Saturday, October 06, 2007

Tunisia Pamitan

Selamat Tinggal Tunisia

Tarawih di Mesjid Zaituna semalam, semoga bukan tarawih terakhirku di mesjid tua ini. Karena aku masih ingin salat di sini, di mesjid kebanggaan muslim Tunis, mesjid yang kini berusia 1275 tahun.

“Ya Allah, aku akan terus merindukan untuk bisa salat di tempat ini, seperti halnya aku selalu merindukan untuk salat di Mesjid al Haram, di Mesjid Nabawi, dan di Mesjid al Azhar..”.

Demikian salah satu bait doaku, semalam. Doa yang kubisikkan lirih, dalam sujud panjang, di salah satu pojok ruangan Mesjid Zaituna al Ma’mur, di jantung Medina, Old Tunis yang antik.
* * *
Usai tarawih, kuayunkan langkah perlahan, kutelusuri lorong-lorong kota tua. Jalanan sempit diantara deretan rumah antik dan pertokoan souvenir. Juga toko-toko maqroud, kue legit khas Kairouan yang manisnya minta ampun itu.

Lampu-lampu sepanjang Rue Zitouna yang membelah Medina juga telah menyala. Meski sinarnya redup. Seredup hati ini yang terus menerawang, sambil sesekali berdoa.

“Ya Allah, izinkanlah aku, agar suatu saat nanti, bisa kembali menelusuri lorong-lorong bersejarah ini. Gang-gang sempit yang pernah dilewati para sahabat Rasul-Mu kala berjuang menaklukkan Chartage ; jalanan kecil yang kulewati setiap pagi kala berangkat kuliah”.

Wahai Allah, perjalananku semalam, menelusuri lekuk dan liku Medina, semoga bukan perjalanan terakhirku di kota ini. Dan Ahad Tujuh Oktober besok, semoga bukan hari terakhirku di negeri Arab yang gaul ini. Melainkan ada rangkaian hari-hari lain, suatu saat nanti, yang aku lewatkan kembali, bernostalgia di negeri ini.

* * *
Tunisia adalah negeri kecil. Luasnya hanya sepertiga Sumatera, jumlah penduduknya kira-kira sama dengan jumlah warga Jakarta. Andai Tunisia tak jadi langganan peserta Piala Dunia, barangkali ia semakin tidak dikenal orang.

Tetapi, cerita dan hikmah kehidupan –manis dan pahit - yang kutemui selama 23 bulan berada di negeri ini, keindahannya tak mungkin terlukis dengan kata-kata. Pesonanya, akan selalu terpatri dalam sanubari, tersimpan dalam ingatan yang takkan pernah lepas.

Di negeri Arab yang berpenduduk 99 persen muslim ini, aku menemukan wajah Islam yang sangat khas. Amat berbeda dengan yang kualami di tanah airku sendiri, negeri tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Juga lain dengan yang kusaksikan di Mesir, negeri para Nabi, negeri tempat aku melewatkan masa transisi yang warna-warni selama lebih dari 40 bulan.

Tunisia adalah potret nyata dari wajah Islam yang nyaris terserabut dari keagungan tradisi yang mewarisinya. Kecuali sekedar ritual formal yang hampa, kaku dan penuh rekayasa. Sebaliknya, budaya dan gaya hidup Eropa nampak kentara dalam kehidupan harian, terutama di kalangan anak-anak muda.

Sebagian orang mengatakan bahwa Tunisia mewakili tipologi negeri muslim yang moderat. Moderat dalam arti amat terbuka dengan dunia luar, ramah dengan non muslim, meski terkesan terlalu longgar dalam memegang prinsip-prinsip utama agama.

Hingga di Tunisia ini, pengamalan atas ajaran agama serasa begitu mudah, sarat dengan apa yang dinamakan sebagai ‘toleransi’. Atas dasar prinsip keluwesan syariat, tafsir-tafsir modern atas ajaran begitu populer di negeri bekas jajahan Perancis ini. Tengoklah di negeri ini, jilbab diyakini sebagian besar orang sebagai bukan kewajiban agama, salat Jumat tak mesti dilakukan awal waktu dzuhur (bisa juga seperempat jam sebelum adzan Ashar). Dan sebagainya.

