Sunday, September 20, 2009

Kuil Budha

Berkunjung ke Kuil Budha


Aku di Gangaramaya Temple, Slave Island, Colombo

Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Budha, Sri Lanka memiliki banyak kuil alias vihara. Baik di kota atau desa. Di kuil-kuil itulah umat Budha melakukan beragam ritual keagamaan.

Di sela-sela kegiatan rutin, aku berusaha menyempatkan diri untuk berkujung ke kuil-kuil itu. Sekedar ingin tahu bagaimana ritual ibadah umat Budha di sana. Toh banyak juga kuil di Sri Lanka ini yang biasa dikunjungi oleh turis-turis mancanegara. Mudah-mudahan catatan ini bermanfaat bagi siapapun yang hendak melakukan wisata ziarah Budhisme and Beyond di Sri Lanka.

Jangan Membelakangi Sang BudhaHari Ahad pekan lalu, aku sempat mengunjungi Gangaramaya Temple di Sir Jinatarana Road, Distrik Slave Island, Colombo. Kuil ini berlokasi di tepi jalan raya kecil, dekat Danau Beira, salah satu danau yang terletak di tengah kota Colombo.

Aku tiba di sana sekitar pukul 13.00. Di halaman kuil, kulihat puluhan gadis kecil berseragam putih didampingi beberapa wanita setengah baya. Juga berseragam rok putih dan kemeja putih. Sepertinya itu adalah pakaian resmi bersembahyang di kuil. Karena di beberapa kuil lain pun, aku selalu melihat wanita-wanita berbaju stelan putih.

Bangunan kuil itu sebenarnya biasa saja. Akan tetapi dinding-dindingnya dilapisi aneka macam hiasan. Ada patung, lukisan, atau ukiran-ukiran kayu. Di sebelahnya ada deretan perapian dengan baranya yang masih ngebul. Ada juga dagoba (stupa), bangunan berbentuk kubah berwarna putih.

Seorang pengurus kuil menghampiriku. Tanpa diminta, aku menjelaskan identitas dan maksud kedatanganku. Ia tersenyum ramah. Aku dipersilahkan masuk dengan syarat alas kaki harus dibuka. Aku lihat, pengunjung lain pun sama ; masuk kuil tanpa alas kaki.

Di ruangan utama kuil, terdapar patung Sang Budha sedang duduk bersila. Tingginya sekitar 7 meteran. Di sekelilingnya ada beberapa patung lain yang lebih kecil. Di depannya, ada beberapa wadah sesajen yang penuh dengan bunga warna-warni. Beberapa orang Budhis nampak khusyu berdoa di depan patung. Ada yang bersujud, ada juga yang berdiri sambil menundukkan kepala.

Tanpa banyak basa-basi, kuarahkan jepretan kamera ke arah Sang Budha. Bahkan beberapa kali aku sempat berpose dengan latar belakang patung. Hingga suatu ketika, aksiku ini kelihatan oleh seorang pengurus kuil yang berbaju putih. Ia menghampiriku seraya berkata, “Tak boleh foto membelakangi patung Sang Budha. Tidak pantas. Ini tempat ibadah”, tuturnya. Aku mengangguk-angguk, “Maaf Pak. Saya tidak tahu”, tuturku. Sungguh, aku belum tahu bahwa itu dilarang.

Kuil Festival Gajah
Gangaramaya Temple ini termasuk kuil terpenting bagi umat Budha di kota Colombo. Lantaran kuil ini menjadi lokasi festival Navam Perahera yang digelar setiap malam purnama (Poya Day) bulan Februari. Poya Day adalah salah satu hari besar, sehingga dijadikan libur nasional bulanan di Sri Lanka.

Festival Navam Perahera di kuil Gangaramaya adalah ritual umat Budha yang terbesar yang dilakukan pada bulan Februari. Dalam festival itu, ada karnaval 50 ekor gajah yang dihias. Mereka berjalan dari kuil ini, kemudian mengelilingi Viharamahadevi Park dan Danau Beira. Festival ini biasa dilakukan umat Budha sejak tahun 1979.

Selain karena festival itu, Gangaramaya terbilang penting karena ia memiliki perpustakaan dan musium Budha. Koleksinya berupa benda-benda bersejarah – umumnya berupa patung – yang ternyata banyak berasal dari Thailand, Myanmar dan Jepang.


