Tuesday, January 31, 2006

Info PPI Tunisia

Dinamika PPI Tunisia

Jumlah anggota yang hanya 14 orang, bukan penghalang bagi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia untuk berdinamika. Ragam kegiatan – dalam segala keterbatasan- tetap digelar, sebagai media aktualisasi diri dan potensi.
Beberapa kegiatan PPI Tunisia 2005-2007 direkam dalam tulisan oleh Divisi Public Relation. Lalu, tulisan-tulisan itu secara periodik dikirimkan ke milis Badan Koordinasi Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah. Sambil mempersiapkan sebuah website khusus. Beberapa diantara tulisan itu bisa Anda nikmati di sini.

Pengajian Tahun Baru Hijriyyah di PPI Tunis
Sabtu (28/1) malam kemaren, 40an orang WNI di Tunisia berkumpul di Aula Nusantara KBRI Tunis. Mereka menggelar pengajian dalam rangka menyongsong tahun baru 1427 Hijiriyah. Acara ini merupakan hasil kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia dengan KBRI Tunis.

Acara diawali dengan salat Magrib berjamaah pada pukul 17.50. Sahabat Ulung Partajaya bertindak sebagai imam. Usai salat, para jemaah duduk melingkar. Pengajian umum pun digelar. Sahabat Abdul Hamdi dan Hasbiyallah masing-masing bertindak sebagai MC dan pembaca wahyu ilahi. Sedangkan uraian hikmah tahun baru hijriyyah disampaikan oleh sahabat Dede Permana.

Duta Besar RI di Tunis, Hertomo Reksodiputro yang pada malam itu menyampaikan kata sambutan, berharap agar acara keagamaan tetap dijalankan secara kontinyu di lingkungan masyarakat Indonesia di Tunis. “Untuk menambah wawasan serta mempererat silaturahmi antara kita”, tuturnya. Sedangkan dalam ceramahnya, sahabat Dede Permana mengajak para jemaah untuk senantiasa memiliki semangat memperbaiki diri, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. “Hijrah bagi kita di era modern ini bermakna sikap jiwa untuk mau terus melakukan perbaikan diri, meninggalkan hal yang buruk lalu menggantinya dengan hal yang baik. Menjauhi gelap menuju terang, membuang kejelekan lalu mencari kebaikan. Jika ini telah difahami secara baik oleh setiap individu muslim, maka umat Islam akan menjadi bangsa terhormat dan kembali meraih kejayaan”, kata mahasiswa S2 Syariah ini.

Dalam cermah yang berdurasi 25 menit ini, sahabat Dede juga menggambarkan kesabaran Nabi dalam menghadapi beratnya perjuangan dakwah di Mekkah. Beberapa kisah permusuhan Abu Jahal dituturkan, diselingi hikayat-hikayat lain yang dibumbui humor. Gelak tawa para jemaah pun terdengar sesekali.

Pada pukul 18.30, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Para jemaah melontarkan pertanyaan, komentar atau gagasan lain yang belum disampaikan penceramah seputar tema hijrah. Bapak Hanafi, seorang local staf bertanya tentang sikap permusuhan Abu Jahal kepada Nabi. Bapak Mahfud bertanya soal hikmah sistem penanggalan hijriyah yang berdasar pada peredaran bulan. Sedangkan Pak Dubes bertanya soal keragaman pemikiran di dalam tubuh umat Islam. “Bagaimana mungkin umat Islam akan bisa maju, jika di dalam tubuh Islam sendiri masih banyak pertentangan”, tutur Pak Dubes.

Sebagian pertanyaan itu dijawab oleh penceramah. Lalu para jemaah lainnya memberikan komentar atau tambahan informasi. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Abdul Hanan dan Bapak Hidayat Sibyan. Beberapa jemaah ibu-ibu pun ikut memberikan tanggapan dan pertanyaan, termasuk Ibu Dubes.

Diskusi itu dihentikan pada pukul 19.30, kala diskusi sedang hangat-hangatnya. Padahal, rencana semula, acara pengajian berakhir pukul 19.00. Pada pukul 19.30, para jemaah melaksanakan salat Isya yang dipimpin oleh sahabat Dede.

Sebagai acara penutup, para jemaah menikmati hidangan makan malam yang disediakan oleh Dharma Wanita KBRI Tunis. Sambil beramah tamah. Hidangan pembukanya adalah mie bakso panas. Sangat cocok dinikmati pada musim dingin begini. Kenikmatan bakso malam itu menambah indah kesan pengajian tahun baru hijriyyah.

Tunis, 30 Januari 2006

Dimana Ada Koperasi, Di Situ Ada Dinar
Pada puncak musim dingin yang kadang diiringi hujan seperti sekarang ini, keluar rumah bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Kecuali untuk kuliah, urusan KBRI, atau urusan lain yang sangat penting.

Pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia membaca fenomena ini dari sisi bisnis. PPI segera menyediakan kebutuhan harian para mahasiswa yang biasa dibeli di warung. Seperti rokok dan aneka jenis makanan ringan alias snack. Agar para mahasiswa tak usah bersusah payah pergi ke luar, menembus dingin dan hujan yang turun hampir tiap hari.

Benda-benda pengisi perut itu disimpan rapi di sebuah dus besar, lalu diletakkan di meja pojok kanan aula sekretariat, tepat sebelah kiri komputer. Secarik kertas dipasang rapi di dekatnya. Berisi daftar harga. Satu sachet nescafe dijual seharga 0,3 Dinar. Sebungkus rokok Mars dihargai 1,8 Dinar, sedangkan Dji Sam Soe dan Gudang Garam masing-masing 3 dan 2,5 Dinar. Begitu juga beberapa jenis cokelat, wafer, roti dan kue kering. Semua harga tertera jelas. Oya, 1 Dinar Tunis setara dengan Rp 8 ribu atau 0,8 Dolar AS.

