Monday, September 04, 2006

Marakesh Alquran (PM8)

Anak-Anak Marakesh Membaca Alquran


Salah satu sudut kota Marakesh, dekat Pasar Tua

Senin (31/7) sore, aku berjalan menelusuri jalanan sempit di dalam komplek Pasar Tua, di belakang Sahah Jami el Fina, di kota Marakesh. Jalanan kecil yang berkelok-kelok, di tepi kiri kanannya berderet pertokoan souvenir.

Di depan sebuah mesjid tua aku menghentikan langkah, karena telingaku menangkap suara-suara lucu ; bacaan Alquran – surat ad Dhuha - yang diteriakkan secara serempak oleh anak-anak kecil dari dalam mesjid.

Aku jadi ingat pengalaman silamku, kala mengajar TPA di Ciputat, selama rentang 1999-2001. Mengasuh anak-anak manis membaca Alquran.

Terdorong rasa penasaran, aku melangkahkan kaki, belok kanan memasuki gerbang mesjid. Mesjid tua, kokoh, dan bagian dalamnya nampak sedang dipugar. Di sebelah kiri pintu mesjid, ada pintu lain menuju ruangan kecil. Ternyata, dari ruangan itulah suara anak-anak mengaji itu berasal.

Dari pintu itu, aku mengintip ke dalam. Nampak belasan anak usia SD sedang duduk melingkar. Tangan-tangan mungil mereka memegang papan kayu persegi seukuran kira-kira 20x10 cm. Di papan itu, ada tulisan huruf Arab. “Ya Allah, sederhana sekali alat tulis mereka”, gumam hatiku. Serupa sabak, papan tulis kayu yang sering diceritakan kakekku dulu saat sekolah, di masa penjajahan Belanda.

Di Tanah Sunda, sabak hanya tinggal cerita. Tetapi di kota pedalaman Maroko ini, sabak ternyata masih ada. Digunakan oleh anak-anak kecil yang belajar agama di Madrasah Quran di kota pada jarak 321 km selatan Rabat ini. Mereka belajar di ruangan kecil di pojok kiri mesjid. Ruangan khusus belajar, yang biasa dinamakan ruwwaq. Mesjid-mesjid tua di Tanah Arab, rata-rata memiliki ruwaq, sebagai lokasi pengajian agama. Pengajian itu masih berlanjut hingga saat ini. Seperti yang kusaksikan – bahkan kuikuti - di ruwaq-ruwaq Mesjid Al Azhar Kairo dan di Mesjid Zitouna Tunis.

Kini, aku menyaksikan anak-anak lucu itu belajar Alquran di ruwwaq sebuah mesjid tua di Marakesh. Seorang lelaki tua duduk diantara anak-anak itu. Barangkali ia ustadnya, pikirku. Lelaki tua itu menatapiku dengan pandangan curiga. Aku ucapkan salam seraya melambaikan tangan. Assalamu alaikum. Anak-anak itu semua menjawab serempak , wa’alaikum salam.

“Apakah anda muslim?!” Tiba-tiba suara sapaan terdengar dari arah kananku. Ternyata, ada seorang bapak yang menghampiriku, dari dalam mesjid. “Oh, iya Tuan, saya muslim dari Indonesia”, jawabku. “Saya sedang belajar agama di kota Rabat. Saya tertarik dengan suasana madrasah Quran ini”, tuturku lagi, dengan bahasa Arab. Membuat raut muka bapak itu berubah sumringah. Lalu ia menyalamiku ramah. “Ahlan wa sahlan”, katanya. “Jika anda mau melihat ke dalam, silahkan”, kata dia lagi.

“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya di sini saja”, tuturku tanpa mengubah posisi berdiri. Aku masih asyik menatapi santri-santri cilik itu. Pakaiannya beragam, beberapa diantaranya lusuh tak rapi. Aku juga ingat anak-anak Kampung Semanggi II di Ciputat sana, yang dulu pernah kuajari baca Alquran, juga sedikit dasar-dasar pengetahuan agama. Anak-anak yang nakal, tetapi kadang lucu menggemaskan. Anak-anak yang hampir tiap hari meminta aku mendongeng usai mengaji, atau bermain sulap korek api. Tentu saat ini mereka sudah besar.

