Monday, January 02, 2006

Baca Buku di Tunis

Beli Buku di Kairo, Baca Buku di Tunis

Kawasan Tahrir, Kairo, yang sarat dengan toko buku


Kita merasakan nikmat sehat itu jika kita pernah merasakan sakit. Kita bisa menilai sesuatu yang indah karena sebelumnya kita pernah melihat sesuatu yang jelek. Analogi ini barangkali bisa melukiskan penilaian sekaligus pengalaman saya soal buku dan tradisi baca di dua negara Arab yang pernah saya tinggali ; Mesir dan Tunisia.

Setibanya di kota Tunis, saya semakin menyadari bahwa Kairo memang surga buku. Di kota Kairo, makhluk yang namanya buku itu berserakan dimana-mana, temanya beragam, harganya pun murah-murah. Berbeda dengan di Tunis ; tak seberapa banyak, tema terbatas dan harganya lebih mahal.

Saat masih di Kairo, saya senang jalan-jalan menelusuri Tahrir, kawasan down town-nya Kairo. Selain karena keindahan Nil dan gedung-gedung tuanya, Tahrir juga menarik perhatian saya karena toko-toko bukunya. Terutama toko-toko buku agama. Di Talaat Harb Square, ada dua toko buku besar dan terkenal ; Dar Shourouq dan Madbouli Kabir. Keduanya sama-sama penerbit, dan dikenal karena buku-buku pemikiran kontemporernya. Jika kebetulan mengantar tamu pejabat atau dosen dari Jakarta yang hendak belanja buku agama, saya biasa membawa mereka ke dua toko ini.

Masih di Tahrir, ada toko buku besar yang terkenal karena buku turas-nya ; Dar al Maarif. Ia memiliki banyak cabang di kota Kairo. Mungkin juga di luar negeri. Karya-karya Abdul Halim Mahmoud, grand syekh Al Azhar tahun 1960an tersedia lengkap di sini. Dar al Maarif juga terkenal karena buku-buku mininya, seukuran buku saku yang dijual seharga 2,5 Pound (Rp 3500), tetapi kualitasnya bagus. Misalnya saja buku al Muamalat fil Islam karya Sayyed Thantawi, grand syekh Al Azhar sekarang. Buku ini memuat gagasan-gagasan awalnya soal kehalalan bunga bank, sebelum ia menuliskannya dalam bukunya yang lebih besar ; Muamalatul Bunuk wa Ahkamuha as Syar’iyyah. Selain itu, ada juga buku-buku agama karya pemikir terkemuka Muhammad Imarah, Abbas al Aqqad serta buku-buku sastra Arab.

Dua ratusan meter arah belakang Dar al Maarif, ada Dar al Kutub al Lubnani dan Dar Kutub al Misry. Juga markas buku-buku keagamaan klasik/turas. Kitab-kitab klasik yang jarang dimiliki toko buku lain biasanya ada di sini.

Di Atabah, kawasan dekat Tahrir, toko buku agama juga bejibun. Meski tokonya kecil-kecil, tetapi mereka biasanya memiliki koleksi buku-buku menarik. Seperti toko buku Nahdhah Masr yang menyediakan karya-karya Yusuf Qardhawi secara lengkap.

Toko-toko buku di Tahrir dan Atabah menempati komplek pertokoan yang rapi di kawasan perkotaan. Sedangkan di belakang Mesjid Al Azhar, puluhan toko buku kecil berderet, menempati kios-kios sempit, di tengah komplek pemukiman kumuh nan berdebu. Jalananya tak beraspal, sempit dan berkelok-kelok. Beberapa bagian jalan itu malah berfungsi sebagai pasar tradisional. Tapi jangan salah, di tengah suasana kumuh ini buku-buku agama bertumpuk, dengan harga yang relatif lebih murah, dibawah standar harga di toko-toko lain. Diantara toko yang terkenal di sini adalah Darul Bayan dan Maktabah Taufikiyyah.

Bagi penggemar buku yang enggan keluar duit banyak tetapi ingin buku bagus, bisa belanja di Pasar Azbakia alias pasar loak. Meski ternyata tak semua buku di azbakia adalah bekas pakai. Ada juga yang masih baru.

