Tunisia "Kembali" ke Islam
Revolusi Jasmin (Arab Spring), Tunis, awal 2011
Revolusi Jasmin yang melanda Tunisia pada awal 2011 lalu
benar-benar mengubah total wajah negeri berpenduduk 99% Muslim ini. Hampir
seluruh sektor kehidupan mengalami reformasi, tak terkecuali bidang keagamaan
dan pendidikan Islam. Islam di Tunis, kini menemukan titik cerah, lepas dari bayang-bayang
sekulerisme yang membelenggu selama 50 tahun terakhir.
Kembali Berjilbab
Belum genap tiga minggu aku di Tunis, aku telah menyaksikan
sederet perubahan besar di Tunis. Jauh berbeda dengan yang kusaksikan 5 tahun
lalu, saat aku tinggal di di kota ini, Nop 2005- Okt 2007.
Hari ini, aku lihat sebagian besar wanita muslimah Tunis
mengenakan jilbab. Bahkan banyak juga yang bercadar. Fenomena yang berbeda 180
derajat dengan yang kusaksikan pada tahun 2005, ketika pejilbab sangat sedikit.
Bahkan mayoritas mahasiswi di Universitas Zitouna sendiri, waktu itu seolah
lebih senang memamerkan rambut, tanpa tutup kepala.
Guru Besar Tafsir saat itu, Prof Munjiah Suwaihi, adalah
seorang wanita muslimah yang tidak berjilbab. Beliau tidak segan masuk kelas
hanya memakai rok selutut dan membiarkan rambut pirangnya terlihat oleh para
mahasiswanya yang mayoritas adalah pria dewasa. Hingga kala itu, tepatnya 27
Nopember 2005, aku pernah menulis catatan harian bertajuk : Mana Jilbabmu, Bu
Guru. (Dapat Anda baca di blog ini)
http://www.dedepermana.blogspot.com/2006/01/mana-jilbabmu.html
Kembali Berjenggot
Kali ini, aku juga melihat banyak pria Arab Tunis yang
berjubah dan berjenggot. Baik di kampus, atau di luar kampus. Mungkin ini juga
salah satu ekspresi kebebasan beragama, sebagai buah dari revolusi. (Meski
jubah dan jenggot, sebenarnya tak selalu bisa diidentikkan dengan simbol
kesalehan atau keagamaan seseorang).
Fenomena ini, jelas merupakan sesuatu yang jarang ditemukan
pada masa lalu, ketika lelaki “pejubah” dan “pejenggot” masih diidentikan
sebagai aktifis Muslim militan yang patut dicurigai.
Pemerintah rezim Ben Ali (1987-2010) dan rezim Borguiba
(1957-1987) sangat alergi dengan kekuatan Islam Politik. Simbol-simbol
keagamaan sebisa mungkin tidak dimunculkan di ruang publik. Umat Islam seperti
dibuat malu untuk menunjukkan identitas formal keislaman mereka. Wanita
muslimah malu – bahkan takut – untuk berjilbab, kaum prianya dibuat keder jika
disebut sebagai Islamis. Kaum muslimah enggan bercadar karena akan sering
ditanyai intel yang membayangi hampir di setiap jengkal tanah di negeri ini.
Bacaan murattal al Quran jarang sekali diputar dengan suara nyaring.
Alhamdulillah, semua itu telah berubah. Semua itu hanya
kenangan masa lalu.
Kembali Menjabat
Sudah menjadi hukum yang tidak tertulis, penguasa akan
memprioritaskan orang-orang dekatnya duduk di kursi jabatan. Mereka yang anti
pemerintah – atau setidaknya berani kritis kepada pemerintah, janganlah
berharap manisnya kue kekuasaan.
Seperti itulah yang terjadi saat ini di Tunis. Rezim
berganti, sosok-sosok pemegang kebijakan pun berubah. Moncef Marzuki – presiden
sementara Tunisia saat ini – adalah tokoh oposisi dan aktifis HAM yang pada
masa lalu terpinggirkan dan diasingkan ke Perancis selama puluhan tahun. Begitu
juga Hammadi Jebali, Perdana Menteri saat ini, adalah Sekjen an Nahdha, partai
oposisi yang selama ini kritis terhadap penguasa.
