Monday, September 04, 2006

Marakesh Eksotik (PM 9)

Terlena di Jami el Fina

Aku pura-pura tersenyum, padahal jantungku berdetak lebih cepat

Hari beranjak gelap. Dalam keremangan senja yang temaram, aku berdiri terpaku, diantara puluhan – bahkan mungkin – ratusan ribu manusia yang kebanyakan berbaju putih. Di tengah ragam suara teriakan, hingar bingar musik, serta terompet yang ditiup lelaki-lelaki tua berjubah lebar.

Seorang lelaki separuh baya berbadan tegap, berambut gondrong sepinggang, berdiri di tengah kerumunan ratusan manusia. Lelaki itu telanjang dada, hanya memakai celana panjang hitam sebetis. Mulutnya tak henti bicara, sesekali tertawa terbahak. Tiba-tiba salah seorang asistennya membawa kompor kecil yang menyala, menghampiri lelaki tegap itu. Rambut panjangnya disentuhkan ke api. Juga kemudian telapak tangannya. Tapi tak mempan dibakar, bahkan tak ada tanda-tanda kepanasan atau tangannya terbakar. Tawanya malah semakin kencang, seolah tak ada apa-apa. Spontan, para penonton pun bersorak.

Tak jauh dari kerumunan si tukang akrobat itu, ratusan orang lainnya membentuk lingkaran baru. Rupanya, ada permainan monyet menari-nari, diiringi musik sederhana. Serupa doger monyet di tanah air. Di sebelah rombongan doger monyet, ada tujuh lelaki yang berdiri berbaris. Diatas pundak mereka, ada lima orang lain yang berdiri. Diatas pundak lima orang itu, ada tiga orang lainnya yang juga berdiri. Kren juga Cheers Leader kampung ini, tuturku. Ratusan penonton juga berdiri di seputar mereka.

Sorak sorai dan teriakan pujian penonton, terdengar hingar bingar. Bersahutan dengan terompet para pemain musik rebana tradisional, yang juga ikut beratraksi senja itu. Grup musik yang dimainkan oleh sekitar 7 pemain, menggunakan tamtam (kendang kecil), kecrek serta terompet. Seorang vokalis asyik menyanyi, berdampingan dengan sang penari yang berjingkrak-jingkrak. Orang setempat menyebutnya dengan musik Isyawa, atau kadang juga musik Gnewa.

Pelataran luas Sahah Jami el Fina di jantung kota Marakesh seolah tak pernah sepi dari ragam atraksi budaya tradisi. Selain aneka akrobat dan musik seperti tadi, juga ada pertunjukan bela diri tradisional, permainan memancing botol, tukang obat yang membawa ular cobra besar, stand-stand tukang ramal, juga ibu-ibu tua pemasang hena, tato khas Arab. Di tepian lapangan, ratusan warung tenda penjual aneka makanan dan minuman berderet rapi. Kepulan asap tukang daging bakar, mewarnai pemandangan senja itu, beserta kerlap kerlip lampu hias dan kembang api.

Tak terasa, emosiku terhanyut bersama keindahan dan eksotisme senja itu. Senja yang indah di pelataran Jami el Fina, alun-alun sebuah kota di negeri penghujung barat Afrika. Di pedalaman Maroko, pada jarak 321 km selatan Rabat.

Menara Tua
Tak lengkap rasanya, pergi ke Maroko tanpa singgah di Marakesh, kota yang masih dikenal karena ilmu hitamnya. Tukang sihir, tukang sulap, tukang ular, tukang ramal dan aneka perdukunan lain, konon masih marak di kawasan ini. Marakesh juga populer karena kekayaan budaya tradisinya. Kesenian suku Barbar dan aneka atraksi kaum primitif di Gurun Sahara. Dan di pelataran el Fina inilah, semua warisan kuno itu beraksi. Bahkan dilestarikan oleh pemerintah, sebagai salah satu daya tarik wisata.

Sahah Jami el Fina berlokasi tak jauh dari stasiun Marakesh. Hanya terpaut jarak 1,5 km. Jika hendak jalan kaki dari stasiun, kita hanya menelusuri Jalan Raya Hassan II yang lebar, dirindangi pepohonan tinggi serta deretan gedung-gedung megah, pusat belanja dan hotel. Tentu, semua gedung itu hanya memiliki satu warna ; merah....!

Sebuah menara berwarna usang menjulang tinggi, di tengah alun-alun ramai, menandai lokasi Sahah Jami el Fina. Dari kejauhan, menara mesjid tua ini nampak kelihatan tegar dan angkuh. Seangkuh peradaban yang mewariskannya. Itulah menara Kutubia, mesjid tua yang menjadi landmark Marakesh. Dan pelataran el Fina, terletak berseberangan jalan dengan menara ini.

Sahabat Ular Cobra
Senin (31/7) sekitar pukul 13.15, aku tiba di Sahah Jami el Fina. Pelataran seluas kira-kira dua kali lapangan bola itu, sudah ramai pengunjung. Meski belum padat. Kios-kios makanannya pun belum dibuka. Ribuan orang hilir mudik, banyak diantaranya turis-turis bule. Di sebelah kanan gerbang masuk, ada taman yang rindang karena pepohonan yang tinggi. Cocok untuk lokasi duduk santai melepas lelah.

Aku berjalan pelan bersama Ikbal, seorang rekan dari Tunis. Menuju tengah lapangan berlandaskan aspal itu. Aku menghampiri sebuah tenda yang dikerumuni ratusan orang. Tiba-tiba, seorang pria muda Arab berjubah lusuh menghampiriku. Di tangannya, tiga ekor ular cobra bergelantungan. Melingkari tubuh lelaki itu. Aku kaget. Astaga, ini beneran ular nich?! Aku agak menjauh. Tetapi lelaki itu memanggilku. “Kamu mau foto dengan ular?! Ayo kesini, tak usah takut”.

Darahku terkesiap. Aku takut dan ngeri jika melihat ular. Aku mau mendekat, tetapi ragu. “Tak usah takut. Ular ini jinak kok”, tutur lelaki Arab itu lagi. Akhirnya, rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Kuhampiri lelaki itu. Sang kawan yang memegang kamera telah siap-siap memotret.

Lelaki itu langsung mengalungkan ular-ularnya ke leherku. Kepala ular yang besar, dengan santai menelusuri lenganku. Kulitnya yang licin terasa menyisir leherku. Ih, terasa gimanaaaa..gitu. Licin-licin geli, hehe.. Mataku terus memelototi ular-ular itu, khawatir tiba-tiba berlaku nakal. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sang kawan yang memegang kamera, malah nyengir sambil tertawa-tawa. Jepret, jepret, tiga kali kamera mengarah ke wajahku.

“Tuh, khan, ularnya jinak”, kata si lelaki tukang ular. Aku mengangguk-angguk. Tangan kananku mengelus-elus punggung ular terbesar. Pura-pura tak takut, sekaligus untuk melatih nyaliku.

Ketika urusan foto memoto selesai, aku beranjak pergi. Tetapi si tukang ular itu spontan memegang tanganku. “Hey, bayar dulu”. Aku pura-pura tak tahu. “Kok bayar?! Khan tadi kamu yang ajak?!”, tuturku sok serius, padahal sambil menahan senyum. “Kamu harus bayar, dua ratus dirham”, kata dia tegas. (200 dirham = 25 Dolar AS).

Aku ngotot, pura-pura tak mau bayar. Aku bicara dengan bahasa Arab Tunis, yang insya Allah tak terlalu beda dengan bahasa Maroko. Aku tahu bahwa memang harus bayar. Tetapi aku tak menyangka bayarannya sebesar itu.

Dua orang kawan si tukang ular datang mendekat. Tampangnya tidak bersahabat. Mereka bertiga mengelilingiku. Ular-ular cobra itu kembali dikalungkan ke leherku. “Jika kamu tak mau bayar, ular-ular ini akan mematokmu”, bisik si lelaki tadi. Ia berlagak mengancam, tetapi tak mau ketahuan oleh para penonton lain.

Lama-lama, aku merasa kaget juga. Gimana jadinya jika lenganku kena patuk ular-ular itu. Lalu aku merasa sakit, dan tak bisa pulang ke Rabat....

“Oke aku bayar, tapi tak sampai 200 dirham. Itu kemahalan”, rayuku. “Tak bisa, kamu harus tetap bayar 200 dirham. Kalo tidak, awas saja, ini ular akan kusuruh mematukmu”, timpal si lelaki itu sambil melotot.

Aduh, aku semakin bingung. Kawanku yang pegang kamera, malah nyengir dari kejauhan. “Ya khuya, saya ini muslim, sekarang sedang belajar agama di Rabat. Saya tak punya uang”, pintaku memelas. Hatiku berdoa, semoga ular itu tak mematukku.

