Di Tunis, Pendidikan Bisa Murah
Suasana sidang disertasi Dr Tamyiz Mukharram, 10 Des 2012 di Tunis
Alokasi 26% APBN untuk sektor pendidikan, terbukti mampu
mendorong kualitas pendidikan di Tunisia. Berkahnya dinikmati oleh para penuntut
ilmu, termasuk para mahasiswa Indonesia yang belajar di Tunis saat ini.
Pekan ini, dua mahasiswa Indonesia menyelesaikan studinya di
Universitas Zitouna, Tunis. Senin (10/12) lalu, Tamyiez Mukharram, 40 tahun,
menyelesaikan studi S3-nya setelah sukses menjalani ujian disertasi secara
terbuka di hadapan dewan penguji. Sehari berikutnya, Syahrul Ramadhan, 32 tahun, juga
sukses mempertahankan tesisnya.
Dalam catatan Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) Tunisia, Tamyiez adalah WNI kedua yang meraih doktor di Tunis. Doktor
pertama adalah Yusri Arsyad, yang menyelesaikan studi pada tahun 2008 lalu.
Sedangkan Syahrul Ramadhan, adalah WNI ke 18 yang meraih gelar magister. Pada
semester genap 2012-2013 yang akan datang, insya Allah ada 4 orang mahasiswa
kita yang akan menyelesaikan studi magisternya.
Kuliah Tepat Waktu
Saat ini, terdapat 40 mahasiswa Indonesia yang tengah
belajar di Universitas Zitouna Tunis. Selain Tamyiez dan Syahrul. Ke-40 orang ini
terbagi dalam berbagai jenjang studi. Ada 3 orang di tingkat S3, 15 orang di
S2, dan 22 lagi masih di S1.
Dari tahun ke tahun, jumlah
mahasiswa Indonesia di Tunis selalu berkisar antara 30-40an orang. Jumlah
mahasiswa baru dan mahasiswa yang selesai studi setiap tahunnya, relatif
seimbang. Hal ini terjadi karena umumnya para mahasiswa Indonesia belajar tepat
waktu. Di sisi lain, Pemerintah Tunis juga membatasi jumlah kedatangan
mahasiswa asing. Indonesia hanya diberi jatah sekitar 10 orang per tahun.
Dalam sistem pendidikan pasca
reformasi di Tunis, jenjang S1 dapat
ditempuh selama 6 semester atau 3 tahun. Khusus mahasiswa asing, biasanya
diarahkan masuk kelas bahasa lebih dahulu selama 1 tahun. Jadi, total 4 tahun
Jenjang S2 (magister) dapat
diselesaikan selama 4-5 semester. Tiga semester pertama adalah perkuliahan –
diakhiri dengan ujian semester, kemudian pada semester 4 dan 5 adalah penulisan
tesis. Jenjang S3 (doktor) juga dapat diselesaikan dalam waktu 6 semester (3
tahun). Semester pertama adalah perkuliahan, sedangkan 5 semester berikutnya
adalah masa penulisan disertasi
Para mahasiswa bebas menentukan
program studi yang akan diambil. Para jenjang S1, terdapat prodi Peradaban
Islam, Syariah dan Ushuluddin. Pada jenjang S2, ada 5 pilihan prodi, yaitu
Syariah wal Qanun, Ekonomi Islam, Tafsir/Hadits, Akidah dan Perbandingan Agama,
serta prodi Peradaban/Budaya Islam. Sedangkan
pada jenjang S3, prodinya hanya satu, yakni ‘Ulum Islamiyyah (Islamic Studies).
Konsentrasi studi ditentukan dalam pilihan tema penelitian disertasi.
Kuliah Murah Meriah
Untuk studi Islam, kuliah di Universitas Zitouna terbilang
menyenangkan. Sistem studinya SKS, sehingga target penyelesaian studi dapat
terukur jelas. Dosen-dosennya mumpuni di bidangnya, sangat ramah terhadap
mahasiswa asing, serta umumnya memiliki waktu relatif luas untuk melakukan
bimbingan dan interaksi dengan para mahasiswa. Dukungan administrasi akademik
juga bagus ; berbasis IT dan para petugasnya pun kooperatif. Urusan-urusan
administrasi pun lancar dan jarang ada masalah. Fasilitas perpustakaan juga
sangat memadai.
Satu lagi yang penting. Di negeri
berpenduduk 11 juta jiwa ini, pendidikan diselenggarakan secara murah meriah,
nyaris gratis. Dari jenjang paling dasar hingga S3, baik bagi warga pribumi
maupun orang asing. Tidak ada istilah tution fee alias biaya kuliah yang
melangit hingga ribuan bahkan puluhan ribu dolar, seperti yang sering kita
dengar di sejumlah negara lain. Semua mahasiswa – baik orang Tunis maupun orang
asing – hanya dikenai biaya partisipasi setiap awal tahun ajaran, yang masuk ke
kas negara. Untuk S1 sebesar 38 Dinar (setara 240 ribu rupiah), S2 dan S3
sebesar 108 Dinar (setara 650 ribu rupiah). Tidak ada biaya atau iuran apapun
lagi. Bahkan, para mahasiswa bisa saja mendapatkan beasiswa dari Pemerintah
Tunis.
Murahnya pendidikan di Tunis,
adalah buah dari alokasi APBN sebanyak 26 persen untuk sektor pendidikan, yang
telah diterapkan sejak zaman mendiang Presiden Habib Borguiba (memerintah selama
tahun 1957-1987). Tak heran jika di negeri ini, wajib belajar 12 tahun telah
berjalan lama. Umumnya warga Tunis mengenyam perguruan tinggi, serta hampir
tidak ada yang tidak selesai SMA. Pada saat yang sama, guru/dosen menjadi
profesi favorit publik dan direbutkan banyak orang.
Dalam buku “Berkelana ke Timur
Tengah” yang terbit pada tahun 2009 lalu, aku katakan bahwa Tunis adalah negeri
yang sebenarnya miskin Sumber Daya Alam, tetapi kaya dengan Sumber Daya
Manusia. Tunis bukan negara penghasil minyak, serta tidak memiliki banyak hasil
bumi, kecuali zaitun. Objek-objek wisatanya juga tidak setenar Mesir atau
China. Tunis hanya punya objek wisata pantai, beberapa situs sejarah Islam,
situs-situs Romawi Kuno, dan Gurun Sahara di selatan. Tetapi karena sektor
pendidikannya digarap serius, masyarakatnya bisa sekolah hingga minimal S1,
hampir semua mereka fasih berbahasa Perancis dan karena itu mereka mudah
mencari penghidupan.
Dengan pendapatan per kapita sebesar
9.400 USD (tahun 2011), Tunisia menempatkan diri sebagai negara termakmur ke-3
di benua Afrika, atau ke-15 di antara negara-negara muslim. Aku yakin, itu
adalah berkah dari pendidikan. Salam manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, Ahad 16 Desember 2012
No comments:
Post a Comment