Friday, April 27, 2007

Tunis Aborsi

Aborsi Legal ala Tunis

Gadis-gadis di desa Tataouine, Tunisia Selatan.

Pekan lalu, serombongan orang dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan kunjungan ke Tunis. Tujuannya, studi banding soal Keluarga Berencana (KB).

Dalam hal program KB, Tunisia memang terhitung sukses, dan karena itu kerap jadi rujukan negara lain. Pada tahun 2003, laju pertumbuhan penduduknya hanya 1,09 persen. Tingkat kesejahteraan rakyat pun mudah digenjot, hingga dengan pendapatan per kapita sebesar $ 3000, Tunisia menempati posisi negeri termakmur ketiga di benua Afrika, setelah Afrika Selatan dan Libya.

Saya sempat bertemu dan berdiskusi dengan beberapa anggota delegasi BKKBN itu. Baik saat pertemuan resmi di KBRI, saat berziarah ke Mesjid Agung Zaituna, atau juga saat mengantar kepulangan mereka di bandara.

Dari sekian temuan baru seputar KB di Tunis, ada satu hal yang menarik, yakni kebolehan aborsi, yang bahkan menjadi salah satu instrumen penting dalam menekan laju pertumbuhan penduduk. Kenapa di Tunisia yang rakyatnya 99 persen muslim aborsi malah dibolehkan ? Apa dasar hukumnya ? Bagaimana sikap para ulamanya ? Tidakkah itu jadi ‘pembuka’ jalan pergaulan bebas ? Dan seterusnya…

Dari Sekulerisme ke Feminisme
Berbicara tentang aborsi di Tunisia, berarti berbicara soal gerakan feminisme di negeri bekas jajahan Perancis ini. Menelusuri asal usul kebolehan aborsi, harus dibaca dalam bingkai umum gerakan kebebasan wanita. Agar difahami secara proporsional.

Adalah Habib Borguiba (1903-2000), presiden pertama Tunisia –memerintah selama rentang 1956-1987 – yang dinobatkan sebagai Tokoh Pembebas Perempuan Tunisia. Gerbang makamnya di Monastir – kota pesisir, 150 km selatan Tunis – bertuliskan kalimat ‘Borguiba Muharrir al Mar’ah at Tunisiyyah’.
Kebijakan presiden berideologi sekuler ini memang dinilai banyak membela hak-hak perempuan. Meski sebagian kalangan menyebutnya feminisme yang kebablasan, karena terlalu jauh menyimpang dari ajaran agama.

Diantara kebijakan terkenalnya adalah pengesahan Code of Personal Status Law (al Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah – selanjutnya saya sebut MAS), sebuah undang-undang hukum keluarga yang dinilai membela perempuan, pada tanggal 13 Agustus 1956, atau lima bulan setelah Tunisia meraih kemerdekaan (20 Maret 1956).

Untuk ukuran saat itu, MAS dianggap sebagai produk perundang-undangan yang paling progressiv di dunia. Sebagian kalangan malah menilainya menyimpang dari ajaran Islam. Lihat saja point-point utamanya ; larangan suami berpoligami, talak bukanlah hak mutlak suami (melainkan hanya boleh terjadi di depan hakim), pembatasan usia nikah (pria 20 tahun, wanita 17 tahun) serta larangan menikahkan gadis secara paksa (tanpa persetujuan sang gadis).

MAS muncul di tengah tradisi muslim Tunisia yang memandang poligami sebagai hal biasa dan dibolehkan agama. Pernikahan di bawah umur, atau gadis yang dinikahkan secara paksa juga masih sering terjadi. Aktifitas kaum perempuan masih terbatas di dalam rumah. Program pembatasan kelahiran alias KB juga belum dikenal. Maka, MAS benar-benar mencengangkan publik Tunisia saat itu, bahkan sebagian kawasan di dunia Islam.

Reaksi mengemuka, tetapi sang presiden pantang mundur. Ia malah gencar melakukan kampanye buka jilbab bagi para muslimah Tunis, serta melemparkan gagasan kesamaan hak waris antara pria-wanita. Konsep wanita bekerja dan Keluarga Berencana dipopulerkan. Pada tahun 1960, ia juga mengajak muslim Tunisia untuk tak berpuasa Ramadhan, demi peningkatan ethos kerja.

