Monday, January 16, 2006

Lablabi Makanan Tunis

Lablabi, Jagonya Sumsum Sapi


Borguiba Avenue, jantung kota tua, Tunis

Awal Januari lalu, seorang kawan mentraktirku makan malam dalam rangka syukuran ulang tahunnya. Aku diminta tentukan menu sendiri. Benar-benar kesempatan emas dan tak boleh dilewatkan. “Saya mau makan lablabi”, tuturku mantap penuh semangat, menerima tawarannya. Lablabi, makanan khas Tunis itu, memang sejak lama kuinginkan, bahkan kuangankan.

Menu utama lablabi adalah sumsum sapi. Lablabi mudah ditemukan di restoran, kantin atau rumah makan sederhana kota Tunis. Meski tak semua rumah makan punya lablabi. Harganya cukup murah ; 1,5 Dinar (12 ribu rupiah). Di restoran elit, mungkin sedikit lebih mahal.

Malam itu, aku bersama dua rekan tiba di sebuah rumah makan sederhana di Al Jazira Square, perempatan dekat stasiun Tunis Kota. Tahu bahwa aku ingin lablabi, seorang pelayan memberiku sebuah mangkuk besar dan sebongkah roti tawar, juga berukuran besar. Mangkuk itu terbuat dari tanah liat, berwarna coklat dengan hiasan gambar bunga di tepiannya. Lablabi dan kuskus, dua makanan populer Tunis, biasa disajikan dalam mangkuk seperti itu.

Lalu, roti tawar itu kupotong-potong pake tangan hingga berukuran kecil-kecil. Nyaris bubuk. Emang begitu perintah si pelayan. Aku nurut saja. Ukurannya sesuai selera masing-masing. Kulihat beberapa pasang muda-mudi Tunis yang mau makan lablabi, juga sedang sibuk memotong-motong roti. Sambil bercanda ketawa ketiwi, romantis, sekaligus bikin iri.

Jika roti itu telah bubuk, pelayan akan menumpahkan kuah panas berwarna coklat kehitaman ke dalam mangkuk. Kuahnya kental, maklum, isinya sumsum sapi campur bumbu. Lalu ditaburi irisan bawang merah, tomat, kacang rebus, cabe giling, serta telor rebus setengah matang. Wah, aromanya benar-benar membuatku menelan air liur.

Dengan bismillah, kucicipi sesendok kuah lablabi. Mataku berkedip-kedip. Wih, gurih buanged rasanya. Lalu, kuah lablabi itu kuaduk rata, seperti yang dilakukan orang-orang Tunis itu. Hingga rotinya bercampur, larut dalam kuah itu.

Untuk ukuran perut orang Indonesia, kayaknya, makanan semangkuk besar itu terlalu banyak. Tetapi, setiap teori memiliki pengecualian Hehehe, ga nyambung yach. Maksudku, jika makanannya adalah lablabi, mangkuk sebesar itu pun akan terasa kecil. Isinya tetap akan habis, meski disantap oleh orang Indonesia. Buktinya? Aku sendiri, hehehe, pada malam itu. Tak terasa, disantap sambil ngobrol, dalam terpaan udara dingin, lablabi hangat di mangkokku itu habis juga. Sebenarnya aku juga nyaris tak percaya, kok bisa menghabiskan porsi besar begitu. Ah, lablabi siiiiih.. bikin gemes..

Senin 9 Januari 2006
Salam Manis dari Tunis

1 comment:

  1. Mmmm, saya kok ngebayanginnya, lablabi itu penuh dengan kolesterol ya? Pi beneran enak gak siy? Beware of ur health!!

    ReplyDelete