Dan aku, sempat menyaksikan gaya hidup dan pola beragama muslim Tunisia itu, serta mengintipnya dari balik jendela-jendela ruang kuliah. Lalu membicarakannya dengan para mahasiswa asing lainnya, mengkritisinya dengan seribu satu idealisme. Maklum, seperti kata orang, kampus adalah dunia mimpi. Setiap orang menatap dengan mata terpejam. Begitu terbangun dari mimpi, ia akan mendapatkan dirinya terdampar pada realita kepahitan demi kepahitan.

Apakah saat ini, detik ini, aku juga telah terbangun dari mimpi-mimpi itu?!

* * *
Usai tarawih semalam, aku terus berjalan. Menelusuri Habib Borguiba Avenue di jantung kota. Melewati gedung kuno al Masrah al Qaumi, tempatku sesekali menyaksikan teater rakyat Barbar, cerita-cerita dari Sahara, atau juga pentas Sulaimiyah, qasidah Arab Magribi khusus lagu-lagu salawat itu.

Aku terus berjalan, di tengah keramaian orang-orang, muda-mudi yang berdandan rupawan, melewatkan malam-malam Ramadhan di kafe dan taman-taman hiburan. Beberapa malam terakhir, alun-alun selalu ramai, dipadati kawula muda Tunis yang hendak menghibur diri di acara Festival Medina, pentas kesenian yang digelar setiap akhir Ramadhan. Ya beginilah, gaya mereka menghidupkan sepuluh malam terakhir dari bulan suci.

Aku terus berjalan, hingga tiba di Sidi Basyir, lokasi pasar tradisional, dengan deretan restoran kuskus, serta kios-kios kecil penjual malawi.

* * *
Siang ini, aku juga akan terus berjalan. Menelusuri tempat-tempat kenangan. Tak peduli saran para rekan, agar aku beristirahat saja, memulihkan energi sebelum terbang ke tanah air.

Biarlah kawan, siang ini aku akan berlagak seperti seorang petualang, yang jiwanya tidak bisa dimiliki, karena dia butuh inspirasi. Karena kalau jiwanya sudah diikat, berarti dia akan beku dan mati.

Biarkanlah kawan, aku terus berjalan, sebelum tiba esok siang, ketika aku harus menaiki tangga-tangga pesawat, lalu melambaikan tangan sambil berbisik lirih, “Selamat Tinggal Tunisia”.

Tunis al Khadra, 6 Oktober 2007

Tuesday, October 02, 2007

Sidang Tesis

Ujian Lulus, Kami Pesta Kuskus



Suasana saat ujian tesisku di Universitas Zaituna, Tunis

Barangkali, akulah manusia yang paling berbahagia di dunia pada hari Senin 24 September 2007 lalu. Bagaimana tidak. Siang Senin itu, aku dinyatakan lulus dalam ujian akhir (munaqasyah) magister setelah mempertahankan tesis bertema ‘Nadzariyatul Maqasid min Khilali Fatawa Izzudin ibn Abdis Salam’ di kampus Universitas Zaituna, Tunis.

Inilah puncak dari perjalanan panjangku selama hampir enam tahun berkelana di negeri orang. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan, sarat dengan suka, duka, tawa, canda dan bahkan airmata. Maklum, hampir selama masa itu, aku harus membiayai perjalanan dan studiku sendiri, tanpa beasiswa atau kiriman orang tua.

Sidang Tanpa Kue
Sidang tesisku berlangsung selama hampir tiga jam, dimulai pada pukul 10.00 waktu Tunisia, atau 15.00 WIB. Dewan Sidang terdiri dari tiga orang ; Prof Sodik al Khuni (Ketua, merangkap penguji metodologi), Prof Hisham Krisha (Anggota, Guru Besar Ushul Fiqh,penguji materi) dan Prof. Abdullatif Bouazizi (Anggota, Guru Besar Ushul Fiqh, pembimbing).

Tak banyak tamu yang hadir, hanya 30-an orang. Terdiri dari keluarga besar KBRI Tunis –termasuk Duta Besar sekeluarga, para dosen serta rekan-rekan mahasiswa seangkatan. Hari-hari ini, awal tahun ajaran baru, aktfitas belajar di kampus belum berjalan stabil. Sebagian besar mahasiswa Tunisia masih malas-malasan berangkat kuliah.

