Thursday, September 21, 2006

Tunis Salat

Betapa Nikmatnya Salat di Tunis



Di belakangku, ada mesjid Tunis, dengan menaranya yang khas

“Sudah enam tahun saya menyewakan rumah kepada para mahasiswa Indonesia. Selama itu pula saya menyaksikan betapa mereka adalah muslim yang baik. Mereka salat, mereka puasa, mereka tidak suka minum, dan sering saya dengar ada bacaan Alquran dari rumah mereka. Jauh berbeda dengan kita-kita, muslim Tunisia”, tutur Salim al Jalasi, lelaki gendut berusia 70 tahun. Lima orang lelaki separuh baya yang duduk di depannya melongo. Tatapan mereka menyiratkan kekagetan. Sedangkan seorang anak muda bertubuh krempeng yang duduk di sebelah Salim nampak tersipu-sipu.

Oya?! Benarkah?! Kok bisa?! Kau tak berbohong?! Betulkah demikian?! Rentetan pertanyaan terdengar dari mulut kelima lelaki itu. Pandangan mereka mengarah ke anak muda krempeng yang saat itu semakin tersipu-sipu. Mukanya memerah. Salim semakin semangat berbicara.

“Kamu lihat, orang-orang Arab Teluk yang datang ke Tunis. Di Tunis, mereka menanggalkan sorbannya. Bahkan menanggalkan agamanya. Mereka datang ke sini untuk bersenang-senang, mencari kebebasan. Mereka ke sini mencari perempuan. Mereka ikut orang-orang Tunis ; malas untuk salat. Tetapi anak-anak Indonesia ini tidak begitu. Mereka rajin belajar, dan juga tetap konsis dengan agamanya”, tutur Salim lagi. Membuat kelima pendengarnya semakin berdecak kagum.

Bahkan salah seorang dari kelima lelaki itu beranjak dari tempat duduknya. Menggeser kursinya hingga bersebelahan dengan si anak muda.

“Benarkah kamu salat?!”tanya dia. Tatapannya tajam, penasaran.
“Insya Allah, Pak”, jawab anak muda itu. Entah mantap, entah juga so’ mantap. Membuat si penanya tertegun. Lalu ia kembali bertanya,“terus, di Tunis, kamu belajar dimana?!”
“Saya belajar di Fakultas Syariah, Pak..”
“Fakultas Syariah?! Jadi, kamu belajar Syariah..?! Kamu belajar saja, atau juga mempraktekkannya?!”
“Saya belajar, lalu mempraktekkan sebisa saya. Saya salat, saya puasa dan seterusnya”, tutur anak muda itu tenang. Si penanya mengernyitkan dahinya.
“Bagaimana dengan orang-orang di negerimu?! Apakah mereka belajar syariat juga?!”
“Ya, Pak, mereka belajar syariat juga”.
“Syariat yang mana?! Syariat Nabi Muhammadkah?! Atau ada syariat lain yang berkembang di negerimu?!”
“Tentu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Pak. Berdasarkan Alquran dan hadis”
“Subhanallah”, tutur lelaki itu, sambil menepuk-nepuk bahu si anak muda. “Robbi Ma’ak”, lanjutnya. Kalimat basa-basi orang Tunis, untuk mendoakan lawan bicara. Makna harfiahnya, semoga Tuhan selalu bersamamu.


* * *
Itulah sepotong pembicaraan yang terjadi di Ben Arus, tepian kota Tunis, awal bulan lalu. Salim al Jalasi adalah warga Tunisia yang menjadi bapak kost para mahasiswa Indonesia di kota Tunis. Kelima lelaki separuh baya itu adalah warga Ben Arus. Sedangkan anak muda krempeng itu adalah aku sendiri.

Di Tunis, isi pembicaraan seperti tadi bukanlah hal aneh. Orang Tunisia kebanyakan, sering kaget atau terkagum-kagum jika bertemu orang asing non Tunis yang mengaku rajin menjalankan perintah agama.

Jika ada warga asing yang mengaku muslim di depan orang Tunis, si orang asing itu biasanya akan ditanya, “apakah kamu salat?!”. Sebuah pertanyaan yang terdengar ganjil di telinga. Muslim kok ditanya begitu. Seolah ada pengklasifikasian ; muslim salat dan muslim yang tak salat.

Jika pertanyaan itu dijawab “iya”, orang Tunis sering terkagum-kagum. Menggeleng-gelengkan kepala. Seolah salat itu benar-benar hal yang istimewa banget, hingga bisa dijadikan standar kesalehan tingkat tinggi.


