Monday, December 19, 2005

Geliat Gadis Tunis

Gadis Tunis Dalam Gerimis


Sekelompok wanita Arab bermain musik. Mencari jati diri?

Udara dingin terasa semakin menusuk seiring malam yang merayap perlahan. Hujan baru saja reda. Mobil yang kutumpangi berjalan pelan, menyusuri kawasan Almanar, kawasan elit kota Tunis.

Di sebuah pom bensin, mobil berhenti. Dua orang pegawai berseragam biru datang menyambut. Dengan cekatan mereka bekerja. Seorang mengelap kaca mobil, kawannya mengisi bahan bakar. Dalam keremangan malam, sekilas kutatap wajah pegawai yang sedang mengelap kaca. Ada garis kecantikan yang tak tersembunyikan. Meski ia memakai topi lebar serta gerakan tubuh yang zig-zag. "Lihat Pak, sepertinya dia wanita", bisikku kepada Husein, sopir sekaligus pemilik mobil. "Ah, masa?" kata Husein seraya ikut melirik.

Sewaktu menyerahkan uang bayaran, Husein bertanya. "Kamu wanita yach?" Pegawai yang berdiri depan pintu mobil itu menjawab. "Ya Tuan, emangnya kenapa?" Bibirnya mengulum senyum, matanya hitam dan jernih. Seperti mata kelinci. Barangkali, mata semacam ini yang dimaksud lagu lama Hampir Malam di Jogya itu. Husein bertanya lagi, "kok kamu mau bekerja malam-malam begini. Apa tidak ada pegawai lelaki?" Nada bicara Husein agak sinis, maklum orang Saudi, negeri yang tidak mengenal kamus wanita bekerja.

Mobil bergerak meninggalkan pom bensin. Tanpa menunggu jawaban dari wanita tadi. Kala batinku masih penasaran, tengah malam begini, gadis-gadis muda itu bekerja di pom bensin. Diterpa angin, gerimis dan udara dingin. Mengapa mereka mau bekerja begitu? Mengapa pemerintah membiarkan mereka bekerja? Apakah memang tidak ada lelaki lagi? Apakah karena para wanita itu benar-benar perlu uang? Ah, rasanya tidak mungkin. Tunisia adalah negeri makmur. Termakmur kedua di Afrika Utara setelah Lybia. Pendapatan per kapitanya 3000 Dolar AS, tiga kali lipat Indonesia. Ataukah mereka bekerja atas nama emansipasi?

Kalau karena alasan yang disebutkan terakhir, memang sangat mungkin. Untuk hitungan Arab, Tunisia termasuk negara yang memberikan kebebasan perempuan secara luas. Jauh berbeda dengan Mesir, Iran, apalagi Saudi. Trend persamaan hak laki-laki dan wanita di Tunisia bukan hanya wacana hiasan bibir saja, tetapi sejak lama telah melebar ke tataran praktis realitas kehidupan.

Sejak masa awal kemerdekaan tahun 1956, pemerintah telah mengeluarkan hukum keluarga yang mengatur hak-hak wanita. Diantaranya adalah penghapusan poligami, pemberian hak bagi isteri untuk mengajukan cerai, juga hak pemeliharaan anak bagi isteri yang ditinggal mati suaminya. Semua aturan ini ditetapkan pada masa pemerintahan Habib Borguiba, presiden pertama Tunisia yang memang dikenal pejuang hak-hak wanita. Kini, di pintu gerbang makamnya di kota Monastir – 130 km timur kota Tunis- tertulis kalimat Borguiba Sang Pembebas Wanita Tunisia.

Dukungan politik atas hak-hak wanita juga dilakukan oleh Zainal Abidin Bin Ali, presiden Tunisia sekarang. Pada bulan Agustus 1993, ia mengeluarkan Undang-Undang tentang hak-hak wanita yang merupakan amandemen atas sejumlah peraturan lama yang masih dianggap bias gender. Suami isteri memiliki peran yang sama dalam upaya memelihara keharmonisan rumah tangga dan dalam hal urusan anak-anak. Pasal ini dianggap mengamandemen pasal isteri harus mentaati semua keputusan suami. Masih dalam UU itu, disebutkan bahwa suara sang ibu harus didengar dalam menentukan calon suami puterinya. Jadi, tak semata hak prerogatif sang ayah. Bagi wanita Tunisia yang menikah dengan pria asing lalu memiliki anak, maka sang anak bisa memperoleh hak kewarganegaraan Tunisia, sebagaimana ibunya. Sebuah penghargaan status yang – sepertinya – belum diterapkan oleh banyak negara Arab.

