Tuesday, January 31, 2006

Mana Jilbabmu

Mana Jibabmu, Bu Guru…


Pelataran dalam kampus Zaytuna, Tunis..

Suhu sore itu kayaknya tak lebih dari 10 derajat. Jaket tebal dan syal yang melingkari leher masih tak mampu mengusir rasa dingin. Gerimis kecil berjatuhan, menyapu dinding-dinding kokoh gedung kampus Universitas Zaytuna, Tunis. Sambil ngobrol bersama beberapa kawan mahasiswa, aku berdiri menggigil di pelataran dalam kampus, dekat pintu sebuah kelas. Di tengah lalu lalang para mahasiswa lain.
Seorang wanita setengah baya dan tak berjilbab nampak berjalan mendekat ke arah kami. Sesaat aku memandanginya. Bukan rambutnya yang menarik perhatianku. Bukan pula wajahnya. Toh ia sudah berumur, kecantikannya sudah pudar dimakan usia. Tetapi aku memandangi pakaian yang dikenakannya. Modis banget. Saingan sama mahasiswi. Celana panjang putih yang ketat, kemeja yang dikurung dan jaket hitam. Salam, katanya kala berlalu di depan kami. Ia berjalan agak tergesa-gesa. Kami pun spontan menjawab, salam. Di Tunis, sapaan assalamu’alaikum jarang diucapkan orang. Cukup dengan kata salam. Jawabannya pun sama ; salam.
Aku sudah menduga ia seorang dosen. Buktinya ia membawa map dan spidol. Dan ternyata benar, ia memasuki pintu kelas yang tak jauh dari posisiku berdiri. Sepintas kutengok, puluhan mahasiswa sudah berada dalam kelas itu.
Sepuluh menitan kemudian, terdengar suara pintu kelas dibuka. Kala aku masih ngobrol dengan kawan-kawan mahasiswa. Rupanya si ibu itu keluar dari kelas. Berjalan santai menuju ruangan dosen. Lagi-lagi aku terpana memandangnya. Astagfirullah al Adziem. Ia mengisap rokok putih. Sembari berjalan santai, melewati kerumunan para mahasiswa.
Aku diam, memandangi si ibu yang begitu cuek. Tapi orang-orang sekeliling pun cuek. Mungkin mereka sudah tak asing dengan pemandangan itu. Tetapi aku, tak henti-henti menatapi dosen yang belum kuketahui namanya itu. Hatiku bertutur, ini mimpi apa bukan? Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat seorang wanita berstatus dosen di perguruan tinggi Islam, mengisap rokok begitu santai, di depan banyak orang. Lima tahun aku belajar di IAIN Ciputat, kampus yang dituduh orang sebagai markas kaum rasionalis (ahlur ra’yi) dan liberal di Indonesia. Tapi di sana, tak ada mahasiswi atau dosen yang buka jilbab. Apalagi merokok..!
Universitas Zaytuna memang perguruan tinggi Islam yang dikenal moderat. Pemikiran modern sangat diapresiasi di sini. Mahasiswa atau dosen merokok di dalam kampus, bukanlah hal yang asing. Terlebih di musim dingin begini. Di Zaytuna, tak ada pemisahan mahasiswa dan mahasiswi sebagaimana di Al Azhar Mesir. Salaman jabat tangan antar mahasiswa-mahasiswi atau antar bapak-ibu dosen adalah hal yang lumrah
Jilbab tak diwajibkan bagi para mahasiswi. Hal ini tak lepas dari kebijakan politis pemerintah Tunisia. Usai tragedi Bom Bali Oktober 2002, pemerintah Tunisia memperketat kontrol atas aktifitas umat Islam dengan dalih memerangi terorisme. Kegiatan keagamaan diawasi, jilbab dilarang dipake di ruang publik, termasuk di lembaga pendidikan umum. Di lembaga pendidikan keagamaan seperti Zaytuna, jilbab tak dilarang, hanya saja, bentuk modenya ditentukan pemerintah ; kerudung tipis asal tempel, rambut kadang kelihatan. “Setiap mahasiswi berjilbab selalu dipelototi satpam di gerbang kampus, untuk memastikan bahwa bentuk jilbabnya begitu”, kenang seorang rekan mahasiswi berjilbab. Kini, para mahasiswi berparas elok, blasteran Arab-Eropa dengan pakaian yang modis; celana jeans ketat dan rambut yang dibiarkan terurai, berkeliaran di setiap sudut kampus, hilir mudik silih berganti. Pulang pergi mengaji, hehehe…kaya suasana di kota santri … (Tentang liku-liku pelarangan jilbab di negeri berpenduduk 99 persen muslim ini, akan kuceritakan dalam tulisan khusus, insya Allah)
Komplek universitas berlokasi di pusat kota, tak jauh dari Mesjid Zaytuna dan Borguiba Street, kawasan down town-nya Tunis. Mesjid Zaytuna yang merupakan cikal bakal universitas Zaytuna, didirikan pada tahun 732 M oleh gubernur Afrika `Ubaidillah bin al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Umayah. Gedung univesitas berdiri kokoh, masih baru, bersih, tak kalah saing dengan gedung kampus terkemuka yang berada di sebelahnya ; Universitas Tunis. Saat ini, Zaytuna memiliki 5 fakultas : Peradaban, Dirasat Islamiyyah, Seni Rupa, Multimedia dan fakultas Pascasarjana (S2 dan S3). Fakultas pascasarjana memiliki 4 program studi ; Syariah Islamiyyah, Ushuludin, Peradaban Islam dan Ilmu Faraid. Program studi yang disebutkan terakhir berkonsentrasi pada materi-materi fiqh keluarga (al ahwal as syakhsiyyah) dan ilmu waris. Di negeri yang dituduh sebagian orang sebagai ‘sekuler’ ini, konsep waris Islam diterapkan sebagai hukum positif negara.
Fasilitas pendukung studi seperti perpustakaan, mesjid, kantin mahasiswa dan fasilitas olah raga juga tersedia di sekitar kampus. Sistem administrasinya rapi dan serba komputer. Para pegawainya ramah, murah senyum dan kebanyakan masih muda. Di laboratorium fakultas Multimedia, ada fasilitas komputer internet gratis yang bisa dipakai sewaktu-waktu oleh mahasiswa.
Di Zaytuna, para mahasiswa wajib ikut kuliah. Jumlah mahasiswa yang hanya 30an orang per kelas sangat mendorong iklim dialog secara optimal. Dosen bisa akrab dengan para mahasiswa. Di kelasku sendiri, hanya ada 18 mahasiswa, dari berbagai negara. Beberapa dosen menerapkan sistem makalah, presentasi mahasiswa, lalu diskusi. Ada juga dosen yang mengajar dengan gaya ceramah, sambil sesekali mendiktekan materi yang penting. Dosen tidak menulis buku pegangan kuliah sebagaimana di Mesir, melainkan hanya membuat paper tematik. Dosen juga memberitahu judul-judul buku rujukan untuk kemudian dicari sendiri oleh mahasiswa. Untuk urusan yang satu ini, aku kerap merasa kewalahan karena ternyata dosen banyak menunjuk referensi buku-buku berbahasa Perancis.
Aktifitas kuliah seperti ini memacu mahasiswa untuk selalu hadir kuliah, rajin baca buku, menulis makalah, dan bicara di kelas. Serupa dengan yang kualami di IAIN Ciputat dulu. Hanya saja, di Ciputat, semua mahasiswi dan dosen wanita berkerudung. Sedangkan di kelasku sekarang, ada tiga dosen wanita, semuanya tak berjilbab. Dr. Ulfah, dosen Filsafat Hukum malah biasa membiarkan rambutnya terurai sampai pinggang. Ia biasa pake rok sebatas lutut. Betisnya tertutup sepatu yang tinggi. Dr. Dora, dosen bahasa Inggeris biasa memakai rok yang menutupi mata kaki. Tapi sayang sekali, leher dan bagian tengah dadanya dibiarkan terbuka. Lehernya yang jenjang hanya ditutupi syal yang melingkar. Senyumnya nyaris tak pernah berhenti, dari awal ngajar hingga selesai. Membuat darahku berdesir hingga terpaksa aku menunduk, pura-pura memelototi dan memegangi earphone di meja. Untuk mata kuliah bahasa, kami belajar di laboratorium bahasa. Sesekali ia membetulkan syalnya yang selalu bergeser. Perilakunya mirip Bu Dalia Alfred, dosen bahasa Inggerisku dulu di lembaga kursus Universitas Amerika, Kairo.
Dosen Ilmu Tafsir di S2 Ushuludin juga wanita tak berjilbab. Namanya Dr Munjiah. Ia terhitung sebagai dosen yang sangat disegani di lingkungan kampus. Artikel ilmiahnya kerap menghiasi jurnal-jurnal ilmiah di Tunis. Ia sering menjadi pembimbing haji para jemaah Tunis di Tanah Suci. Ia sangat fasih melafalkan ayat-ayat Alquran, berbicara soal kandungan dan tafsirnya, serta wacana-wacana lain seputar Alquran. Tapi ya itu tadi, kala mengajar, beliau biasa membiarkan rambutnya terurai, dipandangi para mahasiswanya yang sudah dewasa.
Ketika belajar dengan mereka, hatiku kadang berucap, kemana atuh jilbabmu teh, ibu guruku.. Itu komentar hatiku hari ini. Entah esok hari, entah lusa nanti…

Salam Manis dari TunisSabtu 27 Nopember 2005

2 comments:

  1. Apa perbedaan lelaki dan perempuan? Dari segi pakaian, tenyata adalah jilbab. Kalau Tuhan tidak membedakan manusia, mengapa keduanya berbeda dari cara berpakaian? Begitu barangkali pemikiran yang ada di benak mereka --termasuk dosenmu. Terlebih karena kepraktisan, alasan tidak berjilbab bisa saja dibenarkan. Toh, itu hanya menyangkut pribadi, hak asasi :D Ada lagi yang lebih parah, menganggap jilbab adalah hanya milik orang arab, sehingga orang yang tidak sebudaya bisa saja tidak memakainya --seperti pemikiran kaum islam liberal. Dan apapun, mereka juga benar, jilbab adalah hak asasi, namun dibalik itu Tuhan juga telah menetapan syari'at :)

    ReplyDelete
  2. Menggunakan jilbab/kerudung itu perlu proses. Mungkin para dosennya dede masih dalam tahap tsb,seperti aku neh yang masih buka tutup alias pake kerudung tergantung mood. Good luck deh dede, jangan lupa tahan pandangannya ya hiihihihi... pemuda yang 'kuat' akan dapat perlindungan dari Allah ntar dihari kiamat. Salaaaaaaaam (kelompok unyil)

    ReplyDelete