Tahir Haddad, Sang Feminis dari Tunis
Cover buku Imroatuna cetakan Beirut, 220 halaman
Tahir Hadad
(1899-1935) mengusulkan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Ia menentang
poligami, menilai jilbab sebagai pengekang ruang gerak perempuan, serta
mendorong wanita sekolah dan bekerja. Reaksi keras muncul dari para ulama
Zitouna. Haddad diasingkan, ijazahnya dicabut, kemudian meninggal – konon dibunuh-
pada usia 36 tahun.
TUNISIA dikenal
sebagai negeri Arab yang memiliki Undang-undang Hukum Keluarga yang paling
progressive di dunia Islam, hingga saat ini. Di antara pasalnya : (1) poligami
dilarang, pelakunya diancam denda plus penjara. (2) Gadis di atas 18 tahun
tidak dapat dipaksa untuk menikah, meskipun oleh ayah kandungnya sendiri.
Artinya, sang gadis boleh menolak pilihan ayah. Padahal dalam fikih Islam, ayah
kandung memiliki hak ijbar, artinya boleh memaksa puterinya menikah. (3) Suami
yang menceraikan isteri wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isteri,
tak hanya pada masa iddah, tetapi selama isteri itu menjanda. Dan masih banyak pasal
lainnya.
Mengapa UU yang
diberlakukan sejak tahun 1956 itu sangat progressive? Mengapa begitu semangat
mendukung hak-hak kaum perempuan meskipun –nampak- menyalahi
ketentuan-ketentuan dalam fikih?
Banyak factor
yang melandasinya. Selain karena factor ideology sekuler yang diterapkan oleh Presiden
Habib Borguiba, UU Keluarga ini juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran sejumlah
tokoh modernis di Tunis. Satu di antara mereka adalah Tahir Haddad yang
terkenal karena bukunya yang kontroversial : Imroatuna fis Syariah wal
Mujtama’.
Sang Pahlawan
Nama Tahir Haddad
bukanlah nama asing di Tunis. Sejak tingkat Sekolah Dasar, nama ini sudah
dikenalkan ke para murid sebagai ‘udzama biladi’, salah satu orang besar di
negeriku. Fotonya terpampang di sejumlah tempat : lembaga pendidikan, kantor
pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan
nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir Haddad”.
Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia.
Apa dan siapa
Tahir Haddad? Ia adalah pahlawan nasional, sastrawan, sekaligus ulama yang
menyuarakan kebebasan perempuan. Gagasan-gagasannya yang menentang penjajah
Perancis, juga aktifitasnya sebagai pendiri partai al Hizb al Hurr ad Dusturi pada
tahun 1920-an bersama aktifis terkenal Abdul Aziz Tsa’albi, menjadikannya masuk
dalam kategori pahlawan nasional. Syair-syairnya yang terkenal, membuat namanya
juga dikenang sebagai salah satu sastrawan Tunis, bersanding dengan nama besar
Ali as Syabi. Dan terakhir, ia dikenal juga sebagai feminis, karena
keberaniannya mengusung kebebasan perempuan dalam bukunya, Imroatuna fis
Syariah wal Mujtama’.
Tahir Haddad
lahir di kota Tunis, pada tahun 1899. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah
kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan.
Mula-mula, Haddad
belajar agama di kuttab, menghafal Al Quran, kemudian belajar agama di Ta’lim
Zitouni, hingga meraih syahadah tathwi’, setingkat SMA sekarang.
Kemudian ia melanjutkan belajar di fakultas hukum Universitas Tunis.
Haddad seorang
yang cerdas serta peduli akan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya di
koran local pada tahun 1920-an, ia menyuarakan semangat perjuangan kepada para
pemuda Tunisia.
Pada tahun 1927 ia menulis
buku “al ‘Ummal at Tunisiyun wa Dzuhur al Harakah an Naqabiyah”. Melalui
buku ini, ia menyuarakan pentingnya gerakan social menuju perjuangan merebut
kemerdekaan. Bukunya ini dilarang beredar oleh penjajah Perancis. Dalam bidang pendidikan, ia juga menulis
buku at Ta’lim al Islami wa Harakat al Ishlah fi Jami’ az Zaituna. Melalui
buku ini, ia menyampaikan sejumlah gagasan reformasi pendidikan pada lembaga
tempat ia belajar : Ta’lim Zitouni.
Tahun 1930,
bukunya Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’ terbit, setebal 140 halaman.