Di Kairo, penjual buku azbakia tersebar di berbagai penjuru kota. Ada yang digelar di emperan trotoar alias kaki lima, seperti yang sering saya lihat di dekat stasiun Metro di Dokki serta di dekat Nadi Shaid, Mohandesen. Di tepian tumpukan buku-buku itu tertulis, kullu hagah bi gneh. Semua buku seharga 1 Pound. Murah banget. Ada juga azbakia yang menempati kios-kios, seperti komplek pasar buku loak di kawasan Senen, Jakarta.

Di Kairo, pasar azbakia yang paling terkenal adalah Pasar Azbakia Atabah. Tak jauh dari terminal bis Atabah. Berupa deretan 30an kios kecil, masing-masing seukuran 3x3 meteran. Berbelanja di sana, kita harus pandai menawar. Para penjual itu memang biasa menaik-naikkan harga buku. Seorang kawan yang kolektor buku, punya trik jitu memperoleh buku murah. Ia mengakrabi beberapa orang pedagang langganan. Saking akrabnya, para pedagang itu tahu nama sang kawan serta selalu menyambut kedatangan sang kawan dengan muka ceria dan sapaan akrab. Hasilnya, sang kawan biasa mendapat buku bagus dengan harga 3 hingga 4 pound. Seperti buku Hayat Muhammad-nya Husein Haikal yang dijual seharga 30 Pound di toko lain.

Buku-buku lama karya penulis kontraversial yang jarang beredar di pasaran terkadang bisa kita temukan di azbakia. Seperti karya-karya Said Ashmawi, Farag Fauda atau Nasr Hamid. Para pedagang biasanya tahu bahwa buku-buku itu terlarang dan dicari orang. Karena itu mereka menaik-naikan harga dulu. Tetapi jika kita pandai bahasa Arab Mesir serta mau sedikit berbasa-basi memuji-muji pedagang, harga-harga buku itu akan turun. Dari 20 Pound bisa berubah hingga 3 pound.

Itulah Kairo, dengan toko-toko buku agamanya yang berserakan dan murah. Saya bersyukur bisa menikmati suasana ini, sempat membeli beberapa buku lalu mengirimkannya ke tanah air. Buat bekal nanti di sana, insya Allah.

Saya kenal beberapa mahasiswa Indonesia di Kairo yang hobi koleksi buku. Satu diantaranya adalah seorang kawan dari Karawang, yang memiliki koleksi buku hingga 36 dus besar seukuran karton Malboro. Ia membeli berbagai kitab tafsir, hadis, fiqh berbagai mazhab, ushul fiqhnya, serta aneka buku keislaman lainnya. Padahal sang kawan bukan pembaca buku. Tapi semangat beli bukunya itu benar-benar patut mendapat acungan jempol. Ia biasa beli buku secara lengkap. Misalnya, jika ia tertarik dengan Hassan Hanafi, maka ia mencari seluruh karya Hassan Hanafi. Ia juga rajin mendatangi para mahasiswa yang akrab dengan buku, lalu menanyainya, buku baru apa yang sekarang sedang trend? Jika sang mahasiswa itu bisa menjawab secara meyakinkan, maka sang kawan akan segera membeli buku itu.

Murahnya buku di Kairo memang tak lepas dari dukungan pemerintah. Kampanye gemar membaca terus didengungkan. Industri kertas mendapat subsidi yang besar, hingga buku dan koran bisa diakses dengan mudah oleh rakyat. Koran Al Ahram yang terbitan Kairo - harian terbesar di Timur Tengah - dicetak dua gelombang per hari. Di Mesir, Al Ahram dijual seharga 0,75 Pound = seribu rupiah. Aneka majalah mingguan – termasuk edisi keagamaan- bisa kita nikmati juga dengan harga murah. Roz el Youssef, mingguan terkemuka Mesir setebal 100 halaman, dijual seharga 2 Pound. Popularitasnya semisal Gatra atau Tempo di Indonesia. Ada juga mingguan seharga 1 Pound, semisal Al Usbu (politik oposisi), Al Qahirah (seni-budaya), Shaut al Azhar, al Liwa al Islamy (agama) dan lain-lain. Untuk edisi mingguan, Al Ahram punya edisi berbahasa Perancis (terbit Rabu), edisi Inggeris (Ahram Week, Kamis) serta edisi Arab (Ahram Araby, Jumat).

