Parade Syair di Gurun Pasir
Acara Festival Istana Gurun Pasir ke-29 (al mahrajan addauli li al qusur as sahrawiyyah) yang digelar di Tataouine, Tunisia, 22-24 Maret 2007 lalu, semakin meyakinkan saya betapa budaya syair telah menjadi tradisi yang mengakar di Tanah Arab.
Di acara itu, saya menyaksikan ribuan warga Tataouine duduk setia semalaman suntuk hanya untuk menyimak syair-syair yang dibacakan oleh para sastrawan. Lalu, tak jarang mereka tertawa, bertepuk tangan, atau berteriak histeris kala menyimak puisi-puisi itu. Tak ubahnya seperti anak-anak yang terhanyut ketika mendengarkan cerita seorang pendongeng.
Padahal, warga Tataouine adalah orang-orang kampung. Yakni mereka yang sehari-hari tinggal di tengah gurun, jauh dari hingar bingar metropolitan. Tataouine, kota kecil di ujung selatan Tunisia, dekat perbatasan Libya. Tataouine, kota di tepian Sahara yang berjarak 530 km dari ibukota Tunisia, Tunis.
Festival GurunSesuai dengan namanya, festival tahunan itu memang khusus menampilkan aneka tradisi orang-orang gurun. Seperti balapan kuda, berburu, puisi, serta seni rakyat (funun sya’biyyah). Pada tahun 2007 ini, enam negara turut ambil bagian, masing-masing Tunisia, Aljazair, Libya, Kuwait, Jordania dan Indonesia.
Panggung-panggung festival itu bukanlah aula-aula modern nan megah. Melainkan situs-situs sejarah berupa rumah orang-orang abad pertengahan yang telah usang, serta berada di tengah gurun pasir. Rumah-rumah itu kini dinamai dengan qasr, yang berarti istana. Di seluruh propinsi Tataouine, saat ini terdapat 170 istana klasik yang dilestarikan sebagai obyek wisata. Dan karena itu pula, festival di kota Tataouine ini dinamakan festival istana gurun.
Para penonton festivalnya juga bukan orang-orang berbaju necis atau berdasi, serta datang dengan mobil mewah. Tetapi warga pedesaan di gurun pasir, yang datang berjalan kaki serta memakai barnus, jubah tebal berwarna coklat pengusir dingin dan kencangnya angin sahara.
Saya hadir di festival itu sebagai anggota delegasi Indonesia. Jumlah tim kami hanya 7 orang, semuanya para mahasiswa di kota Tunis. Di acara itu, kami menampilkan 5 macam atraksi kesenian, yakni musik Angklung, Pencak Silat, Kecapi-Suling, Tari Melayu serta Joged Poco-Poco.
Semua bidang yang kami tampilkan ini memang tak ada kaitannya dengan budaya orang gurun. Keikutsertaan Indonesia untuk yang pertamakalinya ini, semata-mata sebagai bentuk promosi kebudayaan kita di luar negeri.
Kamis (22/3) sore, festival dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan Tunisia, di sebuah lapangan luas, di tengah gurun pasir tepian kota. Beberapa saat sebelum pembukaan, kami mengikuti parade di sebuah jalan utama kota Tataouine.
Usai prosesi pembukaan itu, saya menyaksikan kehebatan orang-orang pedalaman Tunisia dalam hal balapan kuda. Beberapa orang joki berdiri di atas kuda yang berlari kencang. Alih-alih merasa ketakutan atau kedinginan, mereka malah tertawa-tawa dan menggoyang-goyangkan badan. Maka, ribuan hadirin pun bertepuk tangan. Usai balapan kuda, ada atraksi tarian kolosal yang menggambarkan kepiawaian orang gurun memainkan pedang, berburu kijang, menggembala kambing serta menggali sumur.
Malam ‘Seribu Satu Malam’
Usai Isya, saya bersama anggota tim Indonesia lainnya berada di Qasr Zahra, sebuah situs sejarah yang menjadi salah satu panggung festival. Lokasinya sekitar 25 km di luar kota Tataouine. Jalan raya menuju ke sana menelusuri gurun, berliku-liku, serta sesekali naik turun. Di atas sana, nampak bulan sabit yang dikelilingi taburan bintang.
Saat di jalan itu, beberapa kali saya menjumpai rombongan orang-orang yang berjalan kaki, menelusuri jalur jalan raya, atau mereka yang menuruni bebukitan. Mereka membalut tubuhnya dengan barnus, tentu karena dingin angin gurun yang tanpa pepohonan. “Mereka adalah orang desa yang hendak menonton acara kita”, tutur Anwar bin Umar, pemandu kami.
Qasr Zahra adalah pelataran seluas kira-kira 3000 meter persegi, dikelilingi bangunan usang setinggi 5 meteran. Di dinding bangunan itu terdapat jendela-jendela tanpa kaca. Saat kami tiba, lebih seribu orang memadati pelataran, serta puluhan lainnya nongkrong di jendela-jendela itu.
