Friday, April 21, 2006

Apa Salah Jilbab

Mawar Ingin Keluar Sangkar


Sempat-sempatnya aku menengok ke arah fotografer pada sebuah acara diskusi di Tunis

Siang itu, suasana ruang baca perpustakaan utama Universitas Zaituna agak lengang. Maklum, jam aktif kuliah. Hanya belasan mahasiswa yang nampak duduk melingkari meja-meja baca yang berderet rapi. Beberapa orang diantara mereka asyik berbincang pelan.

“Aku sudah merasa tak sanggup lagi tinggal di negeri ini”, tutur seorang mahasiswi berjilbab lebar yang duduk di kursi pojokan ruangan. Kepalanya menunduk, pura-pura baca buku.

Seorang lelaki muda berkacamata yang duduk di dekatnya tertegun heran. “Kenapa ukhti tak lagi betah tinggal di negeri sendiri ?! Negeri tempat ukhti dilahirkan dan dibesarkan...?!”, tanya si lelaki yang sejak tadi jadi lawan bicaranya itu. Aneh rasanya, pikir lelaki itu, seseorang bisa benci tanah airnya sendiri. Tidak tahukah ia akan peribahasa ‘lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang?’

“Dewa, kamu mungkin tidak tahu betapa beban bathin yang aku rasakan. Juga yang dirasakan oleh semua wanita sekeyakinan denganku di negeri ini. Imbas dari konsistensi kami memegang teguh apa yang kami yakini sebagai perintah Tuhan”.

Spontan lelaki yang dipanggil Dewa itu mengernyitkan dahinya. Buku yang dipegangnya disimpan di meja. Dan wajah gadis beralis tebal itu ditatapnya. Konsistensi?! Perintah Tuhan ?! Oh, my God. Tentu yang dimaksud oleh si gadis ini adalah jilbab. Ya, jilbab. Persoalan inilah yang selama ini kerap jadi beban berat kaum muslimah berjilbab di Tunisia.

Dewa masih melongo kala sang gadis itu melanjutkan bicaranya. “Pilihan kami untuk berjilbab, harus ditebus dengan ongkos idealisme, dilema dan perjuangan berat. Kami kerap mendapat perlakuan diskriminatif dalam banyak hal urusan. Aku sendiri, sering mendapat kesulitan akademik di kampus lamaku, Universitas Al Manar. Dalam setiap urusan aku selalu mendapat giliran akhir, disindir dosen di kelas, susah dapat nilai bagus, serta jarang dapat prioritas dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Hingga kini terpaksa aku pindah ke kampus ini, berharap orang-orangnya lebih mengerti”.

Dewa semakin terperangah dibuatnya. Hatinya juga bertanya-tanya, kenapa siang ini tiba-tiba gadis pendiam itu mau bicara urusan pribadinya. Dewa tak mau melewatkan kesempatan langka ini. Aku harus bertanya sebanyak-banyaknya, mumpung ia mau bicara, pikirnya. “Mawar, dengarkan baik-baik. Itu Najwa dan Warda, kawan sekelas kita yang juga berhijab. Tapi mereka nampak enjoy-enjoy saja dengan hijabnya. Kenapa ukhti seperti yang resah?!”

Gadis cantik yang ternyata bernama Mawar itu tersenyum kecut. “Coba akhi perhatikan bagaimana gaya mereka memakai jilbab. Apakah sama dengan jilbab yang aku pakai?! Coba juga akhi lihat bagaimana pergaulan mereka sehari-hari di kampus..”, tuturnya seraya mengubah posisi duduknya. Menghadap jendela. Tatapannya kosong menerawang, mengamati pelataran luas di balik kaca.

Dewa termenung. Di kelasku, hanya tiga mahasiswi yang berjilbab, pikirnya. Najwa, Warda dan Mawar. Najwa berjilbab, tetapi kok rambutnya tetap kelihatan. Jilbabnya juga asal tempel. Warda juga pake kerudung, tetapi kok busananya selalu modis dan serba ketat. Jika didekatnya, aroma parfum tercium semerbak. Salma, gadis di kelas lain juga berhijab, tetapi ia biasa salaman sama lelaki. Malah beberapa kali Dewa lihat Salma sun pipi kiri-kanan sama kawan-kawan mahasiswa. Hanya Mawar yang jilbabnya rapi serta tidak suka salaman dengan kaum lelaki. Tetapi, ya itu tadi. Mawar selama ini cenderung tertutup dari pergaulan sesama kawan kampus. Hingga kawan-kawan lain pun agak sungkan.

”Kamu lihat tuh suasana sekeliling kita sekarang. Apakah kamu yakin bahwa mereka di sini sedang membaca buku?!”, ujar Mawar lagi. Tanpa menoleh ke Dewa yang masih duduk tertegun.