Masih banyak peraturan lain yang berpihak pada aktifitas dan ruang gerak kaum wanita Tunis. Imbasnya, saat ini trend wanita yang bekerja di luar rumah semakin populer. Pada tahun 2004, seperempat wanita Tunisia – dari total jumlah wanita 5 juta jiwa - berstatus bekerja secara resmi di berbagai bidang. Baik di perkantoran, dunia bisnis, hingga kerja-kerja lapangan semisal sopir taksi ataupun pegawai pom bensin seperti tadi. Setiap pagi, bis-bis umum dipadati kaum wanita muda yang berangkat kerja. Di ruas-ruas jalan kota Tunis, polisi wanita berkeliaran. Rata-rata berkulit putih, ramah, dan juga rupawan. Sewaktu aku berjalan santai di Borguiba Avenue, jalan utama di kota Tunis, seorang polisi wanita yang masih muda menyapaku." Bienvenue", tuturnya dengan senyum tersungging. Bienvenue adalah bahasa Perancis, artinya Selamat Datang. "Ahlan bik", jawabku pake bahasa Arab. Maklum, spontan agak-agak kaget. Di kota Tunis, ternyata polisi sangat ramah, bersahabat dan lebih enak dipandang, hehe...

“Hampir tak ada bidang kehidupan di negeri ini yang tidak melibatkan kaum wanita”, tutur Lamia, seorang mahasiswi Tunis di kelasku. Di bidang pekerjaan yang kasar sekalipun, semisal tukang listrik, tukang servis elektronik hingga tukang bangunan. “Semuanya biasa di sini. Wong sekolah kejuruan saja – semacam STM - banyak banget siswinya”, tutur dia lagi. Duh, gusti, itu sih kayaknya sudah melewati kodrat kewanitaan, komentarku. Bukankah kalau bekerja kasar mereka akan kehilangan kelembutan dan kecantikan? Bukankah dengan bekerja kasar begitu mereka malah merendahkan martabatnya sendiri? Lamia tertawa ngakak.

Fenomena wanita bekerja seperti itu ternyata tidak selalu disikapi positif oleh kalangan pria. “Kamu lihat sekarang di kantor-kantor, semuanya wanita”, tutur Khaled, seorang mahasiswa Tunis berusia 26 tahun, dengan nada geram bin iri. Tatapan matanya kosong menerawang. Mungkin ia takut ngga kebagian job, lalu menjadi pengangguran. “Jangan iri gitu ya akhi..”, aku so’ menasehati. “Iri khan tanda tak mampu”, lanjutku polos, apa adanya. Khaled hanya mesem

Kaum wanita Tunis juga duduk dalam dunia birokrasi, bersaing dengan kaum lelaki. Data resmi tahun 2004 menunjukkan bahwa 25 persen hakim di Tunisia adalah kaum wanita. Juga 26 persen posisi pengacaranya. Mereka menempati porsi 15 persen dari total anggota DPR, serta posisi seorang wakil ketua DPR. Mereka juga aktif di organisasi wanita, baik dalam maupun luar negeri.

Tunisia memang tidak dikenal karena pemikir-pemikirnya yang giat menyuarakan emansipasi wanita. Tidak seperti Maroko yang punya Fatima Mernissi, atau Mesir yang punya Qassim Amin, Rif’at Tahtawi atau yang sekarang masih ada, Nawal Sa’dawi.

Di Mesir, gaung emasipasi wanita memang terdengar nyaring. Tapi, kencangnya gaung itu masih terbentur tradisi beragama dan budaya patriarkis yang masih kentara. Poligami saat ini masih menjadi trend dan hal yang lumrah. Sinetron Haji Mutawalli yang bercerita tentang kisah sehari-hari sang haji bersama keempat isterinya, menjadi sinetron favorit pemirsa pada tahun 2002 lalu. Cerita tentang kekerasan suami terhadap isteri juga masih sering terdengar. Seperti yang pernah kututurkan dalam paket Serba-Serbi Mesir (SSM) berjudul Pria Mesir Nan Perkasa.