Di kampus Universitas Zitouna saat ini, unsur pimpinan diisi
oleh para dosen yang pada masa lalu dikenal idealis, kritis dan bahkan berani
berseberangan dengan pemerintah. Adalah Prof Hisyam Krisha, Guru Besar Ushul
Fiqh yang dulu hanya dosen biasa dan tidak diberi peran – bahkan konon membimbing
tesis mahasiswa pun dilarang, kini menjadi Pembantu Rektor. Prof Nurdin al
Khadimi, mantan Direktur Pascasarjana yang dikenal sangat produktif menulis
buku, kini menjadi Menteri Agama. Sebaliknya, para dosen yang dulu dekat dengan
istana, kini semua tersingkir. Termasuk beberapa dosenku dulu yang saat ini tak
lagi diaktifkan di kampus. Misalnya Prof Munjiah yang tidak berjilbab tadi,
juga Prof Shadiq Kurshid dan beberapa dosen lain. Mereka tak lagi mengajar.
Bahkan Prof Bou Bakar Akhzuri, mantan rektor yang kemudian jadi Menteri Agama
era Ben Ali, khabarnya saat ini mendekam di penjara.
Kembali Mengaji.
Satu lagi fenomena menarik yang tak kalah penting ; ritual
ibadah umat Islam kembali marak, dari yang mulanya “seperlunya”, bahkan
terkesan malu-malu.
Dari beberapa pengamatanku sementara ini, masjid-masjid
kembali dipadati umat. Jemaah shalat Jumat membludak hingga ke halaman masjid. Materi
khutbah Jumat lebih variatif, para khatib lebih berani bicara hingga ke
wacana-wacana kekinian. Karena pengawasan sudah tak ada lagi. Beda dengan dulu
– sebagaimana dituturkan Prof Abdullatif Bouazizi pembimbing tesisku yang
menjadi khatib tetap di sebuah masjid, bahwa setiap Jumat pagi, ia selalu
didatangi intel yang bertanya, “nanti saat khutbah, tema apa yang akan kau
sampaikan?”
Oya, satu lagi yang penting : nama presiden tak lagi disebut
dalam doa khutbah. Kalau dulu, setiap khatib ‘wajib’ menyebut nama Ben Ali
dalam doa khutbah kedua.
Bacaan murattal Al Quran terdengar hampir di setiap jalan.
Para muadzin mengumandangkan adzan dengan penuh percaya diri. Berbeda dengan pada masa lalu, ketika adzan diputar melalui
kaset. Masjid-masjid tidak punya muadzin, tetapi memiliki tape yang siap
memutar kumandang adzan pada setiap awal waktu shalat.
Pada saat yang sama, kegiatan pengajian-pengajian halaqah
alias majelis taklim kembali ramai di sejumlah masjid. Di Masjid Al Maraksyi,
dekat sekretariat PPI, pengajian halaqah kembali digelar. Begitu juga di
Jam’iyah Mushtafa, sebuah majelis taklim di kawasan Monflury, kembali aktif
pada tahun ini.
Di Masjid Agung Zitouna, kegiatan pengajian halaqah juga kembali
dibuka, setelah selama 50 tahun ditutup oleh rezim penguasa. At Ta’lim az
Zaituni, itulah namanya, yakni majelis-majelis pengajian kitab kuning dan
tahfidz al Quran yang telah berjalan selama berabad-abad, bahkan sejak awal
masjid ini dibangun, pada tahun 732 Masehi. Sebagaimana dituturkan Syekh Tahir Ibn
Asyur dalam buku Alaisa Subhu bi Qarib, bahwa pengajian halaqah di
Zitouna ini merupakan cikal bakal berdirinya Universitas Zitouna.
Pembukaan kembali at Ta’lim az Zaituni disambut hangat oleh
umat. Seorang rekan mahasiswa Indonesia yang hadir pada acara pembukaan resmi
pengajian ini pada awal Oktober 2012 lalu menuturkan, para masyayikh bergiliran
berpidato dengan penuh semangat, bahkan beberapa di antara mereka meneteskan
air mata.
Khatimah
Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainan Nas. Demikian kata
Al Quran. Bahwa roda kehidupan itu akan berputar, manis dan pahit akan dialami
secara bergiliran oleh manusia dari waktu ke waktu. Apa yang aku tuturkan di
sini, hanyalah fakta-fakta lahir saja, sesuatu yang tersurat secara kasat mata,
dan itupun baru hasil pengamatan sementara. Sebagaimana kusebut di awal tadi,
aku baru 3 minggu di kota ini.
Jika memang ini pertanda awal bagi kebangkitan Islam di
Tunisia, semoga semuanya berjalan secara baik, terarah dan membawa
kemaslahatan. Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, Ahad 09 Desember 2012
Mantaps
ReplyDeletemantabssss
ReplyDelete