Dewa mengangguk-angguk. Tanpa melirik pun ia sudah tahu perilaku sebagian orang di tempat ini. Tak semua mahasiswa yang datang ke ruang baca ini untuk belajar. Banyak juga yang datang untuk cari tempat, sekedar berduaan, berbicara mesra dengan pasangannya.

“Jadi..ukhti sudah tak betah dengan suasana kehidupan di negeri ini ?! ” akhirnya Dewa menebak-nebak.

Spontan Mawar menganggukkan kepalanya. Bola matanya yang bundar melirik ke arah Dewa duduk. “Aku bukan sok suci atau sok alim, ya akhi Dewa. Tetapi aku sangat merasa bahwa apa yang terjadi di sekitarku saat ini, sangat jauh dari apa yang kufahami dari konsep pergaulan Islami. Banyak kawanku yang berjilbab karena formalitas. Perilakunya tetap yukhalifus syara ”.

“Pertemuan kita siang sekarang juga yukhalifus syara, ya ukhti. Saya bukan mahram ukhti...!” Dewa iseng memancing komentar. Membuat Mawar tertegun sesaat. Hingga kemudian ia kembali duduk di kursinya seperti tadi.

“Benar, Dewa. Hatiku juga berkata begitu. Tetapi kita khan tidak berdua. Banyak orang lain di ruangan ini. Lagipula aku percaya kepadamu. Kamu mahasiswa muslim yang baik. Kamu suka shalat, khan?! Aku jujur kepadamu, Dewa. Selama ini aku tidak pernah berbicara dengan kawan-kawan mahasiswa senegeri. Kecuali untuk urusan akademis yang sangat-sangat penting”.

Dewa tersenyum. “Ah, kamu jangan begitu Mawar. Bahwa kamu punya idealisme, itu hak kamu. Tetapi membatasi pergaulan, itu takkan selalu menguntungkanmu”, kata Dewa lagi. Gayanya sama dengan tadi, mencoba memancing-mancing reaksi.

“Tidak, Dewa. Insya Allah apa yang kulakukan adalah yang terbaik. Sesuai koridor syariah yang aku yakini”.

“Terus, jika ukhti sudah tak betah di sini, emangnya mau kemana?!” Dewa bertanya mendesak, seraya membuka-buka buku yang tadi ia baca. Padahal pura-pura saja.

“Aku berharap mendapat suami saleh yang bisa membawaku pergi dari negeri ini. Terserah kemanapun. Yang penting di negara muslim, dimana agama bebas berekspresi. Cukup orang tuaku yang menderita. Ayahku hingga saat ini harus lapor diri setiap seminggu sekali ke kantor polisi”, tutur Mawar lirih. Kepalanya terunduk lesu.

“Lha, emang kenapa?! Ada apa dengan ayahmu?! Apakah ia terlibat masalah besar?!” Lagi-lagi Dewa terkaget-kaget. Bukunya ia tutup lagi.

“Bukan, bukan itu. Ayahku hanya seorang pebisnis biasa. Tetapi, ia diawasi pemerintah karena ayah berjenggot lebat. Beliau meyakini itu adalah sunnah Nabi. Tetapi di negeri ini, lelaki berjenggot lebat kurang disukai oleh penguasa”.

Dewa semakin terperanjat. Tak sadar, tangan kanannya memegang dagunya yang juga berjenggot. Jenggot tipis, ikut-ikutan trend penyanyi favoritnya dulu. Haruskah kucukur?! Mawar tersenyum dibuatnya. “Tak apa, kamu orang asing dan bukan orang Arab. Asal kamu tak melakukan kriminalitas, insya Allah akan aman”, kata Mawar berkomentar.

“Bagaimana jika ternyata lelaki yang ukhti angankan itu tak kunjung datang?! Jika nanti ukhti mendapat suami yang cocok, lalu ukhti dibawa pergi ke luar negeri, bagaimana dengan orang tua ukhti?!” beruntun Dewa bertanya.

“Dewa, aku yakin, Allah menyiapkan lelaki yang baik bagiku. Saatnya nanti akan tiba. Tetapi jika sampai lulus sekolah aku belum ada yang meminang, mungkin aku aku akan ikut kakakku yang tinggal di Syria. Tentang orang tua, aku tidak khawatir. Karena jika sudah menikah, suamilah yang harus jadi prioritas pengabdianku”, tutur Mawar penuh percaya diri.

Dewa berdecak kagum. Kagum plus haru. Ternyata, di negeri ini masih ada gadis muda berjilbab yang punya prinsip seperti Mawar. Terbayang oleh Dewa, betapa berat perjuangan seorang muslimah di negeri ini yang memegang teguh ajaran agamanya.