Kecaman publik yang semakin dahsyat bin seru, tak dihiraukannya. Juga stempel kafir dari sejumlah ulama Arab, salah satunya Syekh Bin Baz, Mufti Saudi saat itu. Di Tunis sendiri, mufti negara Syekh Abdul ‘Aziz Ju’ait memilih mundur dari jabatannya. Kemudian, selama rentang 1960-1962, kursi mufti negara dibiarkan kosong, tak ada yang mengisi.

Aborsi Untuk KB
Pada tahun 1961, program KB resmi diberlakukan, setelah melewati perdebatan dan polemik yang panjang. Para ulama umumnya mengkritik soal kebiri dan aborsi yang dilegalkan dalam rangka pengaturan jarak kelahiran.

Saya tidak punya informasi cukup tentang polemik panjang ini. Hanya saja, pro kontra ini nampaknya memang terus berlanjut, hingga akhirnya hilang ditelan masa. Seiring dengan diterimanya gagasan-gagasan sekulerisasi Borguiba yang penerapannya didukung oleh kekuatan struktural, aborsi saat ini telah menjadi sesuatu yang diterima oleh masyarakat muslim Tunisia.

Tentu aborsi yang dimaksud adalah yang dilakukan sebelum kehamilan berusia 3 bulan. Jika dilakukan setelah itu, si pelaku dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya akan dikenai sanksi pidana yang berat. Karena sudah termasuk kategori pembunuhan.

Usia 3 bulan jadi standar, karena merujuk pada ajaran agama. Ada hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa saat kandungan berusia 120 hari (empat bulan), ruh telah ditiupkan Tuhan kepada si jabang bayi. Maka ia sudah termasuk kategori hidup. Lalu, untuk hati-hati (ihtiyath), usia kehamilan yang menolerir aborsi dibatasi sampai 3 bulan, bukan 4 bulan.

Di berbagai belahan dunia muslim saat ini, soal kebolehan aborsi di bawah usia kandungan 4 bulan masih jadi pro kontra. Antara boleh dan tidak. Tetapi jika aborsi dilakukan setelah usia kandungan 4 bulan, semuanya sepakat mengkategorikannya sebagai pembunuhan dan karena itu termasuk dosa besar.

Aborsi AmanKebolehan aborsi – di bawah usia kandungan 3 bulan - di Tunisia, dalam praktiknya, tak dibiarkan begitu saja tanpa kawalan pemerintah. Sebaliknya, pemerintah justru menyediakan sejumlah peraturan dan fasilitas pendukung agar semuanya berjalan aman.

Semua Rumah Sakit memiliki dokter khusus aborsi plus perangkat medisnya. Wanita pelaku aborsi, harus membuat pernyataan bahwa itu dilakukan atas kesadaran sendiri serta izin dari suami. Sebaliknya, RS menjamin privasi pasien. Secara sosiologis, dibentuk opini publik bahwa aborsi tak usah dianggap sebagai sesuatu yang memalukan atau menakutkan.

Seorang rekan Tunis yang belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Tunis bertutur bahwa selama tahun 2005, RS Rabta menangani sekitar 1000 kasus aborsi. RS Rabta adalah RS milik kampus, lokasi praktikum para mahasiswa calon dokter. Ia juga bertutur, mulanya aborsi hanya bagi wanita bersuami, artinya memang benar-benar jadi instrumen program KB. “Tetapi belakangan ini, gadis-gadis pun banyak yang aborsi”, tutur sang rekan sambil tersenyum.

Menurut sang rekan pula, tak ada cerita aborsi yang dilakukan oleh dukun beranak. Juga tak ada aborsi yang dilakukan setelah usai kandungan 4 bulan. “Dokter tak ada yang mau, karena itu dosa besar”, tuturnya.

Dengan demikian, semua kelahiran di negeri ini, bisa dipastikan sebagai kelahiran yang benar-benar dikehendaki. Karena kehamilan yang tidak dikehendaki – karena satu dan lain hal – telah diantisipasi sejak dini, lewat mekanisme aborsi. Karena itulah, di Tunisia ini tak ada cerita seputar bayi-bayi merah yang dibuang di tong sampah, selokan atau kolong jalan tol, sebagaimana yang sering kita dengar di tanah air.

