Monday, December 31, 2012

Tunis Zaitun



Memetik Zaitun di Bukit Qarbus


Di kota Qarbus, aku menyaksikan pantai yang elok, kemudian mengunjungi perkebunan zaitun yang menghijaukan Tunis, negeri seluas sepertiga pulau Sumatera ini. Berbeda dengan negeri-negeri Arab lain yang diselimuti padang pasir; Tunis justru hijau karena 1,7 juta hektar kebun zaitun terhampar di atas tanahnya. 

Antara Tunis-Qarbus
Sabtu terakhir di tahun 2012, aku berkesempatan mengunjungi rumah Rido, seorang teman berkewarganegaraan Tunis. Rumahnya di Qarbus, kota pantai, sekitar 63 km tenggara kota Tunis. Aku berangkat jam 11.30, melewati ring road yang tembus ke tol arah kota Souse di pesisir Mediterania.

Begitu melewati batas kota Tunis, pemandangan kiri kanan jalan berubah total. Dari semula pemukiman padat dan lalu lintas yang macet, menjadi alam terbuka yang luas dan hijau. Padang rumput menghampar, diselingi pepohonan pinus dan perkebunan zaitun. Rumah-rumah penduduk yang umumnya berwarna putih, nampak kontras dengan suasana sekitarnya.

Setengah jam kemudian, aku melewati kota kecil bernama Hamam Lif. Di kota ini terdapat asrama mahasiswa, tempat para mahasiswa Indonesia pada tahun 90-an tinggal. Saat ini, para mahasiswa kita – termasuk aku - lebih memilih menyewa flat di kota Tunis, agar dekat ke kampus.

Setelah Hamam Lif, ada kota bernama Soleman. Tulisan Arabnya سليمان. Dalam ejaan bahasa Indonesia, dibaca Sulaiman, yang diambil dari nama Nabi. Aku juga ingat sebuah kota di Jogjakarta, bernama Sleman. Adakah kaitan antara Sleman-nya Jogja dengan Soleman-nya Tunis?

Air Panas Qarbus
Menjelang pukul 13.00, jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok, menaiki bebukitan. Mirip dengan suasana jalan menanjak di Puncak. Bedanya, jalan menuju Puncak melewati perkebunan teh, sedangkan di Qarbus melewati perkebunan zaitun.

Setelah tiba di puncak bukit, nampak di depanku hamparan luas lautan yang biru. Air laut yang nampak tenang dan diam. Subhanallah. Meski ini bukan kunjunganku yang pertama ke Qarbus, tetapi kali ini kembali aku berdecak kagum atas keindahan laut lepas, dipandang dari ketinggian.

Qarbus hanyalah sebuah kota kecil. Jalan rayanya juga sempit, berkelok-kelok mengikuti lekukan dinding gunung yang berdampingan dengan bibir pantai. Beberapa penginapan kecil dan restoran berjajar di tepi jalan. Di dekat pasar Qarbus dan di samping masjid, ada sebuah bangunan putih, tempat mendiang Presiden Habib Borguiba – memerintah tahun 1957-1987 – biasa singgah jika beristirahat ke Qarbus.

Objek utama yang biasa dikunjungi para turis di Qarbus adalah mata air panas yang menggelontor deras ke lautan lepas. Air itu keluar dari lubang berdiameter kira-kira 30 sentimeter. Mata airnya, dari bebukitan yang tadi kulewati itu. Sebelum jatuh ke laut, air itu melewati dinding bebatuan dan kemudian memencar menjadi butir-butir air yang kecil. Nah, tepat di bawah bebatuan itu para turis biasa mandi. “Airnya tidak pernah kering. Sejak dulu zaman nenek moyang saya di sini, air ini sudah seperti ini”, tutur Rido menjelaskan.

Sabtu siang itu, tidak ada yang berani mandi di sana. Maklum, Desember ini masih musim dingin. Kendati di tepi pantai, udara terasa dingin menusuk. Saat kunjunganku ke Qarbus dulu pada musim panas tahun 2006, aku sempat mandi di sini.