Di Tunis, cerita tentang poligami hanya dalam wacana diskusi. Seperti yang kualami dalam kuliah Huquq al Insan (Hak Asasi Manusia) beberapa hari lalu. Dosen kami, Dr Ali Syaibi yang juga seorang kolumnis media, dengan jeli menjelaskan duduk perkara penghapusan aturan poligami di Tunis. “Secara sosiologis, saat ini poligami bukan hal yang menarik bagi orang Tunisia”tuturnya seraya mengutip ayat walan ta’dilu bainanisaa walau harastum. Keadilan secara utuh tak mungkin bisa diwujudkan oleh suami yang poligami. Dan ayat ini memang dipegang kuat oleh para ulama madzhab Maliki –madzhab fikih orang Tunis – kala bicara soal poligami.

Dalam soal kewarisan, Tunisia menerapkan konsep Alquran ; wanita mendapat setengah bagian pria. Aku sempat berfikir, biasanya konsep waris Islam ini dituduh para aktifis feminisme sebagai bias gender, salah satu bukti ketidakadilan Islam terhadap wanita. Di Tunisia, negeri yang memberikan kebebasan luas bagi kaum wanita, konsep ini malah menjadi hukum positif. Di fakultas pascasarjana Universitas Zaytuna, kajian ilmu faraidh bahkan menjadi sebuah program studi tersendiri. Mungkin dalam tataran empirisnya terbukti, bahwa nilai keadilan konsep ini sangat ideal bagi kaum wanita. Subhanallah.

Inilah salah satu potret kaum wanita di Tunisia, negeri berpenduduk 10 juta jiwa dengan porsi 99 persennya muslim. Untuk ukuran Arab dan Afrika, Tunisia barangkali bisa dikategorikan terdepan dalam hal kebebasan dan jaminan hak kaum wanitanya. Aktifitas kaum hawanya tak terhalang oleh sekat politis, sosiologis bahkan teologis, tidak seperti di kebanyakan negara Arab dan Afrika lain. Mereka juga punya hak untuk tidak dimadu oleh suaminya. Maka cinta suami takkan lagi terbagi. Hanya saja, yang kasian khan suaminya ; tak bisa nambah. Nah, loe…
Kado Hari Ibu, 22 Desember 2005Salam manis dari Tunis

Jumat Keramat

Jumat Hari Keramat


Mesji Uqbah bin Nafi di Kairouan, 156 km selatan kota Tunis, didirkan pada tahun 50 H