Si lelaki itu bicara dengan dua rekannya. Entah ngomong apa. Tiba-tiba, salah seorang diantara mereka menjerit kaget. Rupanya, salah satu ekor ular itu, mematuk jemarinya. “Nah, rasain lu. Itu balasan bagi para teroris, tukang teror orang...”, gumam hatiku. Sambil hatiku merasa kaget plus bersyukur kepada Allah, kok malahan dia yang kena patuk ular. Kulihat darah bercucuran dari jemari lelaki berkumis itu. Rekannya yang satu lagi, membantunya memijit jemari yang kena gigitan ular.

Tetapi rupanya, patukan ular itu dijadikan alasan oleh si tukang ular sialan itu. “Hey, ayo bayar. Itu kawanku sudah kena gigitan ular. Kamu harus bayar”.

Aku terus menawar. “Oke aku bayar, tapi tak 200 dirham”
“Berapa kamu punya?!”

Aku merogoh saku celana. Ya Allah, semoga uang yang ketarik keatas bukan yang seratusan dirham, tetapi yang dua puluhan. Dan alhamdulillah, dua lembar dua puluhan dirham bisa kutarik keluar. Kuserahkan langsung pada lelaki itu.

“Ini tak cukup...! Masa Cuma 40...!”
“Tak ada lagi, kawan. Saya mahasiswa, bukan turis beneran. Tak punya uang banyak”.
“Saya tak percaya kamu tak punya uang. Buktinya kamu bisa jalan-jalan ke Marakesh..!”
“Jika aku punya uang, aku takkan piknik ke sini..!”, timpalku tak mau kalah. Kali ini kuberanikan bicara dengan nada agak tinggi. Biar orang-orang pada dengar. Mata juga kupelototkan. Siapa tahu si tukang ular itu menyangka aku tetangganya Jacky Chan. Siapa tahu si tukang ular ini seperti orang Tunisia sana ; pengagum berat Jacky Chan, lalu menyangka setiap orang Asia pantas ditakuti karena pandai ilmu bela diri seperti Jacky Chan.

Si tukang ular itu terdiam. Rekanku yang berdiri di sana masih saja menahan tawa. “Ini ada juga receh, lumayan buat tambahan”, tuturku dengan nada agak pelan. “Ya sudah, tak apa receh juga. Terserah dech, adanya berapa” si tukang ular itu akhirnya mengalah.

Aku keluarkan beberapa koin dirham. Ada sekitar 8 hingga 10 dirham. Lalu, setelah uang itu berpindah tangan, ular pun terlepas dari pundakku. Alhamdulillah. Aku lepas dari gigitan ular, selamat dari pemerasan preman kampung di kota Marakesh. Tetapi, licinnya kulit ular yang melingkar-lingkar di leher dan lenganku, masih terasa hingga saat ini.

Pasar Tua
Di belakang pelataran el Fina itu, ada komplek pasar tua dan mesjid-mesjid kuno yang memiliki nilai sejarah. Pasar tua yang sangat luas. Melebihi luasnya Pasar Tua Oudaya di kota Rabat, Khan Khalili di Old Cairo, bahkan Pasar Tua Medina, Tunis.

Tetapi barang jualannya sama saja. Ada pakaian, perhiasan, aneka kerajinan tangan, sabuk dan tas kulit, serta rumah makan. Lokasinya berupa pertokoan diantara jalan-jalan sempit yang berkelok-kelok. Yang menarik, seluruh bangunan tua di dalam komplek pasar itu berwarna merah. Merah-merah usang dan agak kumuh. Lebih usang dari bangunan pasar-pasar tua di kota yang kusebutkan tadi.

Selama menelusuri pasar tua itu, aku menemukan beberapa pengalaman menarik. Kisah yang sangat mengesankan, ketika aku mampir di sebuah madrasah Alquran yang sangat tradisional, lalu bertemu orang Maroko yang fanatik madzhab. Satu lagi, di mesjid tua itu ternyata ada televisi. Disediakan pemerintah, agar para kyainya gaul dan tak ketinggalan zaman. Kisah selengkapnya bisa Anda ikuti dalam tulisan Marakesh Alquran. Klik saja itu di Menu Utama.

Warung Tenda
Usai berjalan-jalan menelusuri pasar tradisional itu, aku kembali ke pelataran el Fina. Beberapa saat sebelum maghrib. Aku melihat keramaian orang beratraksi di tengah lautan manusia. Seperti yang kututurkan pada pembuka tulisan.