Dari Feminisme ke Aborsi
Ini hanya sekilas cerita soal aborsi di Tunisia. Keterbatasan data membuat tulisan ini sangat sederhana.

Akan tetapi, saya bisa memastikan bahwa legalitas aborsi di negeri ini benar-benar terjadi karena berangkat dari bingkai umum feminisme dan sekulerisasi. Ia harus dibaca dalam konteks kecenderungan umum di Tunisia bahwa wanita yang telah berusia 20 tahun, dianggap bertanggung jawab total atas dirinya. Ia berhak melakukan apapun ; orang tua tak lagi berhak mengatur. Sebuah konsep yang sepertinya mustahil bisa diterima oleh masyarakat Arab yang muslim. Sebuah konsep yang hanya dianut oleh dua negara muslim yang melegalkan aborsi ; Turki dan Tunisia.

Karena itu, dari beberapa pengamatan sementara, saya masih lebih setuju aborsi dilarang, seperti yang selama ini diterapkan oleh berbagai belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Aborsi hanya terjadi, karena benar-benar darurat, demi keselamatan ibu, serta tentu, atas izin dokter.

Jika merujuk ke konsep agama, dalam Islam ada prinsip sad adzara’i, yakni upaya menutup sebuah jalan kemunkaran, guna menghindari kemunkaran yang lebih luas. Sesuatu –meski hukum asalnya halal – bisa dinyatakan terlarang jika diyakini berpotensi membuka jalan kerusakan (mafsadat) secara luas.

“Meski dilarang, dalam setahun saja ada 1,5 juta praktik aborsi di Indonesia”, tutur Pak Sugiri Syarif, Kepala BKKBN, dalam kesempatan dialog pekan lalu. Artinya, jika dilegalkan, tentu praktik itu akan jauh lebih banyak. Dari sisi lain, legalitas aborsi tentu akan semakin membuat leluasa para penganut pergaulan bebas. Seperti yang selama ini terjadi pada sebagian kalangan di Tunis ; muda-mudi bebas bergaul, selain karena pengawasan sosial yang memang sangat longgar dan serba permissif, juga nampaknya karena mereka tak perlu risih soal kehamilan yang tak diinginkan ; khan ada aborsi.. !

* * *

Tunisia – dan Turki - tentu memiliki sejumlah alasan dan konsep yang menjadi dasar legalitas aborsi ini. Baik alasan-alasan medis, sosiologis dan bahkan argumen teologis. Sesuatu yang selayaknya kita hormati. Apalagi secara teologis, aborsi dibawah 4 bulan memang merupakan persoalan ijtihadiyah, bahan pro kontra kalangan agamawan, sebagaimana saya sebutkan di atas. Ragam pendapat didalamnya, adalah hal yang wajar.

Maka, dalam kasus-kasus yang ijtihadiyah itu, selayaknya pertimbangan kemaslahatan menjadi standar. Pilihan mana yang diyakini memiliki sisi kebaikan lebih luas (jalb al masalih), serta tingkat efektifitasnya dalam meredam keburukan (dar al mafasid), itu yang harus diambil. Barangkali konsep inilah yang dijadikan pertimbangan utama oleh para agamawan di Tunisia.
Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 24 April 2007

Monday, April 23, 2007

Istana Sahara

Istana Tua Leluhur Afrika

Daerah pedalaman selatan Tunisia ternyata memiliki peninggalan sejarah yang antik ; rumah-rumah batu yang menempel di lereng-lereng gunung. Juga bangunan-bangunan bertingkat di tengah gurun. Orang Tunisia biasa menyebut bangunan-bangunan ini dengan qasr, artinya istana.

Kendati istana-istana peningalan bangsa Barbar – suku asli warga Afrika Utara abad pertengahan– itu tak lagi dihuni orang, bangunannya tetap utuh, kokoh dan menjadi obyek wisata yang menarik. Pada tahun 1997 lalu, beberapa istana di kawasan Tataouine dan Matmata, dijadikan lokasi syuting film Hollywood terkenal ; Star Wars.
Di dekat sebuah istana itu pula, ada seorang wanita Indonesia, yang tinggal bersama suami dan dua bocah mungilnya..

