Tuesday, September 08, 2009

Colombo Kuliner

Berbuka Puasa di Restoran India

Aku menyaksikan anak-anak Srilanka bermain games Sepak Bola, di sebuah restoran di Colombo

Hari pertama di Colombo (31/8), aku diajak seorang staf KBRI berbuka puasa di luar. "Biar Anda kenal makanan khas di sini", tuturnya. Tentu saja aku setuju. Dari dulu, yang namanya wisata kuliner memang salah satu hobiku.
Pukul 17.00 (18.30 WIB), ia sudah menjemputku di Wisma Indonesia. Karena waktu magrib masih lama, kami tak langsung menuju rumah makan yang dituju, melainkan berjalan-jalan dulu menelusuri beberapa ruas jalan utama di kota pelabuhan yang dibangun sejak abad ke-5 Masehi ini.

Kami menelusuri Galle Road, jalan raya terpanjang di Sri Lanka, yang membentang dari utara ke selatan, mengikuti garis pantai, di tepian barat kota Colombo. Kami melewati kawasan Fort, Distrik 1 Colombo. Di daerah ini, banyak terdapat hotel mewah, bangunannya tinggi. Di antaranya Hotel Galadari, Ceylon Intercontinental dan Hilton Colombo. Selain itu, ada gedung-gedung tua peninggalan Inggris yang masih terawat rapi. Di beberapa bagian jalan, terdapat kemacetan. Maklum, sore begini orang-orang baru pulang kerja.

Restoran India, Halal..!
Sebuah restoran India menjadi pilihan kami senja itu. Namanya restoran "Elite", lokasinya di Bambalapitiya, Colombo 4. Bangunannya tiga lantai. Pengunjung boleh memilih tempat duduk di lantai mana saja.

Saat kami tiba, pelataran parkir seluas kira-kira 100 meter persegi telah dipadati kendaraan. Terpaksa kami parkir agak jauh. Wah, laku juga nih restoran, pikirku. "Ini restoran India, kelas murah dan favorit di Colombo", tutur sang rekan yang sudah tiga tahun tinggal di sini.

Di halaman depan, terpasang merk bertuliskan "Restaurant Elite, Indian Food". Dihiasi lampu warna-warni. Yang menarik, di bagian bawahnya ada tulisan "Halal". Seolah jaminan bahwa daging sembelihannya boleh dikonsumsi oleh muslim.

Ternyata, di kota berpenduduk mayoritas Budha ini, terdapat banyak restoran India, yang umumnya milik orang-orang muslim. Dapat dipastikan, semuanya memasang label Halal. Beberapa restoran bahkan menyediakan ruang shalat dan tempat wudhunya sekaligus.

Muslim Eksekutif
Meski restoran telah penuh, kami masih kebagian tempat duduk karena sebelumnya kami telah pesan via telepon.

Kebanyakan pengunjung senja itu adalah kaum muda muslim yang sengaja datang untuk berbuka puasa. Pakaian mereka rapi, umumnya berdasi dan sebagian membawa tas. Sepertinya mereka baru pulang kantor. Sebagian lagi berkelompok dan berbincang-bincang satu sama lain dalam bahasa Inggris.

Ada juga pengunjung dari kalangan keluarga muslim. Para suaminya memakai peci putih, umumnya berjanggut. Isteri-isterinya memakai jilbab lebar bahkan ada yang bercadar. Anak-anaknya juga berbusana muslim. Sambil menunggu waktu berbuka, sebagian mereka asyik memainkan ponsel bertipe mutakhir.

Nampaknya memang benar bahwa muslim Sri Lanka, meski minoritas, mereka memiliki status sosial dan ekonomi yang baik dalam struktur masyarakat Sri Lanka secara umum.

Menu Pembuka
Adzan Magrib berkumandang di televisi. Alhamdulillah. Yang dinanti pun tiba. Babak pertama langsung kami mulai.

Hidangan takjil yang tersedia di meja adalah air putih, jus buah, kurma, bubur kanji dan sasoma, sejenis perkedel. Ini adalah menu pembuka yang biasa disajikan dalam hidangan berbuka muslim Sri Lanka.

