Menyamar di Balik Cadar
Isu yang hangat dibicarakan di Tunis pada dua
pekan pertama bulan Februari 2014 ini adalah soal keterkaitan antara cadar dan
terorisme. Fatwa Imam Besar Masjid Zitouna dan pernyataan resmi Mendagri, menegaskan
cadar sebagai identik dengan terorisme.
***
Bagi warga Tunisia, revolusi 2011 kerap dinamai
sebagai tsaurah mubarakah, revolusi pembawa berkah. Tak hanya momentum untuk
lepas dari belenggu kekuasaan yang diktator, revolusi ini juga menjadi titik
tolak kebebasan menjalankan ajaran agama (Islam).
Masjid-masjid kembali ramai, padahal pada masa
lalu orang yang rajin jama’ah sering diinterogasi aparat. Mushalla (Baitus
Shalat) kini ada di berbagai tempat : terminal, gedung pameran, mall, hingga
rest area di jalan tol. Padahal dulu, jangankan di rest area, di kampus atau
sekolahan saja belum tentu ada mushalla. Pengajian-pengajian kembali dibuka,
padahal dulu kegiatan pendidikan keagamaan sangat dibatasi. Orang seolah malu atau
takut untuk belajar agama.
Satu lagi : kaum wanita kembali berjilbab. Padahal
dulu jilbab sering dilarang. Pejilbab harus menandatangani surat perjanjian di
hadapan aparat. Kini, jilbab bebas
dipakai, bahkan tak sedikit pula muslimah yang menggunakan niqab alias cadar. Kini,
pemakai cadar mudah dijumpai di berbagai tempat di Tunis.
Tapi, peristiwa yang terjadi belakangan ini
sepertinya membuat galau para pecadar. Protes-protes anti cadar mulai bergema, termasuk
oleh para akademisi di sejumlah universitas umum. Beberapa hari lalu, Imam
Besar Masjid Zitouna, Syekh Husain el Abidi meminta pemerintah melarang
pemakaian cadar. (Anda yang berada di laur Tunis, bisa merujuk berita ini ke
website resmi Masjid Zitouna : www.zytouna.com )
Dan puncaknya, Jumat (14/02) sore, Mendagri
Lutfi ben Jedu, mengumumkan bahwa pemerintah mulai saat ini akan bersikap tegas
dalam mengawasi para Muslimah pecadar.
***
Cadar sebenarnya hanya “kena getah” saja.
Ceritanya bermula dari sejumlah kasus pembekukan teroris yang belakangan sedang
gencar dilakukan oleh tim Densus 88-nya Tunis.
Sabtu (08/02) lalu, aparat membekuk 4 orang terduga
teroris di Hay Nassim, sebuah perkampungan di Ariana, kota penyangga ibukota
Tunis.
Beberapa hari sebelumnya (03/02) lalu, selama
20 jam, tim Densus Tunis mengepung sebuah rumah yang dihuni para terduga teroris
di kawasan Rouad, juga kawasan pinggiran kota Tunis. Karena upaya damai tidak
membuahkan hasil, baku tembak antara aparat dan para teroris pun terjadi. Tujuh
teroris tewas. Dari pihak Densus, satu tewas dan empat terluka.
Dua dari tujuh teroris yang tewas itu adalah
Kamal Qadqadi dan Ahmad Shomali, pelaku penembakan yang menewaskan tokoh
oposisi bernama Mohamed Ibrahimi, September 2013 lalu. Kematian Ibrahimi inilah
yang memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di Tunis, hingga pemerintahan
Nahdhah (kabinet Ali el Aridhi) lengser sebelum waktunya.
Berita pembekukan para teroris ini menghiasi
halaman muka koran-koran local di Tunis, dalam sepekan terakhir ini.
Pembaca mungkin bertanya-tanya, apa keterkaitan
pembekukan para teroris ini ini dengan cadar?
***
Sejumlah terduga teroris di dua kawasan itu,
terbukti menggunakan cadar untuk mengelabui Densus. Dikira perempuan yang lemah
lembut, ternyata dari balik busana hitam dan lebar itu, mereka mengeluarkan
senjata. Senjata beneran, hehe, yang dipakai untuk menyerang petugas. Rupanya
mereka menyamar di balik cadar, pura-pura jadi perempuan.
Sekitar akhir tahun 2013 lalu, bereder juga
kabar bahwa pimpinan Anshar Syariah Tunisia, bernama Abu Iyadh, “sukses”
menyusup ke Libya dengan mengenakan cadar. Anshar Syariah adalah organisasi
yang berafiliasi ke jaringan Al Qaida. Pemerintah Tunisia ketika itu (masih
dikuasai oleh partai Islam Nahdha) menyatakan bahwa Anshar Syariah adalah
organisasi teroris dan terlarang. Karena itulah, Abu Iyadh masuk dalam daftar
pencarian orang (DPO).
Wah, modus baru nih, pikirku. Cadar dijadikan
alat untuk menyembunyikan identitas diri. Dikira perempuan yang gemulai, eh
ternyata pria kekar berjenggot.
Pantas jika dalam konteks ini, Syekh Abidi
berpendapat cadar bisa menjadi terlarang. Yusbihu muharroman liannahu
sayuaddi ila mafsadatin, demikian argumentasi sang Syekh. Ia menjadi
haram karena akan mendorong terjadinya bahaya. Argumentasi seperti ini memang
popular di kalangan para ulama Maliki, melalui konsep yag dinamakan Sad
Dzara’i. Dalam kajian Ushul Fiqh, Sad Dzara’i artinya menutup jalan yang bisa
mendorong pada terjadinya bahaya/dosa.
Sejumlah media local di Tunis belakangan ini,
memasang kalimat an Niqab fi Khidmatil Irhab sebagai judul-judul
headline. Artinya, cadar sebagai media kaum teroris.
Pantas juga jika Mendagri akan lebih mengawasi
para pecadar. Siapa tau masih ada terduga teroris yang menyamar di balik cadar.
Wallahu A’lam. Salam Manis dari Tunis.
Tunis
al Khadra, 14 Februari 2014.
No comments:
Post a Comment