Dewa teringat sebuah hadis Nabi yang ia dengar dari seeorang khatib Jumat dulu bahwa pada mulanya Islam itu datang dan dianggap aneh. “Suatu hari nanti”, kata Nabi, “Islam akan kembali dianggap aneh. Dan berbahagialah orang-orang yang dianggap aneh”. Demikian bunyi hadis itu. Dewa berfikir, bisa jadi salah satu indikasi keanehan ini telah terjadi di Tunisia. Wanita muslimah berjilbab rapi dianggap asing oleh lingkungannya.

Dan Mawar, adalah satu diantara sedikit gadis Tunis yang dianggap aneh itu. Berjilbab lebar tak asal tempel, serta mampu menjaga iffah dan kehormatan diri sebagai muslimah yang istiqamah. “Jilbab yang bermode begini yang aku yakini sebagai libas syar’i”, tutur Mawar, beberapa waktu lalu.

Dewa masih termenung, seperti halnya Mawar yang juga terdiam membisu. Tiba-tiba adzan dzuhur terdengar berkumandang dari mesjid dekat kampus. Mawar pun pamitan. Mungkin hendak ke mesjid, pikir Dewa.

Tinggallah Dewa sendiri, duduk menghadap kaca jendela seraya menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia melemparkan pandangannya ke luar sana, pelataran kampus yang dipadati para mahasiswa usai kuliah. Mahasiswa-mahasiswi yang berbaju trendi, dalam canda tawa manja dan mesra.

Perlahan Dewa beranjak dari duduknya. Lalu berjalan gontai keluar dari perpustakaan. Pikirannya menerawang ke masa 2002 hingga awal 2005, kala pemerintah Tunisia sangat sangat ketat mengawasi aktifitas umat Islam, termasuk dalam hal jilbab. Ia ingat betul bagaimana setiap pagi para mahasiswi berjilbab ditanya ini itu oleh satpam kampus, bahkan pernah ada yang disuruh mengubah gaya jilbabnya biar agak modis. Tetapi, dalam setahun terakhir ini, perubahan mulai terasa secara perlahan. Pemerintah mulai bersikap longgar. Pemakai jilbab pun bertambah sedikit demi sedikit. Maka Dewa pun ingat Mawar, dengan segala kegelisahan yang dituturkannya. Dewa berfikir menebak-nebak, terlalu subyektifkah Mawar?!

Dewa juga ingat negerinya nun jauh di sana. Bagaimana nasib kaum muslimahnya?! Apakah mereka bebas berekspresi dengan jilbabnya?! Andai suatu saat terjadi, kepentingan politik yang rendah membatasi ruang gerak muslimah yang berhijab, akan adakah figur-figur yang istiqamah seperti Mawar?!

Dewa terus melenggang, tak mempedulikan sapaan beberapa kawan yang berpapasan. Hatinya mendendangkan syair lagu kasidah yang sering ia dengarkan dulu. Jilbab-jilbab putih, lambang kesucian, lembut hati penuh kasih teguh pendirian..di balik jilbabmu, ada jiwa yang takwa...

Tunis, Hari Kartini 2006

6 comments:

  1. Dunia adalah penjara bagi orang2 mu'min. Klop dah...

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum......
    sebelumnya...saya ucapakn terimakasih!sangat menarik "APA SALAH JILBAB"dan memang sangat penting sekali bagi kita seorang muslimah!boleh tanya kan...?
    menurut akhi....kriteria jilbab yang sudah mmenuhi syarat Syari'at Islam spt apa/bgmn?kl yang saya tau...
    1.menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan
    2.tdk mnyerupai pakaian org2 kafir
    3.tidak mmperlihatkan lekuk2 tubuhnya
    4.bahan pakainnya tdk tipis/tdk menerawang
    5.krudungnya....dijulurkan ampe dadanya
    mmmmmmmmmmmmmmmmm apa lagi ya....
    mgkin itulah yang saya tau...
    tapi akhi...saya pengen lebih jelas lagi...dalam mslh krudungnya...!kalau saya lihat dalam sebuah gambar mode pakaian muslimah...dizaman Rasulullah SAW mengenakan krudung KHIMAR(yang besar manutup sampai perutnya)!saya mngenakan krudung panjang spt org2 mesir...tetapi dengan tetap memegang ketentuan hukum Islam...menjulurkannya sampai ke dada...(ga sampe ke perut lo....?)yg jadi pertanyaannya...apakah krudung yg sy kenakan sudah mmenuhi syariat Islam?(sblmnya maaf lo...malah jadi tanya2 gini...ga papakan?)alhamdulillah kl sy koreksi diri sy sendiri...kl masalah pakaian yg saya kenakan InsyaAllah sudah mmnuhi kriteria syariat Islam...tetapi yang mnjdi rasa gundah adalah krudungnya!nah mnrut pandangan akhi gmn tuh?
    maaf ya...kl bs tlg djwb ptanyaan2nya...OK?
    mahasisiwi ain shams university

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete