Saturday, February 15, 2014

Tunis Cadar

Menyamar di Balik Cadar

Isu yang hangat dibicarakan di Tunis pada dua pekan pertama bulan Februari 2014 ini adalah soal keterkaitan antara cadar dan terorisme. Fatwa Imam Besar Masjid Zitouna dan pernyataan resmi Mendagri, menegaskan cadar sebagai identik dengan terorisme.

***
Bagi warga Tunisia, revolusi 2011 kerap dinamai sebagai tsaurah mubarakah, revolusi pembawa berkah. Tak hanya momentum untuk lepas dari belenggu kekuasaan yang diktator, revolusi ini juga menjadi titik tolak kebebasan menjalankan ajaran agama (Islam).

Masjid-masjid kembali ramai, padahal pada masa lalu orang yang rajin jama’ah sering diinterogasi aparat. Mushalla (Baitus Shalat) kini ada di berbagai tempat : terminal, gedung pameran, mall, hingga rest area di jalan tol. Padahal dulu, jangankan di rest area, di kampus atau sekolahan saja belum tentu ada mushalla. Pengajian-pengajian kembali dibuka, padahal dulu kegiatan pendidikan keagamaan sangat dibatasi. Orang seolah malu atau takut untuk belajar agama.

Satu lagi : kaum wanita kembali berjilbab. Padahal dulu jilbab sering dilarang. Pejilbab harus menandatangani surat perjanjian di hadapan aparat.  Kini, jilbab bebas dipakai, bahkan tak sedikit pula muslimah yang menggunakan niqab alias cadar. Kini, pemakai cadar mudah dijumpai di berbagai tempat di Tunis.

Tapi, peristiwa yang terjadi belakangan ini sepertinya membuat galau para pecadar. Protes-protes anti cadar mulai bergema, termasuk oleh para akademisi di sejumlah universitas umum. Beberapa hari lalu, Imam Besar Masjid Zitouna, Syekh Husain el Abidi meminta pemerintah melarang pemakaian cadar. (Anda yang berada di laur Tunis, bisa merujuk berita ini ke website resmi Masjid Zitouna : www.zytouna.com )    

Dan puncaknya, Jumat (14/02) sore, Mendagri Lutfi ben Jedu, mengumumkan bahwa pemerintah mulai saat ini akan bersikap tegas dalam mengawasi para Muslimah pecadar.

***
Cadar sebenarnya hanya “kena getah” saja. Ceritanya bermula dari sejumlah kasus pembekukan teroris yang belakangan sedang gencar dilakukan oleh tim Densus 88-nya Tunis.

Sabtu (08/02) lalu, aparat membekuk 4 orang terduga teroris di Hay Nassim, sebuah perkampungan di Ariana, kota penyangga ibukota Tunis. 

Beberapa hari sebelumnya (03/02) lalu, selama 20 jam, tim Densus Tunis mengepung sebuah rumah yang dihuni para terduga teroris di kawasan Rouad, juga kawasan pinggiran kota Tunis. Karena upaya damai tidak membuahkan hasil, baku tembak antara aparat dan para teroris pun terjadi. Tujuh teroris tewas. Dari pihak Densus, satu tewas dan empat terluka.

Dua dari tujuh teroris yang tewas itu adalah Kamal Qadqadi dan Ahmad Shomali, pelaku penembakan yang menewaskan tokoh oposisi bernama Mohamed Ibrahimi, September 2013 lalu. Kematian Ibrahimi inilah yang memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di Tunis, hingga pemerintahan Nahdhah (kabinet Ali el Aridhi) lengser sebelum waktunya. 

Berita pembekukan para teroris ini menghiasi halaman muka koran-koran local di Tunis, dalam sepekan terakhir ini.

Pembaca mungkin bertanya-tanya, apa keterkaitan pembekukan para teroris ini ini dengan cadar?

***
Sejumlah terduga teroris di dua kawasan itu, terbukti menggunakan cadar untuk mengelabui Densus. Dikira perempuan yang lemah lembut, ternyata dari balik busana hitam dan lebar itu, mereka mengeluarkan senjata. Senjata beneran, hehe, yang dipakai untuk menyerang petugas. Rupanya mereka menyamar di balik cadar, pura-pura jadi perempuan.

Sekitar akhir tahun 2013 lalu, bereder juga kabar bahwa pimpinan Anshar Syariah Tunisia, bernama Abu Iyadh, “sukses” menyusup ke Libya dengan mengenakan cadar. Anshar Syariah adalah organisasi yang berafiliasi ke jaringan Al Qaida. Pemerintah Tunisia ketika itu (masih dikuasai oleh partai Islam Nahdha) menyatakan bahwa Anshar Syariah adalah organisasi teroris dan terlarang. Karena itulah, Abu Iyadh masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Wah, modus baru nih, pikirku. Cadar dijadikan alat untuk menyembunyikan identitas diri. Dikira perempuan yang gemulai, eh ternyata pria kekar berjenggot.

Pantas jika dalam konteks ini, Syekh Abidi berpendapat cadar bisa menjadi terlarang. Yusbihu muharroman liannahu sayuaddi ila mafsadatin, demikian argumentasi sang Syekh. Ia menjadi haram karena akan mendorong terjadinya bahaya. Argumentasi seperti ini memang popular di kalangan para ulama Maliki, melalui konsep yag dinamakan Sad Dzara’i. Dalam kajian Ushul Fiqh, Sad Dzara’i artinya menutup jalan yang bisa mendorong pada terjadinya bahaya/dosa.

Sejumlah media local di Tunis belakangan ini, memasang kalimat an Niqab fi Khidmatil Irhab sebagai judul-judul headline. Artinya, cadar sebagai media kaum teroris.

Pantas juga jika Mendagri akan lebih mengawasi para pecadar. Siapa tau masih ada terduga teroris yang menyamar di balik cadar. Wallahu A’lam. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 14 Februari 2014. 

No comments:

Post a Comment