Koperasi jadi-jadian ini diadakan sejak pertengahan Desember 2005. Idenya bermula dari obrolan-obrolan ringan. Atas instruksi Ketua PPI, sahabat Muhammad Iqbal, Divisi Dana dan Usaha menindaklanjuti ide ini secara konkret. Modal awal dicairkan, sahabat Hasbiyallah, mahasiswa baru S1, berusia 21 tahun, ditunjuk sebagai penanggung jawab operasionalnya.

Maka sahabat Hasbi pun segera berbelanja. Lalu barang-barang beliannya disimpan di kotak itu. Dalam praktik jual belinya, sahabat Hasbi juga berperan sebagai penjual. Jika ia sedang di luar rumah, pembeli cukup menyimpan uang di kotak yang disediakan, lalu menuliskan nota pembeliannya di white board yang terletak di sebelah kanan komputer. Sebuah praktik kegiatan ekonomi yang menuntut kejujuran tinggi. “Pada paket penjualan pertama, kita dapat untung 12 Dinar”, tutur sahabat Hasbi diiringi senyum sumringahnya. Buah rasa syukur kepada Allah.

Konsumen koperasi ini bukan hanya para mahasiswa anggota PPI yang tinggal di sekretariat. Melainkan juga keluarga besar KBRI Tunis yang biasa bersilaturahmi ke sekretariat. Sesekali kadang ada staf KBRI Tunis yang menelpon, memesan rokok Indonesia. Maka, koperasi pun melakukan pelayanan home delivery (tausil al manazil) dengan biaya antar sewajarnya.

Bagi mahasiswa yang belum punya uang, koperasi juga memberikan kemudahan berupa fasilitas utang. “Tapi jumlah pengutang dan nilai barang yang diutang, selalu kita pantau. Agar koperasi tidak nombok”, tutur sahabat Hasbi, penuh perhitungan. Jiwa bisnis memang harus begitu.

Ke depannya, koperasi akan menambah macam barang yang dijual. Tiga anggota PPI Tunisia yang sedang melakukan ibadah haji, mendapat tugas berbelanja makanan khas Indonesia di Jedah, untuk barang jualan di koperasi. Seperti aneka rokok Indonesia, indomie, obat-obatan, bumbu dapur serta aneka makanan/minuman ringan. Dalam waktu dekat, koperasi juga akan menyediakan bakso dan mie ayam. Sebagaimana permintaan yang banyak dilontarkan oleh keluarga besar KBRI Tunis. Seorang rekan mahasiswa berbakat, telah menyanggupi pembuatan kedua makanan Indonesia ini. “Usai ujian musim dingin, insya Allah saya siap”, tuturnya pelan, tapi pasti. Tatapan matanya menerawang penuh harapan. Kita lihat nanti aksinya usai ujian bulan Februari ; benarkah dinar akan mengalir deras ke pundi-pundi koperasi?!

Tunis, 23 Januari 2006

Diskusi Hangat ala PPI Tunis
PPI Tunisia terus bergeliat, meski kadang perlahan. Satu per satu kegiatannya terlaksana. Setelah kegiatan rutin kursus bahasa, penerbitan jurnal serta pengaktifan koperasi mahasiswa, kali ini giliran acara diskusi bulanan. Ahad (15/1) pukul 09.00 pagi, 11 anggota PPI Tunis berkumpul di sekretariat. Mereka memulai paket diskusi ilmiah bulanan.

Untuk edisi perdana ini, sahabat Dede Permana bertindak sebagai pemakalah. Ia mempresentasikan makalahnya yang berjudul ‘Menimbang Gagasan Feminisme dalam Dunia Islam’. Sedangkan sahabat Hasbiyallah dan sahabat Ahmad Ridlo masing-masing sebagai moderator dan notulen.

Paket diskusi bulanan ini berusaha mengapresiasi isu-isu keislaman kontemporer. Seperti tema-tema Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam, Penegakan Syariat Islam, Universalitas Alquran, Islam Liberal, Gender dan lain-lain. Para presentator diwajibkan menulis makalah berbahasa Indonesia. Meski pembahasannya diarahkan pada hal-hal yang mendasar dan bersifat pengenalan.

Seperti dalam diskusi ahad kemaren. Tema feminisme dipaparkan oleh presentator secara global. Dimulai dari definisi feminisme serta sejarah kemunculannya di Eropa dan AS pada abad ke-18. Lalu, bagaimana isu feminisme itu bersentuhan langsung dengan dunia Islam di Timur, hingga kemudian muncul buku Tahrir al Mar’ah-nya Qassim Amin dari Mesir.

Presentator juga memaparkan sekilas gagasan-gagasan Qassim Amin dalam buku itu. Serta gagasan tokoh-tokoh feminisme Islam yang muncul belakangan, seperti Rifat Tahtawi, Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi. Pada sesi tanya jawab, diskusi menjadi hangat ketika tema pembicaraan mulai menukik pada persoalan hak-hak wanita dalam Islam. Seperti soal kewarisan, hijab dan poligami.

Diskusi hangat itu berakhir menjelang jam 11, karena keterbatasan waktu. “Sebenarnya tak cukup waktu dua jam untuk diskusi soal feminisme dalam Islam”, tutur sahabat Dede Permana. Antusiasme para peserta memang sangat nampak, padahal tema yang dibicarakan baru pengantar umum feminisme. “Semoga diskusi ini bisa menjadi pemacu semangat untuk mau terus membaca”, tutur sahabat Muhammad Iqbal, ketua PPI.

Acara itu diakhiri dengan pembicaraan tentang ke-PPI-an, yang dipandu langsung oleh ketua PPI Tunisia. Tema pembicaraannya menyangkut evaluasi kegiatan PPI serta agenda-agenda terdekat ke depan. Diantaranya yang akan segera dilaksanakan adalah pengajian rutin bulanan, pelatihan jurnalistik serta pembentukan klub studi ilmu kalam dan filsafat Islam. Doakan sukses ya………….

Tunis, 16 Januari 2006

Semalam Bersama Mas Rojab
Senin (2/1) usai magrib, sekretariat kami kedatangan tamu spesial. Dialah sahabat Muhammad Sahrul Murojab, mantan wakil ketua organisasi mahasiswa Indonesia di Libya tahun 2003, yang kini menjadi local staff di KBRI Tripoli.

Kedatangan beliau tak kami sia-siakan begitu saja. Acara dialog dadakan segera kami gelar, di aula pertemuan sekretariat kami yang sederhana. Tujuh anggota PPI Tunisia yang kebetulan berada di sekretariat, duduk melingkar membuat lingkaran kecil. Mas Rojab, sapaan akrabnya, kami hujani dengan puluhan pertanyaan tentang beragam hal ; ihwal sistem studi di Libya, beasiswa, kegiatan KKMI (PPI-nya Libya), iklim sosio-politik Libya, hingga kisah-kisah pribadinya. Saya bertindak sebagai pemandu diskusi santai itu.

Dalam suasana yang penuh kekeluargaan, Mas Rojab bertutur penuh semangat. Tentang aktifitas studi mahasiswa Indonesia di Libya yang kini berjumlah 78 orang. Tentang kehidupan keseharian di asrama mahasiswa, juga tentang beasiswa sebesar 30 Dinar. “Mahasiswa yang najah dalam dua tahun pertama, akan mendapat tiket liburan ke tanah air”, tutur alumnus The Faculty of Islamic Call, Tripoli tahun 2004 itu diiringi decakan iri kami, para mahasiswa Tunis.

Sesekali Mas Rojab juga balik bertanya kepada kami, tentang Universitas Zaytuna, atau tentang Tunisia secara umum. Baik menyangkut sistem studi, aktiftas mahasiswa ataupun iklim belajarnya. Kami pun bergiliran bertutur. Sahabat Mohammad Iqbal, ketua PPI kami angkat bicara. Juga rekan lainnya, baik sahabat Diki, Ulung, Hasbi, Hamdi, atau Ayat, mahasiswi satu-satunya di lingkungan PPI Tunis.

Dialog berlangsung santai dan mengalir. Kami semakin terlena. Terlebih ketika Mas Rojab yang kini baru berusia 26 tahun itu bercerita tentang liku-liku perjalanan hidupnya sejak masa kuliah, persiapan menikah, hingga bisa kembali ke Tripoli untuk bekerja di KBRI. Penuturannya sarat dengan filsafat dan hikmah-hikmah kehidupan.

Menjelang jam 21, dialog dihentikan, karena ada beberapa rekan kami yang bersiap-siap menghadapi ujian. Tapi tidak berarti dialog hangat itu berakhir begitu saja. Beberapa menit kemudian, saya bersama dua rekan lain, menemani Mas Rojab, menyusuri wajah malam kota Tunis Modern di Borguiba Avenue. Kali ini, giliran Mas Rojab yang berdecak, melihat keindahan dan eksotisme kota tua Tunis. Maka patung Ibnu Khaldun, Tugu 7 November, Katedral, stasiun kota serta alun-alun Borguiba menjadi sasaran jepretan kamera Mas Rojab. Sahabat Hamdi, seorang mahasiswa senior, tak henti bertutur soal sejarah Zaytuna, Old Tunis, juga beberapa pesona khas Tunis.

Malam semakin larut dan dingin. Tetapi kami punya jurus jitu mengusir dingin ; duduk di kursi rumah makan Tunis, menikmati Lablabi, jamuan khas Tunis yang mengandalkan sumsum sapi sebagai menu utama. Meski aroma lablabi hangat itu melenakan kami, diskusi kami terus berlanjut….

‘Satu malam bersama PPI Tunis, memberikan nuansa tersendiri. Komunitas anak-anak muda, yang masih memiliki nafas kebebasan. Di sini, saya menemukan kenangan lama saya ‘, tutur alumni KMI Gontor 1999 ini dalam pesan tertulisnya yang kami abadikan di buku tamu PPI Tunis.

Mas Rojab, terima kasih atas kunjungannya. Juga atas info-infonya yang menarik tentang Libya. Allah akan mempertemukan kita lagi suatu saat nanti,InsyaAllah.

Tunis, 3 Januari 2006

Usir Dingin Dengan Bahasa Perancis
Ahad (11/12) seharian kemaren, matahari tak nampak di angkasa Tunis. Awan tebal bergelayut, mendung hitam menutupi langit. Sesekali gerimis turun membasahi bumi. Gimana rasa dinginnya, wah jangan tanya lagi dech.

Hingga lewat magrib, suasana masih tak berubah, gerimis malah tak mau henti. Kabut tebal diatas sana nampak semakin hitam, ditelan senja yang temaram. Udara dingin terasa dimana-mana, menusuki pori-pori satu juta warga kota Tunis.

Tapi, udara dingin senja itu seolah tak dirasakan oleh 9 manusia mungil bin imut yang tengah berada di sekretariat PPI Tunisia. Gelak tawa menghiasi acara kami saat itu ; kursus mingguan bahasa Perancis. Waktu dua jam tak terasa lama, udara dingin akibat gerimis juga tak digubris. Pasalnya, pelajaran senja itu sangat menarik. Kami harus bercerita soal Un Bureau Fou Fou Fou, kisah sebuah kantor gila.

Kantor gila? Ya, sebuah kantor gila. Kantor yang acak-acakan tak tentu. Sang instruktur, sahabat Muhamad Yazid yang Perancisnya sudah cas cis cus mula-mula menggambar suasana sebuah ruangan yang tidak teratur. Di sebuah white board tua tapi serbaguna milik PPI. Ada gambar meja yang sedang terlentang, kursi sofa yang bergantung di dinding, serta buku yang berserakan di lantai. Lalu, ia menanyai kami bergiliran. Ou est la cloche! Dimanakah posisi jam dinding! Au dessous de la choise. Bacanya, o dessu de la sez, tuturku terbata-bata. Diulang-ulang karena salah melulu. Kawan-kawan tertawa cekikikan. Maklum, aku masih buta soal Perancis. Jam dinding itu berada di kolong kursi, begitu kira-kira arti kalimat yang kusebutkan.