* * *
Selama September ini ada pameran lukisan Indonesia di kota Tunis. Setiap hari, para mahasiswa Indonesia – termasuk aku - bertugas menjaga stand secara bergiliran. Lokasinya di Palmarium Mall, di jantung kota Tunis. Saat dzuhur tiba, kami biasa salat di sudut ruangan itu secara bergiliran. Beralaskan koran sebagai sajadah.

Mall itu tak memiliki mushalla. Di Tunis memang begitu. Jangankan mall, terminal bis atau stasiun kereta, kampus-kampus atau sekolahan pun tak memiliki mushalla.

Beberapa orang Tunis para panitia pameran, terkaget-kaget ketika para petugas dari Indonesia selalu salat ketika waktu dzuhur tiba. Mereka menanyaiku, juga rekan-rekan lain, mengapa kalian salat. “Karena salat adalah perintah Allah”, jawab kami lurus.

Sewaktu aku balik bertanya, “apakah kalian salat?!” Orang-orang itu menjawab, ”Kami muslim, tapi kami tidak salat”. Jawaban yang jujur, apa adanya, dan tanpa rasa ragu atau malu sedikit pun. Jawaban yang akan kita dengar dari kebanyakan orang Tunis, kala ditanya, apakah kamu salat?!

Diantara orang Tunis panitia pameran, ada seorang yang mengaku terharu kala melihat muslim Indonesia salat di atas hamparan koran. Di salah satu sudut mall yang tak memiliki mushalla. “Selama saya bekerja di sini, saya baru lihat ada orang salat di mall ini. Itupun orang asing”, tutur lelaki berusia 50 tahun itu.
“Oya?! Lalu, kenapa kamu tak salat seperti kami?!”, tanya seorang rekan.
“Mmm...Insya Allah, Insya Allah. Saya akan salat. Tahun ini. Ya, tahun ini saya akan salat”, tutur dia sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah hatinya, apakah ikut mengangguk-anggu juga?! Semoga Allah mencurahklan hidayah kepadanya.


* * *
Sebenarnya, muslim Tunis sangat bangga dengan agamanya. Fanatisme beragamanya tinggi. Jika diajak bicara soal Islam, semangatnya bukan main. Dalam obrolan-obrolan ringan, tak segan-segan mereka mencaci maki Israel dan Amerika, sebagai negeri yang selalu memusuhi Islam. Ketika ada turis-turis bule melenggang di kota, tak jarang orang-orang Tunis itu mencibir, “mereka bukan muslim”, katanya. Ketika bertemu dengan orang Indonesia, kerap mereka mengaku bangga dengan Indonesia ; sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.

Akan tetapi, dalam hal praktik beragama, banyak sekali orang Tunisia yang secara sadar mengaku tidak taat. Misalnya, tidak salat atas kesadaran sendiri. Bukan karena pemahaman yang tak lazim, sebagaimana konsep orang-orang NII di Tanah Air. Bahwa saat ini kita tengah dalam fase Mekah, belum fase Medinah. Maka salat pun belum wajib.

Juga bukan karena sebuah keyakinan primitif, bahwa salat itu intinya “ingat”, atau “eling”. Maka, jika sudah bisa ingat kepada Dia Yang di Atas, maka salat tak perlu lagi. Tidak juga karena itu. Orang Tunisia yang mengaku tidak salat, semata-mata karena menganggap bahwa salat itu tidak penting.

Pemahaman ini, salah satunya karena buah dari gerakan sekulerisasi Islam yang pernah dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Borguiba, seorang sarjana hukum lulusan Perancis dan pengagum berat Kemal At Taturk, konon bersemangat menjadikan Tunisia sebagai negara sekuler, seperti Turki. Peran agama hanya dibatasi di dalam rumah ibadah. Kajian agama hanya boleh dilakukan di lembaga-lembaga Islam saja, yang jumlahnya pun tidak banyak.

Penyebab lainnya adalah faktor politik. Pemerintah sangat trauma dengan kasus pemberontakan kaum oposisi muslim militan (FIS) di Aljazair, negeri tetangga sebelah. Agar hal serupa tak terjadi di Tunisia, maka semua aktifitas umat Islam diawasi oleh pemerintah. Dalam skala sekecil apapun, termasuk soal salat itu tadi. Hingga di negeri berpenduduk hampir 100 persen muslim ini, simbol-simbol formal agama tak bisa melenggang begitu saja di ruang publik. Pemakai jilbab tak bebas bergerak. Razia jilbab masih saja terjadi, hingga hari-hari ini. Lelaki berjenggot yang rajin ke mesjid pun kerap diawasi.