Di depan Bodhi Tree, mobil harus berhenti

Mobil Berhenti di Kalutara
Selain ke kuil Gangaramaya, aku juga sempat mengunjungi kuil Gangatilaka, yang terletak di Kalutara, sebuah kota kecil berjarak 38 km arah selatan Colombo. Dibanding Gangaramaya, kuil ini lebih besar dan lebih luas. Dagobanya juga lebih tinggi. Daya tarik lainnya, kuil ini terletak di tepi danau berair bening dengan jembatan Kalu Ganga-nya yang kokoh. Bagus sekali untuk lokasi foto.

Point lainnya, di seberang kuil ini terdapat Bodhi Tree, pohon suci umat Budha. Setiap sopir yang berlalu di depannya, harus menhentikan kendaraannya sejenak untuk sekedar memberi hormat dan berdoa agar mendapat keselamatan dan keberkahan. Seperti yang kusaksikan sore itu, semua mobil yang lewat, pasti berjalan pelan dan kemudian berhenti. Para penumpangnya kemudian memberi hormat kepada Bodhi Tree atau ke arah Dagoba. Kadang ada perwakilan penumpang yang turun sejenak untuk memasukkan uang sumbangan ke dalam kotak-kotak amal yang berjajar di pinggir jalan. Bis umum pun demikian ; berhenti lalu sopir atau kondekturnya turun.

Satu jam setengah kulewatkan di kuil itu. Aku masuk ke beberapa ruangan sembahyang, bahkan aku juga sempat masuk ke dagobanya, melalui tangga-tangganya. Ternyata, ruangan utamanya berbentuk bundar, dengan diameter kitar-kira 20 meter. Atapnya berwarna putih, di pojok langit-langitnya, ada lukisan-lukisan yang memanjang. Di tengah-tengah ruangan itu ada empat patung Budha duduk bersila, menghadap empat arah mata angin. Di depannya, ada wadah untuk bunga-bunga.

Puluhan umat Budha nampak sedang asyik berdoa, ada juga yang duduk-duduk di tepi. Aku pun ikut duduk menyandar di tepi. Santai. Beberapa kali, kujepretkan kamera. Mumpung kesini, pikirku. Sesekali aku berpose. Tapi tak lagi membelakangi patung Sang Budha.


Aku di jembatan Kalu Ganga. Kuil Gangatikala nampak dari kejauhan

Puing-puing Tsunami
Kalutara adalah kota pantai, ditempuh dengan 1 jam perjalanan dari Colombo. Jalannya lurus saja, menyusuri Galle Road yang berdampingan dengan rel Kereta Api dan searah dengan garis pantai barat Sri Lanka. Maka, perjalanan dari Colombo ke Kalutara, seperti perjalanan dari Rabat ke Casablanca di Maroko sana. Pemandangan berupa lautan luas, ada di sebelah kanan kita, hampir di sepanjang perjalanan.

Sesekali aku berpapasan dengan bis antar kota, jurusan Colombo-Ambalangoda. Bis tua buatan India, merk-nya Tata, berwarna dasar putih, dihiasi beragam corak tulisan Sinhala. Persis bis kota di Jakarta tahun 1980-an, atau yang kita lihat dalam film-film India lama. Tapi, rute bis itu cukup jauh. Ambalangoda adalah kota pantai di selatan Colombo, berjarak 70an km, ditempuh selama hampir 2 jam.

Antara Colombo dan Kalutara, terdapat beberapa kawasan wisata pantai. Di antaranya ada resor Mount Lavinia, Panudara dan Wadduwa. Hotel-hotel di kawasan itu, umumnya menyediakan layanan Aryuveda, pijat tradisional khas Sri Lanka yang kini telah menjadi salah satu komoditas wisata andalan. Menurut info yang kudengar, banyak WNI yang bekerja sebagai juru pijat Aryuveda di kawasan ini.

Di daerah Morutawa, aku melihat puing-puing bangunan tanpa atap. Tepat di tepi pantai. Ternyata, itu adalah reruntuhan bekas korban Tsunami tahun 2004 lalu, yang juga melanda sebagian pantai barat dan selatan Sri Lanka. Saat itu, Tsunami merenggut 35 ribuan nyawa warga Sri Lanka, ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.

Aku tak sempat melihat reruntuhan bangunan pasca Tsunami di Aceh, yang masih Tanah Airku sendiri. Ternyata aku berkesempatan melihatnya di negeri orang, saat aku dalam perjalanan menuju sebuah kuil Budha. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 18 September 2009

1 comment:

  1. wah, info-info ini penting buat belajar perbandingan agama..trm ksh mang dede atas infonya. met lebaran..!

    ReplyDelete