Murahnya harga koran terbukti mendongkrak tradisi baca orang Mesir. Tukang koran sangat mudah dijumpai di hampir setiap sudut jalan. Setiap pagi koran-koran harian menumpuk di sana. Lewat tengah hari, koran-koran itu jarang tersisa. Mingguan terbitan hari Sabtu, biasanya sulit dijumpai pada hari Senin sore. Mingguan kesukaan saya, Al Qahirah dan Rouz el Youssef, biasa saya beli pada hari pertama mereka beredar ; Selasa dan Sabtu.

Bentuk lain dari perhatian pemerintah terhadap buku di Mesir adalah adanya Maktabah al Usroh (MU), perusahaan penerbitan yang disponsori langsung oleh Suzan Mubarak, ibu negara. Saya tidak tahu pasti soal angka-angka subsidi pemerintah itu. Yang jelas, setiap tahun, MU mencetak puluhan buku, meski terkadang ada buku-buku yang pernah dicetak sebelumnya oleh penerbit lain. MU banyak berkonsentrasi pada buku-buku sastra, sejarah, kebudayaan dan agama. Semboyannya adalah Mahrajan lil Jami, pameran buku untuk semua kalangan. Harga bukunya - seingat saya – hanya ada 3 tingkatan ; 2 Pound untuk buku kecil, 4 Pound untuk buku sedang, dan 7 Pound untuk buku besar. Buku karya Ahmad Amin yang terkenal, Dhuha al Islam, dicetak ulang oleh MU lalu dijual seharga 4 Pound. Jauh lebih murah dari harga aslinya yang mencapai 20an Pound. Setiap musim panas, MU menggelar bazar buku murah di sejumlah tempat di Kairo. Cabang toko bukunya banyak, satu yang sering saya kunjungi adalah yang terbesar di Atabah, samping gedung Pengadilan Tinggi itu. Saat ini, 15 persen dari koleksi buku saya adalah terbitan MU, hehehe….

Program bazar murah seperti ini bukan hanya milik MU saja. Banyak penerbit lain yang menggelar acara serupa. Penerbit terkenal, Muassasah Risalah biasa menggelar bazaar murah pada awal Ramadhan di mesjid Rab’ah. Saya membeli buku Fiqh al Zakat-nya Qardhawi dan al Tasyri al Jina’i al Islamy-nya Ali Audah di arena ini. Dengan harga masing-masing 40 dan 60 Pound. Dar al Maarif mengadakan bazaar dengan cara sendiri ; berupa pemberian diskon 20 persen selama bulan Ramadan setiap tahunnya.

Bagi para peminat buku di tanah air yang hendak berbelanja ke Kairo, saya menyarankan berangkat ke Kairo pada akhir Januari setiap tahunnya. Ada arena Pameran Internasional Buku atau Al Ma'rad al Qahirah ad Dauli lil Kitab. Menurut cerita, ini adalah pameran buku terbesar kedua di dunia setelah pameran Frankfurt. Untuk kategori pameran buku agama, ini adalah yang terbesar.

Pameran tahun 2006 adalah yang ke-38. Biasanya digelar selama 2 minggu. Pameran tahun 2004 diikuti oleh 3150 stand toko buku, dari 97 negara. Dari angka 3150 itu, 650 diantaranya adalah stand non Arab, 900 stand Arab non Mesir, dan 1600 stand Mesir. Pada pameran tahun 2005, 4 juta buah buku masuk ke arena ini dari 90 negara, termasuk stand IKAPI. Tahun 2005 juga, ada 30 orang perwakilan penerbit Islam di tanah air datang berbelanja di arena ini.

Di arena itu, semua penerbit Mesir dan Arab berkumpul, menempati stand-stand pameran yang saling berdekatan. Kita bisa berbelanja di berbagai toko buku tanpa harus berlelah-lelah mengunjungi kantornya di Tahrir, Atabah, Al Azhar, atau di tempat lain di Kairo. Penerbit-penerbit besar luar Mesir semisal Dar al Fikr al Islami atau Maktabah Ubaikan juga turut serta. Di arena ini juga, kita bisa membanding-bandingkan harga buku lebih dahulu sebelum membelinya. Para mahasiswa Kairo biasa menjadikan pameran ini sebagai ajang beli buku. Saya membeli Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu-nya Wahbah Zuhaili yang 11 jilid, Fathul Bari yang 13 jilid, juga beragam kitab-kitab klasik mujalladat lainnya pada pameran 2002.

Pameran Buku 2006 kini telah diambang pintu. Saya jadi kangen Kairo. Kangen buku-bukunya yang murah. Di Tunis, kota tempat tinggal saya sekarang, harga buku lebih mahal. Jumlah dan macam bukunya juga terbatas. Tak seperti di Mesir ; kaya dengan buku-buku agama dengan beragam corak ; dari yang paling kiri hingga yang paling kanan. Maklum, Mesir negeri besar – penduduknya 70 juta jiwa- sedangkan Tunisia adalah negeri berpenduduk 10 juta. Tradisi keilmuan di Mesir jauh lebih kuat, meski sama-sama memiliki perguruan tinggi Islam yang berumur lebih 1000 tahun ; Zaytuna dan Al Azhar. Mahasiswa asing di Al Azhar lebih 20 ribu orang. Wong orang Indonesia saja ada 4000an. Di Tunis, saat ini mahasiswa Indonesia hanya 13 orang, dari total jumlah mahasiswa asing 377 orang dari 34 negara. Berarti, rata-rata 11 orang per negara. Pemerintah Tunisia memang sangat membatasi jumlah penerimaan mahasiswa asing, karena menyangkut persoalan fasilitas, beasiswa dan pertimbangan lain.

Hanya saja, sejauh yang saya tahu, di Tunisia, buku-buku pemikiran kontemporer nan liberal lebih diapresiasi oleh pemerintah dan kalangan akademisnya. Berbeda dengan Mesir yang masih agak sensitif dengan pemikiran liberal. Di Universitas Zaytuna, buku-buku para pemikir progressiv semisal Hassan Hanafi, Abed al Jabiri, Abdullah al Urwi dan Ali Harb, dijadikan referensi resmi perkuliahan. Tak heran, jika buku-buku itu banyak dijumpai di perpustakaan atau toko-toko buku kota Tunis. Trilogi-nya Ali Harb (An Nash wa al Haqiqah) berderet berdampingan dengan Fathul Bari, kitab syarah hadis Nabi.

Untuk literatur pendukung studi Islam, koleksi buku di toko-toko buku kota Tunis sepertinya cukup memadai. Empat toko buku besar di Borguiba Avenue, down town-nya Tunis, memiliki koleksi buku yang beragam. Ada buku-buku keislaman klasik yang berjilid-jilid, ada juga buku-buku keislaman kontemporer, buku-buku sosiologi, sastra, ilmu komputer, hingga kamus bahasa. Mereka juga punya koleksi buku-buku berbahasa Perancis, yang jumlahnya nyaris menyamai buku Arab. Saya lihat, buku-buku berbahasa Perancis itu terbitan Tunisia juga, berisi tema-tema umum seperti sejarah dan juga tema agama.

Persoalannya adalah pada harga yang relatif lebih mahal dari Kairo. Di sebuah toko buku di Borguiba Avenue, Kitab Ihya Ulumuddin karya Al Gazali dijual seharga 12 Dinar (10 Dolar). Di Kairo, saya dulu beli seharga 28 Pound (5 Dolar) , terbitan Maktabah al Iman, sebuah penerbit di kota Manshura, Mesir.

Di Bab Manara, kawasan Old Tunis, ada toko buku Muassasah Ibnu Asyur. Ibnu Asyur - nama lengkapnya Muhammad Thahir bin Asyur - adalah ulama terkemuka Tunisia yang meninggal tahun 1972. Diantara karya besarnya adalah buku Maqasid al Syariah al Islamiyyah. Di Kairo, buku ini dicetak oleh penerbit Darus Salam dan dijual seharga 20 Pound. Di Ibnu Asyur, buku serupa dijual seharga 6 Dinar ( 30 Pound). Toko ini sepertinya hanya menjual buku-buku agama. Saya melihat banyak buku agama terbitan Dar Tunis lit Tauzi’ dijual disini.