Pada hari pertama keberadaanku di Tunis, aku langsung punya image yang tidak menarik tentang pola beragama orang Tunis. Mereka tidak pandai merawat mesjid, mereka bukan penikmat spiritualitas, mereka menganggap remeh salat.
Image itu mendadak muncul usai mengikuti salat Jumat di Mesjid Al Hawa, sebuah mesjid besar, tepat di depan kampus Universitas Zaytuna. Kala itu, Jumat pertamaku di Tunis, 11 Nopember 2005. Aku ikut salat Jumat gelombang ketiga, khatibnya baru naik mimbar pukul 14.30 atau 40 menit sebelum adzan Ashar. Khatib berkhutbah selama setengah jam, dan usai salat Jumat, muadzin langsung mengumandangkan adzan Ashar. Kami pun salat Ashar berjamaah di awal waktu.
Suasana dalam mesjid itu, polos tanpa banyak hiasan atau kaligrafi. Kebanyakan jemaahnya juga berpakaian biasa, hanya satu dua orang yang berjubah atau berpeci. Tak ada wirid-wirid atau lantunan ayat suci. Atau dzikir para jemaah tarekat seperti yang sering kusaksikan usai Jumatan dulu di Mesjid Husein, Kairo. Hatiku menduga-menduga, simbol-simbol formal keagamaan sepertinya tidak populer di negeri ini.
Jumat pertama yang sangat tidak menarik. Jumat yang gersang. Apalagi waktunya menjelang Ashar begitu. Aku yang belum terbiasa dan belum tahu, masih meragukan keabsahannya.
Sebenarnya, firasat ga enak sudah kurasakan sejak siang sebelum Jumat. Kala itu, menjelang jam 12an, aku berada di kantor kementrian pendidikan tinggi untuk mengambil surat pengantar studi dan beasiswa. Sekaligus lapor diri bahwa aku sudah berada di Tunis. Sebelumnya aku bersilaturahmi ke KBRI.
Saat di kementrian, aku sudah gelisah. Waktu dzuhur sudah tiba. Saatnya salat Jumat. “Tenang saja”, tutur seorang kawan, “kita bisa salat Jumat pada gelombang kedua atau ketiga nanti”,lanjut dia enteng. “Hah ? gelombang kedua dan ketiga ?” aku kaget. “ Ya, di Tunis ini, kita bisa pilih waktu salat Jumat. Ada yang mulai jam 12, setengah dua, dan setengah tiga. Tergantung sempatnya kita kapan”, sang kawan bertutur. Ya sudah, aku ikut saja. Meski hati bertanya-tanya dan prihatin. So’saleh, hehe..
Jam 12 lewat. Adzan dzuhur terdengar sayup-sayup. Disambung dengan ceramah Jumat. Tetapi suasana kantor kementrian masih saja ramai. Para pegawainya sibuk, serta tamu-tamu juga berdatangan. Di jalan raya sana, kendaraan tetap ramai, pejalan kakinya hilir mudik. Anak-anak sekolah berjalan bergerombol. Seolah bukan hari Jumat saja.
Duh Gusti, aku membathin. Tiba-tiba aku ingat Mesir, negeri yang sangat kaya dengan khazanah dan tradisi Islam. Orang-orangnya yang religius, mesjid-mesjidnya yang antik, serta ritual keagamaannya yang variatif, lekat dengan spiritualitas. Di Mesir, Jumat siang begini, aku biasanya sudah duduk di dekat mihrab mesjid bersejarah, menikmati lantunan ayat Alquran yang dikumandangkan secara live oleh seorang qari. Sambil menanti khatib naik mimbar.
Jam 13an aku baru selesai urusan di gedung kementrian. Mula-mula kami cari mesjid. Tetapi perut keroncongan minta diisi. “Ya sudah, kita makan dulu”, kata sang kawan. Aku sih setuju saja. Toh kalaupun sembahyang, pikiran takkan tenang. Dalam suasana begini, sikap mendahulukan makan atas salat, dibenarkan oleh syariat.
Maka kami pun masuk ke sebuah rumah makan murah. Menikmati kaftaji, makanan khas Tunis. Di tengah suasana rumah makan yang penuh pengunjung. Lagi-lagi aku bergumam, mengapa mereka tidak segera ke mesjid untuk salat Jumat.
Pada Jumat kedua, 18 Nopember 2005, aku bersiap-siap sejak pagi. “Aku ingin salat Jumat di awal waktu dan di mesjid besar”, pesanku kepada kawan senior. Karena aku tak mau Jumat kemaren terulang. Sang kawan mengiyakan. Dan menjelang jam 12, kami sudah berada di dalam mesjid Kasbah, sebuah mesjid besar dan megah di kawasan kota, 200 meter dari kantor Perdana Menteri.