Ou est le canafe! Dimanakah kursi panjang itu! Tanya Pak Guru kepada sahabat Ulung, mahasiswa baru di S2 Ushuludin. Le canafe debout contre le mur. Sahabat Ulung mencoba membaca, le canafe debu contkhe le mukh. Kursi panjang itu berdiri di seberang dinding. Jorok banget tuh pemilik kantor, komentarku.

Ya begitulah, suasana belajar yang amat santai. Tema-tema populer, dikemas dengan ungkapan sederhana dan contoh yang menarik. Meski ga masuk akal dan sedikit norak, hehe.. Yang penting khan substansinya itu lho. Bagaimana melatih lidah untuk fasih Perancis. Aku merasakan, bahasa Perancis ternyata sangat sulit. Lebih sulit dari bahasa Inggeris. Menurut cerita dosenku, kosakata bahasa Perancis jauh lebih kaya ketimbang Inggeris. Bahasa Perancis banyak mengumbar pelafalan kha seperti halnya kha huruf idzhar dalam ilmu tajwid. Pendule dibaca pendikh, bureau dibaca bikho. Teks diucapkan sangat jauh berbeda dari tulisannya.

Bagi mereka yang belajar di Zaituna, bahasa Perancis adalah kebutuhan yang tak terelakkan. Mungkin hal ini dialami juga oleh kawan-kawan di Maroko dan Aljazair. Dosen-dosen banyak merujuk referensi berbahasa Perancis. Pengumuman-pengumuman atau merk-merk tulisan di kampus, banyak menggunakan bahasa Perancis.

Maka bagi kami yang di Zaituna, kursus mingguan bahasa Perancis menjadi program utama PPI. Sukses bahasa Perancis, berarti sekian puluh persen kesuksesan belajar telah di tangan. Meski kami juga tak lupa dengan bahasa Arab dan Inggeris. Diskusi ilmiah bahasa Arab akan segera diaktifkan lagi. Selain kursus bahasa Inggeris setiap Selasa malam yang kebetulan aku sendiri ketiban tugas sebagai pemandunya. Ya sebagai new comer di lingkungan PPI Tunisia, aku manut saja. Khusus untuk bahasa Inggeris ini, metode belajaranya berkonsentrasi pada pemahaman teks dan latihan pengucapan (pronunciation) yang baik. Karena rata-rata para anggota sudah punya basic bahasa Inggeris.

Kami biasanya belajar selama maksimal 90 menit. Seperti Ahad kemaren itu. Menjelang jam 19.00 malam, acara kami berhenti. Petugas piket masak segera beraksi di dapur. Sementara kawan lainnya bersantai di ruang tengah, sambil sesekali mengulang-ulang pelajaran yang baru berlalu. Suasana tetap terasa hangat, padahal di luar sana, gerimis masih terdengar berjatuhan.

Tunis, 12 Desember 2005

Maju Bersama PPI Tunisia
Kecil itu indah. Begitu kata peribahasa. Bagi para mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Tunisia, makna peribahasa ini lebih terasa. Komunitas mahasiswa yang kecil akan lebih mudah bersinergi menuju sesuatu yang indah. Maju menuju tujuan bersama yang diangankan.

Saat ini, ada 14 mahasiswa Indonesia yang belajar di Tunisia. Sepuluh diantaranya belajar di Universitas Zaytuna, perguruan tinggi Islam yang berusia lebih dari 1300 tahun. Tiga orang belajar di Institut Borghuiba dan satu orang lagi di sebuah akademi manajemen. Kesepuluh mahasiswa Zaytuna itu, 3 orang belajar pada jenjang S1, 6 orang di S2 dan satu orang di program S3. Ke-14 orang itu juga terdaftar sebagai anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia.

Minimnya jumlah anggota tidak menghambat kelancaran kegiatan PPI. Justru sebaliknya, jalinan komunikasi dan silaturahmi diantara para mahasiswa terjadi secara intensif. Koordinasi sesama anggota terasa mudah. Pun koordinasi dengan KBRI Tunis, selaku wakil pemerintah RI di Tunisia. Tak jarang para mahasiswa terlibat secara penuh dalam kegiatan-kegiatan KBRI.

Kekompakan sesama anggota PPI nampak pada acara Rapat Anggota Tahunan (RAT) PPI Tunisia yang digelar pada hari Sabtu (26/11) lalu. Ke-14 anggota hadir, mengikuti acara yang digelar di sekretariat PPI, di kawasan Bir Aniba, kota Tunis. Acara dimulai jam 15.00 waktu Tunis (21 WIB) dan berakhir jam 22.00 (04.00 Ahad dinihari WIB).

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah rapat tahunan, evaluasi kegiatan menjadi agenda utama RAT PPI Tunisia. Kinerja kegiatan PPI periode 2003-2005 dilaporkan secara terbuka, lalu dikritisi secara positip. Sahabat Abdul Hamdi, ketua PPI 2003-2005 menyampaikan LPJ-nya, sementara para anggota secara bergiliran memberikan komentar dan tanggapan. Persidangan yang dipimpin oleh sahabat Muhammad Yazid ini berjalan dengan lancar. Dinamika persidangan, kopi yang mengepul, serta tawa santai para anggota, turut menghangatkan acara yang digelar di awal musim dingin ini.

Pada bagian akhir, ada agenda pemilihan ketua PPI periode 2005-2007. Tiga orang calon ketua terjaring ; sahabat Arwani Syaerozi, Diki Abdul Kadir dan Mohammad Iqbal. Sahabat Arwani adalah putera Cirebon yang saat ini sedang menggarap tesisnya di bidang Syariah Islamiyyah. Sedangkan sahabat Diki dan sahabat Iqbal adalah mahasiswa tingkat akhir pada program S1 Fakultas Peradaban Islam Universitas Zaytuna. Setelah melewati proses seleksi dan debat kandidat, sahabat Iqbal meraih 8 suara. Sedangkan sisa 6 suara dibagi rata antara sahabat Diki dan sahabat Arwani.

