Sunday, December 09, 2012

Tunis Reformasi



Tunisia "Kembali" ke Islam
Revolusi Jasmin (Arab Spring), Tunis, awal 2011

Revolusi Jasmin yang melanda Tunisia pada awal 2011 lalu benar-benar mengubah total wajah negeri berpenduduk 99% Muslim ini. Hampir seluruh sektor kehidupan mengalami reformasi, tak terkecuali bidang keagamaan dan pendidikan Islam. Islam di Tunis, kini menemukan titik cerah, lepas dari bayang-bayang sekulerisme yang membelenggu selama 50 tahun terakhir.

Kembali Berjilbab
Belum genap tiga minggu aku di Tunis, aku telah menyaksikan sederet perubahan besar di Tunis. Jauh berbeda dengan yang kusaksikan 5 tahun lalu, saat aku tinggal di di kota ini, Nop 2005- Okt 2007.

Hari ini, aku lihat sebagian besar wanita muslimah Tunis mengenakan jilbab. Bahkan banyak juga yang bercadar. Fenomena yang berbeda 180 derajat dengan yang kusaksikan pada tahun 2005, ketika pejilbab sangat sedikit. Bahkan mayoritas mahasiswi di Universitas Zitouna sendiri, waktu itu seolah lebih senang memamerkan rambut, tanpa tutup kepala.

Guru Besar Tafsir saat itu, Prof Munjiah Suwaihi, adalah seorang wanita muslimah yang tidak berjilbab. Beliau tidak segan masuk kelas hanya memakai rok selutut dan membiarkan rambut pirangnya terlihat oleh para mahasiswanya yang mayoritas adalah pria dewasa. Hingga kala itu, tepatnya 27 Nopember 2005, aku pernah menulis catatan harian bertajuk : Mana Jilbabmu, Bu Guru. (Dapat Anda baca di blog ini)
http://www.dedepermana.blogspot.com/2006/01/mana-jilbabmu.html

Kembali Berjenggot
Kali ini, aku juga melihat banyak pria Arab Tunis yang berjubah dan berjenggot. Baik di kampus, atau di luar kampus. Mungkin ini juga salah satu ekspresi kebebasan beragama, sebagai buah dari revolusi. (Meski jubah dan jenggot, sebenarnya tak selalu bisa diidentikkan dengan simbol kesalehan atau keagamaan seseorang).

Fenomena ini, jelas merupakan sesuatu yang jarang ditemukan pada masa lalu, ketika lelaki “pejubah” dan “pejenggot” masih diidentikan sebagai aktifis Muslim militan yang patut dicurigai.

Pemerintah rezim Ben Ali (1987-2010) dan rezim Borguiba (1957-1987) sangat alergi dengan kekuatan Islam Politik. Simbol-simbol keagamaan sebisa mungkin tidak dimunculkan di ruang publik. Umat Islam seperti dibuat malu untuk menunjukkan identitas formal keislaman mereka. Wanita muslimah malu – bahkan takut – untuk berjilbab, kaum prianya dibuat keder jika disebut sebagai Islamis. Kaum muslimah enggan bercadar karena akan sering ditanyai intel yang membayangi hampir di setiap jengkal tanah di negeri ini. Bacaan murattal al Quran jarang sekali diputar dengan suara nyaring.

Alhamdulillah, semua itu telah berubah. Semua itu hanya kenangan masa lalu.

Kembali Menjabat
Sudah menjadi hukum yang tidak tertulis, penguasa akan memprioritaskan orang-orang dekatnya duduk di kursi jabatan. Mereka yang anti pemerintah – atau setidaknya berani kritis kepada pemerintah, janganlah berharap manisnya kue kekuasaan.

Seperti itulah yang terjadi saat ini di Tunis. Rezim berganti, sosok-sosok pemegang kebijakan pun berubah. Moncef Marzuki – presiden sementara Tunisia saat ini – adalah tokoh oposisi dan aktifis HAM yang pada masa lalu terpinggirkan dan diasingkan ke Perancis selama puluhan tahun. Begitu juga Hammadi Jebali, Perdana Menteri saat ini, adalah Sekjen an Nahdha, partai oposisi yang selama ini kritis terhadap penguasa.

Di kampus Universitas Zitouna saat ini, unsur pimpinan diisi oleh para dosen yang pada masa lalu dikenal idealis, kritis dan bahkan berani berseberangan dengan pemerintah. Adalah Prof Hisyam Krisha, Guru Besar Ushul Fiqh yang dulu hanya dosen biasa dan tidak diberi peran – bahkan konon membimbing tesis mahasiswa pun dilarang, kini menjadi Pembantu Rektor. Prof Nurdin al Khadimi, mantan Direktur Pascasarjana yang dikenal sangat produktif menulis buku, kini menjadi Menteri Agama. Sebaliknya, para dosen yang dulu dekat dengan istana, kini semua tersingkir. Termasuk beberapa dosenku dulu yang saat ini tak lagi diaktifkan di kampus. Misalnya Prof Munjiah yang tidak berjilbab tadi, juga Prof Shadiq Kurshid dan beberapa dosen lain. Mereka tak lagi mengajar. Bahkan Prof Bou Bakar Akhzuri, mantan rektor yang kemudian jadi Menteri Agama era Ben Ali, khabarnya saat ini mendekam di penjara.

Kembali Mengaji.
Satu lagi fenomena menarik yang tak kalah penting ; ritual ibadah umat Islam kembali marak, dari yang mulanya “seperlunya”, bahkan terkesan malu-malu.

Dari beberapa pengamatanku sementara ini, masjid-masjid kembali dipadati umat. Jemaah shalat Jumat membludak hingga ke halaman masjid. Materi khutbah Jumat lebih variatif, para khatib lebih berani bicara hingga ke wacana-wacana kekinian. Karena pengawasan sudah tak ada lagi. Beda dengan dulu – sebagaimana dituturkan Prof Abdullatif Bouazizi pembimbing tesisku yang menjadi khatib tetap di sebuah masjid, bahwa setiap Jumat pagi, ia selalu didatangi intel yang bertanya, “nanti saat khutbah, tema apa yang akan kau sampaikan?”

Oya, satu lagi yang penting : nama presiden tak lagi disebut dalam doa khutbah. Kalau dulu, setiap khatib ‘wajib’ menyebut nama Ben Ali dalam doa khutbah kedua.

Bacaan murattal Al Quran terdengar hampir di setiap jalan. Para muadzin mengumandangkan adzan dengan penuh percaya diri. Berbeda dengan pada masa lalu, ketika adzan diputar melalui kaset. Masjid-masjid tidak punya muadzin, tetapi memiliki tape yang siap memutar kumandang adzan pada setiap awal waktu shalat.

Pada saat yang sama, kegiatan pengajian-pengajian halaqah alias majelis taklim kembali ramai di sejumlah masjid. Di Masjid Al Maraksyi, dekat sekretariat PPI, pengajian halaqah kembali digelar. Begitu juga di Jam’iyah Mushtafa, sebuah majelis taklim di kawasan Monflury, kembali aktif pada tahun ini.

Di Masjid Agung Zitouna, kegiatan pengajian halaqah juga kembali dibuka, setelah selama 50 tahun ditutup oleh rezim penguasa. At Ta’lim az Zaituni, itulah namanya, yakni majelis-majelis pengajian kitab kuning dan tahfidz al Quran yang telah berjalan selama berabad-abad, bahkan sejak awal masjid ini dibangun, pada tahun 732 Masehi. Sebagaimana dituturkan Syekh Tahir Ibn Asyur dalam buku Alaisa Subhu bi Qarib, bahwa pengajian halaqah di Zitouna ini merupakan cikal bakal berdirinya Universitas Zitouna.

Pembukaan kembali at Ta’lim az Zaituni disambut hangat oleh umat. Seorang rekan mahasiswa Indonesia yang hadir pada acara pembukaan resmi pengajian ini pada awal Oktober 2012 lalu menuturkan, para masyayikh bergiliran berpidato dengan penuh semangat, bahkan beberapa di antara mereka meneteskan air mata.

Khatimah
Watilkal Ayyamu Nudawiluha Bainan Nas. Demikian kata Al Quran. Bahwa roda kehidupan itu akan berputar, manis dan pahit akan dialami secara bergiliran oleh manusia dari waktu ke waktu. Apa yang aku tuturkan di sini, hanyalah fakta-fakta lahir saja, sesuatu yang tersurat secara kasat mata, dan itupun baru hasil pengamatan sementara. Sebagaimana kusebut di awal tadi, aku baru 3 minggu di kota ini.

Jika memang ini pertanda awal bagi kebangkitan Islam di Tunisia, semoga semuanya berjalan secara baik, terarah dan membawa kemaslahatan. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, Ahad 09 Desember 2012 

2 comments: