Thursday, January 16, 2014

Mogok Politik

NEGERI AHLI MOGOK 

Salah satu senjata andalan kaum oposisi di Tunis guna memprotes pemerintah adalah aksi mogok massal (idhrab ‘am). Euphoria kebebasan pasca revolusi 2011, semua profesi bisa mogok. Dari hakim, dokter, guru, sopir angkutan umum hingga tukang sampah. Rakyat jelata yang sering kena getahnya.

Rabu 15 Januari 2014 ini adalah hari keempat mogok kerja para petugas sampah di kota Tunis. Imbasnya sudah bisa ditebak : sampah menumpuk di mana-mana. Tadi siang aku menyusuri Jalan Bab Menara hingga Sidi Basyir, hampir tiap 100 meter ada gundukan sampah. 

Aku baca di koran, sebanyak 3000 orang petugas sampah di kota Tunis, melakukan mogok kerja karena menuntut kenaikan upah. Jalur perundingan telah mereka tempuh, sejak bulan Oktober 2013 lalu. Tapi nampaknya masih ada masalah. Entah pihak Pemerintah Kota Tunis belum merespon tuntutan mereka atau ada alasan lain, aku kurang faham

Yang jelas, selama 2-3 hari ini aku menyaksikan kota Tunis begitu kotor. Di mana-mana sampah menumpuk. Padahal sebelumnya tidak begitu. Apalagi yang kusaksikan selama tahun 2005-2007 lalu, Tunis adalah kota yang bersih, rapih dan serba tertata. 

Kran kebebasan sebagai imbas revolusi 2011 memang benar-benar terbuka. Kebebasan dinikmati oleh rakyat pada semua sector kehidupan, termasuk para petugas kebersihan. Di alam sekarang, mereka bebas berekspresi menuntut hak-haknya, meski harus dengan melakukan mogok kerja.

Ada Mogok Profesi
Aksi mogok petugas sampah hanyalah satu di antara serangkaian mogok massal yang terjadi di Tunis. Setelah revolusi 2011, aksi mogok adalah hal lumrah di negeri berpenduduk 11 juta jiwa ini.

Hampir tiap bulan, bahkan tiap minggu, ada saja kelompok profesi yang melakukan mogok kerja. Seingatku, puluhan aksi mogok terjadi dalam setahun terakhir, dilakukan oleh berbagai kelompok profeesi. 

Kamis 9 Januari 2014 pekan lalu, para dokter dan apoteker yang mogok. Tak ada petugas medis yang bekerja. Pasien di rumah sakit pun terlantar. Kabarnya, mereka menuntut aturan baru tentang jam kerja para petugas medis.

Sejak hari ini (15 Januari 2014) hingga 2 minggu ke depan, giliran para hakim yang mogok. Siang tadi mereka demo di depan gedung Majlis Ta’sisi (MPR-nya Tunis), meminta penetapan pasal tentang independensi hakim dalam Undang-undang Negara yang baru. Kebayang imbas para hakim mogok kerja : sekian ratus atau sekian ribu perkara di pengadilan akan tertunda penyelesaiannya.

Di tingkat daerah, trend mogok kerja juga hal biasa. Selasa 7 Januari 2014 lalu, pemerintah Provinsi Gaserin melakukan mogok massal, meliputi seluruh perangkat pemerintahan, dari gubernur hingga kepala desa. Kabarnya, mereka menuntut perhatian pemerintah pusat akan nasib pembangunan pedesaan.

Para mahasiswa juga tak mau ketinggalan. Mereka sering mogok, tak terkecuali mahasiswa di kampus tempat aku kuliah. Para mahasiswa Fakultas Peradaban Islam melakukan mogok pada awal Desember 2013 lalu. Tiga hari berturut-turut mereka puasa kuliah, hehe.. Mereka menuntut perbaikan beberapa layanan kemahasiswaan. Bagi mahasiswa yang pemalas dan biasa bolos, mogok kuliah adalah ‘legitimasi’ untuk semakin malas, hehe.. (Ada yang merasa tersindir?! Hehe..)

Banyak kelompok profesi lain yang juga kena ‘virus’ mogok. Sopir angkutan umum pernah mogok, sekitar 4-5 bulan lalu. Hari itu, tak ada kendaaraan umum yang beroperasi. Para calon penumpang terlantar.  Dosen dan guru beberapa kali juga mogok mengajar. Yang senang tentunya para mahasiwa dan murid, hehe...(Yang setuju angkat tangan, hehe..)

Ada Mogok Massal
Mogok tak hanya dilakukan per profesi. Mogok pernah juga dilakukan secara massal, alias bersifat nasional.

Tahun lalu, atau tepatnya Jumat 08 Februari 2013 misalnya. Serikat buruh nasional Tunisia al Ittihad al ‘Am at Tunisi lis Syugl  menyerukan mogok nasional sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, menyusul tewasnya Syukri Bel’eid, seorang tokoh oposisi yang ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya.

Hari Jumat itu, aku saksikan betapa kota Tunis sangat lengang. Jalan raya 9 April dekat rumahku yang biasa padat, nampak sepi. Hanya sesekali kendaraan yang lewat. Toko-toko juga tak ada yang buka. Untunglah persediaan kebutuhan rumah sudah cukup.

Pokoknya, hari itu Tunis seperti kota mati. Semua kegiatan terhenti.  Tak hanya perkantoran biasa, bandara internasional Tunis pun mogok !  Tak ada penerbangan, baik keberangkatan atau kedatangan.

Aku berfikir, ini organisasi serikat buruh gagah amat. Bisa menggerakkan seluruh elemen masyarakat senegeri. Sekjen organisasi ini, Husein al Abbasi, bahkan sibuk terlibat dalam perundingan-perundingan politik, sebagaimana layaknya pimpinan partai besar saja. Abbasi kerap ditunjuk jadi mediator dialog antara Nahdhah dengan kaum oposisi. Seorang teman orang Tunis bercerita, pengaruh serikat buruh ini memang melebihi partai politik. Bisa kitu nya?!

Rupanya, semua pekerja di Tunis, baik PNS maupun pegawai swasta, masuk dalam anggota serikat buruh ini. Yang aku herankan, kok pegawai negeri pun bisa tunduk pada serikat buruh ini? Bukankah seharusnya mereka lebih loyal ke kementeriannya? Kok mereka malah jadi ‘ahli mogok’ begitu?

Aku pun bertanya pada buku. Mengapa serikat buruh ini memiliki power yang begitu besar. Ternyata oh ternyata, organisasi ini berjasa besar dalam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tunisia. Sejak didirikannya pada tahun 1946, al Ittihad al ‘Am at Tunisi lis Syugl ini giat melakukan perjuangan diplomatic dengan penjajah Perancis, guna mengusahakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Tunisia merdeka tahun 1956.

Pimpinan serikat buruh kala itu bernama Farhat Hasyad. Nama yang sangat dikenal di Tunis hingga hari ini. Fotonya banyak terpasang, dengan peci merah dan kumis baplang-nya yang khas itu.

Ada Juga Mogok Gagal
Tidak semua aksi mogok ini berjalan sukses. Tercatat beberapa kali mogok yang ‘gagal’, alias tidak ditaati. Sekitar bulan Juni atau Juli 2013, pernah ada seruan mogok nasional. Pihak penyerunya ya serikat buruh tadi. Iklan atau kampanye ajakan mogok telah disebar, sejak H-3, baik di media cetak maupun elektronik. Begitu H-1, sejumlah ulama terkemuka berkumpul, lalu mengeluarkan semacam komunike para ulama peduli nasib bangsa. Di antara isinya, menyerukan umat Islam untuk tidak mengindahkan seruan aksi mogok, karena lebih besar madharatnya ketimbang manfaatnya.

Himbauan mereka tidak sia-sia. Saat hari mogok tiba, aktifitas warga tetap berjalan seperti biasa, meski tidak optimal seratus persen. Artinya, aksi mogok tetap dilakukan tetapi ‘pesertanya’ sedikit.

Ada satu lagi seruan mogok yang gagal, malah lucu. Yakni seruan mogok bagi para imam dan khatib, pada hari raya Idul Adha 1434 H, pertengahan Oktober 2013 lalu. Seperti diketahui, bahwa imam masjid di Tunisia ini adalah ditunjuk dan ditugaskan resmi oleh pemerintah. Tidak bisa sembarang orang nyelonong jadi imam shalat.

Waktu itu, seruan mogok disampaikan oleh an Naqabah al Wathaniyah lil Itharat ad Diniyah. Akan tetapi seruan itu tidak digubris oleh para imam masjid. Almukarromun para asatidz itu lebih mendengar panggilan Tuhannya, ketimbang panggilan tuannya.

Andai saja mereka mengikuti seruan mogok itu. Isi catatan Surat dari Tunis (28) ini bisa jadi bukan seperti ini. Wallahu A’lam. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, senja 15 Januari 2014  

No comments:

Post a Comment