Saturday, March 16, 2013

Kota Mahdia


Jejak Dinasti Fathimia di Kota Mahdia
Aku bersama puteriku di dalam Masjid al Fathimi, Mahdia

Mahdia, kota pantai yang indah di pesisir utara benua Afrika, juga kota yang bernilai sejarah. Ia pernah menjadi ibukota dinasti Fathimia yang bermazhab Syiah, sebelum dinasti itu membangun kota Kairo. Masjid tua al Fathimi, benteng, pintu-pintu batas kota, Port Mahdia, adalah di antara saksi bisunya, yang masih berdiri tegar hingga kini.

“Pada hari ini, aku telah mengamankan kaum wanita warga Fathimia”

Kata-kata itu diucapkan oleh seorang lelaki, seribu seratus tahun silam. Ia mengucapkannya dengan penuh bangga dan bahagia, sesaat setelah menuntaskan pekerjaan besar yang dilakukan selama enam tahun : membangun sebuah kota baru yang aman dan nyaman. Sebuah kawasan hunian dilengkapi benteng kokoh yang menghadap laut lepas, tembok tinggi yang mengelilingi kota dengan 5 pintu utama, masjid besar di tengah kota, pelabuhan niaga, pemandian (hamam), serta pasar tradisional.

Lelaki itu adalah Ubaidillah al Mahdi, khalifah pertama dari dinasti Fathimia. Dan kalimat itu ia ucapkan pada tahun 308 H/910 M, beberapa saat usai membangun sebuah kota baru di pesisir utara benua Afrika. Kota baru yang ia namai dengan namanya sendiri ; Mahdia.
Mahdia, ibukota pertama dinasti Fathimia yang berhaluan Syiah. Sekaligus ibukota negeri Ifriqiya, yang kekuasaannya – kala itu - meliputi Andalusia, Maroko, Aljazair, Tunis dan Libya.  Kini, keelokan pantai dan kekayaan warisan sejarah, menjadikan kota cagar budaya UNESCO ini sebagai salah satu tujuan utama wisata pantai terkemuka di Tunisia, bahkan di dunia Arab. 
* * *
Pekan lalu aku berkesempatan mengunjungi Mahdia. Kota yang berjarak 205 km dari Tunis ini, dapat ditempuh dengan waktu 3 jam berkendaraan. Anda yang berniat menuju Mahdia, dapat memilih kereta api dari stasiun Barcelona di kota Tunis menuju kota Sousse, dengan tiket 10,4 Dinar (kelas eksekutif). Satu dinar setara dengan enam rebut lima ratus rupiah. Tarif kelas ekonomi tentu di bawah angka itu. Dari Sousse, Anda bisa naik metro atau juga colt menuju Mahdia, melewati kota Monastir. Jarak antara Sousse-Monastir adalah 20 km, dan Monastir-Mahdia adalah 25 km.  

Di kota Monastir, terdapat bandara internasional. Para turis yang berniat piknik ke selatan Tunisia – termasuk Mahdia – biasanya memilih penerbangan langsung ke Monastir, tanpa harus ke Tunis.

Mahdia adalah kota kecil. Tahun ini, penduduknya hanya berjumlah 50 ribu jiwa.

Di kota Mahdia, aku naik taxi menuju kota tua ( al madinah al ‘atiqah), kawasan yang dibangun oleh sang khalifah tadi. Beberapa menit taxi berjalan, aku baru sadar bahwa sopir taxi tidak memasang argo. Wah, aku sempat berfikir dikerjain sopir, nanti diminta tariff tinggi. Segera sopir kuajak ngobrol dengan bahasa local. Rupanya, taxi dalam kota memang tidak menggunakan argo, kecuali atas permintaan penumpang. Tarif taxi dalam kota adalah antara 2 hingga 3 dinar Tunis. Kepada turis bule yang tidak bisa bahasa Arab, kadang sopir meminta tarif lebih.

Taxi berhenti di tepi sebuah bundaran, persis depan sebuah bangunan tua yang berdiri gagah. Warnanya coklat tanah. Inilah Babul Futuh atau as Saqifah al Kahlah, pintu gerbang kota tua Mahdia dari arah darat. Tingginya 18,5 meter. Pintu gerbang ini berupa lorong  sepanjang 33 meter.

Saqifah Kahlah adalah satu-satunya pintu gerbang kota tua Mahdia yang masih tersisa. Empat lainnya dihancurkan oleh penjajah Spanyol pada pertengahan abad ke-16 Masehi.

Di ujung lorong itu, terdapat pasar yang menjajakan aneka souvenir untuk para turis, dengan nuansa Timur Tengah yang sangat khas. Sama dengan yang kulihat di Pasar Medina di kota Tunis, Khan Khalili di Kairo, Oudaya di Rabat, atau Sahah Jami el Fina di Marakesh. 

Aku berjalan melewati komplek pertokoan itu. Beberapa pedagang menggodaku untuk mampir ke tokonya. Bahkan ada yang sengaja meraih kedua tanganku dan membimbingku masuk ke dalam tokonya. Tapi aku tolak secara halus. Rupanya mereka mengira aku turis beneran, hehe.