Salah satu momen berharga untuk menambah koleksi buku di Tunis adalah pameran buku internasional yang biasa digelar setiap bulan Maret, di kawasan Lekram, pinggiran barat kota Tunis. Tak jauh dari lokasi KBRI Tunis. Meski tak sebesar pameran Kairo. Tapi khan lumayan, karena katanya sering ada diskon besar-besaran dari para penerbit. Saya berharap, semoga saya bisa mengunjunginya nanti, agar bisa bercerita bagi pembaca.

Dalam segala keterbatasan, saya selalu berusaha untuk dekat dengan buku, karena buku adalah sumber ilmu. Mahalnya harga buku di Tunis memacu saya untuk rajin berkunjung ke perpustakaan. Untung saja, perpustakaan kampus sangat memadai, koleksinya lengkap. Setidaknya untuk bidang studi yang sedang saya geluti saat ini ; ushul fiqh. Aneka kitab fiqh dan ushul fiqh tersedia, baik karya-karya dari kalangan Ulama Sunnah maupun Syiah. Di Universitas Zaytuna, perpustakaan dan ruang baca bagi para mahasiswa pascasarjana dibedakan dari perpustakaan dan ruang baca anak-anak S1. Seorang mahasiswa S2 bisa meminjam buku hingga 3 judul sekaligus, berbeda dengan mahasiswa S1 yang hanya 1 judul.

Untuk menambah warna bahan bacaan, sesekali saya juga berkunjung ke perpustakaan kampus tetangga ; Fakultas Ilmu Sosial Universitas Tunis. Kebetulan kampus kami berdampingan. Perpustakaannya lebih besar dan nyaman. Hanya saja, saya sering bersedih karena di sana banyak sekali buku-buku berbahasa Perancis. Andai saya faham Perancis…

Jika kangen dengan bacaan berbahasa Indonesia, saya pergi ke perpustakaan KBRI Tunis. Tak terlalu besar, hanya berukuran 3x6 meter. Enam lemari besar berderet rapi, menyimpan sekitar 2000 buah buku. Ya, cukup layak untuk komunitas masyarakat Indonesia yang hanya 60an orang. Itupun mahasiswanya hanya 13. Sisanya keluarga KBRI.

Buku-buku Islam terbitan Paramadina dan Mizan tersedia di sini. Seperti beberapa karya Cak Nur, Qurais Shihab serta Jalaludin Rakhmat. Juga ada buku Wacana Islam Liberal-nya Charles Kurzman. Perpustakaan KBRI Tunis ini kerap mengingatkan saya pada perpustakaan KBRI Kairo serta perpustakaan Mesjid Indonesia Kairo yang lumayan kaya dengan koleksi buku-buku Indonesia.

Di Tunis, saya relatif punya waktu lebih banyak untuk baca buku. Tak terlalu banyak kesibukan seperti kala masih di Kairo dulu. Di Tunis, buku benar-benar menjadi teman kala sepi, pegangan kala tak ada kawan. Jika di perpustakaan – atau dimanapun - saya menemukan buku bagus yang layak dimiliki, saya segera mencatat judul, pengarang serta penerbitnya. Jika ada rezeki dan waktu yang tepat, suatu hari nanti saya akan mencari dan membeli buku-buku itu di Kairo, biar harganya lebih murah. Sekalian bernostalgia, bertemu kawan-kawan lama serta mengunjungi tempat-tempat yang dulu menyimpan kenangan. Insya Allah.
Salam Manis dari TunisTunis, 25 Desember 2005

2 comments:

  1. saya jadi ingat sebuah buku tentang 'sistem pendidikan islam' yang ditulis oleh abdurrahman al-baghdadi. di sana, dibawah sistem islam, pendidikan seakan terasa lebih baik. karena hampir tidak ada biaya sedikitpun untuk pendidikan sebab semuanya ditanggung pemerintah. enaknya, dalam sistem ini perpustakaan juga dibangun besar-besaran. seakan bernostalgia dengan zaman keemasan, kita harap sistem ini bukanlah 'punguk merindukan bulan'.

    ReplyDelete
  2. Bagiku, biarpun banyak toko buku dengan harga yang menarik di Kairo membuatku sedih, abis gak ngeri bhs arab... ya naseeb :(

    ReplyDelete