Maka, iklim kehidupan keseharian seolah dibikin sedemikian rupa, agar simbol formal keagamaan sulit bergerak di muka umum. Acara-acara resmi, tak mengagendakan waktu khusus untuk salat. Acara seminar atau perkuliahan, tak segan-segan digelar antara pukul 11 hingga 16 misalnya. Nanggung banget, karena tanpa agenda istirahat untuk salat dzuhur. Akhirnya, inisiatif untuk salat, benar-benar kembali pada pribadi masing-masing.

Dalam suasana seperti ini, aku selalu berusaha memetik hikmahnya, mengambil indahnya. Saat di tanah air atau di Mesir, aku salat karena dukungan lingkungan keluarga yang agamis, iklim pesantren serta masyarakat Kairo yang religius. Kini di Tunis, salat benar-benar muncul dari kesadaran sendiri. Mula-mula aku merasa berat dengan keadaan ini. Lama-lama, aku mulai terbiasa. Bahkan pada tahapan tertentu aku menemukan hikmah ; bahwa bermunajat kepada Tuhan di tengah lingkungan yang tidak kondusif untuk salat, ternyata membuahkan kenikmatan yang tak terlukiskan.

Meski demikian, aku selalu husnudhan kepada muslim Tunisia. Bahwa sempitnya ruang gerak untuk salat, semata-mata karena kepentingan politik penguasa yang rendah. Cueknya remaja Tunis terhadap salat, merupakan buah dari pendangkalan nilai-nilai kegamaan secara sistematik, yang terjadi selama puluhan tahun lalu.


* * *
Sebagai penutup, aku hendak menuturkan sebuah kisah yang dialami seorang kawan kala salat Subuh di mesjid. Ketika dingin pagi yang menusuk pori-pori tak pernah ia pedulikan.

Usai salat, ia dicegat oleh seorang lelaki separuh baya. Lalu lelaki itu bertanya, “Mengapa kamu rajin datang ke mesjid ini?!”
“Saya salat, Pak, perintah Tuhan”
“Oke, itu perintah Tuhan. Tetapi kalau di dalam mesjid, kamu suka ngobrol sama siapa?!”
“Tidak, Pa, saya tidak suka banyak bicara dengan orang lain. Saya hanya salat, baca wirid, lalu pulang”, tutur sang kawan. Cari aman.

Mendengar ceritanya, aku terharu. Aku memang lebih sering salat Subuh di rumah, jarang di mesjid. Tetapi rasanya aku tak rela, jika seorang kawan lain yang rajin Subuh di mesjid, dihujani pertanyaan seperti itu, dengan nada kurang bersahabat, yang nanti bisa menyurutkan niatnya untuk rajin ke mesjid.

Betapa berat ujian salat di Tunisia. Wahai Allah, betapa sulitnya Engkau ditemui di negeri mayoritas muslim ini.

“Sesungguhnya salat itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yakni, orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”; Al Baqarah 45- 46

Tunis al Khadra, 20 September 2006

5 comments:

  1. tulisan2 perjalanannya sangat menarik dan hidup...sayang 2 tulisan terakhir baris sebelah kanannya banyak yg kepotong yah

    ReplyDelete
  2. Sedangkan anak muda krempeng itu adalah aku sendiri.---> hayu atuh makan yg banyak kang Dede :D, bukannya di Tunis makanannya enak2. Apa kangen ama masakan emak?

    ReplyDelete
  3. kirain di Tunis religius, kang Dede :( alhamdulillah ya, di negara kita -mah- masih kerasa religiusitasnya...:)

    ReplyDelete
  4. Wow... gaya tulis Anda hebat banget. Saya adalah seorang Belanda yang belajar sastra Asia Tenggara, terus pernah belajar bhs Arab sedikit, dan sangat tertarik sama Tunisia (sudah 4 kali ke sana). Sayangnya Anda nggak berada di Tunisia lagi, karena saya berencana untuk bikin dokumentasi di sana tentang topik2 Islam.. dan cerita2 Anda pas banget! Terutama karena saya tertarik sama berbedaan2 Indonesia dan Tunisia

    ReplyDelete