Aku terus berjalan seraya mengamati suasana sekitar. Jauh di sebelah kanan sana, di seberang jalan raya, nampak Port al Mahdia, pelabuhan laut dengan perahu-perahunya yang berjajar. Pelabuhan yang juga dibangun oleh al Mahdi, berfungsi sebagai pusat perniagaan. Khalifah Muiz li Dinillah – cucu al Mahdi yang memerintah tahun 953-975 M – membangun pabrik perahu (Mashna’ as Safan, alias Dar al Bahr) di kawasan ini. Ia berhasil memproduksi 900 perahu.

Jauh di sebelah kiri sana, benteng (qal’ah) berdiri tegar menghadap ke lautan lepas. Khalifah al Mahdi membangunnya untuk fungsi pertahanan dan keamanan negara.

Dan lokasi tempat aku berdiri saat ini, adalah kawasan kota tua (al madinah al ‘atiqah), yang terdiri dari komplek pemukiman, pasar dan masjid tua, sebagaimana kusebutkan di atas. Dan sebagaimana ditulis dalam buku-buku sejarah, kota Mahdia dibangun dengan konsep tiga fungsi ; pertahanan, perniagaan dan pemukiman.
* * *
Berkunjung ke kota Mahdia, tak lengkap rasanya jika tidak berziarah ke masjid al Fathimi. Masjid yang juga dibangun oleh khalifah Ubaidillah al Mahdi ini berlokasi di tengah-tengah kota tua, antara benteng dan pelabuhan. Bismillah, Allahummaftah Li Abwaba Rohmatika. Aku memasuki masjid itu.

Masjid ini berukuran 75 x 55 meter. Berbentuk persegi. Di tengah-tengahnya ada pelataran luas dengan atap terbuka. Tiang-tiang berderet kokoh, dindingnya berlapis marmer dengan warna usang. Sama modelnya dengan kebanyakan masjid di Timur Tengah, termasuk masjid Al Azhar di kota Kairo atau masjid Ziotuna di kota Tunis. Hanya saja, masjid Al Fathimi ini memiliki keunikan ; tidak memiliki menara..!

Masa sebelas abad telah dilewati masjid al Fathimi, dengan suka duka. Mula-mula, ia dijadikan sebagai tempat ibadah keluarga khalifahFathimia yang berhaluan Syiah. Awal abad ke-16, ia dikuasai oleh penjajah Spanyol, kemudian dijadikan sebagai gereja sekaligus kuburan para pembesar Spanyol. Tahun 1555 M, beberapa bagian bangunannya dirusak oleh penjajah Spanyol, berbarengan dengan perusakan sejumlah bangunan penting di kota tua Mahdia. Beberapa waktu kemudian, pemerintah Turki Usmani memperbaiki masjid ini. Pada abad modern – tepatnya tahun1962 – Pemerintah Tunisia kembali merehabnya tanpa menghilangkan wajah aslinya.

Aku berjalan di pelataran dalam masjid itu. Puteriku yang baru berusia tiga tahun, berlari-lari kecil sembari tertawa-tawa. Ibunya tak henti memotret beberapa sudut menarik masjid ini. Dari arah dalam ruangan shalat, terdengar suara orang berbicara. Kuintip dari jendela, ternyata ada sekelompok pemuda local sedang menggelar pengajian.
* * *
Fathimia adalah dinasti Syiah Ismailia yang berkuasa dari tahun 910 hingga 1171 M. Khalifah mereka adalah para imam Syiah. Fathimia mengkalim memiliki garis keturunan dari Rasulullah saw melalui jalur Fathimah az Zahra, salah satu puteri Rasul. Karena itu mereka menamakan diri Fathimia.

Dari kota Mahdia, mereka mengendalikan kekuasaan yang meliputi kawasan al Maghrib al Arabi, yakni Andalusia, Maroko,Tunisia, Aljazair dan Libya sekarang.

Pada tahun 970, mereka hijrah ke Mesir, di bawah kepemimpinan khalifah al Muizz li Dinillah (memerintah tahun 953-975 M). Kota Mahdia ditinggalkan. Di Mesir, mereka menaklukan dinasti Ikhsidiyah, kemudian membangun kota baru : Kairo. Kata “Kairo” berasal dari kata “Qahirah”, artinya Penakluk. Kata itu dipilih sebagai kebanggaan bahwa mereka adalah penakluk Mesir. Masjid Al Azhar juga dibangun pada masa ini. Kekuasaan mereka meluas, hingga ke Syam dan menyeberang ke Sisilia dan Italia Selatan.

Kekuasaan dinasti Fathimia berakhir saat Salahudin al Ayubi menaklukan Mesir pada akhir abad ke12 Masehi. Dinasti kaum Syiah pun berakhir, kemudian diganti oleh Sunni. Dinasti Fathimia yang sempat berjaya di Mahdia dan Kairo pun tinggal kenangan.

Tunis al Khadra, Jumat 15 Maret 2013 

No comments:

Post a Comment