Friday, April 27, 2007

Tunis Aborsi

Aborsi Legal ala Tunis

Gadis-gadis di desa Tataouine, Tunisia Selatan.

Pekan lalu, serombongan orang dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan kunjungan ke Tunis. Tujuannya, studi banding soal Keluarga Berencana (KB).

Dalam hal program KB, Tunisia memang terhitung sukses, dan karena itu kerap jadi rujukan negara lain. Pada tahun 2003, laju pertumbuhan penduduknya hanya 1,09 persen. Tingkat kesejahteraan rakyat pun mudah digenjot, hingga dengan pendapatan per kapita sebesar $ 3000, Tunisia menempati posisi negeri termakmur ketiga di benua Afrika, setelah Afrika Selatan dan Libya.

Saya sempat bertemu dan berdiskusi dengan beberapa anggota delegasi BKKBN itu. Baik saat pertemuan resmi di KBRI, saat berziarah ke Mesjid Agung Zaituna, atau juga saat mengantar kepulangan mereka di bandara.

Dari sekian temuan baru seputar KB di Tunis, ada satu hal yang menarik, yakni kebolehan aborsi, yang bahkan menjadi salah satu instrumen penting dalam menekan laju pertumbuhan penduduk. Kenapa di Tunisia yang rakyatnya 99 persen muslim aborsi malah dibolehkan ? Apa dasar hukumnya ? Bagaimana sikap para ulamanya ? Tidakkah itu jadi ‘pembuka’ jalan pergaulan bebas ? Dan seterusnya…

Dari Sekulerisme ke Feminisme
Berbicara tentang aborsi di Tunisia, berarti berbicara soal gerakan feminisme di negeri bekas jajahan Perancis ini. Menelusuri asal usul kebolehan aborsi, harus dibaca dalam bingkai umum gerakan kebebasan wanita. Agar difahami secara proporsional.

Adalah Habib Borguiba (1903-2000), presiden pertama Tunisia –memerintah selama rentang 1956-1987 – yang dinobatkan sebagai Tokoh Pembebas Perempuan Tunisia. Gerbang makamnya di Monastir – kota pesisir, 150 km selatan Tunis – bertuliskan kalimat ‘Borguiba Muharrir al Mar’ah at Tunisiyyah’.
Kebijakan presiden berideologi sekuler ini memang dinilai banyak membela hak-hak perempuan. Meski sebagian kalangan menyebutnya feminisme yang kebablasan, karena terlalu jauh menyimpang dari ajaran agama.

Diantara kebijakan terkenalnya adalah pengesahan Code of Personal Status Law (al Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah – selanjutnya saya sebut MAS), sebuah undang-undang hukum keluarga yang dinilai membela perempuan, pada tanggal 13 Agustus 1956, atau lima bulan setelah Tunisia meraih kemerdekaan (20 Maret 1956).

Untuk ukuran saat itu, MAS dianggap sebagai produk perundang-undangan yang paling progressiv di dunia. Sebagian kalangan malah menilainya menyimpang dari ajaran Islam. Lihat saja point-point utamanya ; larangan suami berpoligami, talak bukanlah hak mutlak suami (melainkan hanya boleh terjadi di depan hakim), pembatasan usia nikah (pria 20 tahun, wanita 17 tahun) serta larangan menikahkan gadis secara paksa (tanpa persetujuan sang gadis).

MAS muncul di tengah tradisi muslim Tunisia yang memandang poligami sebagai hal biasa dan dibolehkan agama. Pernikahan di bawah umur, atau gadis yang dinikahkan secara paksa juga masih sering terjadi. Aktifitas kaum perempuan masih terbatas di dalam rumah. Program pembatasan kelahiran alias KB juga belum dikenal. Maka, MAS benar-benar mencengangkan publik Tunisia saat itu, bahkan sebagian kawasan di dunia Islam.