Khatib naik mimbar di awal waktu dzuhur. Rata-rata jemaahnya berpakaian rapi. Sebagian berjubah serta peci merah khas Tunis itu. Banyak juga jemaah berjas dan dasi. Nampaknya mereka para pegawai kantoran. Maklum, Jumat di Tunis adalah hari kerja. Liburnya Sabtu-Ahad seperti di Indonesia. Sebelum Jumat, ada lantunan ayat Alquran oleh seorang qari. Usai Jumat, ada wiridan dan doa bersama. Isi khutbahnya juga menarik Perlahan, image-ku tentang salat Jumat dan pola beragama orang Tunis mulai membaik.
Aku sangat menikmati Jumat kedua ini. Hati terasa lebih tenang karena Jumat ditunaikan pada awal waktu. Aku ingat hadis Nabi yang melukiskan pahala orang datang pertama ke mesjid untuk Jumat, laksana berkurban dengan seekor sapi. Orang yang datang setelahnya menuai pahala senilai kurban dengan kambing. Lalu ayam, dan akhirnya telor. Jemaah yang tiba terlambat, tidak akan mendapat apa-apa karena malaikat pencatat amal telah menutup bukunya. Demikian hadis Nabi tentang keutamaan Jumat.
Berangkat dari kandungan hadis itu, aku jadi bertanya-tanya soal salat Jumat 3 gelombang yang diterapkan di Tunisia. Konon juga di beberapa negara Arab lain yang menganut madzhab Maliki. Apakah mereka tidak mengindahkan hadis keutamaan salat di awal waktu? Apakah mereka tidak ingin mendapat pahala kurban senilai sapi? Bukankah salat Jumat itu harus dilakukan secara segera sebagaimana semangat ayat fas’au ila dzikrillah wa dzarul bai’? Dengan adanya tiga pilihan waktu itu, bukankah nanti orang Islam akan cenderung bersantai dan menganggap enteng waktu salat? Bukankah orang yang menganggap enteng salat itu termasuk kategori munafik? Bukankah...? Bukankah...? Begitulah, hatiku bertanya-tanya. Semuanya serba bukankah. Maklum, berangkat dari ketidaktahuan.
Lalu, aku buka beberapa kitab fiqih populer, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Ternyata, tak ada satupun kaidah yang menyebutkan bahwa salat Jumat hanya harus dimulai awal waktu dzuhur. Aku pun mulai merasa tenang. “Tak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, tentang waktu pelaksanaan Jumat. Ia sama dengan waktu salat dzuhur, sejak tergelincirnya matahari hingga tiba waktu Ashar”, tulis Wahbah Zuhaili, ahli fikih kenamaan kontemporer asal Syria, dalam kitabnya Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu.
Hingga hari ini, enam Jumat telah kulalui di Tunis. Tiga gelombang Jumat itu telah kucoba. Kubagi rata ; masing-masing dua kali, di 6 mesjid yang berbeda ; Al Hawa, Zaytuna, Kasbah, serta tiga mesjid lain yang tidak kuketahui namanya. Masing-masing berlokasi di dekat KBRI, di kawasan Bourguiba Avenue, serta di kawasan Medina, Old Tunis
Secara perlahan, aku mulai menikmati salat Jumat di Tunis. Terlebih di mesjid-mesjid besar semisal Zaytuna, yang kadang diramaikan oleh wirid-wirid tarekat setiap usai Jumat sebagaimana di mesjid-mesjid Mesir. Aku juga mulai bisa menyesuaikan diri dengan 3 pilihan waktu salat Jumat. Aku mulai tahu, mesjid mana saja yang menggelar Jumat pada awal waktu, dan mana yang pada akhir waktu.
Dengan adanya 3 pilihan waktu, aktifitas kerja bisa terus berlangsung secara maksimal hingga jam 14.00. Bagi yang sibuk mendadak atau terjebak kemacetan, bisa tetap tenang selambatnya hingga jam 14an. Yang penting, Jumatnya tidak kelewat. Umat Islam bisa tetap salat Jumat untuk kepentingan akheratnya, tanpa kehilangan kesempatan untuk meraih prestasi dunia. Selaras dengan makna ayat wabtagi fiimaa atakallahu... Dari sisi ini pula, salah satu bukti keluwesan syariat Islam semakin terbukti. Subhanallah.
Jumat adalah hari keramat, sayyidul ayyam dan hajinya orang miskin. Dalam salat Jumat terdapat keberkahan dan doa mustajabah. Yusuf Qardawi mengatakan bahwa ada 4 faktor kegagalan kristenisasi di Mesir ; Alquran, Ramadan, Al Azhar, dan khutbah Jumat
Aku, sebisa mungkin akan selalu salat Jumat pada gelombang pertama. Karena ia lebih utama, pahalanya lebih besar sebagaimana hadis Nabi tadi. Tetapi dalam suasana terdesak atau sibuk mendadak, aku tetap tidak kehilangan kesempatan untuk meraih tiket ke surga, karena ada Jumat gelombang berikutnya. Insya Allah…