Sebuah pesta rakyat harian yang sulit dicari bandingannya. Sejak meninggalkan tanah air di penghujung 2001, rasanya baru sekarang aku menyaksikan lautan manusia sebanyak ini. Kecuali saat berhaji di Tanah Suci, pada tahun 2003 lalu.

Menjelang senja, warung-warung tenda di tepian lapangan itu mulai dibuka. Warung penyedia makanan khas Arab Maroko. Posisi tendanya berbaris, bentuk tendanya seragam, serta para pelayannya yang berbaju putih. Setiap warung ada nomornya, juga menu makanan yang dipampang. Hitungan kasarku, ada sekitar 100 warung. Belum termasuk deretan tenda penjual ashir (jus) jeruk di pojok kiri lapangan.

Aku duduk di salah satu bangku di sebuah warung yang masih lengang. Hanya ada satu-dua orang turis bule. Aku duduk santai melepas lelah, melenturkan tubuh yang terasa pegal.

Seorang pelayan menghampiriku. Anak muda dari tepian Marakesh, yang mengaku bernama Ibrahim. Ia menawarkan menu makanan yang beragam. Ada kebab (daging bakar), ikan bakar, daging kambing, kepala sapi, juga beragam macam sandwich. Semuanya disajikan dengan khas Arab Maroko. Setiap menu disertai sepiring buah zaitun dan salad. Harganya juga murah. Dua porsi menu kepala sapi, plus minuman bergas hanya dihargai 30 Dirham. Sekitar 30 ribu rupiah, atau 4 Dinar Tunis. Menurut Ibrahim, harga-harga makanan dan minuman di kawaan wisata Jami el Fina ini memang diseragamkan oleh pemerintah.

Ibrahim juga bertutur bahwa keramaian pelataran el Fina tak pernah berhenti sepanjang waktu. “Kecuali pada hari raya”, tuturnya. Pada musim panas begini, orang-orang begadang hingga menjelang Subuh.


Warung-warung makanan Marakesh, solusi bagi para pemanja perut..

Selamat Tinggal MarakeshAku menikmati sajian di warung tenda itu dengan lahap. Maklum, lapar banget, usai kecapean. Iringan musik tradisi, derai tawa, tepuk tangan dan sorak sorai manusia yang tengah terlena, menjadi pengiring makan malamku. Pengiring makan malam yang sangat mengesankan, melenakan dan tak mungkin terlupakan. Di Sahah Jami el Fina, di jantung kota Marakesh.

Pukul 20.30, aku beranjak meninggalkan warung Ibrahim. Berjalan pelan, menembus lautan manusia, menuju jalan raya di seberang sana. Aku harus segera ke stasiun, agar tak ketinggalan kereta. Pukul 21.00 kereta malam menuju Rabat akan segera berangkat.

Aku berjalan melewati kerumunan orang-orang, menembus lingkaran-lingkaran si tukang akrobat, tukang sulap, para penari dan rombongan pemusik. Tak peduli suasana bising dan suara-suara yang memekakkan telinga. Karena aku malah menikmati semua itu. Karena di sanalah aku menemukan sekeping keindahan.

Terasa agak berat kaki ini melangkah. Bukan karena cape, pegal atau lelah. Bukan, bukan itu. Keterpesonaanku yang mendalam membuatku merasa enggan beranjak dari tempat ini. Serasa ada sesal dalam sanubari ; mengapa begitu cepat waktu berlalu?! Mengapa..., mengapa?! Mengapa aku bersusah-susah menemui Marakesh, menempuh perjalanan kereta 4 jam, jika kemudian secepat ini aku pergi meninggalkannya, berpisah dengannya.

Setibanya di jalan raya, sesaat sebelum membuka pintu taksi, aku menengokkan kepalaku ke belakang. Ke arah lapangan Jami el Fina yang eksotik. Dalam keremangan, hingar bingar dan kerlap kerlip lampu, menara Kutubia itu masih saja nampak tegar... “Aku akan menemuimu kembali, suatu hari nanti, insya Allah..” Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006












3 comments:

  1. kalo ditanah air, aksi akrobat dilakukan oleh debus banten (masih sodara? :p). konon, kebal api dan kebal bacok. enaknya lagi, ada goyang inul :p

    ReplyDelete
  2. wah ditipu tukang oray.. jadi inget terminal baranangsiang nya hihihih:D

    ReplyDelete
  3. ...boleh tanya ga? rata2 sekali makan di marokko abis berapa ya? aku bulan depan mau ke sana, tapi sampe sekarang belum nemu,kira2 makan per hari berapa...thanks :D

    ReplyDelete