Reaksi mengemuka, tetapi sang presiden pantang mundur. Ia malah gencar melakukan kampanye buka jilbab bagi para muslimah Tunis, serta melemparkan gagasan kesamaan hak waris antara pria-wanita. Konsep wanita bekerja dan Keluarga Berencana dipopulerkan. Pada tahun 1960, ia juga mengajak muslim Tunisia untuk tak berpuasa Ramadhan, demi peningkatan ethos kerja.

Kecaman publik yang semakin dahsyat bin seru, tak dihiraukannya. Juga stempel kafir dari sejumlah ulama Arab, salah satunya Syekh Bin Baz, Mufti Saudi saat itu. Di Tunis sendiri, mufti negara Syekh Abdul ‘Aziz Ju’ait memilih mundur dari jabatannya. Kemudian, selama rentang 1960-1962, kursi mufti negara dibiarkan kosong, tak ada yang mengisi.

Aborsi Untuk KB
Pada tahun 1961, program KB resmi diberlakukan, setelah melewati perdebatan dan polemik yang panjang. Para ulama umumnya mengkritik soal kebiri dan aborsi yang dilegalkan dalam rangka pengaturan jarak kelahiran.

Saya tidak punya informasi cukup tentang polemik panjang ini. Hanya saja, pro kontra ini nampaknya memang terus berlanjut, hingga akhirnya hilang ditelan masa. Seiring dengan diterimanya gagasan-gagasan sekulerisasi Borguiba yang penerapannya didukung oleh kekuatan struktural, aborsi saat ini telah menjadi sesuatu yang diterima oleh masyarakat muslim Tunisia.

Tentu aborsi yang dimaksud adalah yang dilakukan sebelum kehamilan berusia 3 bulan. Jika dilakukan setelah itu, si pelaku dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya akan dikenai sanksi pidana yang berat. Karena sudah termasuk kategori pembunuhan.

Usia 3 bulan jadi standar, karena merujuk pada ajaran agama. Ada hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa saat kandungan berusia 120 hari (empat bulan), ruh telah ditiupkan Tuhan kepada si jabang bayi. Maka ia sudah termasuk kategori hidup. Lalu, untuk hati-hati (ihtiyath), usia kehamilan yang menolerir aborsi dibatasi sampai 3 bulan, bukan 4 bulan.

Di berbagai belahan dunia muslim saat ini, soal kebolehan aborsi di bawah usia kandungan 4 bulan masih jadi pro kontra. Antara boleh dan tidak. Tetapi jika aborsi dilakukan setelah usia kandungan 4 bulan, semuanya sepakat mengkategorikannya sebagai pembunuhan dan karena itu termasuk dosa besar.

Aborsi AmanKebolehan aborsi – di bawah usia kandungan 3 bulan - di Tunisia, dalam praktiknya, tak dibiarkan begitu saja tanpa kawalan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah justru menyediakan sejumlah peraturan dan fasilitas pendukung agar semuanya berjalan aman.

Semua Rumah Sakit memiliki dokter khusus aborsi plus perangkat medisnya. Wanita pelaku aborsi, harus membuat pernyataan bahwa itu dilakukan atas kesadaran sendiri serta izin dari suami. Sebaliknya, RS menjamin privasi pasien. Secara sosiologis, dibentuk opini publik bahwa aborsi tak usah dianggap sebagai sesuatu yang memalukan atau menakutkan.

Seorang rekan Tunis yang belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Tunis bertutur bahwa selama tahun 2005, RS Rabta menangani sekitar 1000 kasus aborsi. RS Rabta adalah RS milik kampus, lokasi praktikum para mahasiswa calon dokter. Ia juga bertutur, mulanya aborsi hanya bagi wanita bersuami, artinya memang benar-benar jadi instrumen program KB. “Tetapi belakangan ini, gadis-gadis pun banyak yang aborsi”, tutur sang rekan sambil tersenyum.

Menurut sang rekan pula, tak ada cerita aborsi yang dilakukan oleh dukun beranak. Juga tak ada aborsi yang dilakukan setelah usai kandungan 4 bulan. “Dokter tak ada yang mau, karena itu dosa besar”, tuturnya.