Bagi PPI Tunisia, agenda pengembangan potensi dan prestasi akademik anggota adalah hal utama. Akan tetapi, PPI Tunisia 2005-2007 akan memperbaiki kinerja organisasi serta membuka jaringan (networking) yang lebih luas. Akses ke Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah dan sekitarnya akan mendapat perhatian serius. Agar para anggota PPI Tunisia bisa tetap berhubungan dengan komunitas mahasiswa luar. Sebagai bekal tambahan dalam menempa diri dan potensi sebelum berkiprah di arena pengabdian yang sesungguhnya di tanah air kelak.

Tunis, 29 Nopember 2005

Mana Jilbabmu

Mana Jibabmu, Bu Guru…


Pelataran dalam kampus Zaytuna, Tunis..

Suhu sore itu kayaknya tak lebih dari 10 derajat. Jaket tebal dan syal yang melingkari leher masih tak mampu mengusir rasa dingin. Gerimis kecil berjatuhan, menyapu dinding-dinding kokoh gedung kampus Universitas Zaytuna, Tunis. Sambil ngobrol bersama beberapa kawan mahasiswa, aku berdiri menggigil di pelataran dalam kampus, dekat pintu sebuah kelas. Di tengah lalu lalang para mahasiswa lain.
Seorang wanita setengah baya dan tak berjilbab nampak berjalan mendekat ke arah kami. Sesaat aku memandanginya. Bukan rambutnya yang menarik perhatianku. Bukan pula wajahnya. Toh ia sudah berumur, kecantikannya sudah pudar dimakan usia. Tetapi aku memandangi pakaian yang dikenakannya. Modis banget. Saingan sama mahasiswi. Celana panjang putih yang ketat, kemeja yang dikurung dan jaket hitam. Salam, katanya kala berlalu di depan kami. Ia berjalan agak tergesa-gesa. Kami pun spontan menjawab, salam. Di Tunis, sapaan assalamu’alaikum jarang diucapkan orang. Cukup dengan kata salam. Jawabannya pun sama ; salam.
Aku sudah menduga ia seorang dosen. Buktinya ia membawa map dan spidol. Dan ternyata benar, ia memasuki pintu kelas yang tak jauh dari posisiku berdiri. Sepintas kutengok, puluhan mahasiswa sudah berada dalam kelas itu.
Sepuluh menitan kemudian, terdengar suara pintu kelas dibuka. Kala aku masih ngobrol dengan kawan-kawan mahasiswa. Rupanya si ibu itu keluar dari kelas. Berjalan santai menuju ruangan dosen. Lagi-lagi aku terpana memandangnya. Astagfirullah al Adziem. Ia mengisap rokok putih. Sembari berjalan santai, melewati kerumunan para mahasiswa.
Aku diam, memandangi si ibu yang begitu cuek. Tapi orang-orang sekeliling pun cuek. Mungkin mereka sudah tak asing dengan pemandangan itu. Tetapi aku, tak henti-henti menatapi dosen yang belum kuketahui namanya itu. Hatiku bertutur, ini mimpi apa bukan? Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat seorang wanita berstatus dosen di perguruan tinggi Islam, mengisap rokok begitu santai, di depan banyak orang. Lima tahun aku belajar di IAIN Ciputat, kampus yang dituduh orang sebagai markas kaum rasionalis (ahlur ra’yi) dan liberal di Indonesia. Tapi di sana, tak ada mahasiswi atau dosen yang buka jilbab. Apalagi merokok..!
Universitas Zaytuna memang perguruan tinggi Islam yang dikenal moderat. Pemikiran modern sangat diapresiasi di sini. Mahasiswa atau dosen merokok di dalam kampus, bukanlah hal yang asing. Terlebih di musim dingin begini. Di Zaytuna, tak ada pemisahan mahasiswa dan mahasiswi sebagaimana di Al Azhar Mesir. Salaman jabat tangan antar mahasiswa-mahasiswi atau antar bapak-ibu dosen adalah hal yang lumrah
Jilbab tak diwajibkan bagi para mahasiswi. Hal ini tak lepas dari kebijakan politis pemerintah Tunisia. Usai tragedi Bom Bali Oktober 2002, pemerintah Tunisia memperketat kontrol atas aktifitas umat Islam dengan dalih memerangi terorisme. Kegiatan keagamaan diawasi, jilbab dilarang dipake di ruang publik, termasuk di lembaga pendidikan umum. Di lembaga pendidikan keagamaan seperti Zaytuna, jilbab tak dilarang, hanya saja, bentuk modenya ditentukan pemerintah ; kerudung tipis asal tempel, rambut kadang kelihatan. “Setiap mahasiswi berjilbab selalu dipelototi satpam di gerbang kampus, untuk memastikan bahwa bentuk jilbabnya begitu”, kenang seorang rekan mahasiswi berjilbab. Kini, para mahasiswi berparas elok, blasteran Arab-Eropa dengan pakaian yang modis; celana jeans ketat dan rambut yang dibiarkan terurai, berkeliaran di setiap sudut kampus, hilir mudik silih berganti. Pulang pergi mengaji, hehehe…kaya suasana di kota santri … (Tentang liku-liku pelarangan jilbab di negeri berpenduduk 99 persen muslim ini, akan kuceritakan dalam tulisan khusus, insya Allah)
Komplek universitas berlokasi di pusat kota, tak jauh dari Mesjid Zaytuna dan Borguiba Street, kawasan down town-nya Tunis. Mesjid Zaytuna yang merupakan cikal bakal universitas Zaytuna, didirikan pada tahun 732 M oleh gubernur Afrika `Ubaidillah bin al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Umayah. Gedung univesitas berdiri kokoh, masih baru, bersih, tak kalah saing dengan gedung kampus terkemuka yang berada di sebelahnya ; Universitas Tunis. Saat ini, Zaytuna memiliki 5 fakultas : Peradaban, Dirasat Islamiyyah, Seni Rupa, Multimedia dan fakultas Pascasarjana (S2 dan S3). Fakultas pascasarjana memiliki 4 program studi ; Syariah Islamiyyah, Ushuludin, Peradaban Islam dan Ilmu Faraid. Program studi yang disebutkan terakhir berkonsentrasi pada materi-materi fiqh keluarga (al ahwal as syakhsiyyah) dan ilmu waris. Di negeri yang dituduh sebagian orang sebagai ‘sekuler’ ini, konsep waris Islam diterapkan sebagai hukum positif negara.
Fasilitas pendukung studi seperti perpustakaan, mesjid, kantin mahasiswa dan fasilitas olah raga juga tersedia di sekitar kampus. Sistem administrasinya rapi dan serba komputer. Para pegawainya ramah, murah senyum dan kebanyakan masih muda. Di laboratorium fakultas Multimedia, ada fasilitas komputer internet gratis yang bisa dipakai sewaktu-waktu oleh mahasiswa.
Di Zaytuna, para mahasiswa wajib ikut kuliah. Jumlah mahasiswa yang hanya 30an orang per kelas sangat mendorong iklim dialog secara optimal. Dosen bisa akrab dengan para mahasiswa. Di kelasku sendiri, hanya ada 18 mahasiswa, dari berbagai negara. Beberapa dosen menerapkan sistem makalah, presentasi mahasiswa, lalu diskusi. Ada juga dosen yang mengajar dengan gaya ceramah, sambil sesekali mendiktekan materi yang penting. Dosen tidak menulis buku pegangan kuliah sebagaimana di Mesir, melainkan hanya membuat paper tematik. Dosen juga memberitahu judul-judul buku rujukan untuk kemudian dicari sendiri oleh mahasiswa. Untuk urusan yang satu ini, aku kerap merasa kewalahan karena ternyata dosen banyak menunjuk referensi buku-buku berbahasa Perancis.
Aktifitas kuliah seperti ini memacu mahasiswa untuk selalu hadir kuliah, rajin baca buku, menulis makalah, dan bicara di kelas. Serupa dengan yang kualami di IAIN Ciputat dulu. Hanya saja, di Ciputat, semua mahasiswi dan dosen wanita berkerudung. Sedangkan di kelasku sekarang, ada tiga dosen wanita, semuanya tak berjilbab. Dr. Ulfah, dosen Filsafat Hukum malah biasa membiarkan rambutnya terurai sampai pinggang. Ia biasa pake rok sebatas lutut. Betisnya tertutup sepatu yang tinggi. Dr. Dora, dosen bahasa Inggeris biasa memakai rok yang menutupi mata kaki. Tapi sayang sekali, leher dan bagian tengah dadanya dibiarkan terbuka. Lehernya yang jenjang hanya ditutupi syal yang melingkar. Senyumnya nyaris tak pernah berhenti, dari awal ngajar hingga selesai. Membuat darahku berdesir hingga terpaksa aku menunduk, pura-pura memelototi dan memegangi earphone di meja. Untuk mata kuliah bahasa, kami belajar di laboratorium bahasa. Sesekali ia membetulkan syalnya yang selalu bergeser. Perilakunya mirip Bu Dalia Alfred, dosen bahasa Inggerisku dulu di lembaga kursus Universitas Amerika, Kairo.
Dosen Ilmu Tafsir di S2 Ushuludin juga wanita tak berjilbab. Namanya Dr Munjiah. Ia terhitung sebagai dosen yang sangat disegani di lingkungan kampus. Artikel ilmiahnya kerap menghiasi jurnal-jurnal ilmiah di Tunis. Ia sering menjadi pembimbing haji para jemaah Tunis di Tanah Suci. Ia sangat fasih melafalkan ayat-ayat Alquran, berbicara soal kandungan dan tafsirnya, serta wacana-wacana lain seputar Alquran. Tapi ya itu tadi, kala mengajar, beliau biasa membiarkan rambutnya terurai, dipandangi para mahasiswanya yang sudah dewasa.
Ketika belajar dengan mereka, hatiku kadang berucap, kemana atuh jilbabmu teh, ibu guruku.. Itu komentar hatiku hari ini. Entah esok hari, entah lusa nanti…

Salam Manis dari TunisSabtu 27 Nopember 2005

Monday, January 16, 2006

Lablabi Makanan Tunis

Lablabi, Jagonya Sumsum Sapi


Borguiba Avenue, jantung kota tua, Tunis

Awal Januari lalu, seorang kawan mentraktirku makan malam dalam rangka syukuran ulang tahunnya. Aku diminta tentukan menu sendiri. Benar-benar kesempatan emas dan tak boleh dilewatkan. “Saya mau makan lablabi”, tuturku mantap penuh semangat, menerima tawarannya. Lablabi, makanan khas Tunis itu, memang sejak lama kuinginkan, bahkan kuangankan.

Menu utama lablabi adalah sumsum sapi. Lablabi mudah ditemukan di restoran, kantin atau rumah makan sederhana kota Tunis. Meski tak semua rumah makan punya lablabi. Harganya cukup murah ; 1,5 Dinar (12 ribu rupiah). Di restoran elit, mungkin sedikit lebih mahal.

Malam itu, aku bersama dua rekan tiba di sebuah rumah makan sederhana di Al Jazira Square, perempatan dekat stasiun Tunis Kota. Tahu bahwa aku ingin lablabi, seorang pelayan memberiku sebuah mangkuk besar dan sebongkah roti tawar, juga berukuran besar. Mangkuk itu terbuat dari tanah liat, berwarna coklat dengan hiasan gambar bunga di tepiannya. Lablabi dan kuskus, dua makanan populer Tunis, biasa disajikan dalam mangkuk seperti itu.

Lalu, roti tawar itu kupotong-potong pake tangan hingga berukuran kecil-kecil. Nyaris bubuk. Emang begitu perintah si pelayan. Aku nurut saja. Ukurannya sesuai selera masing-masing. Kulihat beberapa pasang muda-mudi Tunis yang mau makan lablabi, juga sedang sibuk memotong-motong roti. Sambil bercanda ketawa ketiwi, romantis, sekaligus bikin iri.

Jika roti itu telah bubuk, pelayan akan menumpahkan kuah panas berwarna coklat kehitaman ke dalam mangkuk. Kuahnya kental, maklum, isinya sumsum sapi campur bumbu. Lalu ditaburi irisan bawang merah, tomat, kacang rebus, cabe giling, serta telor rebus setengah matang. Wah, aromanya benar-benar membuatku menelan air liur.

Dengan bismillah, kucicipi sesendok kuah lablabi. Mataku berkedip-kedip. Wih, gurih buanged rasanya. Lalu, kuah lablabi itu kuaduk rata, seperti yang dilakukan orang-orang Tunis itu. Hingga rotinya bercampur, larut dalam kuah itu.

Untuk ukuran perut orang Indonesia, kayaknya, makanan semangkuk besar itu terlalu banyak. Tetapi, setiap teori memiliki pengecualian Hehehe, ga nyambung yach. Maksudku, jika makanannya adalah lablabi, mangkuk sebesar itu pun akan terasa kecil. Isinya tetap akan habis, meski disantap oleh orang Indonesia. Buktinya? Aku sendiri, hehehe, pada malam itu. Tak terasa, disantap sambil ngobrol, dalam terpaan udara dingin, lablabi hangat di mangkokku itu habis juga. Sebenarnya aku juga nyaris tak percaya, kok bisa menghabiskan porsi besar begitu. Ah, lablabi siiiiih.. bikin gemes..

Senin 9 Januari 2006
Salam Manis dari Tunis

Gila Dongeng

Anak-Anak Penggemar Dongeng

Kisah seorang anak kecil yang sangat terpengaruh oleh dongeng ayahnya tentang para bidadari yang mandi di telaga kala pelangi tiba –sebagaimana dituturkan Gola Gong dalam cerpennya berjudul Dongeng Sebelum Tidur - benar-benar mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Masa kanak-kanak yang semarak dengan dongeng.

Selama masa SD, antara tahun 1984-1990 di Sagaranten, sebuah desa 60 km selatan kota Sukabumi, hari-hariku tak jauh dari dongeng. Baik dongeng yang disampaikan secara lisan, maupun tulisan alias buku. Di sekolah, guru kelasku pandai mendongeng. Di madrasah agama sore hari, ustadku juga rajin mendongeng. Di pengajian usai magrib, kyaiku juga kadang suka mendongeng. Dan di rumah, hampir tiap malam sebelum tidur, ibu biasa mengantar tidurku dengan dongeng. Itu belum termasuk dongeng-dongeng yang kubaca sendiri dari buku cerita rakyat.

Guru kelasku di SD, Pak Hermanto, kerap mendongeng di sela-sela jam belajar. Tak sungkan-sungkan, ia memperagakan prilaku tokoh-tokoh dalam dongeng. Gairah cinta Sangkuriang terhadap Dayang Sumbi misalnya, ia ekspresikan dengan kalimat-kalimat puitis serta mimik muka mengharap khas pengemis cinta, hehe.. Memaksa jiwaku yang masih belia untuk bertanya-tanya penasaran, “begitu toh, prilaku orang yang mabuk cinta..?!” Kedunguan Pak Pandir dan Pak Belalang juga ia praktekkan dengan bahasa tubuh yang menggelikan. Hingga kemudian Pak Hermanto digandrungi para murid karena dongeng-dongengnya yang mengesankan.

Setiap acara pesta kenaikan kelas, para siswa menampilkan drama. Temanya diangkat dari dongeng-dongeng harian Pak Guru. Tahun 1988, sewaktu naik ke kelas lima, aku berperan sebagai Sangkuriang yang mabuk cinta itu. Tiga kawan lain memainkan drama berjudul Paisan Kosong. Ide ceritanya juga berasal dari dongeng harian. Tahun berikutnya, drama kami bercerita tentang petualangan si Donca dan si Lunca, dua anak desa yang menemukan sabuk emas milik Sang Raja di sungai. Kedua anak itu berniat mengembalikannya kepada sang Raja. Akan tetapi, di perjalanan, mereka menemukan banyak rintangan. Aku berperan sebagai ayah si Donca, sementara seorang murid perempuan menjadi ibunya. Dialog kami kala itu terasa canggung. Berdua di panggung, ditonton banyak orang. Malu banget.

Akan tetapi, kisah petualangan dua anak jujur itu tertunda. Baru pada pesta kenaikan kelas tahun 1990, episode keduanya dilanjutkan. Ceritanya, Si Donca dan Si Lunca sudah sampai istana, tetapi mereka berhadapan dengan gulang-gulang alias ponggawa kerajaan. Dalam episode kedua ini aku berperan sebagai Sang Raja, hehe.. Lucu juga. Perjalanan kedua anak itu memakan waktu setahun.

Di rumah, aku mendapatkan dongeng dari ibu. Hampir tiap malam menjelang tidur, ibu memberiku dongeng. Ibu yang hanya lulusan SMP tahun 1977 di Rengasdengklok, sangat pandai bertutur. Seperti Pak Guru di sekolah, ibu juga kerap memperagakan tingkah laku sang tokoh. Meski ia harus turun sesaat dari tempat tidur. Jika dongengnya lucu, ia pun berlagak seperti halnya pelawak. Hingga aku tertawa ngakak. Jika dongengnya sedih, aku ikut meneteskan air mata. Kesedihannya kadang terbawa ke alam mimpi.

Dongeng-dongeng ibu lebih banyak bertutur seputar kisah anak-anak nakal dan anak-anak saleh. Anak durhaka terhadap orang tua akan mendapat balasan siksa di hari tua. Seperti yang ia tuturkan dalam dongeng Si Boncel, anak desa yang mengusir ayah bundanya yang renta kala Boncel sudah jadi bupati. Di Tanah sunda, kisah Si Boncel ini sangat terkenal, seperti halnya kisah Malin Kundang di Tanah Minang. Kisah Si Sabar, seorang anak yatim piatu yang tinggal bersama ibu tirinya yang galak, dituturkan ibu penuh ekspresi. Ketabahan Si Sabar dalam menjalani hari-hari penuh siksa, membuatku terharu. Simpati pada anak yatim piatu, tiba-tiba hadir dalam benak. Juga kebencian pada ibu tiri. Imbas spontan dari dongeng. Ketabahan Si Sabar yang membuahkan ujung bahagia, kala akhirnya ia bisa menikahi puteri raja yang ia temui di telaga, benar-benar memacuku untuk selalu optimis bahwa kebaikan masa kecil akan membuahkan bahagia di hari tua. Ah, lewat dongeng, rupanya ibu sedang berusaha membesarkan jiwa anaknya.