Senja Jumat 16 Desember 2005Salam Manis dari Tunis

Saturday, December 10, 2005

Pesona Mesjid Zaytuna

Malam Jumat di Mesjid Zaytuna

Bab el Bahr, salah satu pintu Old Tunis
Sewaktu masih di Mesir, aku punya tradisi rutin ; menelusuri mesjid-mesjid tua nan bersejarah serta melarutkan diri dalam aneka ritual keagamaan didalamnya. Lumayan, untuk memperkaya pengalaman, baik pengalaman lahir ataupun pengalaman bathin.

Kini, setelah genap sebulan tinggal di Tunis, aku tiba-tiba berniat melanjutkan tradisi lama itu. Barangkali ada hal baru yang menarik. Buat cerita ke anak cucu kelak. Hehe..tentu mereka akan sangat senang menyimaknya. Maka pada senja Kamis (8/12) kemaren aku meninggalkan kediamanku di kawasan Bir Aniba, Tunis. Menuju mesjid paling terkenal dan bersejarah di kota Tunis ; Zaytuna, yang dibangun pada tahun 732 M pada akhir masa kekuasaan dinasti Umayyah. (Mesjid tertua di Afrika, mesjid Amr bin Ash di Fustat, Old Cairo didirikan tahun 640 M pada masa khalifah Umar. Sedangkan mesjid Al Azhar didirikan tahun 970 M pada masa dinasti Fathimiyyah].

Aku berjalan cepat menelusuri gang sempit yang berkelok-kelok diantara komplek perumahan kawasan Bab Manara, Old Tunis. Dari kediamanku, Mesjid Zaytuna bisa ditempuh selama 20 menitan jalan kaki.

Seperti halnya Kairo yang memiliki kota tua (Kahirah Qadimah, Old Cairo), Tunis juga punya kawasan kota tua Old Tunis atau Medina. Old Tunis dikelilingi oleh empat pintu gerbang di empat titik perbatasan ; Bab el Bahr, Bab Souika, Bab Sa’doun dan Bab Manara. Old Cairo juga dikelilingi Bab el Louk, Bab el Futuh, dan Bab en Nasr.

Kawasan Medina kini menjadi obyek wisata sejarah yang terkenal di Tunis. Mungkin seperti Old Cairo dengan paket Islamic Cairo-nya. Dan mesjid Zaytuna berada di tengah-tengah komplek Medina itu.

Usai melewati kompek perumahan penduduk dan Rue Manara (Manara Street), aku memasuki kawasan Medina. Berupa gang selebar 2 meter, berkelok-kelok dan bercabang ke banyak arah, membelah komplek pertokoan yang memanjang. Ada toko pakaian, kios tukang jahit, perhiasan, toko souvenir khas Arab Tunis, rumah makan, kafe, hingga penginapan. Sekilas mirip dengan Pasar Khan Khalili di Husein, Old Cairo. Hanya saja, Medina jauh lebih luas.

Bangunan toko-toko itu menyatu satu sama lain. Atap tembok berbentuk lengkung menaungi jalanan di seluruh komplek Medina. Melindungi pejalan kaki dari terik mentari dan hujan. Menurut cerita, umur komplek Medina plus atap temboknya yang masih kokoh itu juga setua usia Mesjid Zaytuna.

Aku belum hafal bener liku-liku jalan ini. Tapi aku PD saja, terus berjalan lurus, tak peduli beberapa belokan atau simpang empat yang kulewati. Di beberapa perempatan, terdapat merk-merk seperti Souk el Kuafi, Souk Et Trouk dan Souk At Tarine. Nama-nama blok bagian pasar. Souk At Tarine adalah pasar parfum, Souk de la Laine adalah tempatnya pakaian dan tenunan Arab. Begitu seterusnya.

Setelah 200an meter berjalan lurus di lorong itu, aku menemukan sebuah pintu terbuka, lebar dan tinggi, di sebelah kanan jalan, diantara deretan toko. Di dalam sana nampak pelataran luas. Ya, itulah pelataran dalam Mesjid Zaytuna. Di tengah komplek Medina. Keempat sisi tembok mesjid bersentuhan langsung dengan bangunan pertokoan ini.

Dengan bismillah aku memasuki pelataran mesjid. Alas kaki tetap dipake, meski lantainya berupa tembok tua yang bersih. Sejenak aku tertegun memandangi suasana sekeliling. Dalam senja yang temaram, aku berdiri di sebuah pelataran terbuka seluas kira-kira 1200an meter persegi. Sama luasnya dengan pelataran Mesjid Al Azhar. Dikelilingi bangunan tua berwarna kuning usang, serta tiang yang berderet. Disorot lampu malam, ketegaran bangunan itu semakin kentara, menyiratkan keangkuhan peradaban yang mewariskannya. Hanya menara setinggi 10 meteran di pojok kanan belakang mesjid yang dicat putih, dengan puncak genting berwarna biru. Khas menara mesjid-mesjid Tunis. Di atas menara itu, nampak seorang lelaki berpeci merah berdiri, tengak-tengok ke bawah. Siapa tuh, kok bisa naik ke atas. Aku khan jadi pengen, bisik hatiku penasaran.

