Monday, April 23, 2007

Istana Sahara

Istana Tua Leluhur Afrika

Daerah pedalaman selatan Tunisia ternyata memiliki peninggalan sejarah yang antik ; rumah-rumah batu yang menempel di lereng-lereng gunung. Juga bangunan-bangunan bertingkat di tengah gurun. Orang Tunisia biasa menyebut bangunan-bangunan ini dengan qasr, artinya istana.

Kendati istana-istana peningalan bangsa Barbar – suku asli warga Afrika Utara abad pertengahan– itu tak lagi dihuni orang, bangunannya tetap utuh, kokoh dan menjadi obyek wisata yang menarik. Pada tahun 1997 lalu, beberapa istana di kawasan Tataouine dan Matmata, dijadikan lokasi syuting film Hollywood terkenal ; Star Wars.
Di dekat sebuah istana itu pula, ada seorang wanita Indonesia, yang tinggal bersama suami dan dua bocah mungilnya..

Chenini : Istana Bukit
Akhir Maret lalu, empat diantara istana-istana tua itu kukunjungi. Semuanya di Tataouine, propinsi ujung selatan Tunisia, di tepi gurun Sahara. Tataouine, kota kecil yang berjarak 530 km dari Tunis ini memang dikenal dengan istana-istana tuanya. Ada sekitar 170 situs istana yang hingga saat ini masih terawat di seluruh kawasan propinsi berpenduduk 160 ribu jiwa ini.

Diantara empat istana itu ada Qasr az Zahra, yang jadi lokasi festival, seperti kututurkan dalam tulisan Parade Syair di Gurun Pasir itu. Istana ini berlokasi di desa Zahra, sekitar 25 km di luar kota Tataouine.

Sekitar empat belas kilometer barat kota, ada istana lain yang cukup terkenal, yakni Qasr Chenini. Yakni rumah-rumah batu yang menempel di dinding bukit Chenini. Umumnya rumah-rumah kecil, kira-kira ber tipe 36.

Seperti layaknya sebuah rumah, istana-istana Chenini memiliki ruangan-ruangan kecil untuk kamar tidur, dapur dan ruang tamu. Semuanya terbuat dari batu yang bersusun. Ada juga yang berupa gua-gua buatan, yang berjajar di dinding bukit. Menurut seorang polisi wisata, jumlah rumah di bukit Chenini ada 500an.

Di kaki bukit, ada pelataran parkir yang luas, kafe, rumah makan, kantor pos, kantor polisi serta toko-toko souvenir. Semuanya nampak terawat dan bersih. Di atas bukit sana, rumah-rumah tua itu nampak berderet. Kelihatan dari jendela-jendelanya yang membolongi bebatuan.

Untuk menuju ke puncak bukit, para turis biasa menelusuri jalan setapak yang berbelok-belok. Berjalan melewati rumah-rumah tua itu, hingga tiba di puncak. Sebuah pelataran luas yang memiliki mesjid bertembok putih. Menaranya sekitar 5 meteran, nampak kelihatan dari kaki bukit.

Beberapa kali aku mampir di rumah-rumah tua itu. Rumah-rumah yang tanpa pintu. Beberapa diantaranya nampak masih berpenghuni. Yakni orang-orang tua yang memakai sufseri, baju tradisional Tunisia yang warna-warni. “Mereka tinggal di sini atas biaya pemerintah, sebagai daya tarik wisata saja”, tutur seorang pemandu wisata.

Hedada ; Istana Film Star WarsDi Ghamarsen, 30 km dari Tataouine, ada istana Hedada. Berupa komplek bangunan batu di atas tanah seluas kira-kira hampir 1 hektar. Sebagian bangunannya bertingat tiga, juga ada yang bertingkat empat.

Qasr Hedada dinamakan juga Hotel Hedada. Karena dulu memang pernah berfungsi sebagai hotel. Hingga kini, di selatan Tunisia, memang ada beberapa hotel berupa gua atau bangunan antik. Ranjang-ranjangnya berupa batu. Pake kasur, tentu. Menginap di hotel-hotel begini, ternyata jadi daya tarik tersendiri bagi sebagian turis.