Penerbitnya adalahal Mathba’ah al Fanniah, yang berlokasi tak jauh dari Masjid
Zitouna. Melalui buku ini, ia mengusulkan kesetaraan antara pria dan wanita.
Tentu saja buku ini memicu reaksi keras para ulama, hingga sempat hilang dari peredaran.
Ia terbit lagi tahun 1972 pada era kemerdekaan Tunisia, di bawah kepemimpinan
Presiden Habib Borguiba yang sekuler. Pada masa sekarang, buku Haddad ini
dicetak berulang-ulang oleh Dar Tunisiyah lin Nasyr, juga oleh Dar al Intisyar
al Arabi, Beirut.
Sang Feminis
Gagasan-gagasan
Haddad dalam buku Imroatuna sebenarnya terinspirasi oleh para feminis Muslim
pada era terdahulu, seperti Qassim Amin atau Rif’at Tahtawi. Isu-isu
yang diangkatnya, tak jauh dari seputar jilbab, waris, hak-hak isteri dalam
perkawinan, serta pendidikan kaum perempuan.
Ide-ide pembaharuan yang dikemukakan Haddad selalu berangkat
dari fenomena kaum wanita Muslimah di Tunisia pada masanya, yang ia nilai
sangat terbelakang. Keterbelakangan nasib kaum wanita di negerinya, sangat
berimbas besar bagi keterbelakangan negerinya secara umum. Karena itu, kata
Haddad, jika masyarakat Tunisia ingin
maju, maka majukanlah kaum perempuannya.
Salah satu
penghalang kemajuan kaum perempuan, menurut Haddad, adalah jilbab.
Haddad yang menilai jilbab sebagai tradisi
bangsa Arab, bukan merupakan murni ajaran Islam (laisa
hukman min ahkamid din), melihat
jilbab sebagai symbol keterkungkungan wanita. Jilbab telah menghalangi kaum
perempuan dari kesempatan belajar, bekerja, dan melakukan aktifitas lain di
luar rumah.
Perzinaan, tidak
muncul karena banyaknya wanita
yang tidak berjilbab. Melainkan karena
akhlak yang buruk, atau karena kefakiran. Perzinaan, kata Haddad, bisa
dihilangkan melalui pendidikan yang baik.
Tentang
pendidikan. Seorang ibu tidak akan bisa mengasuh dan mendidik anaknya secara
baik, jika si ibu itu sendiri tidak berpendidikan baik. Ia juga tidak bisa
menjadi mitra kaum pria dalam membangun negeri, jika ia tidak berpendidikan.
Membatasi kesempatan sekolah hanya untuk kaum pria, semakin membuka jurang
kesenjangan antara kaum pria dan wanita. Pada gilirannya, akan mendorong kaum
pria untuk lebih memilih wanita Eropa yang berpendidikan sebagai isterinya.
Karena itu, Hadad
menyeru untuk dibangun sekolah bagi kaum perempuan, yang di dalamnya juga
diajarkan berbagai macam ilmu, termasuk matematika, IPA, dasar-dasar ilmu
kesehatan, ilmu kerajinan tangan, bahkan olahraga dan seni.
Tentang
perkawinan. Hadad mengusulkan agar ada batasan minimal usia pernikahan bagi
kedua mempelai. Ia memprotes tradisi Arab yang biasa meninggi-ninggikan mahar,
atau royal dalam melaksanakan pesta perkawinan. Haddad mengkritik fenomena
orang Arab Tunis yang biasa memiliki utang setelah menggelar pesta kawin. Selain itu, Hadad juga mengkritik keluarga yang memperbanyak anak, tetapi tidak mampu
mensejahterakan dan member mereka pendidikan yang baik. Artinya, Hadad mengusulkan program keluarga berencana,
meski secara tersirat.
Poligami (ta’addud az
zaujat) dalam pandangan Hadad adalah salah satu bentuk kejelekan yang
terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al
Jahiliyah al ula). Hadad menggambarkan
fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri beberapa orang
wanita, bahkan tanpa batas. Kemudian para isteri itu diperlakukan secara tidak
adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas perilaku ini
dengan menurunkan ketentuan secara bertahap (tadarruj) ; mula-mula
membatasi jumlah maksimal wanita yang dijadikan isteri hingga 4 orang, dan kemudian
mensyaratkan berlaku adil di antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat
diwujudkan oleh seorang suami. Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami
sebenarnya tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam sebenarnya
bermaksud memberantas perilaku poligami ini.