Chenini : Istana Bukit
Akhir Maret lalu, empat diantara istana-istana tua itu kukunjungi. Semuanya di Tataouine, propinsi ujung selatan Tunisia, di tepi gurun Sahara. Tataouine, kota kecil yang berjarak 530 km dari Tunis ini memang dikenal dengan istana-istana tuanya. Ada sekitar 170 situs istana yang hingga saat ini masih terawat di seluruh kawasan propinsi berpenduduk 160 ribu jiwa ini.

Diantara empat istana itu ada Qasr az Zahra, yang jadi lokasi festival, seperti kututurkan dalam tulisan Parade Syair di Gurun Pasir itu. Istana ini berlokasi di desa Zahra, sekitar 25 km di luar kota Tataouine.

Sekitar empat belas kilometer barat kota, ada istana lain yang cukup terkenal, yakni Qasr Chenini. Yakni rumah-rumah batu yang menempel di dinding bukit Chenini. Umumnya rumah-rumah kecil, kira-kira ber tipe 36.

Seperti layaknya sebuah rumah, istana-istana Chenini memiliki ruangan-ruangan kecil untuk kamar tidur, dapur dan ruang tamu. Semuanya terbuat dari batu yang bersusun. Ada juga yang berupa gua-gua buatan, yang berjajar di dinding bukit. Menurut seorang polisi wisata, jumlah rumah di bukit Chenini ada 500an.

Di kaki bukit, ada pelataran parkir yang luas, kafe, rumah makan, kantor pos, kantor polisi serta toko-toko souvenir. Semuanya nampak terawat dan bersih. Di atas bukit sana, rumah-rumah tua itu nampak berderet. Kelihatan dari jendela-jendelanya yang membolongi bebatuan.

Untuk menuju ke puncak bukit, para turis biasa menelusuri jalan setapak yang berbelok-belok. Berjalan melewati rumah-rumah tua itu, hingga tiba di puncak. Sebuah pelataran luas yang memiliki mesjid bertembok putih. Menaranya sekitar 5 meteran, nampak kelihatan dari kaki bukit.

Beberapa kali aku mampir di rumah-rumah tua itu. Rumah-rumah yang tanpa pintu. Beberapa diantaranya nampak masih berpenghuni. Yakni orang-orang tua yang memakai sufseri, baju tradisional Tunisia yang warna-warni. “Mereka tinggal di sini atas biaya pemerintah, sebagai daya tarik wisata saja”, tutur seorang pemandu wisata.

Hedada ; Istana Film Star WarsDi Ghamarsen, 30 km dari Tataouine, ada istana Hedada. Berupa komplek bangunan batu di atas tanah seluas kira-kira hampir 1 hektar. Sebagian bangunannya bertingat tiga, juga ada yang bertingkat empat.

Qasr Hedada dinamakan juga Hotel Hedada. Karena dulu memang pernah berfungsi sebagai hotel. Hingga kini, di selatan Tunisia, memang ada beberapa hotel berupa gua atau bangunan antik. Ranjang-ranjangnya berupa batu. Pake kasur, tentu. Menginap di hotel-hotel begini, ternyata jadi daya tarik tersendiri bagi sebagian turis.

Di depan gerbang Hedada, ada plang putih besar, berisi tulisan tiga bahasa ; Arab, Perancis dan Inggeris. Berupa penjelasan singkat bahwa Hedada pernah menjadi miniatur Mos Espa, kota khayalan di planet Tataouine, dalam film Star Wars. Disebutkan pula bahwa film garapan Goerge Lucas ini digarap pada bulan Juli 1997.

Aku mengunjungi istana Hedada bersama 7 rekan. Dari hotel, kami dijemput dan dipandu oleh sebuah tim dari Radio Pemda Tataouine. Aku sangat senang, karena kesempatan untuk bertanya banyak hal sangat terbuka lebar.


Istana Hedada, salah satu lokasi syuting Star Wars

Aulad Sultan ; Istana Wanita Betawi
Aku juga mengunjungi Kasr Aulad Sultan, sekitar 15 km timur Tataouine. Aulad Sultan artinya anak-anak raja. Dulunya, istana ini memang menjadi tempat tinggal keluarga raja.

