Wednesday, January 04, 2006

Pulau Yahudi

Metik Kecapi di Pulau Yahudi


Diatas ferry penyeberangan ke Djerba
Seekor camar melayang rendah, dan begitu saja hinggap di geladak kapal ferry yang kutumpangi. Seolah tak takut dengan puluhan manusia yang berdiri berjejer di sana. Biru laut tetap kentara meski dalam keremangan senja. Matahari yang hampir sembunyi di ufuk barat masih sempat mengirimkan cahayanya yang hangat. Saat itulah, semburat keemasan mencuat dimana-mana. Pada angkasa yang luas, pada air laut yang tenang, pada pepohonan di pantai daratan Afrika yang baru saja kutinggalkan, dan mungkin saja pada hati setiap orang ada di atas ferry. Kulemparkan pandangan ke depan sana, pulau Djerba yang sesaat lagi akan kusambangi nampak samar.

Keindahan senja Jumat 30 Desember 2005 di Laut Tengah, saat aku meninggalkan Pantai Jorf, 483 km selatan kota Tunis, menuju Djerba, memang sulit kulukiskan. Senja yang temaram, di tengah laut yang berair tenang dan semilir angin yang dingin.

Jorf ke Djerba hanya terpaut jarak 7 km. Saat menanti giliran naik ferry, aku duduk di kafe tepian pantai, sembari mereguk nescafe panas. Pengusir dingin. Antrian bis wisata dan kendaraan pribadi memanjang hingga 50 meteran. Maklum, menjelang tahun baru. Mirip suasana penyeberangan Terusan Suez di kota Ismailiya, Mesir, yang dulu sering kukunjungi.

Djerba hanyalah pulau kecil. Luasnya kira-kira 550 km persegi. Tetapi ia layak dikunjungi karena pesona keindahan pantai serta nilai sejarah yang dimilikinya. Di kawasan er Riyadh, tengah-tengah pulau, terdapat sebuah synagog Yahudi tertua di Afrika, yang didirikan pada abad ke-6 SM. Menurut cerita, kala itu orang-orang Yahudi dari Jerussalem melarikan diri ke Djerba, menghindari kekacauan yang terjadi di Jerussalem. Hingga kini, keturunan mereka masih ada di Djerba, dan synagog itu dirawat apik. Synagog Djerba kini menjadi salah obyek wisata spiritual terpenting bagi umat Yahudi. “Setiap bulan Mei ada ritual keagamaan yang dihadiri orang-orang Yahudi Arab dan Afrika”, tutur seorang senior.

Tetapi tujuan utamaku ke Djerba kali ini bukan untuk ziarah ke synagog Yahudi itu. Aku datang untuk metik kecapi di sebuah acara tahun baru yang diadakan oleh komunitas masyarakat Indonesia di Tunisia dan Libya. Kecapiku mengiringi haleuang 3 lagu Sunda terkenal ; Kalangkang, Sorban Palid dan Bubuy Bulan. Seperti yang kualami pada malam tahun baru 2002 lalu di Kairo. Selain itu, aku memanfaatkan perjalanan ke Djerba ini untuk refreshing, melupakan kepenatan dan rutinitas akademis yang menjemukan itu.

Senja itu, saat ferry bergerak perlahan, bibirku bergetar, menggumamkan doa pada Allah Yang Kuasa. Penyeberangan ini hanya 15 menit, tetapi selayaknya aku berpasrah diri pada-Nya.

Aku berdiri mematung, memandangi lautan biru. Aku terlena dengan keindahan senja dan riak-riak air laut. Aku lupa akan kelelahan tubuh usai duduk tujuh jam di bis, dari kota Tunis ke Jorf. Ya, tujuh jam, untuk jarak 483 km. Pemandangan sepanjang jalannya monoton, tak banyak variasi. Tak lebih dari perkebunan zaitun dan kurma, perkampungan penduduk serta sesekali pantai Laut Tengah.