Rumah Antik Orang Magribi
Setelah puas menikmati panorama pantai Qarbus, perjalanan dilanjutkan. Kami menuju kediaman Rido, sekitar 10 km dari pantai, di tengah-tengah perkebunan zaitun. Dari jalan raya, kami melewati jalan kecil yang tidak diaspal. Mobil pun berguncang-guncang.

Setelah 500an meter, tibalah kami di sebuah rumah besar berwarna putih, dikelilingi pagar tembok yang juga putih. Sebuah rumah tua yang antik. Seekor anjing putih yang diikat rantai menyalak-nyalak menyambut kedatangan kami.

Aku tidak kaget dengan adanya anjing di rumah seorang Muslim di sini. Orang Tunis banyak yang memelihara anjing, meski tidak masuk rumah. Dalam pendapat mazhab Maliki yang dipegang oleh hampir semua Muslim di Arab Magrib ini, bulu anjing tidak termasuk najis. Yang najis adalah air liurnya.

Aku menengok ke segala arah, tak ada rumah yang lain. Di semua arah hanya ada perkebunan zaitun, diselingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. “Saya memang tidak punya tetangga dekat”, kata Rido seraya tersenyum. Melihat posisi rumah seperti ini, aku jadi ingat film-film Barat klasik, yang menceritakan keluarga-keluarga tua yang tinggal di tengah hutan tanpa tetangga.

Aku bersantai sejenak di rumah yang antik itu. Aku diajak masuk melihat-lihat beberapa ruangan di dalam rumahnya. Sebuah rumah Arab Magrib yang khas dengan ruang tengah yang luas, dikelilingi kamar-kamar, dapur dan toilet. Ukiran khas bercorak Andalusia nampak menghiasi beberapa sudut dinding dan langit-langit.

Keluarga Rido menyambut dengan senyuman ramah. Bahkan menyiapkan sajian makan siang plus jus jeruk segar yang baru dipetik dari kebun. Wow segarnya.


Saatnya Memetik Zaitun
Perut sudah kenyang, istirahat sudah cukup. “Saatnya berkeliling ke kebun zaitun dan kebun jeruk !”, ajak Rido.

Aku tak melewatkan kesempatan ini. Segera aku menuju kebun zaitun di samping rumah. Aku berjalan di sela-sela pohon yang tingginya 3 meteran itu. Beberapa pegawai nampak sedang memetiki buah zaitun. Sebagian lainnya memasukkannya ke karung putih.

Bulan Desember ini adalah saatnya panen zaitun. Menurut koran yang kubaca, Pemerintah Tunisia berusaha menawarkan pekerjaan memanen zaitun ini kepada para pemuda Tunis yang masih menganggur. Ini dilakukan sebagai solusi sementara dalam menekan tingginya angka pengangguran pasca revolusi ini. Upahnya spesial : 30 Dinar  - setara 200 ribu rupiah - per hari. Dikatakan spesial karena biasanya upah buruh pemetik zaitun yang direkrut dari warga Mesir hanyalah 10 Dinar. Tetapi, masih menurut koran itu juga, para pemuda Tunis ini masih enggan juga menerima tawaran menarik ini. Sebagian mereka berdalih, masa sarjana bekerja memetik zaitun?

Aku berjalan dari pohon ke pohon. Aku mencoba ikut memetiki buah zaitun. Wah, seru juga. Buahnya kecil-kecil seukuran anggur. Zaitun yang matang berwarna hitam.

Rido memiliki 70 hektar tanah yang sebagian besar ditanami zaitun. Selain buah-buahan lain seperti jeruk, dan aneka sayuran. Kebun Rido hanya secuil dari 1,7 juta hektar zaitun yang ada di bumi Tunisia ini. Ya, zaitun memang menjadi komoditas ekspor utama negeri kecil ini. Dengan hasil 200 ribu ton zaitun per tahun, Tunisia adalah penghasil zaitun terbesar kedua dunia setelah negara tetangganya, Italia.

Banyaknya pohon zaitun – atau 79% dari total pohon di negeri ini – yang menghampar di hampir seantero negeri, menjadikan Tunis sebagai negara Arab yang hijau. Sebagaimana orang Tunis menyebut negerinya dengan Tunis al Khadra, Tunis yang hijau (karena zaitun). Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, Ahad 30 Desember 2012

No comments:

Post a Comment