Kebetulan pula, sidang tesisku ini digelar pada hari ke-12 di bulan suci Ramadhan. Maka, tak ada hidangan kue khas Indonesia yang disajikan kepada para tamu. Beberapa rekan mahasiswa Tunisia berkomentar dengan nada agak kecewa, "kenapa ujianmu jatuh pada hari Ramadhan?".

Sebagian kalangan di kampus memang sudah faham, bahwa setiap ada ujian mahasiswa Indonesia, mesti ada kue-kue manis khas bumi pertiwi, yang disiapkan oleh ibu-ibu Dharma Wanita KBRI.

Tesis Maqasid SyariahDalam risalah setebal 160 halaman ini, aku mengkaji fatwa-fatwa Syekh Izzudin ibn Abdis Salam -ulama besar Damaskus bermadzhab Syafii yang wafat di Mesir pada tahun 660 H - dalam bidang muamalah maliyah, yakni hukum-hukum fikih yang menyangkut harta benda seperti jual-beli, sewa menyewa dan utang-piutang. Dari setiap fatwa, aku berusaha mengkaji metode ijtihad sang syekh serta pertimbangan-pertimbangan maqasid yang melatarbelakanginya. Pada bagian akhir risalah, aku memaparkan teori-teori maqasid syariat yang digunakan oleh sang syekh dalam fatwa-fatwanya itu.

Maqasid artinya tujuan. Maka, maqasid syariat artinya tujuan-tujuan atau rahasia diturunkannya syariat. Menurut para ulama ushul, tujuan diturunkannya syariat adalah untuk menciptakan kemaslahatan (jalb al mashalih), yang dalam praktiknya dilakukan dengan memelihara 5 hal ; agama (hifdzu ad din), nyawa (hifdzu an nafs), akal (hifdzu al aql), keturunan (hifdzu an nasl), dan harta (hifdzu al mal).

Teori-teori maqasid syariat sangat penting digunakan dalam berijtihad guna melahirkan fikih yang hidup, tidak kaku, berpihak pada kemaslahatan manusia, tetapi tak lepas dari koridor wahyu. Contohnya seperti yang ditunjukkan oleh syekh Izzudin ketika ia melarang umat Islam di Damaskus menjual senjata kepada para tentara Salib. Kala itu, tentara Salib berkoalisi dengan raja Damaskus, Saleh Ismail, yang berseteru dengan raja Mesir, Najmudin Ayub. Padahal, kedua raja itu masih bersaudara. Syekh Izzudin berfatwa,"haram bagi kalian menjual senjata itu kepada para tentara Salib, karena kalian sudah tahu dan bisa memastikan, bahwa senjata itu akan mereka pakai untuk memerangi saudara-saudaramu yang sesama muslim (di Mesir)".

Jual beli adalah suatu kebolehan, selama dilakukan sesuai aturan agama. Jual beli merupakan sebuah cara bagi manusia dalam memperoleh keuntungan harta (mal). Akan tetapi, hukum jual beli bisa menjadi terlarang alias haram, jika ia berimbas pada kerusakan (mafsadat). Seperti dalam fatwa di atas, menjual senjata kepada musuh yang nyata-nyata berniat memerangi saudara kita seiman. Maka, menjaga nyawa (hifdzu an nafs) muslim, lebih utama dari pada sekedar memperoleh keuntungan harta (mal) dari jual beli.

Pengharaman menjual senjata kepada musuh, merupakan upaya menutup jalan kerusakan (mafsadat), yang dalam ilmu ushul fiqh dikenal dengan prinsip sad adzara’i.

Dalam kaitannya dengan fenomena kekinian, fatwa ini juga bisa menjadi dasar bagi keharaman membantu - atau bekerja sama dengan orang kafir yang jelas-jelas memerangi umat Islam. Misalnya, membantu Amerika atau Yahudi yang mengadudomba umat Islam di Palestina, memerangi saudara-saudara kita di Irak atau di Darfur, Sudan. Oya, bagaimana menurut pandangan pembaca?

Tanpa BeasiswaJika merunut sejarah dan kiprah mahasiswa Indonesia di Tunisia, aku adalah mahasiswa Indonesia kedelapan yang meraih gelar magister di kampus tua ini. Baru delapan orang, karena memang jumlaj mahasiswa kita yang belajar Islam di negeri berpenduduk 11 juta jiwa ini selalu sedikit setiap tahunnya. Tahun 2007 ini saja, jumlah mahasiswa dan pelajar kita hanya 15 orang.

Ada dua jalur yang dilalui para calon mahasiswa untuk bisa belajar di Tunisia. Pertama, lewat jalur Departemen Agama, kedua, lewat jalur mendaftar sendiri. Jalur pertama ditempuh dengan cara mengikuti seleksi di Departemen Agama Pusat. Para calon mahasiswa yang dinyatakan lulus biasanya akan mendapat beasiswa selama menempuh masa studi.

Menurut catatan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia, Departemen Agama RI pernah mengirim mahasiswa untuk belajar program S1 di Universitas Zaituna pada tahun 1993, 1994, 2001 dan 2006. Pengiriman yang tidak rutin per tahun. Barangkali karena iklim Tunisia dinilai kurang kondusif untuk lokasi belajar Islam.Terutama yang berkaitan dengan gaya hidup dan kebebasan masyarakatnya. Seorang rekan bertutur bahwa iklim sosio kultural kota Tunis, sulit membentuk pribadi muslim yang 'santri'.

Jalur kedua adalah mendaftar sendiri, atau – dalam istilah rekan-rekan mahasiswa Kairo – dikenal dengan sebutan ‘terjun bebas’. Caranya, mengirimkan berkas via pos, lalu proses pendaftarannya dilakukan oleh Perwakilan RI di Tunisia. Biasanya berkas diajukan ke Kementrian Pendidikan Tinggi Tunisia pada bulan Mei. Pengumuman nama-nama mahasiswa yang diterima biasanya pada bulan Agustus.

Nah, aku masuk Tunisia lewat jalur kedua ini. Mengajukan berkas sendiri, lalu menjalani hari-hari studi dengan resiko biaya sendiri. Karena memang jalur kedua ini tanpa beasiswa.

Untung saja, semua jenjang pendidikan di negeri termakmur ketiga di Afrika ini disediakan secara gratis. Tak ada kewajiban membayar SPP atau biaya apapun. Kecuali untuk buku, diktat kuliah dan asuransi.

Berat memang, menjalani hari-hari studi tanpa beasiswa seperti ini. Memaksaku untuk sesekali bekerja, melakukan aktifitas yang bisa menghasilkan uang. Tentu dengan cara-cara yang halal. Diantaranya adalah menulis artikel, menerjemah buku, menjadi guide tamu, atau membantu acara-acara di KBRI. Lalu, jalani semua itu dengan ikhlas, doa yang terus menerus serta keyakinan yang kuat kepada Allah. Dan Alhamdulillah, semuanya bisa aku jalani dengan lancar.


Usai doa bersama kami makan kuskus, makanan khas Tunisia

Syukuran Lulus Dengan KuskusSore Senin (24/9) itu, aku berkumpul bersama kawan-kawan. Berbuka puasa bersama, di rumah kediaman kami. Menu utamanya adalah kuskus, makanan khas Tunisia. (Tulisan khusus tentang kuskus : ‘Menikmati Kuskus di Kota Tunis’ ada di arsip blog ini, edisi Desember 2005). Sedangkan menu pembukanya adalah syurbah, brick, salatah, zaitun dan kurma. Yakni menu khas berbuka muslim Tunisia. (Tulisan khusus tentang gaya berbuka puasa orang Tunisia : ‘Berbuka Puasa Sampai Bodoh’, edisi Oktober 2006).

Di acara sore itu, turut hadir pula beberapa keluarga staf KBRI Tunis. Mereka datang membawa aneka kue dan buah-buahan. Menu berbuka kami senja itu pun semakin seru...!

Di acara itu, aku mengungkapkan syukur kepada Allah, seraya memohon doa dari para rekan, semoga Allah mencurahkan ilmu yang bermanfaat kepada kami semua yang belajar Islam di Tunisia khususnya, juga kepada semua pelajar dan mahasiswa kita, dimanapun berada. Ya Allah, kabulkanlah doa kami..! Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 1 Oktober 2007

Tolak Puasa

Penguasa Menolak Puasa


Ngabuburit di depan Mesjid Agung al Marsa, tepian kota Tunis

Di bulan suci Ramadhan ini, tiba-tiba saya teringat kampanye anti puasa yang pernah dilakukan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang berideologi sekuler, pada awal dekade 1960-an. Alasan utama sang presiden, puasa melemahkan ethos kerja orang Islam. Sebuah kampanye yang mengagetkan publik dan memicu reaksi keras dari dunia Islam saat itu. Sang presiden dicaci maki, dikutuk, hingga sebagian ulama menjatuhkan vonis murtad, bahkan kafir kepadanya.

Apa dan bagaimana sebenarnya isi kampanye sang presiden? Apa konteks yang melatarbelakanginya? Benarkah kampanye menolak puasa itu merupakan salah satu bentuk sekulerisasi di Tunisia? Lalu, berhasilkah kampanye sang presiden?!

Kampanye Struktural
Borguiba duduk di kursi kepresidenan selama rentang 1957 hingga 1987. Dan kampanye anti puasa ini gencar ia lakukan pada tahun 1960, melalui pidato-pidato resmi kenegaraan. Diantaranya adalah pidato tanggal 18 Februari, tanggal 17 Maret dan tanggal 3 September 1960.

Yang ironis, pidato pada tanggal yang disebutkan terakhir adalah saat momen peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Kairouan, sebuah kota sejarah Islam terpenting di Tunisia, bahkan di kawasan al Maghrib al Arabi. Kota yang memiliki mesjid-mesjid tua, zawiyah para wali dan makam beberapa sahabat Nabi saw. Kini, Kairouan adalah kota pusat kegiatan keagamaan Tunisia.

Sedangkan pidato tanggal 18 Februari dilakukan depan parlemen dan disiarkan Televisi. Hari itu, hari pertama Ramadhan. Dalam pidatonya, Borguiba mengajak umat Islam untuk tidak berpuasa. Dan yang mengagetkan orang, di sela-sela pidatonya, ia minum segelas jus. Sebuah ajakan yang tak hanya isapan jempol belaka, melainkan ajakan yang dibarengi contoh konkret.

Lebih dari itu, Borguiba menggunakan jalur struktural dan birokrasi untuk merealisasikan gagasannya itu. Ia mengeluarkan perintah agar para pejabat negara mengikuti ajakannya. Tak terkecuali kepada Menteri Pendidikan, yang saat itu langsung membuat edaran ke lembaga-lembaga pendidikan. Dalam buku Borguiba wal Masalah ad Diniyyah, Amel Moussa - seorang wartawati dan kolumnis wanita kawakan saat ini di Tunis – menuturkan pengakuan Fathia el Mazali, seorang kepala sekolah di era Borguiba seperti ini. "Pada bulan Ramadhan tahun 1961, saya menerima edaran dari Kementrian Pendidikan tentang dibolehkannya pengadaan makan siang di sekolah pada hari-hari Ramadhan. Alasannya adalah bahwa dalam hal ini, Ramadhan harus dianggap sama dengan bulan-bulan yang lain. Siang itu, saya melihat anak-anak di sekolah kebingungan dan bahkan menangis. Saya pun segera menelpon kementrian, untuk meminta peninjauan ulang atas edaran itu. Begitu juga yang dilakukan oleh para kepala sekolah di Tunis lainnya. Hingga setelah beberapa hari, edaran itu dicabut".

Fatwa Murtad
 Reaksi umat spontan mengemuka, baik dari dalam Tunisia sendiri, atau dari negara-negara Arab sekitar. Mufti Saudi Arabia kala itu, Syekh al Baz, mengeluarkan surat kecaman, sekaligus cap murtad kepada Borguiba. Dari dalam negeri, kecaman tak kalah keras. Baik dari kalangan ulama atau masyarakat umum. Hanya ada sebagian kecil ulama dan masyarakat yang mendukung ajakan sang presiden.

Untuk menanggapi protes-protes itu, Borguiba meminta bantuan para menteri dan ulama Tunisia. Tetapi sebagian mereka menolak, atau setidaknya memilih diam. Diantara pejabat yang nampak memberi dukungan kepada Borguiba adalah Menteri Pendidikan. Selain membuat edaran tadi, sang menteri juga membuatkan balasan atas surat kecaman dan vonis murtad yang dilayangkan oleh Mufti Saudi.

Pada bulan April 1960, Mufti Tunisia, Syekh Abdul Aziz Ju’aith, memilih mundur dari jabatannya, daripada ditekan terus agar mengeluarkan fatwa dukungan atas sikap sang presiden. Rupanya, mufti negara pun tidak setuju dengan sikap Borguiba. Kemudian, jabatan mufti negara pun tak ada yang mengisi alias kosong selama dua tahun. Baru pada tahun 1962, Syekh Fadhil ibn Asyur diangkat sebagai mufti berikutnya.

Untuk Ethos Kerja
Fenomena melemahnya ethos kerja umat Islam di bulan Ramadhan, nampaknya menjadi alasan utama Borguiba dalam berkampanye menolak puasa ini. Sementara, pada dekade 1960-an itu, Tunisia baru saja memasuki era pembangunan mengisi kemerdekaan. (Tunisia lepas penjajahan Perancis pada tahun 1956, lalu menyatakan diri sebagai negara republik pada tahun 1957).

Borguiba ingin agar muslim Tunisia memiliki semangat kerja yang tinggi untuk membangun negeri, mengejar ketertinggalan, meraih kemajuan, sebagaimana kemajuan yang diraih oleh bangsa-bangsa Eropa. Borguiba yang lulusan Fakultas Hukum di Paris, memang nampak silau dan amat mengagumi kemajuan peradaban Barat kala itu. Maka, dalam rangka mewujudkan ethos kerja itu, segala hambatan harus disingkirkan jauh-jauh. Nah, rupanya dalam konteks inilah puasa dinilai sebagai penghalang stabilitas ethos kerja dan prestasi.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Borguiba juga merujuk kepada sebuah peristiwa kala Rasulullah saw beserta para sahabat memasuki kota Mekah di bulan Ramadhan. Sesaat sebelum masuk Mekah, Rasul berkata kepada para sahabat, "berbukalah kalian, agar kita masuk kota Mekah dalam keadaan segar dan mampu meraih kemenangan". Lalu, Rasul pun minum.

Menurut Borguiba, Rasulullah menganjurkan berbuka sebagai jalan menuju kemenangan dalam penaklukan kota Mekah. Maka, dalam konteks kekinian, tidak berpuasa demi mewujudkan fisik yang selalu siap bekerja untuk kemajuan dan kemakmuran negeri, merupakan hal yang dibolehkan. Dan sikap seorang presiden yang mengajak rakyatnya tidak berpuasa demi peningkatan ethos kerja, sama halnya dengan ajakan berbuka Rasulullah agar para sahabat tetap segar dan kuat kala menghadapi peperangan. Demikian beberapa pemikiran Borguiba, sebagaimana dikutip Amel Moussa.

Kampanye Tak Laku
Borguiba dikenal sebagai arsitek Tunisia modern. Ia ingin agar negeri yang berpenduduk 99 persen muslim ini mampu meraih kemajuan dan kemakmuran dalam bingkai modernitas dan sekuler. Untuk itu, ia memiliki beberapa gagasan, seperti larangan poligami, larangan jilbab dan identitas kegamaan lain di ruang publik, sekulerisasi dunia pendidikan, menggeser posisi bahasa Arab diganti dengan bahasa Perancis dalam hampir semua sektor kehidupan dan juga menolak puasa Ramadhan.

Sebagian besar dari program-program itu berhasil, dan imbasnya sangat nampak dalam kehidupan harian di Tunisia saat ini. Muslimah Tunisia banyak yang melepas jilbab, sekolah agama seolah kurang menarik, syiar dan identitas keagamaan tak begitu bebas bergerak di ruang publik.

Akan tetapi, khusus untuk program menolak puasa ini, nampaknya tak digubris oleh masyarakat muslim Tunisia. Sebaliknya, muslim Tunisia menentang ajakan sang presiden. Muslim Tunisia tak mau ‘dipaksa’ untuk tidak berpuasa Ramadhan, meski diancam dengan omong-omong, iming-iming dan bahkan amang-amang.

Ramadhan di Tunisia saat ini, selalu disambut dengan suka cita. Ucapan Ramadhankum Mabrouk terdengar di semua kesempatan. Acara-acara TV dan radio sarat dengan paket khusus Ramadhan. Mesjid-mesjid ramai dengan jemaah tarawih. Siang hari, semua warung makanan dan kafe tak ada yang buka. Orang dewasa yang ketahuan berbuka secara sengaja di depan umum bisa dikenai sanksi.

Ajakan sang presiden untuk meninggalkan puasa Ramadhan, ternyata tak laku. Tunisia, Ramadhankum Mabrouk. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 22 September 2007