Friday, September 11, 2009

Colombo Mosque

Santri-santri Gundul
di Colombo Grand Mosque


Aku bersama para santri gundul di Colombo Grand Mosque

Senin (7/9) lalu, aku ngabuburit alias jalan-jalan sore menunggu waktu magrib. Tujuanku kali ini adalah Colombo Grand Mosque. Mesjid terbesar di Sri Lanka yang juga markas Dewan Ulama negeri berpenduduk mayoritas Budha ini. Sore itu, aku ditemani seorang staf KBRI yang baik hati.

Dekat Kota Tua
Colombo Grand Mosque berlokasi di Moor Street, kawasan Pettah, salah satu distrik tertua di Colombo. Di kawasan ini, masih banyak terdapat gedung tua nan antik peninggalan kolonial Inggris.

Kami berangkat dari kediaman di kawasan Havelock Town sekitar pukul 17.00. Mula-mula kami menelusuri jalanan di Bambalapitiya, kemudian masuk ke Galle Road, jalan lurus membentang di tepain pantai. Berbanding lurus dengan rel kereta api. Di sebelah kanan kami adalah komplek pertokoan modern, sedangkan di sebelah kiri lautan luas, Samudera Hindia. Suasana seperti ini mirip pemandangan di kota Alexandria, Mesir.

Memasuki kawasan Kollupitiya, mulai banyak gedung perkantoran penting, di antaranya Kedubes AS, Kedubes India, Kedubes Inggris dan kantor Perdana Menteri. Di sebelah kanan, nampak kamp militer yang luas. Ditandai kantung-kantung pasir, menara pengintai serangan laut, serta beberapa pos penjagaan. Pengamanan ekstra ketat, maklum ini adalah kawasan High Security Zone. Setiap kendaraan yang lewat, dicegat, untuk ditanyai identitas. Tak terkecuali mobil kami. Tapi tak usah khawatir, cukup buka kaca dan katakan, "DPL, Indonesian Embassy". Para tentara berwajah sangar itu langsung tersenyum dan mempersilahkan untuk terus jalan. Oya, DPL adalah kependekan dari Diplomatik, yang sudah cukup populer di sini.

Ketatnya pengawasan di daerah ini, selain untuk menjaga keamanan kantor-kantor penting, juga untuk mengantisipasi serangan Macan Tamil dari arah laut yang beberapa waktu lalu sering terjadi.

Tak lama kemudian, kami tiba di Fort, kawasan eksklusif di kota ini. Kami melewati beberapa hotel mewah yang bangunannya menjulang tinggi. Ada Hotel Galadari, Ceylon Intercontinental dan Hilton Colombo.

Kemudian kami masuk ke Main Street. Nah, di jalan inilah aku sempat terkagum-kagum melihat suasana kota tua dengan bangunan-bangunan antiknya yang masih terawat. Gedung-gedung kuno diselingi pertokoan dan pasar rakyat. Jalan yang tak terlalu lebar, sore itu dipadati mobil dan para pejalan kaki. Rupanya, ini adalah pasar rakyat terbesar di Colombo. Mungkin mirip Tanah Abang di Jakarta atau Pasar Atabah di Kairo. "Segala macam bisa kita dapatkan di sana", tutur Pak Gojali, staf KBRI yang sudah 30 tahun di Colombo.

Mobil berjalan perlahan, ekstra hati-hati, takut kesenggol kendaraan lain, atau Three Wheler alias bajaj, yang sangat mendominasi ruas-ruas jalan raya di kota ini.

Inikah Grand Mosque?!
Setelah melewati kawasan macet, tibalah kami di New Moor Street. Jalannya sempit, hanya cukup untuk dua mobil. Menurut peta yang kupegang, di jalan inilah mesjid itu berada.

Di kiri dan kanan jalan, warung-warung kecil berjajar. Ada warung sembako, barang-barang kelontongan serta rumah makan. Sebagian bangunannya nampak kurang terawat. Beberapa kali aku melihat mesjid kecil di tepi jalan, atau di dalam gang-gang kecil. Sering pula aku menjumpai kaum laki-laki berjanggut lebat dan berjubah, lalu lalang di kawasan ini. Rupanya banyak juga muslimnya, pikirku.

Jalanan agak lengang, tak seperti Main Street tadi yang padat. Tetapi mobil bergerak perlahan, karena kami sambil melihat kiri-kanan, mencari-cari bangunan mesjid itu. Dan setelah melewati dua perempatan, pandanganku tertuju pada sebuah bangunan besar di tengah komplek pemukiman padat. Di bagian kiri bangunan itu, ada sebuah menara tinggi menjulang. Wah, inikah Grand Mosque itu?!

"Ya, inilah Colombo Grand Mosque", tutur seorang pria Sinhala berusia separuh baya yang kusapa. Alhamdulillah, sampai juga ke tempat tujuan, gumamku.

Segera aku menatapi mesjid tanpa kubah itu. Bangunan tua yang berukuran besar, tapi nampak kurang terawat. Warna catnya kuning tua, sebagian memudar akibat dimakan usia. Pada bagian kiri, nampak sedang ada pekerjaan rehab ringan. "Kok kurang meyakinkan begini ya mesjidnya?!", tuturku kepada rekan perjalanan. Ia tersenyum seraya mengangguk-angguk. Aku berfikir-fikir, kenapa mesjid ini luarnya nampak kumuh?! Apakah mungkin karena di kota ini mayoritas bukan muslim, lalu tak banyak orang yang perhatian pada mesjid?!

Wudhu di Kolam
Aku berdiri di depan gerbang mesjid. Dua orang satpam berseragam datang menghampiri. Aku kemudian mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. "Aku muslim dari Indonesia", tuturku. Mereka tersenyum ramah seraya mempersilahkan kami masuk mesjid.

Dengan bismillah, aku memasuki mesjid, mengikuti langkah si satpam itu.

Ternyata ruangan dalamnya cukup luas dan bersih. Tak seperti yang kubayangkan tadi saat di luar. "Mesjid ini menampung 5000 jemaah", tutur Satpam berusia setengah baya yang belakangan kuketahui bernama Muhamed Syaifan.

Ruangan itu diselingi tiang-tiang yang berderet. Lantainya ditutupi karpet dan sajadah. Di beberapa pojok mesjid, ada lemari-lemari kecil tempat penyimpanan kitab suci Alquran.

Belasan pria nampak sedang duduk-duduk. Sebagian membaca Alquran. Sebagian lagi nampak komat kamit berdoa. Mungkin mereka sedang itikaf ramadhan, pikirku. Sebagian lagi berbisik-bisik dengan temannya sambil melihat ke arahku. Tak kupedulikan.

Ruang shalat muslimah terletak di lantai dua, ditandai dengan tirai biru. Sayang sekali, di ruangan dalam mesjid ini tak boleh foto. Di pojok kanan mesjid, nampak dua orang petugas sedang sibuk membawa wadah-wadah makanan. Rupanya mereka sedang menyiapkan hidangan berbuka puasa secara gratisan. Mirip Maidaturrahman di negeri Mesir. Meski di sini, menunya hanya takjil dan bubur Kanji.

Satpam mengajakku menuruni tangga lebar di bagian belakang mesjid. Ia ingin menunjukkan lantai dasar, lokasi tempat wudhu berada.

Rupanya, tempat wudhunya berupa kolam-kolam lebar yang berair bersih. Bukan kran-kran atau pancuran yang lazim ditemui di mesjid-mesjid Indonesia. Kulihat, ada enam kolam wudhu di situ. Kolam-kolam itu ditembok rapi bahkan pakai keramik. Tempat wudhu dengan gaya seperti ini dulu kujumpai di mesjid-mesjid tua di Mesir, Tunis dan Maroko.




Aku di salah satu sudut Colombo Grand Mosque

Santri Gundul

Saat aku mengamati lokasi wudhu, tiba-tiba sekelompok anak laki-laki usia SMP berdatangan dari ruangan dalam, masih di lantai dasar. Mereka semua seragam ; jubah serba putih, peci putih dan kepala gundul..! Aku sempat kaget. Siapakah gerangan mereka?!

Segera kuhampiri mereka. "Assalamu'alaikum", sapaku seraya menyalami mereka satu per satu. Ada sekitar 12 orang saat itu. "Waalaikum Salam", jawab mereka kompak. Kutanya dengan bahasa Inggris, tapi hanya beberapa yang menjawab itu pun sepotong-sepotong. Akhirnya si Satpam itu yang menjadi penerjemah.

Rupanya mereka adalah para santri di mesjid ini. Setiap sore mereka belajar Alquran dan ilmu-ilmu keagamaan. Mereka adalah warga Tamil muslim yang tinggal di sekitar mesjid. Mereka cukup ramah. Tak henti-hentinya mereka tersenyum. Gigi putih mereka nampak kontras dengan kulit mereka yang cokelat tua agak-agak hitam.

Kutanyai mereka, apakah kalian hafal surat Al Fatihah?! Mereka mengangguk-angguk. Bahkan tanpa diminta, salah seorang dari mereka melantunkan surat pertama dalam Alquran itu. Bacaannya fasih, tajwidnya pas, suaranya pun merdu.

Subhanallah wal Hamdu Lillah, aku bergumam. Aku bersyukur kepada Allah bisa bertemu santri-santri berkepala gundul yang sedang belajar Alquran, di Mesjid Agung Colombo, pada bulan suci ini. "Di pundak kalianlah masa depan Islam di negeri Budha ini berada", tuturku pada mereka. Semoga Allah memudahkan jalan mereka. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 10 September 2009

1 comment:

  1. "gw jadi penasaran, pengen lihat langsung ksana. salam kenal untuk kang dede. teruslah berkarya dan berbagi"

    ReplyDelete