Dengan demikian, semua kelahiran di negeri ini, bisa dipastikan sebagai kelahiran yang benar-benar dikehendaki. Karena kehamilan yang tidak dikehendaki – karena satu dan lain hal – telah diantisipasi sejak dini, lewat mekanisme aborsi. Karena itulah, di Tunisia ini tak ada cerita seputar bayi-bayi merah yang dibuang di tong sampah, selokan atau kolong jalan tol, sebagaimana yang sering kita dengar di tanah air.

Dari Feminisme ke Aborsi
Ini hanya sekilas cerita soal aborsi di Tunisia. Keterbatasan data membuat tulisan ini sangat sederhana.

Akan tetapi, saya bisa memastikan bahwa legalitas aborsi di negeri ini benar-benar terjadi karena berangkat dari bingkai umum feminisme dan sekulerisasi. Ia harus dibaca dalam konteks kecenderungan umum di Tunisia bahwa wanita yang telah berusia 20 tahun, dianggap bertanggung jawab total atas dirinya. Ia berhak melakukan apapun ; orang tua tak lagi berhak mengatur. Sebuah konsep yang sepertinya mustahil bisa diterima oleh masyarakat Arab yang muslim. Sebuah konsep yang hanya dianut oleh dua negara muslim yang melegalkan aborsi ; Turki dan Tunisia.

Karena itu, dari beberapa pengamatan sementara, saya masih lebih setuju aborsi dilarang, seperti yang selama ini diterapkan oleh berbagai belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Aborsi hanya terjadi, karena benar-benar darurat, demi keselamatan ibu, serta tentu, atas izin dokter.

Jika merujuk ke konsep agama, dalam Islam ada prinsip sad adzara’i, yakni upaya menutup sebuah jalan kemunkaran, guna menghindari kemunkaran yang lebih luas. Sesuatu –meski hukum asalnya halal – bisa dinyatakan terlarang jika diyakini berpotensi membuka jalan kerusakan (mafsadat) secara luas.

“Meski dilarang, dalam setahun saja ada 1,5 juta praktik aborsi di Indonesia”, tutur Pak Sugiri Syarif, Kepala BKKBN, dalam kesempatan dialog pekan lalu. Artinya, jika dilegalkan, tentu praktik itu akan jauh lebih banyak. Dari sisi lain, legalitas aborsi tentu akan semakin membuat leluasa para penganut pergaulan bebas. Seperti yang selama ini terjadi pada sebagian kalangan di Tunis ; muda-mudi bebas bergaul, selain karena pengawasan sosial yang memang sangat longgar dan serba permissif, juga nampaknya karena mereka tak perlu risih soal kehamilan yang tak diinginkan ; khan ada aborsi.. !

* * *

Tunisia – dan Turki - tentu memiliki sejumlah alasan dan konsep yang menjadi dasar legalitas aborsi ini. Baik alasan-alasan medis, sosiologis dan bahkan argumen teologis. Sesuatu yang selayaknya kita hormati. Apalagi secara teologis, aborsi dibawah 4 bulan memang merupakan persoalan ijtihadiyah, bahan pro kontra kalangan agamawan, sebagaimana saya sebutkan di atas. Ragam pendapat didalamnya, adalah hal yang wajar.

Maka, dalam kasus-kasus yang ijtihadiyah itu, selayaknya pertimbangan kemaslahatan menjadi standar. Pilihan mana yang diyakini memiliki sisi kebaikan lebih luas (jalb al masalih), serta tingkat efektifitasnya dalam meredam keburukan (dar al mafasid), itu yang harus diambil. Barangkali konsep inilah yang dijadikan pertimbangan utama oleh para agamawan di Tunisia.
Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 24 April 2007

1 comment:

  1. menarik sekali diskusi-nya. sangat mengejutkan bahwa aborsi dilegalkan di Tunisia -- ini di luar perkiraan umum masyarakat dunia (yang kebanyakan suka "stereotyping").

    selamat berpetualang!

    ReplyDelete