Jejak Dinasti Fathimia di Kota Mahdia
Aku bersama puteriku di dalam Masjid al Fathimi, Mahdia
Mahdia, kota pantai yang indah di pesisir
utara benua Afrika, juga kota yang bernilai sejarah. Ia pernah menjadi ibukota
dinasti Fathimia yang bermazhab Syiah, sebelum dinasti itu membangun kota
Kairo. Masjid tua al Fathimi, benteng, pintu-pintu batas kota, Port Mahdia,
adalah di antara saksi bisunya, yang masih berdiri tegar hingga kini.
“Pada hari ini, aku telah mengamankan kaum
wanita warga Fathimia”
Kata-kata itu diucapkan oleh seorang lelaki,
seribu seratus tahun silam. Ia mengucapkannya dengan penuh bangga dan bahagia,
sesaat setelah menuntaskan pekerjaan besar yang dilakukan selama enam tahun :
membangun sebuah kota baru yang aman dan nyaman. Sebuah kawasan hunian
dilengkapi benteng kokoh yang menghadap laut lepas, tembok tinggi yang
mengelilingi kota dengan 5 pintu utama, masjid besar di tengah kota, pelabuhan
niaga, pemandian (hamam), serta pasar tradisional.
Lelaki itu adalah Ubaidillah al Mahdi,
khalifah pertama dari dinasti Fathimia. Dan kalimat itu ia ucapkan pada tahun
308 H/910 M, beberapa saat usai membangun sebuah kota baru di pesisir utara
benua Afrika. Kota baru yang ia namai dengan namanya sendiri ; Mahdia.
Mahdia, ibukota pertama dinasti Fathimia yang
berhaluan Syiah. Sekaligus ibukota negeri Ifriqiya, yang kekuasaannya – kala
itu - meliputi Andalusia,
Maroko, Aljazair, Tunis dan Libya. Kini, keelokan pantai dan kekayaan
warisan sejarah, menjadikan kota cagar budaya UNESCO ini sebagai salah satu
tujuan utama wisata pantai terkemuka di Tunisia, bahkan di dunia Arab.
* * *
Pekan lalu aku berkesempatan mengunjungi
Mahdia. Kota yang berjarak 205 km dari Tunis ini, dapat ditempuh dengan waktu 3
jam berkendaraan. Anda yang berniat menuju Mahdia, dapat memilih kereta api
dari stasiun Barcelona di kota Tunis menuju kota Sousse, dengan
tiket 10,4 Dinar (kelas eksekutif). Satu dinar setara dengan enam rebut lima ratus
rupiah. Tarif kelas ekonomi tentu di bawah angka itu. Dari Sousse,
Anda bisa naik metro atau juga colt menuju Mahdia, melewati kota
Monastir. Jarak antara Sousse-Monastir adalah 20 km, dan Monastir-Mahdia
adalah 25 km.
Di kota Monastir, terdapat bandara
internasional. Para turis yang berniat piknik ke selatan Tunisia – termasuk
Mahdia – biasanya memilih penerbangan langsung ke Monastir, tanpa harus ke
Tunis.
Mahdia adalah kota kecil. Tahun ini, penduduknya hanya berjumlah 50 ribu
jiwa.
Di kota Mahdia, aku naik taxi menuju kota
tua ( al madinah al ‘atiqah), kawasan yang dibangun oleh sang
khalifah tadi. Beberapa menit taxi berjalan, aku baru sadar bahwa sopir taxi
tidak memasang argo. Wah, aku sempat berfikir dikerjain sopir, nanti diminta
tariff tinggi. Segera sopir kuajak ngobrol dengan bahasa local. Rupanya, taxi
dalam kota memang tidak menggunakan argo, kecuali atas permintaan penumpang.
Tarif taxi dalam kota adalah antara 2 hingga 3 dinar Tunis. Kepada turis bule
yang tidak bisa bahasa Arab, kadang sopir meminta tarif lebih.
Taxi berhenti di tepi sebuah bundaran,
persis depan sebuah bangunan tua yang berdiri gagah. Warnanya
coklat tanah. Inilah Babul Futuh atau as Saqifah al Kahlah,
pintu gerbang kota tua Mahdia dari arah darat. Tingginya 18,5 meter. Pintu
gerbang ini berupa lorong sepanjang 33 meter.
Saqifah Kahlah adalah satu-satunya pintu
gerbang kota tua Mahdia yang masih tersisa. Empat lainnya dihancurkan oleh
penjajah Spanyol pada pertengahan abad ke-16 Masehi.
Di ujung lorong itu, terdapat pasar yang menjajakan aneka souvenir untuk para turis, dengan nuansa Timur Tengah yang sangat khas. Sama dengan yang kulihat di Pasar Medina di kota Tunis, Khan Khalili di Kairo, Oudaya di Rabat, atau Sahah Jami el Fina di Marakesh.
Aku berjalan melewati komplek pertokoan itu. Beberapa pedagang menggodaku untuk mampir ke tokonya. Bahkan ada yang sengaja meraih kedua tanganku dan membimbingku masuk ke dalam tokonya. Tapi aku tolak secara halus. Rupanya mereka mengira aku turis beneran, hehe.
