Saturday, October 06, 2007

Tunisia Pamitan

Selamat Tinggal Tunisia

Tarawih di Mesjid Zaituna semalam, semoga bukan tarawih terakhirku di mesjid tua ini. Karena aku masih ingin salat di sini, di mesjid kebanggaan muslim Tunis, mesjid yang kini berusia 1275 tahun.

“Ya Allah, aku akan terus merindukan untuk bisa salat di tempat ini, seperti halnya aku selalu merindukan untuk salat di Mesjid al Haram, di Mesjid Nabawi, dan di Mesjid al Azhar..”.

Demikian salah satu bait doaku, semalam. Doa yang kubisikkan lirih, dalam sujud panjang, di salah satu pojok ruangan Mesjid Zaituna al Ma’mur, di jantung Medina, Old Tunis yang antik.
* * *
Usai tarawih, kuayunkan langkah perlahan, kutelusuri lorong-lorong kota tua. Jalanan sempit diantara deretan rumah antik dan pertokoan souvenir. Juga toko-toko maqroud, kue legit khas Kairouan yang manisnya minta ampun itu.

Lampu-lampu sepanjang Rue Zitouna yang membelah Medina juga telah menyala. Meski sinarnya redup. Seredup hati ini yang terus menerawang, sambil sesekali berdoa.

“Ya Allah, izinkanlah aku, agar suatu saat nanti, bisa kembali menelusuri lorong-lorong bersejarah ini. Gang-gang sempit yang pernah dilewati para sahabat Rasul-Mu kala berjuang menaklukkan Chartage ; jalanan kecil yang kulewati setiap pagi kala berangkat kuliah”.

Wahai Allah, perjalananku semalam, menelusuri lekuk dan liku Medina, semoga bukan perjalanan terakhirku di kota ini. Dan Ahad Tujuh Oktober besok, semoga bukan hari terakhirku di negeri Arab yang gaul ini. Melainkan ada rangkaian hari-hari lain, suatu saat nanti, yang aku lewatkan kembali, bernostalgia di negeri ini.

* * *
Tunisia adalah negeri kecil. Luasnya hanya sepertiga Sumatera, jumlah penduduknya kira-kira sama dengan jumlah warga Jakarta. Andai Tunisia tak jadi langganan peserta Piala Dunia, barangkali ia semakin tidak dikenal orang.

Tetapi, cerita dan hikmah kehidupan –manis dan pahit - yang kutemui selama 23 bulan berada di negeri ini, keindahannya tak mungkin terlukis dengan kata-kata. Pesonanya, akan selalu terpatri dalam sanubari, tersimpan dalam ingatan yang takkan pernah lepas.

Di negeri Arab yang berpenduduk 99 persen muslim ini, aku menemukan wajah Islam yang sangat khas. Amat berbeda dengan yang kualami di tanah airku sendiri, negeri tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Juga lain dengan yang kusaksikan di Mesir, negeri para Nabi, negeri tempat aku melewatkan masa transisi yang warna-warni selama lebih dari 40 bulan.

Tunisia adalah potret nyata dari wajah Islam yang nyaris terserabut dari keagungan tradisi yang mewarisinya. Kecuali sekedar ritual formal yang hampa, kaku dan penuh rekayasa. Sebaliknya, budaya dan gaya hidup Eropa nampak kentara dalam kehidupan harian, terutama di kalangan anak-anak muda.

Sebagian orang mengatakan bahwa Tunisia mewakili tipologi negeri muslim yang moderat. Moderat dalam arti amat terbuka dengan dunia luar, ramah dengan non muslim, meski terkesan terlalu longgar dalam memegang prinsip-prinsip utama agama.

Hingga di Tunisia ini, pengamalan atas ajaran agama serasa begitu mudah, sarat dengan apa yang dinamakan sebagai ‘toleransi’. Atas dasar prinsip keluwesan syariat, tafsir-tafsir modern atas ajaran begitu populer di negeri bekas jajahan Perancis ini. Tengoklah di negeri ini, jilbab diyakini sebagian besar orang sebagai bukan kewajiban agama, salat Jumat tak mesti dilakukan awal waktu dzuhur (bisa juga seperempat jam sebelum adzan Ashar). Dan sebagainya.

Dan aku, sempat menyaksikan gaya hidup dan pola beragama muslim Tunisia itu, serta mengintipnya dari balik jendela-jendela ruang kuliah. Lalu membicarakannya dengan para mahasiswa asing lainnya, mengkritisinya dengan seribu satu idealisme. Maklum, seperti kata orang, kampus adalah dunia mimpi. Setiap orang menatap dengan mata terpejam. Begitu terbangun dari mimpi, ia akan mendapatkan dirinya terdampar pada realita kepahitan demi kepahitan.

Apakah saat ini, detik ini, aku juga telah terbangun dari mimpi-mimpi itu?!

* * *
Usai tarawih semalam, aku terus berjalan. Menelusuri Habib Borguiba Avenue di jantung kota. Melewati gedung kuno al Masrah al Qaumi, tempatku sesekali menyaksikan teater rakyat Barbar, cerita-cerita dari Sahara, atau juga pentas Sulaimiyah, qasidah Arab Magribi khusus lagu-lagu salawat itu.

Aku terus berjalan, di tengah keramaian orang-orang, muda-mudi yang berdandan rupawan, melewatkan malam-malam Ramadhan di kafe dan taman-taman hiburan. Beberapa malam terakhir, alun-alun selalu ramai, dipadati kawula muda Tunis yang hendak menghibur diri di acara Festival Medina, pentas kesenian yang digelar setiap akhir Ramadhan. Ya beginilah, gaya mereka menghidupkan sepuluh malam terakhir dari bulan suci.

Aku terus berjalan, hingga tiba di Sidi Basyir, lokasi pasar tradisional, dengan deretan restoran kuskus, serta kios-kios kecil penjual malawi.

* * *
Siang ini, aku juga akan terus berjalan. Menelusuri tempat-tempat kenangan. Tak peduli saran para rekan, agar aku beristirahat saja, memulihkan energi sebelum terbang ke tanah air.

Biarlah kawan, siang ini aku akan berlagak seperti seorang petualang, yang jiwanya tidak bisa dimiliki, karena dia butuh inspirasi. Karena kalau jiwanya sudah diikat, berarti dia akan beku dan mati.

Biarkanlah kawan, aku terus berjalan, sebelum tiba esok siang, ketika aku harus menaiki tangga-tangga pesawat, lalu melambaikan tangan sambil berbisik lirih, “Selamat Tinggal Tunisia”.

Tunis al Khadra, 6 Oktober 2007

3 comments:

  1. duh kand dede...kok aku jadi sedih ya bacanya
    moga terkabul doanya...beserta pendamping tentunya...amin.

    ReplyDelete
  2. Setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan.
    Tunisia hanyalah tanah yang kita injak. Biarlah jejak membekas di sana... Kita harus melangkah.

    ReplyDelete
  3. duh.... matak reueus kang maca ieu blog....

    ReplyDelete