Semua pengunjungnya laki-laki. Hanya ada tiga wanita yang duduk di bangku para tamu. Itupun wanita anggota tim kesenian dari Jordan. Menurut Anwar, tradisi di pedalaman Tunisia Selatan memang tak memperbolehkan kaum wanita keluar rumah pada malam hari, apalagi hanya untuk hadir di acara-acara hiburan.
Di tengah pelataran, terdapat api unggun. Di pojok kanan, terpampang spanduk putih bertuliskan huruf Arab, “Sahrah Alf Lailah wa Lailah”, yang artinya Malam Seribu Satu Malam. Di bawahnya nampak berjejer dua puluhan lelaki yang duduk di bangku, dengan meja yang dipenuhi hidangan ringan dan syay (teh). Barangkali mereka adalah para pejabat lokal Tataouine, pikir saya dalam hati.
Saya bersama rekan-rekan, dipersilahkan duduk di dalam sebuah tenda besar, bersama sekitar 40an orang Arab. Setelah acara dimulai, saya baru tahu bahwa mereka adalah para sastrawan yang hadir untuk meramaikan festival. Dan mereka berasal dari berbagai pelosok Tunisia, serta beberapa negara sekitar, seperti Libya dan Aljazair. Ada seorang penyair Libya bernama Muhammad el Akhdar, yang nampaknya ia sangat dikenal luas. Terbukti baru disebut namanya saja, para penonton telah bertepuk tangan meriah. “Berarti orang-orang yang duduk di sebelah kita ini orang-orang sekelas Rendra dan Taufik Ismail-nya”, tutur seorang rekan.
Para sastrawan itu mendapat giliran berpuisi masing-masing sekitar 7 menit. Posisi berdirinya di dekat api unggun itu. Setiap selesai 3 penyair, diselingi penampilan kesenian peserta festival, termasuk dari tim Indonesia.
Puisi Cinta
Saat para sastrawan membacakan puisi, ribuan hadirin terdiam. Nampaknya mereka sangat serius menyimak syair-syair itu. Jika kebetulan syairnya bertema humor, maka derai tawa hadirin mengiringi setiap bait yang dibacakan. Jika bertema cinta, tak jarang terdengar teriakan ataupun tepukan tangan nan meriah.
Saya berusaha menyimak isi bait-bait puisi yang umumnya menggunakan bahasa Arab ‘amiyah itu. Hanya sedikit yang saya mengerti. Bahasa Arab logat orang gurun di tepian Sahara, memang sangat khas dan berbeda dengan logat Arab Tunis atau Mesir yang pernah saya pelajari.
Dari pemahaman yang sepotong-sepotong itu, saya melihat bahwa kebanyakan tema puisi-puisi malam itu adalah berkisar soal nasihat agama, keindahan alam dan juga cinta. Dan diantara puisi-puisi cintanya, ada yang bercerita tentang kerinduan pada kekasih, impian kebahagiaan atau mengenang memori di tempat-tempat indah, yang dalam ilmu sastra Arab kerap dinamakan atlal. Yakni syair tentang lokasi-lokasi pertemuan dengan kekasih yang selalu dikenang. Seperti sebait puisi Arab Jahili yang bercerita tentang kisah cinta antara Kais dan Laila berikut ini.
“...amurru ‘aladdiyari diyari Laila.. fa uqabbilu dzal jidari wa dzal jidari,
laisa hubbuddiyari syagafna qalbi..walakin hubba man sakanad diyari...”
(aku lewat ke sebuah rumah, yakni rumahnya Laila,
aku menciumi dinding ini, juga dinding itu,
bukanlah kecintaanku pada rumah ini yang membutakan hatiku,
melainkan kecintaan pada dia yang (dulu) menempati rumah ini...”
Kendati angin dingin menerpa, saya terlarut dalam keindahan syair dan suasana yang eksotis malam itu. Saya yang sedang duduk di ruang terbuka dikelilingi dinding usang berumur lebih 5 abad, bersama ribuan orang desa yang berbaju tebal di tepian Sahara, atau 530 km selatan kota Tunis itu, seolah merasakan putaran sang waktu yang berhenti. Seolah saya melanglang ke masa silam, kala pembacaan syair-syair itu belum difestivalkan, melainkan masih menjadi ritual dalam setiap episode kehidupan.
Tunis al Khadra, 26 Maret 2007
mang dede, kebayang, betapa antiknya tempat itu. kenapa anda tidak ikut baca puisi di sana?! salam masisir
ReplyDeletewah keren....
ReplyDeletePPI tunis ternyata aktif banget yah, walo anggotanya dikit... salut euy...:)
pada senyum tulisanmu, kusempatkan umpat, kapan kau ajakku berpuisi kesana, celaka, bukan karena puisiku tak menjadi juara pada tiap lomba, tapi saat, ketika ia tak mampu terbaca dan diperdengarkan manusia...
ReplyDelete