NEGERI AHLI MOGOK
Salah satu senjata andalan
kaum oposisi di Tunis guna memprotes pemerintah adalah aksi mogok massal
(idhrab ‘am). Euphoria kebebasan pasca revolusi 2011, semua profesi bisa mogok.
Dari hakim, dokter, guru, sopir angkutan umum hingga tukang sampah. Rakyat
jelata yang sering kena getahnya.
Rabu 15 Januari 2014 ini adalah
hari keempat mogok kerja para petugas sampah di kota Tunis. Imbasnya sudah bisa
ditebak : sampah menumpuk di mana-mana. Tadi siang aku menyusuri Jalan Bab
Menara hingga Sidi Basyir, hampir tiap 100 meter ada gundukan sampah.
Aku baca di koran, sebanyak
3000 orang petugas sampah di kota Tunis, melakukan mogok kerja karena menuntut
kenaikan upah. Jalur perundingan telah mereka tempuh, sejak bulan Oktober 2013
lalu. Tapi nampaknya masih ada masalah. Entah pihak Pemerintah Kota Tunis belum
merespon tuntutan mereka atau ada alasan lain, aku kurang faham
Yang jelas, selama 2-3
hari ini aku menyaksikan kota Tunis begitu kotor. Di mana-mana sampah menumpuk.
Padahal sebelumnya tidak begitu. Apalagi yang kusaksikan selama tahun 2005-2007
lalu, Tunis adalah kota yang bersih, rapih dan serba tertata.
Kran kebebasan sebagai
imbas revolusi 2011 memang benar-benar terbuka. Kebebasan dinikmati oleh rakyat
pada semua sector kehidupan, termasuk para petugas kebersihan. Di alam
sekarang, mereka bebas berekspresi menuntut hak-haknya, meski harus dengan
melakukan mogok kerja.
Ada Mogok
Profesi
Aksi mogok petugas sampah
hanyalah satu di antara serangkaian mogok massal yang terjadi di Tunis. Setelah
revolusi 2011, aksi mogok adalah hal lumrah di negeri berpenduduk 11 juta jiwa
ini.
Hampir tiap bulan, bahkan tiap minggu, ada saja kelompok profesi yang
melakukan mogok kerja. Seingatku, puluhan aksi mogok terjadi dalam setahun
terakhir,
dilakukan oleh berbagai kelompok profeesi.
Kamis 9 Januari 2014 pekan
lalu, para dokter dan apoteker yang mogok. Tak ada petugas medis yang bekerja.
Pasien di rumah sakit pun terlantar. Kabarnya, mereka menuntut aturan baru
tentang jam kerja para petugas medis.
Sejak hari ini (15 Januari
2014) hingga 2 minggu ke depan, giliran para hakim yang
mogok. Siang tadi mereka demo di depan gedung Majlis Ta’sisi
(MPR-nya Tunis), meminta penetapan pasal tentang independensi hakim dalam Undang-undang
Negara yang baru. Kebayang imbas para hakim mogok kerja : sekian ratus atau
sekian ribu perkara di pengadilan akan tertunda penyelesaiannya.
Di tingkat daerah, trend
mogok kerja juga hal biasa. Selasa 7 Januari 2014 lalu, pemerintah Provinsi
Gaserin melakukan mogok massal, meliputi seluruh perangkat pemerintahan, dari
gubernur hingga kepala desa. Kabarnya, mereka menuntut perhatian pemerintah
pusat akan nasib pembangunan pedesaan.
Para mahasiswa juga tak
mau ketinggalan. Mereka sering mogok, tak terkecuali mahasiswa di kampus tempat
aku kuliah. Para mahasiswa Fakultas Peradaban Islam melakukan mogok pada awal
Desember 2013 lalu. Tiga hari berturut-turut mereka puasa kuliah, hehe.. Mereka
menuntut perbaikan beberapa layanan kemahasiswaan. Bagi mahasiswa yang pemalas dan biasa bolos, mogok kuliah adalah ‘legitimasi’ untuk semakin malas, hehe.. (Ada
yang merasa tersindir?! Hehe..)
Banyak kelompok profesi
lain yang juga
kena ‘virus’ mogok. Sopir angkutan umum pernah mogok, sekitar
4-5 bulan lalu. Hari itu, tak ada kendaaraan umum yang beroperasi. Para calon
penumpang terlantar. Dosen dan guru beberapa kali juga mogok mengajar. Yang
senang tentunya para mahasiwa dan murid, hehe...(Yang setuju angkat tangan,
hehe..)
Ada Mogok
Massal
Mogok tak hanya dilakukan per profesi. Mogok pernah
juga dilakukan secara massal, alias bersifat nasional.
Tahun lalu, atau tepatnya Jumat 08 Februari 2013
misalnya. Serikat buruh nasional Tunisia al Ittihad al ‘Am at
Tunisi lis Syugl menyerukan
mogok nasional sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, menyusul tewasnya
Syukri Bel’eid, seorang tokoh oposisi yang ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya.
Hari Jumat itu, aku saksikan betapa
kota Tunis sangat lengang. Jalan raya 9 April dekat rumahku yang biasa padat, nampak sepi.
Hanya sesekali kendaraan yang lewat. Toko-toko
juga
tak ada yang buka. Untunglah persediaan kebutuhan rumah sudah cukup.
Pokoknya, hari itu Tunis seperti kota mati. Semua
kegiatan terhenti. Tak hanya perkantoran
biasa, bandara internasional Tunis pun mogok ! Tak ada penerbangan, baik keberangkatan atau
kedatangan.
Aku berfikir, ini organisasi serikat buruh gagah amat. Bisa menggerakkan
seluruh elemen masyarakat senegeri. Sekjen organisasi ini, Husein al Abbasi, bahkan
sibuk terlibat dalam perundingan-perundingan politik, sebagaimana layaknya
pimpinan partai besar saja. Abbasi kerap ditunjuk jadi mediator dialog antara
Nahdhah dengan kaum oposisi. Seorang teman orang Tunis bercerita, pengaruh
serikat buruh ini memang melebihi partai politik. Bisa kitu nya?!
Rupanya, semua pekerja di Tunis, baik PNS maupun pegawai swasta, masuk
dalam anggota serikat buruh ini. Yang aku herankan, kok pegawai negeri pun bisa
tunduk pada serikat buruh ini? Bukankah seharusnya mereka lebih loyal ke kementeriannya? Kok mereka malah jadi ‘ahli mogok’ begitu?
Aku pun bertanya pada
buku. Mengapa serikat buruh ini memiliki power yang begitu besar. Ternyata oh
ternyata, organisasi ini berjasa besar dalam dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Tunisia. Sejak didirikannya pada tahun 1946, al Ittihad al ‘Am
at Tunisi lis Syugl ini giat melakukan perjuangan diplomatic dengan penjajah
Perancis, guna mengusahakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Tunisia merdeka tahun
1956.
Pimpinan serikat buruh kala itu bernama Farhat Hasyad. Nama yang sangat dikenal di Tunis hingga hari ini. Fotonya banyak terpasang, dengan peci merah dan kumis baplang-nya
yang khas itu.
Ada Juga Mogok
Gagal
Tidak semua aksi mogok ini
berjalan sukses. Tercatat beberapa kali mogok yang ‘gagal’, alias tidak
ditaati. Sekitar bulan Juni atau Juli 2013, pernah ada seruan mogok nasional.
Pihak penyerunya ya serikat buruh tadi. Iklan atau kampanye ajakan mogok telah disebar,
sejak H-3, baik di media cetak maupun elektronik. Begitu H-1, sejumlah ulama
terkemuka berkumpul, lalu mengeluarkan semacam komunike para ulama peduli nasib
bangsa. Di antara isinya, menyerukan umat Islam untuk tidak mengindahkan seruan aksi mogok, karena lebih besar madharatnya ketimbang manfaatnya.
Himbauan mereka tidak
sia-sia. Saat hari mogok tiba, aktifitas warga tetap berjalan seperti biasa,
meski tidak optimal seratus persen. Artinya, aksi mogok tetap dilakukan
tetapi ‘pesertanya’ sedikit.
Ada satu lagi seruan mogok
yang gagal, malah lucu. Yakni seruan mogok bagi para imam dan khatib, pada hari raya Idul
Adha 1434 H, pertengahan Oktober 2013 lalu.
Seperti diketahui, bahwa imam masjid di Tunisia ini adalah ditunjuk dan
ditugaskan resmi oleh pemerintah. Tidak bisa sembarang orang nyelonong
jadi imam shalat.
Waktu itu, seruan
mogok
disampaikan oleh an Naqabah al Wathaniyah lil Itharat ad Diniyah.
Akan tetapi
seruan itu tidak digubris oleh para imam masjid.
Almukarromun para asatidz itu lebih mendengar panggilan Tuhannya, ketimbang panggilan tuannya.
Andai saja mereka mengikuti seruan mogok itu. Isi
catatan Surat dari Tunis (28) ini bisa jadi bukan seperti ini. Wallahu A’lam.
Salam Manis dari Tunis.
No comments:
Post a Comment