Di depan gerbang Hedada, ada plang putih besar, berisi tulisan tiga bahasa ; Arab, Perancis dan Inggeris. Berupa penjelasan singkat bahwa Hedada pernah menjadi miniatur Mos Espa, kota khayalan di planet Tataouine, dalam film Star Wars. Disebutkan pula bahwa film garapan Goerge Lucas ini digarap pada bulan Juli 1997.

Aku mengunjungi istana Hedada bersama 7 rekan. Dari hotel, kami dijemput dan dipandu oleh sebuah tim dari Radio Pemda Tataouine. Aku sangat senang, karena kesempatan untuk bertanya banyak hal sangat terbuka lebar.


Istana Hedada, salah satu lokasi syuting Star Wars

Aulad Sultan ; Istana Wanita Betawi
Aku juga mengunjungi Kasr Aulad Sultan, sekitar 15 km timur Tataouine. Aulad Sultan artinya anak-anak raja. Dulunya, istana ini memang menjadi tempat tinggal keluarga raja.

Bangunannya terdiri dari empat lantai, berbentuk persegi. Di tengah-tengahnya ada pelataran. Temboknya masih kokoh, berwarna kuning tua yang usang. Seperti halnya az Zahra, Aulad Sulton juga biasa dijadikan lokasi festival serta aneka ritual tradisi.

Beberapa kali aku masuk ke istana itu, serta menaiki tangga, menuju lantai lebih atas. Jepretan kamera dari para rekan nyaris tak berhenti. Suasananya asyik banget..! Ruangan-ruangannya kecil.

Saat kami sedang asyik berfoto-foto, seorang pria Tunis menghampiri kami seraya menyapa dengan bahasa Indonesia. Kami tercengang. Rupanya ia adalah Khalifa, seorang pemuda setempat yang beristerikan wanita Indonesia. Nama isterinya adalah Almaini, 30 tahun, seorang wanita Betawi.

Khalifa bersama isteri dan dua puteranya ternyata tinggal dekat Aulad Sultan. Aku tertegun. Subhanallah, di desa terpencil tepian Gurun Sahara begini, ternyata ada seorang wanita satu negeri.

Lalu kami diajak ke rumahnya. Sekitar 400 meter dari istana. Rumah permanen, di tengah gurun. Hampir tak ada pepohonan. Tetangga juga hanya satu-dua rumah.

Almaini nampak gembira ketika kami tiba. Baginya, ketemu orang Indonesia secara mendadak, adalah kejutan dan kebahagiaan yang luar biasa. Maka, selama lebih setengah jam ia bertutur, curhat kepada kami. Tentang hari-harinya yang sepi, tentang dua anaknya - Abdullah (4 tahun) dan Muhammad (2 tahun) - juga tentang kerinduannya pada tanah air.

Perkenalan Khalifa dan Almaini terjadi di Jakarta, sekitar tahun 1998. Lalu mereka menikah. Tahun 2004, wanita lulusan SMA 18 itu diboyong suaminya ke Tunisia. Maka, Almaini menjalani suasana yang benar-benar berbeda ; dari hiruk pikuk metropolitan Jakarta, menuju kesunyian dan gersangnya Gurun Sahara.

Aku dan kawan-kawan bergantian memangku Muhammad, seorang putera pertiwi yang dilahirkan dan dibesarkan di tepian Sahara. Sementara Abdullah bermain-main di halaman rumah. Sendirian.

Saat kami pulang, kedua anak itu melambaikan tangan. Dari balik jendela mobil, terdengar teriakan beberapa rekan, “Abdullah, Muhammad..! Ayo pulang ke Indonesia..!”.

Mobil bergerak perlahan. Kulirik ke belakang, lambaian tangan keluarga Almaini belum terhenti. Seperti hatiku yang juga tak henti bersuara. Tentang Abdullah dan Muhammad, tentang esok mereka, tentang ketegaran Almaini, wanita Indonesia yang tinggal di dekat sebuah istana tua, di tepi Sahara, nun jauh di Afrika sana..

Tunis, 21 April 2007

1 comment:

  1. cerita anda tentang ibu almaini, sangat mengharukan

    ReplyDelete