Hadad juga memandang bahwa
poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu sendiri,
yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan suami
isteri. Ketiga hal itu aka terwujud jika seorang suami hanya mencurahkan kasih
sayangnya pada seorang isteri.
Tentang
perceraian. Hadad mengusulkan agar perceraian terjadi di depan hakim. Kemudian,
jika perceraian dijatuhkan secara sepihak oleh suami, Hadad mengusulkan agar
ada uang tebusan atau denda dari pihak suami.
Masih
banyak ide-ide Haddad yang tidak aku tulis di sini. Bagi yang ingin
mengetahuinya lebih detail, silahkan baca bukunya langsung. Pada cetakan
Beirut, buku ini hanya 220 halaman saja.
Menurut sejumlah
analis, gagasan-gagasan Hadad lebih
berani dari pada gagasan-gagasan pendahulunya seperti Qassim Amin. Jika Qassim
Amin mengusulkan kesetaraan hak kaum pria dan kaum wanita dalam pendidikan
minimal tingkat sekolag dasar, maka Haddad menyebutkan kesetaraan itu hingga
dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu olah raga dan kesenian.
Sang Kontroversial
Ragam reaksi publik terhadap buku Hadad ini.
Kalangan nasionalis yang didukung oleh penjajah Perancis, menyambut buku ini
dengan sukacita. Mereka menggelar perayaan khusus (haflah) yang digelar
secara mewah. Haddad diundang hadir dalam acara ini. Kisah tentang haflah ini
diceritakan secara detail oleh penulis bernama Muhammad al May dalam buku berjudul
Haflah Takrim Kitab Tahir al Haddad.
Sedangkan kalangan ulama Zitouna, menentang
keras buku ini. Setelah bukunya beredar
Haddad mengalami kritikan dan kecaman. Ia sempat diusir dari ruang ujian di kampus fakultas
hukum, kemudian dilarang
mendapatkan ijazah.
Sejumlah ulama menulis
buku sanggahan, di antaranya Syekh Muhammad Shalih bin Murad yang menulis buku al
Hadad ‘ala Imroati al Hadad. Sedangkan
Syekh Umar al Madani
menulis buku Saeful Haq ‘ala Man La Yara al Haq.
Kecaman public juga
disuarakan melalui koran-koran local, di antaranya adalah artikel Haula Zindiqat
al Hadad, Mauqif as Shahafah al
‘Arabiyah haula Nazilat al Hadad, Khurafat as Sufur, dan Aina Yashilu
Ghurur a Mulhidin. Dewan Ulama Zitouna juga mengeluarkan vonis
kafir kepada Hadad atas gagasan-gagasannya yang dianggap controversial
dan melenceng dari ajaran yang
benar.
***
Pemerintahan Tunisia pada
era sekuler (1956-2011), sangat menjunjung tinggi nama Tahir al
Haddad. Ia disanjung-sanjung sebagai pahlawan pembebasan
perempuan di Tunis.
Di kota asalnya, Hammah,
patung kepala Haddad berdiri tegar di sebuah perempatan. Aku kebetulan
berkesempatan mengunjungi kota Hammah, beberapa bulan lalu, dan sempat lewat ke
depan patung Haddad.
“Ini dia patung Tahir Haddad”, tutur Butsainah, seorang mahasiswi S2 asal Hammah.
Siapa dia? Pahlawankah? Tanyaku pura-pura tidak
tahu.
“Oh, ia itu seorang ulama Zitouna. Tapi ia
dipecat dari keualamaannya karena bukunya yang dianggap melenceng oleh para ulama”, kata dia.
Kalo sikap masyarakat kota ini bagaimana?
“Warga kota ini tidak menyukainya”, jawab dia
lagi.
Aku sudah menduga jawabannya bakal seperti itu.
Dan ketidaksukaan masyarakat Tunisia kepada Hadad, baru bisa diungkapkan
sekarang, ketika rezim sekuler yang mengapresiasi pemikiran-pemikiran Haddad
sudah tak lagi berkuasa di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.
Akankah pemikiran-pemikiran Haddad dilestarikan
oleh pemerintah Tunisia sekarang? Dan tetap menginspirasi proyek hukum-hukum
keluarga yang pro perempuan di Tunisia? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab,
semudah membalikkan telapak tangan.
Selamat Hari Kartini, Salam Manis dari Tunis
Tunis al Khadra, 21 April 2014
No comments:
Post a Comment