Aku terus berjalan seraya mengamati suasana
sekitar. Jauh di sebelah kanan sana, di seberang jalan raya, nampak Port al
Mahdia, pelabuhan laut dengan perahu-perahunya yang berjajar. Pelabuhan yang
juga dibangun oleh al Mahdi, berfungsi sebagai pusat perniagaan. Khalifah Muiz
li Dinillah – cucu al Mahdi yang memerintah tahun 953-975 M – membangun pabrik
perahu (Mashna’ as Safan, alias Dar al Bahr) di kawasan
ini. Ia berhasil memproduksi 900 perahu.
Jauh di sebelah kiri sana, benteng (qal’ah)
berdiri tegar menghadap ke lautan lepas. Khalifah al Mahdi membangunnya untuk
fungsi pertahanan dan
keamanan negara.
Dan lokasi tempat aku berdiri saat ini, adalah kawasan kota tua (al madinah al ‘atiqah), yang terdiri dari komplek pemukiman, pasar dan masjid tua, sebagaimana kusebutkan di atas. Dan sebagaimana ditulis dalam buku-buku sejarah, kota Mahdia dibangun dengan konsep tiga fungsi ; pertahanan, perniagaan dan pemukiman.
* * *
Berkunjung ke kota Mahdia, tak lengkap
rasanya jika tidak berziarah ke masjid al Fathimi. Masjid yang juga dibangun
oleh khalifah Ubaidillah al Mahdi ini berlokasi di tengah-tengah kota tua,
antara benteng dan pelabuhan. Bismillah, Allahummaftah Li Abwaba
Rohmatika. Aku memasuki masjid itu.
Masjid ini berukuran 75 x 55 meter. Berbentuk
persegi. Di tengah-tengahnya ada pelataran luas dengan atap terbuka.
Tiang-tiang berderet kokoh, dindingnya berlapis marmer dengan warna usang.
Sama modelnya dengan kebanyakan masjid di Timur Tengah, termasuk masjid Al
Azhar di kota Kairo atau masjid Ziotuna di kota Tunis. Hanya saja, masjid Al
Fathimi ini memiliki keunikan ; tidak memiliki menara..!
Masa sebelas abad telah dilewati masjid al Fathimi,
dengan suka duka. Mula-mula, ia dijadikan sebagai tempat ibadah keluarga
khalifahFathimia yang berhaluan Syiah. Awal abad ke-16, ia dikuasai oleh
penjajah Spanyol, kemudian dijadikan sebagai gereja sekaligus kuburan para
pembesar Spanyol. Tahun 1555 M, beberapa bagian bangunannya dirusak oleh
penjajah Spanyol, berbarengan dengan perusakan sejumlah bangunan penting di
kota tua Mahdia. Beberapa waktu kemudian, pemerintah Turki Usmani memperbaiki
masjid ini. Pada abad modern – tepatnya tahun1962 – Pemerintah Tunisia kembali
merehabnya tanpa menghilangkan wajah aslinya.
Aku berjalan di pelataran dalam masjid itu.
Puteriku yang baru berusia tiga tahun, berlari-lari kecil sembari tertawa-tawa.
Ibunya tak henti memotret beberapa sudut menarik masjid ini. Dari arah dalam
ruangan shalat, terdengar suara orang berbicara. Kuintip dari jendela, ternyata ada
sekelompok pemuda local sedang menggelar pengajian.
* * *
Fathimia adalah dinasti Syiah Ismailia yang
berkuasa dari tahun 910 hingga 1171 M. Khalifah mereka adalah para imam Syiah.
Fathimia mengkalim memiliki garis keturunan dari Rasulullah saw melalui jalur
Fathimah az Zahra, salah satu puteri Rasul. Karena itu mereka menamakan diri
Fathimia.
Dari kota Mahdia, mereka mengendalikan kekuasaan
yang meliputi kawasan al Maghrib al Arabi, yakni Andalusia, Maroko,Tunisia, Aljazair dan
Libya sekarang.
Pada tahun 970, mereka hijrah ke
Mesir, di bawah kepemimpinan khalifah al Muizz li Dinillah (memerintah tahun
953-975 M). Kota Mahdia ditinggalkan. Di Mesir, mereka menaklukan dinasti
Ikhsidiyah, kemudian membangun kota baru : Kairo. Kata “Kairo” berasal
dari kata “Qahirah”, artinya Penakluk. Kata itu dipilih sebagai kebanggaan bahwa mereka adalah penakluk
Mesir. Masjid Al Azhar juga dibangun pada masa ini. Kekuasaan mereka
meluas, hingga ke Syam dan menyeberang ke Sisilia dan Italia Selatan.
Kekuasaan dinasti Fathimia berakhir saat
Salahudin al Ayubi menaklukan Mesir pada akhir abad ke12 Masehi. Dinasti kaum
Syiah pun berakhir, kemudian diganti oleh Sunni. Dinasti Fathimia yang sempat berjaya di Mahdia
dan Kairo pun tinggal kenangan.
Tunis al Khadra, Jumat 15 Maret 2013
No comments:
Post a Comment