Dari perjalanan darat itu, aku melihat bahwa Tunisia jauh lebih hijau ketimbang dua negara yang pernah kukunjungi ; Mesir dan Saudi. Pantas dinamakan Tunis al Khadra. Meski hijaunya bukan karena hutan lebat atau pepohonan yang tinggi. Melainkan karena perkebunan zaytun, kurma, pohon pinus atau sesekali kebun palawija.

Pada jarak 156 km dari kota Tunis, aku melewati Kairouan, kota Islam tertua di Afrika Utara. Kota yang didirikan oleh sahabat Nabi, Uqbah bin Nafi pada tahun 50 H. Mesjid Uqbah masih berdiri tegar hingga saat ini. Juga sejumlah zawiyah lainnya. Suatu saat aku berharap bisa berziarah ke sana. Insya Allah. Di pintu gerbang kota Kairouan, terdapat tugu besar bercorak lukisan karpet. Maklum, di Tunisia, Kairouan terkenal sebagai kota karpet.

Pemandangan sepanjang jalan dari Kairouan ke kota-kota berikutnya ; Gabes dan Mareth pun tak beda ; membosankan. Hanya sempat dua kali mampir di restoran, sekedar makan siang dan beristirahat salat. Di Gabes, kota yang terkenal karena buah delimanya, 405 km dari Tunis, aku menikmati legmi, tuak khas Tunis yang disadap dari pohon kurma. Serupa wedang dari pohon aren untuk bahan gula merah yang sering dibikin oleh kakek-nenekku dulu di desa. Saat aku mereguk legmi untuk gelas yang ketiga, seorang kawan orang Tunis nyeletuk, “hati-hati, kalo banyak anda bisa mabuk”. Aku hanya nyengir. Tak peduli. Salah sendiri kenapa legmi itu enak.
# # #


Suasana dalam synagog Yahudi, Djerba

Cukup waktu dua jam untuk berkeliling pulau Djerba. Maklum, diameter pulau ini hanya 25 km. Tiga kota pentingnya adalah Fallalah, Midoun dan Hammet Souk. Fallalah adalah kota pusat kerajinan tembikar. Midoun adalah kota dekat kawasan utama wisata pantai, lokasi hotel-hotel berbintang berada. Hammet Souk yang terletak di pantai utara, adalah “ibukota” Djerba. Kotanya bersih dan rapi, hijau serta tentu saja indah. Hammet Souk memiliki sebuah bandara internasional.

Senja Sabtu (31/12) aku berkesempatan berkunjung ke Hammet Souk. Usai berkeliling Djerba, melihat-lihat aneka tembikar cantik di Fallalah dan synagog Yahudi di er Riyadh. Di Hammet Souk, aku menelusuri pasar tradisional penjual kerajinan tangan khas Djerba - seperti aneka ukiran keramik, tembikar dan perhiasan - yang menempati komplek luas di alun-alun. Mirip komplek pertokoan permata di Martapura yang pernah kukunjungi tahun 2000 lalu.

Di pelataran beraspal dekat taman kota, sekelompok pemuda menggelar panggung musik. Cukup menarik perhatian para pejalan kaki. Aku ikut berdiri di sela-sela ratusan penonton. “Ini adalah pertunjukan musik Rai”, tutur seorang pemuda Tunisia yang kutanya. Musik Rai ? Apa ada kaitannya dengan Ade Rai? Oh, tiba-tiba aku ingat grup musik Sting, dengan lagu Rose Dessert-nya yang hit beberapa tahun lalu. Saat di Kairo, aku punya klipnya. Dalam lagu itu, Sting menggaet Syabmami, penyanyi musik Rai terkenal asal Aljazair yang kini bermukim di Paris. Rai memang musik khas Aljazair. Lagunya Arab, tetapi iramanya nge-reff. Berbeda dengan musik-musik Arab lainnya. Album musik Rai milik artis-artis Aljazair semisal Syabfaudal, Syabtoha atau Syabmami, saat ini beredar luas di pasaran kota Tunis.

Saat irama musik rai itu menggelegar, aku nyaris ikut bergoyang bersama orang-orang Tunis, jika saja tak diingatkan oleh seorang rekan, bahwa kami harus segera kembali ke hotel.

Dengan berat hati, aku ngeloyor pergi. Rai, kau kusapa lagi lain kali yach, gumam hatiku. Saat bis bergerak, aku terus mengarahkan pandangan ke arah panggung Rai hingga hilang dibalik belokan.

Tapi ternyata, aku tak rugi meninggalkan Rai. Ada keindahan lain yang kutemukan sepuluh menitan kemudian. Kala bis menyusuri dermaga Pelabuhan Hammet Souk yang tidak terlalu luas, menghampiri belasan perahu sedang berwarna coklat keemasan. Kontras dengan sinar merah dari ufuk senja di arah barat sana. Tak berkedip aku memandangi perahu-perahu indah itu. Bentuknya menarik, kerangka tiang dan layarnya tertata rapi. Mirip perahu-perahu layar milik para petualang Eropa abad pertengahan yang kulihat di film-film. Sayang sekali, aku tak bisa turun sekedar untuk foto, mengekalkan keindahan senja itu.
# # #

Selain melewati penyeberangan ferry dari Pantai Jorf, ada jalan lain menuju Djerba. Yakni melewati jalan el Qantara, yang menghubungkan Djerba Timur dengan Pantai Jerjis, di daratan Afrika. Jalan lurus dan beraspal ini memiliki lebar 5 meter, kiri kanannya disangga bebatuan besar. Menurut cerita, jalan yang melintasi Selat Djerba sejauh 5 km ini dibangun oleh orang Romawi pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Hampir berbarengan dengan eksodus kaum Yahudi dari Jerussalem itu.

Saat melintasi jalan itu hari Ahad pagi, aku ingat Nabi Musa yang membelah Laut Merah dan Nyi Roro Kidul yang naik kereta kuda melintasi Laut Selatan. Anganku berfikir, kerja orang-orang Romawi mengangkut batu dan tanah hingga terbentuk jalan itu sangat luar biasa. Saat teknologi masih sederhana. Nabi Musa as bisa melintasi Laut Merah karena mukjizat dari Tuhan. Nyi Roro Kidul khan hanya legenda, yang belum tentu benar adanya.

Seorang kawan bertutur bahwa semasa Libya masih diembargo, jalan ini sering dilewati orang asing yang keluar-masuk Libya. Terutama ratusan tenaga ahli Korea Selatan untuk pembangunan bendungan besar di Libya. Orang-orang Korea itu bekerja secara shift per 3 bulan. Dari Libya, mereka naik kendaraan darat ke Djerba, lalu terbang ke negerinya melalui bandara internasional Hammet Souk itu. Dari Jerjis ke perbatasan Libya memang hanya 90 km lagi.

Sayang sekali, indahnya jalan el Qantara juga kulewatkan tanpa kenangan foto. Para penumpang tak dibolehkan turun dari kendaraan. Aku hanya sempat memotret dari balik kaca belakang bis. Tapi, tak apalah. Karena suatu saat, toh foto atau gambar lahir bakal usang. Sedangkan kenangan dan keindahan yang terpatri dalam hati, itulah yang abadi. Seperti halnya kenangan indahku di Djerba, saat melepas dua ribu lima...

Selamat Tahun Baru 2006, dan Salam Manis dari Tunis.

Selasa 3 Januari 2006

5 comments:

  1. tahun baru yang indah :)

    ReplyDelete
  2. jadi pengen kesana om, wait my blog ye... salam manis dari heliopolis ;p / samingan

    ReplyDelete
  3. tahun baru disana gak pake niup terompet dan bakar jagung ya?

    ReplyDelete
  4. wah, mang dede di sana tetap jadi pendekar kecapi iblis alias pki euy..setelah ditinggal mang dede, kairo sekarang sepi, tanpa tukang kecapi lagi, hehe..iraha ka kairo deui atuh mang?!

    ReplyDelete
  5. gw tertarik dengan info loe about music rai itu..bisa tulis lebih panjang?! gw tunggu ya..

    ReplyDelete