Bubur kanji yang dihidangkan dalam mangkuk berukuran sedang, sebenarnya adalah bubur nasi biasa. Seumpama syurbah dalam hidangan orang Arab. Hanya saja, bubur Kanji ini jauh lebih kaya dengan rasa. Gurih, pedas, asin, rame rasanya..! Maklum, Sri Lanka ini adalah negeri hijau nan subur. Iklimnya tropis. Aneka macam sayuran, buah-buahan, palawija dan rempah-rempah, berlimpah di negeri berpenduduk 21 juta jiwa ini. Kata seorang staf KBRI yang telah 30 tahun di sini, masakan Sri Lanka memang dikenal kaya dengan bumbu dan rempah-rempah.

Dan sasoma, perkedel berbentuk segitiga itu, mengingatkanku pada Brick, perkedel khas ramadhan di kota Tunis. Bedanya, Brick berisi telur, sedangkan sasoma berisi daging giling, dicampuri kacang-kacangan. Rasanya, bukan main gurihnya..! Tentu karena rempah-rempahnya itu.

Menu Serba Pedas
Babak kedua kami mulai usai shalat Magrib. Biar tenang. Tamu-tamu lain juga sama ; shalat magrib dulu baru makan.

Di atas meja, tersedia daftar menu. Ditulis dalam dua bahasa ; Inggris dan Sinhala, yang tulisannya kotak-kotak berangkai itu. Cukup banyak juga pilihan menunya, hingga aku bingung pilih apa. Aku belum tahu apa itu Kola Kanda, Ambulthiyal atau Biriyani. Untunglah pelayan menawariku untuk ambil makan sendiri di paket buffet alias prasmanan. Oke dech, aku setuju. Meski sedikit antri dengan tamu-tamu lain. Yang penting aku bisa melihat hidangannya lebih dahulu.

Nasi dihidangkan dalam beberapa pilihan. Ada nasi putih, ada juga beberapa macam paket nasi berbumbu. Satu di antaranya nasi Biriyani itu tadi. Yakni nasi kuning bercampur sayuran, rempah-rempah dan daging. Warnanya kuning mirip dengan nasi Kebuli atau nasi Yaman.

Bagi yang enggan makan nasi, tersedia roti Paratta. Bentuknya bundar putih, rasanya tawar. Mirip dengan Isy di Mesir. Ada juga roti yang sudah dibumbui dan berwarna kuning. Sama persis dengan Malawi yang dulu kusukai di kota Tunis. Ada juga hoppers -dalam bahasa Sinhala dinamakan Appam - sejenis Surabi. Orang sini biasa memakannya dengan sayuran dan sambal.

Sebagai teman nasi, ada beberapa macam kari, baik ayam ataupun sapi. Biasanya berupa campuran daging/ayam dengan sayuran dan kaya dengan bumbu. Aroma dasarnya tetap ; pedas..! Bagi yang senang ikan, bisa milih menu Ambulthiyal. Yakni tuna bakar ditaburi sayuran segar.

Sejak tragedi tsunami 2004 yang juga melanda sebagian wilayah Sri Lanka, banyak orang sini yang malas makan ikan laut. Tapi belakangan ini, sikap mereka itu berubah. Seafood kembali jadi favorit.

Menu khas Sri Lanka, tak jauh berbeda dengan menu India. "Bedanya, hidangan Sri Lanka ini lebih terasa pedasnya", tutur Sanjay, sopir KBRI yang orang Sri Lanka. Bumbu yang digunakan, biasanya tak jauh dari merica, kayumanis dan bawang.

Soal harga, masih realtif terjangkau. Paket Biriyani Rice dihargai Rs 250 (setara dengan 25 ribu rupiah). Ambulthiyal hanya Rs 150. Menu-menu lainnya berkisar antara Rs 250-350. Cukup murah bukan?! Tentu karena ini adalah restoran biasa, bukan kelas hotel berbintang. Saat makan di Bars Kafe, sebuah restoran kelas menengah, aku lihat harga-harganya sedikit lebih mahal. Ada selisih harga sekitar 20-an persen.

Ternyata, tak perlu uang banyak untuk memanjakan perut di kota yang baru saja pulih dari perang saudara ini. Salam Ramadhan dari Colombo.
Colombo, 8 September 2009

1 comment:

  1. mantap kang,
    seru juga cerita kulinernya

    ReplyDelete