Bangunannya terdiri dari empat lantai, berbentuk persegi. Di tengah-tengahnya ada pelataran. Temboknya masih kokoh, berwarna kuning tua yang usang. Seperti halnya az Zahra, Aulad Sulton juga biasa dijadikan lokasi festival serta aneka ritual tradisi.

Beberapa kali aku masuk ke istana itu, serta menaiki tangga, menuju lantai lebih atas. Jepretan kamera dari para rekan nyaris tak berhenti. Suasananya asyik banget..! Ruangan-ruangannya kecil.

Saat kami sedang asyik berfoto-foto, seorang pria Tunis menghampiri kami seraya menyapa dengan bahasa Indonesia. Kami tercengang. Rupanya ia adalah Khalifa, seorang pemuda setempat yang beristerikan wanita Indonesia. Nama isterinya adalah Almaini, 30 tahun, seorang wanita Betawi.

Khalifa bersama isteri dan dua puteranya ternyata tinggal dekat Aulad Sultan. Aku tertegun. Subhanallah, di desa terpencil tepian Gurun Sahara begini, ternyata ada seorang wanita satu negeri.

Lalu kami diajak ke rumahnya. Sekitar 400 meter dari istana. Rumah permanen, di tengah gurun. Hampir tak ada pepohonan. Tetangga juga hanya satu-dua rumah.

Almaini nampak gembira ketika kami tiba. Baginya, ketemu orang Indonesia secara mendadak, adalah kejutan dan kebahagiaan yang luar biasa. Maka, selama lebih setengah jam ia bertutur, curhat kepada kami. Tentang hari-harinya yang sepi, tentang dua anaknya - Abdullah (4 tahun) dan Muhammad (2 tahun) - juga tentang kerinduannya pada tanah air.

Perkenalan Khalifa dan Almaini terjadi di Jakarta, sekitar tahun 1998. Lalu mereka menikah. Tahun 2004, wanita lulusan SMA 18 itu diboyong suaminya ke Tunisia. Maka, Almaini menjalani suasana yang benar-benar berbeda ; dari hiruk pikuk metropolitan Jakarta, menuju kesunyian dan gersangnya Gurun Sahara.

Aku dan kawan-kawan bergantian memangku Muhammad, seorang putera pertiwi yang dilahirkan dan dibesarkan di tepian Sahara. Sementara Abdullah bermain-main di halaman rumah. Sendirian.

Saat kami pulang, kedua anak itu melambaikan tangan. Dari balik jendela mobil, terdengar teriakan beberapa rekan, “Abdullah, Muhammad..! Ayo pulang ke Indonesia..!”.

Mobil bergerak perlahan. Kulirik ke belakang, lambaian tangan keluarga Almaini belum terhenti. Seperti hatiku yang juga tak henti bersuara. Tentang Abdullah dan Muhammad, tentang esok mereka, tentang ketegaran Almaini, wanita Indonesia yang tinggal di dekat sebuah istana tua, di tepi Sahara, nun jauh di Afrika sana..

Tunis, 21 April 2007

Wednesday, April 11, 2007

Puisi Gurun

Parade Syair di Gurun Pasir

Acara Festival Istana Gurun Pasir ke-29 (al mahrajan addauli li al qusur as sahrawiyyah) yang digelar di Tataouine, Tunisia, 22-24 Maret 2007 lalu, semakin meyakinkan saya betapa budaya syair telah menjadi tradisi yang mengakar di Tanah Arab.

Di acara itu, saya menyaksikan ribuan warga Tataouine duduk setia semalaman suntuk hanya untuk menyimak syair-syair yang dibacakan oleh para sastrawan. Lalu, tak jarang mereka tertawa, bertepuk tangan, atau berteriak histeris kala menyimak puisi-puisi itu. Tak ubahnya seperti anak-anak yang terhanyut ketika mendengarkan cerita seorang pendongeng.