Senja itu, aku merasa seolah-olah sang waktu terhenti sesaat. Lalu berbalik mundur hingga membawaku ke abad pertengahan. Seperti yang kurasakan kala berada di pelataran dalam mesjid Ahmad bin Tulun di Old Cairo, salah satu mesjid tua favoritku dulu.

Aku asyik mengamati setiap sudut dan lekuk bangunan kuno itu. Gaya arsitekturnya tak jauh beda dengan kebanyakan mesjid kuno di Mesir. Para jemaah yang hendak sembahyang magrib berdatangan dari empat pintu di empat pojok pelataran mesjid. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara adzan yang diteriakkan orang di atas menara sana. Oh, rupanya lelaki berpeci merah itu seorang muadzin. Aku membathin, mengapa adzannya tanpa pengeras suara. Tradisional banget gitu lho... Suara sang muadzin sore itu menggema, bersaing bersahutan dengan adzan magrib dari mesjid lain yang memakai pengeras suara.

Senja yang temaram berangsur kelam. Aku segera beranjak memasuki ruangan dalam mesjid. Juga dengan bismillah. Rupanya ruangan seluas kira-kira 1500 meter persegi itu telah dipadati jemaah. Mereka duduk rapi, diantara tiang-tiang yang berderet. Seperti halnya mesjid Al Azhar, mesjid Zaytuna juga banyak tiangnya. Ada 15 tiang dari kiri ke kanan serta 10 tiang dari depan ke belakang. Oh, jadi, semuanya 150 tiang, pikirku spontan. Lantai mesjid ditutupi tikar biasa. Berwarna dasar kuning, tanpa banyak variasi hiasan. Polos, sederhana, tetapi bersih. Kenapa bukan karpet atau permadani saja yach.

Aku memilih tempat duduk di shaf depan dekat imam. Sengaja, biar tau, siapa sih imam salatnya. Di shaf depan itu, banyak orang tua berjubah dan berpeci merah khas Tunis. Wajah mereka bersih dan berwibawa. Mungkin mereka ini para syekhnya, pikirku. Tapi cuek saja ah, aku yang tanpa peci serta bercelana jeans lusuh duduk bersila di sebelah mereka. Di hadapan Allah khan semuanya sama.

Belum 2 menit aku duduk, para jemaah itu berdiri serentak, sambil berteriak Allahu Akbar. Kompak banget. Aku kaget. Aya naon yeuh. Oh, rupanya sudah iqamat. Kirain teh ada keributan, lalu mereka panik dan bersiap-siap bubar, hehehe... Aku ikut berdiri. Kalimat iqamat baru sampai lafadz hayyaalasalah, para jemaah sudah berdiri rapi. Sebuah tradisi yang sangat menarik dan pantas kita ikuti, hehehe..
Seorang syekh yang renta memimpin salat magrib kami. Usai Fatihah, ia membaca surat-surat pendek dengan nada bacaan yang cepat. Usai salat, para jemaah membaca wirid, salawat dan doa secara serentak, bersama-sama. Dipimpin seorang syekh yang agak muda. Aku jadi ingat tradisi wiridan di mesjid-mesjid NU di tanah air.

Usai salat sunat bakdiyah, para jemaah berkumpul di tengah. Hampir semua mereka membawa mushaf Alquran. Aku menduga ada pengajian. Ternyata benar. Seorang syekh berusia setenga baya duduk di kursi dikelilingi para jemaah yang duduk lesehan. Seperti suasana pengajian Syekh Mutawalli Sya’rawi yang kerap kulihat di TV Mesir dulu. Hampir semua jemaah ikut. Tak kurang dari 400an orang. Belum lagi para jemaah wanita di bagian belakang mesjid, terhalang tirai kayu.