Agak lama aku berdiri, mengamati anak-anak madrasah itu. Tubuhku kusandarkan pada pintu ruwaq. Mataku menatapi mereka tak henti. Seperti tak hentinya anganku yang melayang, mengikuti emosi dan haru. Melayang-layang ke masa silamku, kala melewatkan masa kecil mengaji di surau, usai maghrib hingga isya. Lalu tidur di surau, bersama anak-anak santri lain. Agar subuh tak kesiangan ; bisa salat berjamaah, lalu kembali mengaji bersama-sama.

Pikiranku mendadak bertanya-tanya. Apakah di surauku itu masih ada anak-anak desa yang mengaji?! Apakah Mang Guru Ali – ustadku – masih tetap setia mengajar ?!

Ah, semoga saja semua itu masih ada, dan akan terus ada di negeriku tercinta. Alquran dibaca, dipelajari, oleh anak-anak usia dini. Seperti yang saat ini kusaksikan di Marakesh, kota propinsi di negeri muslim barat Afrika sana. Negeri dengan waktu tempuh 23 jam penerbangan pesawat dari Jakarta.

Madzhabku Syafii, Tuan..!
Andai rekanku tak mengingatkanku untuk segera melanjutkan perjalanan, mungkin aku masih saja berdiri depan mesjid itu. Menyaksikan anak-anak Arab itu belajar mengaji. “Perjalanan kita masih panjang. Kita belum salat dzuhur. Kita juga belum makan siang”, tutur sang kawan.

Oh, iya, pikirku, sambil kemudian beranjak pergi, kembali menelusuri pasar tua Marakesh, dalam komplek pemukiman padat dan kumuh, di sela-sela gang sempit yang berkelok-kelok. Jalanan yang sepi, kecuali sesekali nampak tuis-turis bule berjalan bergerombol.

Tak sampai 10 menitan, aku tiba di mesjid lain. Mesjid putih dengan atap biru. Temboknya tebal dan nampak kokoh. “Ini adalah mesjid Ben Yusuf”, tutur seorang wanita tua yang kutanya.

Aku berniat salat di sini. Dengan Bismillah, aku melangkahkan kaki ke mesjid. Seorang lelaki penjaga mesjid menghampiriku serta menanyaiku, “Anda muslim?!” “Ya, Pak, saya muslim. Saya mau salat di sini”, tuturku. Mendengar jawaban itu, ia pun berlalu.

Usai melewati pintu, aku tiba di pelataran dalam mesjid yang luas. Inilah gaya mesjid-mesjid tua di Tanah Arab ; di dalamnya ada pelataran luas di ruangan tanpa atap, dengan kolam kecil tempat wudlu di tengah-tengahnya. Aku pun segera bergabung dengan orang-orang Marakesh yang duduk melingkari klam kecil itu ; berwudlu bersama-sama.

Aku duduk di tepi kolam berdiameter kira-kira 3 meter itu. Aku langsung membasuh telapak tangan, membasuh muka dan seterusnya. Saat aku memercikkan air pada kedua lengan lalu kuusap-usap tiga kali, terdengar suara seseorang yang menegurku. Seorang bapak tua yang berbicara dengan bahasa Arab Maroko. Nadanya cepat.

Aku cuek saja. Wudlu kulanjutkan. Tetapi seorang lelaki lain yang lebih muda ikut bicara. Agak jelas nadanya. Bahwa wudluku salah. “Wudlu kamu tidak sah. Kok basuh lengannya begitu?!”

Oh, aku segera faham. Mereka kaget dengan gaya wudluku, yang hanya membasuh lengan tiga kali, dengan basuhan seperlunya, sekedar memercikkan air. Sebagaimana makna kalimat “mashul yadain ilal mirfaqain”, yang populer dalam kitab-kitab fikih Syafii. Tetapi, bagi orang Maroko yang bermadzhab Maliki, membasuh tangan tak cukup dengan memercikkan air saja. Melainkan harus menggosok-gosoknya tiga kali.

“Ini titik persoalannya”, pikirku. Tetapi aku tak mau berbicara panjang soal ini. Perjalananku masih panjang. Daripada buang-buang waktu, mendingan potong kompas saja. “Aku orang Indonesia. Aku ikut pendapat Syafii, Tuan”, tuturku. Mereka terdiam seraya mengangguk-angguk. Ada satu orang yang bicara kepada rekannya. Entah bicara apa, aku tak faham. Diam-diam hatiku bergumam. Ternyata mereka sangat fanatik dalam bermadzhab fikih. Hal-hal yang tidak prinsip (furu’) sekalipun, masih dipersoalkan. Sesuatu yang sebenarnya sudah sangat tak menarik dan tidak kren untuk diperdebatkan di era teknologi ini.

Ada TV dalam MesjidAku salat dzuhur berjamaah, bersama orang-orang Maroko. Para lelaki tua yang berjubah lusuh. Tetapi wajah mereka menyiratkan kesahajaan dan keramahan. Seperti orang-orang Mesir pinggiran yang pernah jadi tetanggaku dulu di desa Katamea.

Di mesjid itu, alas sembahyangnya tikar biasa. Tetapi bersih. Bukan karpet tebal dan berbulu. Ternyata, Maroko serupa dengan Tunisia. Meski mesjidnya megah, kokoh dan terkenal, tetapi alas sembahyang tetap tikar. Mungkinkah untuk menjaga orsinilitasnya?!

Usai salat, orang-orang Maroko itu berdzikir dengan suara nyaring. Bacaan tasbih, tahmid dan talil. Aku ikut menggumamkan dzikir, sambil menengok ke setiap penjuru ruangan mesjid. Nampak tertata rapi dan bersih. Tiang-tiang kokoh berderet.

Ketika pandanganku tertumpu pada dinding sebelah kanan mimbar, aku kaget bukan kepalang. Sebuah televisi seukuran kira-kira 36 inci bertengger santai di sana. Hey, TV..! Ngapain kamu ada di dalam mesjid begini?!

Sesaat aku termenung. Oh, aku ingat cerita Dedi Wahyudin, rekan mahasiswa S3 di Rabat. Bahwa Maroko sekarang ini sedang gencar melakukan konsep tajdid khitab dini. Semacam gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan yang belakangan gencar terdengar di sejumlah negara muslim. Dalam rangka menampilkan wajah Islam yang damai, toleran dan tidak kaku. Maka para kyai harus mendapat wawasan baru dari pemerintah. Agar mereka tak menyebarkan ajaran yang dinilai anarkis.

Bahwa adanya reformasi kurikulum pendidikan Islam, pengawasan dan pembinaan terhadap para kyai, itu sering kudengar ceritanya di negara-negara muslim seperti Saudi, Mesir, Tunisia dan bahkan di tanah air. Tetapi, bahwa proyek tajdid khitab dini salah satunya dilakukan dengan cara menyimpan TV dalam mesjid, itu baru kusaksikan di Maroko.

“Pemerintah memang punya program menyimpan TV di semua mesjid Maroko”, tutur Dedi. Tujuannya, agar para imam dan khatib, bisa menambah wawasan lewat acara-acara berita di TV. Agar tidak berpikiran sempit alias kuper. Agar bisa melihat ‘dunia luar’.

Oke, pikirku, itu bagus. Agar tak ada lagi kyai yang tak percaya bahwa bumi itu bulat, hehehe.. Khan kesannya ngga kren gitu lho...! Tetapi, jika ada TV dalam mesjid, bagaimana jika pada malam minggu, usai tahajud, para imam itu iseng, memutar saluran TV ke stasiun-stasiun Eropa?! Memutar film-film hot?! Atau menyetel acara musik MTV dan menyaksikan klip-klip para penari yang bergoyang ngebor?! Wah, bisa jadi berita seru, hehehe...
Tetapi, rasanya prasangkaku terlalu berlebihan. Sebuah prasangka yang tidak sopan, untuk al mukarramin para kyai di negeri para wali ini. Insya Allah, pemerintah Maroko memiliki niat yang baik di balik program penyimpanan TV di mesjid-mesjid ini. Setidaknya agar para pemuka agama itu berwawasan, agar para kyai itu bisa memperkaya pengetahuan dengan pengalaman dunia luar, kendati hanya lewat layar kaca. Sehingga dalam berkomunikasi dengan umat, mereka bisa menyampaikan pesan-pesan luhur Islam sesuai dengan proporsi dan tuntutan zamannya.

Rupanya, lewat program pengadaan TV di mesjid, pemerintah Maroko ingin membantu mewujudkan Islam rahmatan lil alamin... Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006

1 comment:

  1. AnonymousMay 26, 2007

    hm...jadi inget swaktu mondok(santri kalong),datengnya sebelum magrib pulangnya biz subuh)*untung gak di bilang anak kampret*

    ReplyDelete