Padahal, warga Tataouine adalah orang-orang kampung. Yakni mereka yang sehari-hari tinggal di tengah gurun, jauh dari hingar bingar metropolitan. Tataouine, kota kecil di ujung selatan Tunisia, dekat perbatasan Libya. Tataouine, kota di tepian Sahara yang berjarak 530 km dari ibukota Tunisia, Tunis.

Festival GurunSesuai dengan namanya, festival tahunan itu memang khusus menampilkan aneka tradisi orang-orang gurun. Seperti balapan kuda, berburu, puisi, serta seni rakyat (funun sya’biyyah). Pada tahun 2007 ini, enam negara turut ambil bagian, masing-masing Tunisia, Aljazair, Libya, Kuwait, Jordania dan Indonesia.

Panggung-panggung festival itu bukanlah aula-aula modern nan megah. Melainkan situs-situs sejarah berupa rumah orang-orang abad pertengahan yang telah usang, serta berada di tengah gurun pasir. Rumah-rumah itu kini dinamai dengan qasr, yang berarti istana. Di seluruh propinsi Tataouine, saat ini terdapat 170 istana klasik yang dilestarikan sebagai obyek wisata. Dan karena itu pula, festival di kota Tataouine ini dinamakan festival istana gurun.

Para penonton festivalnya juga bukan orang-orang berbaju necis atau berdasi, serta datang dengan mobil mewah. Tetapi warga pedesaan di gurun pasir, yang datang berjalan kaki serta memakai barnus, jubah tebal berwarna coklat pengusir dingin dan kencangnya angin sahara.

Saya hadir di festival itu sebagai anggota delegasi Indonesia. Jumlah tim kami hanya 7 orang, semuanya para mahasiswa di kota Tunis. Di acara itu, kami menampilkan 5 macam atraksi kesenian, yakni musik Angklung, Pencak Silat, Kecapi-Suling, Tari Melayu serta Joged Poco-Poco.

Semua bidang yang kami tampilkan ini memang tak ada kaitannya dengan budaya orang gurun. Keikutsertaan Indonesia untuk yang pertamakalinya ini, semata-mata sebagai bentuk promosi kebudayaan kita di luar negeri.

Kamis (22/3) sore, festival dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan Tunisia, di sebuah lapangan luas, di tengah gurun pasir tepian kota. Beberapa saat sebelum pembukaan, kami mengikuti parade di sebuah jalan utama kota Tataouine.

Usai prosesi pembukaan itu, saya menyaksikan kehebatan orang-orang pedalaman Tunisia dalam hal balapan kuda. Beberapa orang joki berdiri di atas kuda yang berlari kencang. Alih-alih merasa ketakutan atau kedinginan, mereka malah tertawa-tawa dan menggoyang-goyangkan badan. Maka, ribuan hadirin pun bertepuk tangan. Usai balapan kuda, ada atraksi tarian kolosal yang menggambarkan kepiawaian orang gurun memainkan pedang, berburu kijang, menggembala kambing serta menggali sumur.

Malam ‘Seribu Satu Malam’
Usai Isya, saya bersama anggota tim Indonesia lainnya berada di Qasr Zahra, sebuah situs sejarah yang menjadi salah satu panggung festival. Lokasinya sekitar 25 km di luar kota Tataouine. Jalan raya menuju ke sana menelusuri gurun, berliku-liku, serta sesekali naik turun. Di atas sana, nampak bulan sabit yang dikelilingi taburan bintang.

Saat di jalan itu, beberapa kali saya menjumpai rombongan orang-orang yang berjalan kaki, menelusuri jalur jalan raya, atau mereka yang menuruni bebukitan. Mereka membalut tubuhnya dengan barnus, tentu karena dingin angin gurun yang tanpa pepohonan. “Mereka adalah orang desa yang hendak menonton acara kita”, tutur Anwar bin Umar, pemandu kami.

Qasr Zahra adalah pelataran seluas kira-kira 3000 meter persegi, dikelilingi bangunan usang setinggi 5 meteran. Di dinding bangunan itu terdapat jendela-jendela tanpa kaca. Saat kami tiba, lebih seribu orang memadati pelataran, serta puluhan lainnya nongkrong di jendela-jendela itu.

