beberapa gagasan pembaharuannya ia tuliskan dalam sebuah buku yang saat ini sangat dikenal di Tunis ; Aqwamul Masalik fi Ma’rifati Ahwal al Mamalik.
Perbaikan sistem pengajaran terus berlangsung di Tunis. Pada tahun 1894, didirikan pula Madrasah Khalduniyah, sebagai salah satu lokasi belajar bagi para santri. Sepuluh tahun kemudian, al Jam’iyyah az Zaituniyyah (Lembaga Zaituna) secara resmi didirikan. Pembentukan lembaga ini sekaligus menjadi momen berdirinya Universitas Zaituna hingga yang dikenal saat ini.

Dalam Genggam Sekulerisasi
Derap sang waktu terus berlalu, dengan warna-warni dinamika khasnya. Orang bilang, dunia laksana roda yang berputar. Dan putaran roda dunia itu juga nampaknya dirasakan oleh Universitas Zaituna, selama rentang panjang keberadaannya.

Dari beberapa pengamatan historis, saya melihat bahwa beragam warna lembaran kehidupan pernah dijalani oleh kampus agama satu-satunya di Tunis ini. Para ilmuwan di Zaituna kerap dihadapkan pada dilema dan pilihan-pilihan sulit, kebimbangan memilih antara idealisme dan pragmatisme; antara suara umat dan suara penguasa. Sesuatu yang juga sering dialami oleh banyak lembaga pendidikan di mana pun di muka dunia ini.

Selama rentang 2002-2005 saya tinggal di Kairo. Dalam beberapa kesempatan, saya mengamati dialektika hubungan ulama dan umara di sana. Bagaimana al mukarramin para ulama Al Azhar harus mengalami dilema-dilema idealisme kala berfatwa. Sekedar menyebut contoh adalah kasus fatwa kehalalan bunga bank yang dikeluarkan oleh Majma Buhus al Islamiyah (MBI) pada akhir 2002 serta kritik publik atas keberpihakan Grand Syekh kepada Husni Mubarak saat pemilihan presiden pada pertengahan 2005. (Sekelumit cerita tentang hubungan ulama Al Azhar dan politik di Mesir bisa dibaca di tulisan ‘Dilema Sang Kyai’, edisi September 2005 di blog ini).
Di Tunis, hal yang sama juga terjadi. Dominasi politik penguasa kerap mengebiri kebebasan dan kenyamanan para ulama dalam menyampaikan kebenaran kepada umat. Independensi dan idealisme jadi tergadai. Selama masa pemerintahan Presiden Habib Borguiba, seorang muslim Tunis penganut sekulerisasi yang memerintah selama rentang 1957-1987, Universitas Zaituna ‘dikebiri’ hanya menjadi fakultas (Kulliyyah Zaituniyyah lis Syariah wa Ushuluddin) yang menginduk ke Universitas Tunis. Jumlah mahasiswanya dibatasi. Padahal, menurut Abdurrahman Heila –seorang praktisi hukum kawakan Tunis dan mantan aktifis mahasiswa tahun 1955- jumlah mahasiswa Aljazair saja di Universitas Zaituna pada tahun 1950 mencapai seribu orang. Belum lagi mahasiswa dari negara-negara lain. Selama era Borguiba, jumlah mahasiswa asing hanya puluhan orang.

Kebijakan Borguiba ‘mengebiri’ Universitas Zaituna ini hanyalah satu diantara sederet bentuk propaganda modernisasi dan sekulerisasi yang ia terapkan di Tunisia. Selain itu, ia juga ‘mengharamkan’ poligami tanpa kompromi, mengajak kaum muslimah untuk melepas jilbab, mewajibkan penggunaan bahasa Perancis serta melarang penampakan syiar-syiar keagamaan di ruang publik.

Era Modern, Era Baru
Borguiba lengser dari kursi presiden pada tahun 1987, era sekulerisasi pun berlalu. Presiden pengganti Borguiba, Zainal Abidin ben Ali, mengembalikan Zaituna kepada ‘khittah’nya. Zaituna kembali jadi universitas, dan kemudian terus berbenah diri. Saat ini, selain fakultas Ushuludin, Syariah dan Peradaban Islam, kampus kami juga memiliki Fakultas Multimedia. Gedung megahnya berdampingan dengan gedung Fakultas Humaniora Universitas Tunis. Fasilitas pendukung seperti perpustakaan, laboratorium bahasa, komputer dan akses internet juga tersedia serta bisa dinikmati oleh mahasiswa secara mudah.

Kegiatan perkuliahan menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS). Standar penilaian terukur jelas. Pada program S2, jumlah mahasiswa per kelas berkisar antara 15 hingga 20 orang. Dosen-dosennya kompeten di bidangnya, juga umumnya sangat kooperatif. Sistem administrasinya juga rapi dan teratur. Sejak tahun 2006 lalu, registrasi ulang mahasiswa lama menggunakan sistem internet. Jika dijalani dengan tekun, program S2 bisa selesai selama 24-30 bulan. Oya satu lagi ; kuliahnya juga gratis, berkah dari porsi 26,2 % APBN Tunisia untuk pendidikan.

Lingkungan di luar kampus juga cukup kondusif untuk pendukung kelancaran studi. Masyarakat umumnya ramah dan menghormati mahasiswa asing. Alam kota Tunis yang hijau serta tenang, tanpa hingar bingar kepadatan lalu lintas, serta eksotisme kota tuanya sangat pas untuk jadi lokasi bersantai sekedar melepas kejenuhan belajar yang kadang terasa.

Semua faktor itu terasa sangat membantu dalam menciptakan kenyamanan dan kesuksesan belajar. Target akademis bisa tercapai secara tepat waktu dengan hasil yang layak, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Arwani hari Senin kemaren. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 13 Maret 2007

2 comments:

  1. wah keren...:)

    eh iya gimana cara dapetin beasiswa s2 yah di tunis?? ada webnya gak?

    Btw, tunisia bukannya sekuler bgt? dulu pengen kesana, tapi ada salah seorang dosen yang larang..:)

    keknya enak juag sekali2 belajar ke afrika

    salam kenal..

    ReplyDelete
  2. AnonymousJune 05, 2009

    Salam kenal..ada referensi bukunya nggak ttg Az-Zaitunah? Kebetulan saya sedang menulis tentang khairuddin at-tunisi.tks

    ReplyDelete