Pelataran dalam Mesjid Zaytuna kala sepi

Malam itu, rupanya sang syekh mengajarkan ilmu tajwid. Mula-mula para jemaah membaca surat Thaha bersama-sama. Aku duduk merapat pada seorang pria muda yang memegang mushaf di sebelahku. Ia tanggap. Segera mushaf yang terbuka itu didekatkan kepadaku hingga aku bisa membacanya. Sekilas kulirik, mulutnya komat-kamit mengaji, pandangan matanya kemana-mana. Gile, dia hafal surat Thaha, bisik hatiku. Padahal dia ga ada tampang orang saleh, hehehe....
Selesai surat Thaha, bacaan berpindah ke surat Al Anbiya. Serentak dengan nada tinggi. Seperti orang Indonesia yasinan. Nah, bacaan surat al Anbiya ini sering dipotong oleh sang syekh yang duduk di kursi. Lalu ia membaca sendirian dan menyuruh jemaah mengulangi bacaannya. Satu ayat diulang bisa sampai 5 kali. Tergantung isyarat tangan sang syekh. Jika tajwidnya sudah ok, bacaan berpindah ke ayat berikutnya.

Dan ratusan jemaah itu, yang rata-rata berpakaian rapi dan berusia muda, manut saja dengan perintah sang syeh. Sesekali sang syekh menjelaskan tajwid bacaan itu, diselingi tafsir / penjelasan kandungan maknanya. Di bagian ini aku merasa tertarik. Selain sang syekh nampak piawai mengurai makna kandungan ayat, ia juga sangat menguasai detail teori-teori ilmu tajwid, pendapat ulama serta syair-syair kaidah tajwidnya. Jika ada hamzah di ujung mad wajib muttasil bertemu hamzah lagi, maka hamzah pertama itu boleh dibaca panjang. Pendapat ini dianut oleh ulama anu pada abad anu…Contohnya dalam ayat wal muhsonatu minannisaa iiiiiiii….illa maa malakat…tuturnya. Aku asyik menyimak. Kepalaku mengangguk-angguk. Sesekali sang syekh bercerita tentang ikhtilaf ulama tajwid dalam hukum bacaan Alquran. Nama syekh Abdul Wahab al Qurtubi, ulama ahli tajwid abad ke-5 hijirah sering disebutnya. Membuatku terharu. Subhanallah.. Aneka ikhtilaf ulama dalam ilmu tajwid, sungguh, baru kuketahui saat ini. Aku benar-benar kuper. Aku ingat ungkapan hikmah Imam Syafii. Semakin lama belajar, aku semakin menyadari kebodohanku. Ternyata ilmu Allah itu sangat luas. Aku kira, ikhtilaf ulama hanya dalam masalah fiqh dan ushul fiqh sajah, hehehe… jadi pengen malu

Aku terlarut dalam ceramah-ceramah sang syekh yang memikat. Sesekali diselingi bacaan Alquran bersama-sama. Beliau adalah Syekh Muhammad Mansour, salah satu ulama besar di Zaytuna, tutur lelaki di sebelahku kala kutanya mengenai nama sang syekh. Setiap magrib hari Kamis, Ahad dan Senin, beliau mengajar di sini, katanya lagi. Aku mengangguk-angguk. Tatapan mataku tak berpaling dari sang syekh yang asyik berceramah. Sesekali gelak tawa jemaah terdengar, mengiringi guyonan sang syekh. Aku merasakan suasana pesantren di Sukabumi dulu, kala kyaiku yang juga suka humor, mengajariku ilmu tajwid. Ah, kyai di Mesir, Tunis dan Sukabumi sama saja ; punya tradisi humor tinggi.

Para jemaah yang datang terlambat, berdatangan lalu duduk bergabung. Tak sedikit diantara mereka berstelan jas dan dasi. Mungkin baru pulang kerja. Dengan mushaf yang siap di tangan. Rupanya mereka sudah mengetahui jadwal pengajian ini.

Menjelang adzan isya berkumandang, pengajian berhenti. Sang syekh memimpin doa. Jemaah mengamini kompak. Bergemuruh. Aku meresapi setiap ungkapan doa yang keluar dari mulut sang syekh, lalu mengamininya sepenuh hati. Kala ia membaca doa ampunan untuk kedua orang tua serta memohon ilmu yang bermanfaat, aku memejamkan kedua mata yang mulai terasa hangat. Bathinku berbisik pasti. Ya Allah, Maha Pemilik Ilmu. Curahkan ilmu-Mu yang luas kepadaku. Sebagaimana ilmu yang telah Kau curahkan kepada beliau yang duduk di kursi itu. Dalam terpejam, aku semakin terlarut dalam kenikmatan berdoa. Juga dalam kerinduan akan kampung halaman dan ayah bunda. Di sebuah malam Jumat di Mesjid Zaytuna...

Salam Manis dari TunisJumat 9 Desember 2005