Tuesday, April 11, 2006

Buku dan Ideologi

Buku Qardhawi Susah Dicari


Aku berpose, pura-pura baca buku di Perpustakaan KBRI Tunis

Lebih setengah jam aku duduk memelototi monitor komputer katalog buku di perpustakaan kampus Universitas Zaytuna. Tetapi, buku Fiqh az Zakat karya Yusuf Qardhawi yang kucari tetap tak ada. Kutub bita’ Qardhawi ma fammasy huni’, tutur seorang pegawai yang kutanya. Buku-buku Qardhawi ga ada di sini. Kenapa Om ?! tanyaku penasaran. Mamnu’, kata si pegawai sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Seorang kawan senior bercerita bahwa sejak tahun 1996, pemerintah Tunisia mencekal semua karya Qardhawi. Juga buku-buku karya Hassan al Banna, Said Ramadhan al Buti dan beberapa tokoh lain. “Pokoknya buku-buku karya tokoh Islam gerakan yang berhaluan kanan”, tutur sang kawan.
Batinku kemudian berfikir, ternyata trend pelarangan pemikiran manusia terjadi di berbagai tempat di muka bumi ini. Kepentingan politik yang rendah, biasanya berada di belakang aksi pelarangan ini.
Di Kairo, aku melihat buku Qardhawi berserakan di mana-mana. Di maktabah Dar as Shuruk, toko buku terkemuka di Tahrir pusat kota, buku-buku Qardhawi memadati etelase terdepan. Bahkan ada Maktabah Wahbah, sebuah penerbit Mesir yang getol menerbitkan buku Qardhawi. Sedangkan di Tunis, koleksi buku Qardhawi hanya dimiliki oleh perpustakaan kedutaan besar Saudi Arabia. Alhamdulillah, buku Fiqhuz Zakat itu bisa kubaca juga di sana.
Aku semakin meyakini bahwa warna pemikiran yang berkembang di suatu tempat, sangat terkait dengan selera dan kepentingan penguasa setempat. Tunisia alergi dengan pemikiran-pemikiran Islam gerakan (harakah) yang dinilai berhaluan kanan. Barangkali Qardhawi dikategorikan dalam kelompok ini. Karena keterlibatannya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi sekaligus partai oposisi Mesir yang kritis terhadap pemerintah. Menurut cerita yang kudengar, selain buku Fiqhuz Zakat, semua buku Qardhawi dinilai ‘tidak ilmiah’ oleh pemerintah Tunisia. Tentu penilaian ini sangat subyektif dan sarat kepentingan.
Di bandara Tunis, sesekali ada pemeriksaan isi koper. Buku-buku yang dicurigai tak segan-segan akan diambil sementara. Beberapa hari kemudian, kementrian luar negeri Tunisia akan memberikan informasi kepada pemiliknya. Apakah buku itu bisa diambil lagi ataukah tidak. Hal yang sama juga diterapkan oleh pemerintah Saudi Arabia di bandara-bandara internasionalnya. Sewaktu aku berhaji tahun 2003, isi tasku dibuka. Kebetulan ada sebuah buku panduan haji dan umroh berbahasa Indonesia karya Iwan Gayo itu. "Buku apa ini ?!" tanya petugas. "Ini buku pedoman haji", jawabku seadanya. Kebetulan ia percaya lalu membiarkanku pergi.
Di Tunisia, buku-buku Qardhawi susah dicari. Tetapi, buku-buku keislaman kontemporer kekiri-kirian malah beredar luas. Suatu fenomena yang berbanding terbalik dengan Mesir ; buku-buku kiri yang kontraversial sering dilarang pemerintah. Pemikiran-pemikiran modern Hassan Hanafi dan Nawal Sa’dawi misalnya, malah mendapat apresiasi lebih baik dari kalangan akademis di luar Mesir. Di Kairo, buku-bukunya agak susah didapat. Tahun 2002, sewaktu aku membeli buku Haqiqatul Hijab-nya Said Ashmawi yang kontraversial itu, sang pedagang yang orang Mesir menyeringai. “Buku ini tidak bagus”, katanya. Kalo tidak bagus, kenapa kamu mau jual?! Tanyaku. Ia hanya mencibir. Pikirku, idealismenya kalah oleh kepentingan bisnis yang praktis, hehe..Trend pelarangan buku seperti ini, sebenarnya tak lepas dari bingkai umum pengekangan kebebasan berfikir. Dalam sejarah Islam, ini bukanlah hal baru. Tetapi telah terjadi sejak abad permulaan Islam. Sebut saja misalnya kasus hukum mati atas al Hallaj atau vonis murtad bagi Ibnu Arabi karena memiliki gagasan wahdatul wujud. Di tanah air, kita teringat kisah Syeh Siti Jenar yang memiliki konsep manunggaling kawula lan gusti. Tuhan bisa bersemayam dalam diri manusia yang telah mencapai derajat spiritual tertentu.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pertautan agama dengan politik selalu menimbulkan ketegangan-ketegangan, pertumpahan darah, atau –setidaknya - pengucilan terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan. Seperti yang selama ini terjadi di banyak negara, termasuk Mesir dan Tunisia. Ini terutama disebabkan oleh arogansi kekuasaan, yang memandang perbedaan sebagai ancaman, yang mencurigai ijtihad dan penafsiran-penafsiran baru sebegai terowongan bawah tanah yang akan menjadi sarang pembangkang, lalu mengibarkan bendera pemberontakan. Padahal sebenarnya perbedaan adalah buah dari kemerdekaan. Inilah salah satu imbas yang tidak enak dari politik. Kekuasaan yang dominan –setelah mengganyang perbedaan – tidak hanya melahirkan penyeragaman, melainkan juga penyempalan dan perlawanan, dari mereka yang terpinggirkan.
Ketika kebebasan berfikir dikekang dan buku-buku dilarang, maka imbas negatifnya dirasakan oleh banyak orang, termasuk kaum muda yang masih dalam tahap belajar seperti aku. Cari buku Qardhawi saja susah…Salam Manis dari Tunis.
Senin 10 April 2006

1 comment:

  1. Mang, gimana tuh pendapat Mang Dede tentang majalah PlayBoy di Indonesia?

    ReplyDelete