Saturday, March 31, 2007

Sfax dan Tataouine

Antara Sfax dan Tataouine
 

Aku di Sfax, kota yang memiliki dua sisi ; wajah kota tua dan modern

Selama rentang 20-24 Maret 2007 lalu, saya mengunjungi dua kota di bagian selatanTunisia, yakni Sfax dan Tataouine. Sfax, kota pesisir pantai berjarak 270 km dari Tunis. Sedangkan Tataouine, kota kecil di tepian Sahara, berjarak 530 km dari Tunis.

Saya datang ke dua kota itu bersama 8 rekan untuk mengenalkan kesenian tradisional Indonesia seperti Angklung, Pencak Silat, Kecapi-Suling, Tari Indang dan Joged Poco-Poco. Di Sfax, kami diundang Pemda setempat untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan Tunisia ke 51. Sedangkan di Tataouine, kami mewakili Indonesia dalam Festival Istana Gurun (al Mahrajan ad Dauliyah lil Qusur as Sahrawiyyah) ke -29, yang diikuti oleh 6 negara.

Tulisan ini bukan untuk menuturkan konser itu, melainkan hanya seputar pesona dua kota, serta beberapa kisah menarik yang saya temukan di perjalanan yang melelahkan tetapi mengesankan itu. Kisah-kisah seputar konser akan saya tuturkan secara khusus dalam tulisan lain, insya Allah.

Sfax, Surabaya-nya IndonesiaSebagian pejabat di KBRI Tunis biasa menyebut Sfax sebagai Surabaya-nya Indonesia, karena beberapa kesamaan diantara keduanya.

Seperti halnya Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, begitu pula Sfax. Dengan jumlah penduduk 832 ribu jiwa, Sfax menempati posisi kota terbesar kedua di Tunisia setelah kota Tunis. Tentu angka ini masih jauh dibawah jumlah penduduk Surabaya yang mungkin mencapai tiga kali lipatnya.

Sfax juga dianggap seperti Surabaya karena sama-sama berlokasi di tepi pantai serta menjadi salah satu kota industri utama. Satu lagi, dua kota itu memiliki nilai sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaan negerinya. Jika Surabaya terkenal dengan peristiwa 10 Nopember-nya, maka Sfax dikenang karena pernah menjadi lokasi muktamar Partai Destour pada tahun 1956. Muktamar partai milik pemerintah itu dinilai sebagai titik tolak utama menuju kemerdekaan Tunisia pada tahun berikutnya.

Wartawan senior kita, Rosihan Anwar, menghadiri muktamar Sfax itu sebagai undangan. Di Harian Kompas edisi 5 April 2004, ia mengenang peristiwa itu dengan ungkapan, "...Di sana saya saksikan kehebatan Habib Borguiba sebagai tukang pidato yang mampu menyihir peserta muktamar. Berulang kali mereka menyerukan Borguiba Yahya (Hidup Borguiba). Di sana Borguiba menyingkirkan orang dari dewan pimpinan partai oposan, yaitu Saleh ben Youssef, yang menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Saleh ben Youssef berseberangan strategi politik dengan Borguiba dalam perjuangan melawan Perancis. Di Sfax, saya lihat kecenderungan sifat otoritarian Borguiba yang kelak diperlihatkannya saat menjabat sebagai Presiden Tunisia".

Asbak Made in Indonesia
Dari Tunis, Sfax ditempuh selama 4 jam perjalanan darat. Selain dengan kendaraan biasa, dari Tunis kita juga bisa naik kereta api atau pesawat. Sebagai kota utama bisnis, saat ini Sfax telah punya bandara internasional.

Jalur jalan raya menuju Sfax terbilang mulus, menyusuri pesisir pantai Mediterania yang berair tenang. Pemandangan hijau di kiri kanan jalan kerap membuat saya lupa bahwa saya sedang berada di sebuah negeri Arab.

Tunisia memang termasuk negeri Arab yang alamnya hijau. Meski hijaunya bukan karena pepohonan lebat atau rimba belantara. Melainkan karena perkebunan zaitun, gandum, rerumputan serta beberapa jenis pohon, seperti pohon kurma dan pinus. Gurun pasir hanya ada di kawasan selatan, dekat perbatasan Libya dan Aljazair.

Di sebuah kafe di dekat kota Sousse, kami beristirahat sejenak untuk sekedar minum kopi dan makan shawarma. Saat itu, saya sempat kaget karena asbak di meja kami bertuliskan 'Indonesia'. Segera kuperlihatkan ke beberapa rekan. Mereka juga sempat kaget. Iseng-iseng saya intip beberapa asbak di meja-meja lain. Rupanya semua produk Indonesia.

Saya bertanya-tanya, siapakah penyalur asbak dari Indonesia ke Tanah Arab ini? Mungkinkah Ammu Rido? Ya, mungkin saja dia, pikirku. Ammu Rido adalah seorang pengusaha Tunisia yang biasa melakukan bisnis ekspor impor antara Tunisia-Indonesia. Ia memiliki toko besar di kawasan wisata al Kantaoui, Sousse, yang menjual aneka souvenir Asia, termasuk dari Indonesia. Untuk bisnisnya itu, dalam setahun, ia bisa 5 kali pulang pergi Jakarta-Tunis.

Sfax Kota Tua
Selasa sore, kami tiba di Sfax. Dalam sekilas pandang pertama, Sfax nampaknya kota yang sibuk, perumahannya juga padat.

Hotel tempat kami menginap, kebetulan dekat alun-alun dan kantor Gubernur. Sfax adalah perpaduan dua wajah kota ; kota tua dan modern. Wajah kota tua ditandai dengan adanya benteng besar bertembok usang. Benteng itu mengelilingi sebuah kawasan perkampungan yang berisi bangunan-bangunan antik, serta mesjid bersejarah. Beberapa sudut kota tua itu menjadi kawasan pasar tradisional yang menjual aneka souvenir lokal. Sementara, gedung-gedung megah serta hotel-hotel mewah mewakili wajah kota modernnya.

Saya tertarik dengan salah satu pasar tua yang bernama Suq al Arwiqah. Tata letak dan arsitektur bangunan berlantai dua itu sangat khas. Berbentuk persegi, di tengah-tengahnya ada pelataran. Dindingnya usang, menyiratkan usia yang tak muda. Tetapi nampak bersih dan terawat.

Di pelataran depan gerbang besar tepi jalan raya, ada kerumunan anak-anak muda. Irama musik terdengar brang breng brong. Rupanya, itu adalah panggung musik terbuka dalam rangka HUT kemerdekaan.

Menjelang magrib, saya kembali ke hotel. Tak usah lama-lama melihat Sfax. Selain harus segera beristirahat, wajah kota yang memadukan dua sisi khas seperti Sfax, bukanlah hal baru bagi saya. Ada Kairo, Rabat, Cassablanca, Marrakesh, dan juga Tunis, yang telah kusinggahi, kutelusuri dan beberapa keindahannya kurekam dalam memori.

Ke Tataouine Lewat Gabes
Rabu sore, usai manggung di kota Sfax, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Tataouine. Sementara kawan-kawan bertukar cerita tentang kesan-kesan panggung Sfax, di mobil, saya duduk santai sambil mengamati suasana sepanjang jalan.

Dari Sfax, kami meluncur terus ke arah selatan. Suasananya masih seperti perjalanan Tunis-Sfax ; Laut Mediterania di sebelah kiri, serta kebun zaitun di sebelah kanan.

Irama Mizwad Tunisi yang diputar sopir terdengar mengalun. Mizwad Tunisi adalah sejenis musik tradisi orang Tunis hasil permainan orkestra khas Arab yang lagunya biasa diputar pada pesta-pesta kawinan di musim panas. Kadang lagu-lagunya itu berupa salawat atau syair-syair sufi yang menyiratkan tradisi keagamaan yang kental. Dan mendengarkan lagu-lagu seperti itu di Tunisia - bagi saya – menyiratkan sekerat wajah kehidupan yang paradoks. Tunisia saat ini, bukanlah Tunisia saat syair-syair indah itu diciptakan. Hantaman modernisasi dan sekulerisasi yang pernah menimpa negeri berpenduduk 99 persen muslim ini seolah telah 'melemparkan' nilai-nilai yang dikandung syair-syair agama itu, jauh dari kehidupan.

Ups, sory jadi kemana-mana ceritanya. Mobil terus meluncur. Hingga tak terasa, kami tiba di kota Gabes. Hamparan kotanya kelihatan di sebelah kiri, karena kebetulan jalur jalan raya yang kami lewati berposisi lebih tinggi. Gabes, kota berjarak 400 km dari Tunis, yang terkenal karena kurma dan legmi-nya. Legmi adalah minuman sejenis tuak yang terbuat dari perasan buah kurma. Legmi mudah dijumpai di Gabes, karena tersedia di kios-kios tepian jalan raya. Berdampingan dengan kios-kios souvenir khas Tunis seperti aneka tembikar, tas, kursi, sandal serta hasil kerajinan tangan lainnya.

Gabes dikenal dengan julukan “Gateway to the South”, karena semua jalur lalu lintas darat yang menghubungkan bagian utara dan selatan Tunisia harus melewati kota ini. Dan siapapun yang lewat ke Gabes, biasanya mampir sejenak, sekedar menikmati manisnya legmi. Seperti juga kami sore itu. Beberapa gelas legmi membasahi kerongkongan yang dahaga. Nikmat sekali.

Bagi saya, Gabes tak hanya identik dengan legmi, tetapi juga akan selalu mengingatkan saya pada kampus tempat saya belajar, Universitas Zaituna. Karena dari Gabes, banyak sekali mahasiswa yang belajar agama di kampus tua ini.

Aku beristirahat sejenak di dekat kota Gabes..
Bensin Lebih Murah dari Air
Pada jarak 76 km selatan Gabes, ada kota kecil bernama Mednin, yang menjadi jalur persimpangan tiga kota ; Gabes, Tataouine dan Ben Garden. Dari Mednin, kami belok kanan menuju Tataouine. Jalanan lurus adalah menuju Ben Garden, kota di perbatasan Tunisia-Libya. Dari Mednin, Tripoli hanya 270 km lagi.

Salah satu pemandangan khas sebelum memasuki kota Mednin adalah banyaknya penjual bensin eceran di sepanjang jalan raya. Jerigen-jerigennya memenuhi kios-kios kecil yang berjajar. Beberapa diantara kios-kios itu dijaga oleh anak-anak kecil.

Kabarnya, itu adalah bahan bakar yang disuplai dari negeri tetangga sebelah yang kaya minyak ; Libya. Di Mednin, semua itu dijual dengan harga yang lebih murah. Bahkan hingga setengah dari harga jual di SPBU resmi. Di negeri asalnya, Libya, jauh lebih murah lagi. Celotehan seorang rekan, di negeri Muammar Khadafi itu, harga bensin dan solar masih lebih murah dari harga air. Benarkah?!

Dan ternyata, bahan bakar bukanlah satu-satunya produk Libya yang marak dijual di kawasan selatan Tunisia. Sepanjang jalur Gabes dan Mednin, beberapa kali saya menjumpai pasar Libya, yakni kawasan pasar yang khabarnya menjualbelikan benda-benda seperti aneka pakaian, boneka, sepatu, selimut dan benda elektronik. Benarkah semua itu dari barang loakan dari Libya?! Wallau a’lamu.

Tataouine di Tepi Sahara
Saat Mednin telah berada di belakang kami, senja mulai menyapa. Pemandangan kanan kiri jalan mulai redup. Pepohonan juga mulai jarang, berganti kawasan gurun pasir.

Tataouine memang berada di tengah gurun, bahkan terselang jarak 20an km lagi ke Gurun Sahara yang terkenal itu. Jika mengacu ke peta, Tataouine adalah salah satu propinsi di ujung selatan Tunisia yang berbatasan langsung dengan Aljazair.

Menjelang pukul 19.00, kami tiba di Tataouine. Kota kecil yang lengang, dengan komplek pemukiman yang tak padat. Jalanannya rapi, bersih dan nampak terawat. Di sebelah kanan jalan utama, ada tulisan Arab yang menempel di lereng bebukitan, “Tataouine Turahhibu Bikum”, artinya Tataouine Mengucapkan Selamat Datang.

Dari 24 propinsi di Tunisia, Tataouine berada di urutan ketiga dari bawah, dalam hal jumlah penduduk. Yakni hanya 160 ribu jiwa. Masih dibawah jumlah penduduk kota tempatku melewatkan masa-masa SMA dulu ; Sukabumi.

Tapi, biar sedikit penduduk serta berada di tepian Sahara, selama 29 tahun terakhir ini Tataouine mampu menggelar sebuah festival kebudayaan internasional. Sebuah momen resmi untuk mempertahankan dan menjaga unsur-unsur budaya lokal gurun, di tengah amukan globalisasi yang kerap tanpa kompromi ini..

Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, Senja 30 Maret 2007

1 comment:

  1. Uraian anda tentang suasana perkotaan ditunis serasa nyata, bagaikan saya disana bersama anda! sehat mang???

    ReplyDelete