Semua pengunjungnya laki-laki. Hanya ada tiga wanita yang duduk di bangku para tamu. Itupun wanita anggota tim kesenian dari Jordan. Menurut Anwar, tradisi di pedalaman Tunisia Selatan memang tak memperbolehkan kaum wanita keluar rumah pada malam hari, apalagi hanya untuk hadir di acara-acara hiburan.

Di tengah pelataran, terdapat api unggun. Di pojok kanan, terpampang spanduk putih bertuliskan huruf Arab, “Sahrah Alf Lailah wa Lailah”, yang artinya Malam Seribu Satu Malam. Di bawahnya nampak berjejer dua puluhan lelaki yang duduk di bangku, dengan meja yang dipenuhi hidangan ringan dan syay (teh). Barangkali mereka adalah para pejabat lokal Tataouine, pikir saya dalam hati.

Saya bersama rekan-rekan, dipersilahkan duduk di dalam sebuah tenda besar, bersama sekitar 40an orang Arab. Setelah acara dimulai, saya baru tahu bahwa mereka adalah para sastrawan yang hadir untuk meramaikan festival. Dan mereka berasal dari berbagai pelosok Tunisia, serta beberapa negara sekitar, seperti Libya dan Aljazair. Ada seorang penyair Libya bernama Muhammad el Akhdar, yang nampaknya ia sangat dikenal luas. Terbukti baru disebut namanya saja, para penonton telah bertepuk tangan meriah. “Berarti orang-orang yang duduk di sebelah kita ini orang-orang sekelas Rendra dan Taufik Ismail-nya”, tutur seorang rekan.

Para sastrawan itu mendapat giliran berpuisi masing-masing sekitar 7 menit. Posisi berdirinya di dekat api unggun itu. Setiap selesai 3 penyair, diselingi penampilan kesenian peserta festival, termasuk dari tim Indonesia.

Puisi Cinta
Saat para sastrawan membacakan puisi, ribuan hadirin terdiam. Nampaknya mereka sangat serius menyimak syair-syair itu. Jika kebetulan syairnya bertema humor, maka derai tawa hadirin mengiringi setiap bait yang dibacakan. Jika bertema cinta, tak jarang terdengar teriakan ataupun tepukan tangan nan meriah.

Saya berusaha menyimak isi bait-bait puisi yang umumnya menggunakan bahasa Arab ‘amiyah itu. Hanya sedikit yang saya mengerti. Bahasa Arab logat orang gurun di tepian Sahara, memang sangat khas dan berbeda dengan logat Arab Tunis atau Mesir yang pernah saya pelajari.

Dari pemahaman yang sepotong-sepotong itu, saya melihat bahwa kebanyakan tema puisi-puisi malam itu adalah berkisar soal nasihat agama, keindahan alam dan juga cinta. Dan diantara puisi-puisi cintanya, ada yang bercerita tentang kerinduan pada kekasih, impian kebahagiaan atau mengenang memori di tempat-tempat indah, yang dalam ilmu sastra Arab kerap dinamakan atlal. Yakni syair tentang lokasi-lokasi pertemuan dengan kekasih yang selalu dikenang. Seperti sebait puisi Arab Jahili yang bercerita tentang kisah cinta antara Kais dan Laila berikut ini.

“...amurru ‘aladdiyari diyari Laila.. fa uqabbilu dzal jidari wa dzal jidari,
laisa hubbuddiyari syagafna qalbi..walakin hubba man sakanad diyari...”


(aku lewat ke sebuah rumah, yakni rumahnya Laila,
aku menciumi dinding ini, juga dinding itu,
bukanlah kecintaanku pada rumah ini yang membutakan hatiku,
melainkan kecintaan pada dia yang (dulu) menempati rumah ini...”

Kendati angin dingin menerpa, saya terlarut dalam keindahan syair dan suasana yang eksotis malam itu. Saya yang sedang duduk di ruang terbuka dikelilingi dinding usang berumur lebih 5 abad, bersama ribuan orang desa yang berbaju tebal di tepian Sahara, atau 530 km selatan kota Tunis itu, seolah merasakan putaran sang waktu yang berhenti. Seolah saya melanglang ke masa silam, kala pembacaan syair-syair itu belum difestivalkan, melainkan masih menjadi ritual dalam setiap episode kehidupan.

Tunis al Khadra, 26 Maret 2007