Selain dari ibu, aku mendengarkan dongeng dari radio. Ikut-ikutan trend orang desa yang menggandrungi acara-acara dongeng Sunda di radio-radio kota Sukabumi. Pada jam tertentu, siaran dongeng radio terdengar dari hampir setiap rumah. Hingga di ladang pun, orang-orang di desaku bekerja sambil mendengarkan dongeng.

Tema-tema dongeng Sunda di radio lebih didominasi oleh kisah cinta dan cerita alam pesilatan. Dongeng kisah cinta Den Kalana dan Nyi Balebat yang penuh liku, atau petualangan Si Tumpeng dalam kisah Ti Nu Poek Ka Nu Caang di radio Fortuna, selalu dinanti orang-orang desaku dengan antusias. Barangkali mirip warga Betawi yang menanti sinetron Si Doel di RCTI. Di radio Fortuna, juru dongengnya adalah Mang Dina. Di radio Airlangga, ada Mang Dedi yang juga populer karena dongeng-dongeng humornya. Di radio Cianjur, ada Wa Kepoh yang terkenal karena dongeng laga yang berjudul Si Rawing. Aku juga pendengar setianya. Si Rawing adalah seorang pendekar kampung yang memiliki daun telinga satu. Satu lagi robek kesabet parang. Ayahnya, Wikarta, tewas dibunuh penjajah Belanda. Guru silatnya, Ki Debleng, adalah sosok yang sakti, tetapi suka melucu. Petualangan Si Rawing dalam membebaskan Tanah Sunda dari penjajahan asing diwarnai aneka kisah suka, duka dan juga kisah cinta. Barangkali mirip dengan petualangan Wiro Sableng. Sekitar tahun 1990, kisah Si Rawing diangkat ke layar perak. Sewaktu film itu diputar di desaku beberapa saat kemudian, ribuan penonton datang membludak. Keramaian orang menonton layar tancap malam itu mengalahkan pesta Agustusan.

Acara dongeng radio dimulai jam 13.15an usai berita RRI. Jika kebetulan ada laporan berita khusus, maka dongeng pun terlambat, atau tertunda sama sekali. Aku pun kecewa. Pulang sekolah aku kerap berjalan terburu-buru hanya karena takut ketinggalan acara dongeng. Kadang aku pulang ke rumah kawan, lalu mendengarkan dongeng bareng-bareng.

Aku sangat mengagumi kepiawaian sang pembaca dongeng, yang bisa membedakan suara masing-masing tokoh secara konsisten. Khusus untuk suara perempuan, Mang Dina memang jagonya. Ia bisa memperagakan suara wanita muda dan nenek tua, suara wanita kala tertawa senang atau tertawa sinis. Pun juga wanita menangis tersedu serta wanita marah. Suara kakek tua dan anak kecil juga terdengar beda. Dari suaranya, aku kadang menebak-nebak, “wah, kayaknya Nyi Balebat itu seorang gadis yang cantik. Den Kalana itu orangnya gagah dan tampan....”. Imajinasiku bermain-main dengan alur cerita atau suara tokoh dalam dongeng.
Di sekolah diniyah sore hari, aku juga punya guru yang rajin mendongeng. Ustad Oban, guru tetapku, biasa menyampaikan pelajaran Tarikh (sejarah) dengan gaya dongeng. Pun juga kyai yang mengajariku mengaji usai magrib, Mang Guru Ali. Kyai berusia setengah baya ini, tak hanya tekun mengajari kami alif ba ta tsa plus tajwidnya, tetapi juga rajin mendongeng. Tingginya pekerti Rasul, jahatnya karakter Abu Jahal, serta sikap teladan para sahabat, ia tuturkan secara demonstratif. Benar-benar seru sekaligus mengesankan. Kisah-kisahnya mudah melekat dalam benak dan sulit dilupakan.

Tak puas dengan dongeng lisan, aku pun memburu dongeng dari buku. Kebetulan ayahku seorang guru SD di desa tetangga. Ia kerap membawa buku cerita dari sekolahnya. Cerita anak-anak tentunya. Hingga lemari kecil di rumahku penuh dengan buku. Dan aku, selalu melahap habis semua buku cerita yang dibawa ayah. Usai mendengarkan dongeng radio, tak jarang aku membaca buku-buku cerita itu hingga tertidur pulas.

Tema-tema buku cerita yang dibawa ayah sangat beragam. Ada cerita sejarah seperti Jaka Tingkir, Kisah Nabi dan Sahabat, atau juga cerita lucu seperti Si Kabayan. Cerita tentang Sang Kancil dan Buaya juga kubaca. Hobiku pada dongeng di buku ternyata menumbuhkan tradisi baca. Aku pun keranjingan membaca dan pada tahapan berikutnya aku mampu membaca cepat.
Komik lucu serial Petruk-Gareng karya Tatang S pun tak kulewatkan. Puluhan judulnya kumiliki. Dibeli ayah jika kebetulan ke kota. Aku menyukai gambar-gambar kartunnya yang lucu, juga jalan ceritanya yang fantastic. Seperti kisah petualangan Gareng ke planet Pluto, pertemuannya dengan piring terbang alias UFO, serta kisah-kisah mistik Petruk si hidung panjang itu, kala ia berkelahi dengan para genderuwo. Membuat anganku melayang, membayangkan kemungkinan terjadinya persitiwa-peristiwa aneh itu di alam nyata. Tak jarang pula aku bergidik ketakutan lalu malamnya mimpi buruk.

Ah, emosiku sering terlarut seiring cerita dongeng. Dongeng lucu Si Kabayan kerap membuatku tertawa terbahak-bahak. Dongeng sedih ibu tak jarang membuatku terisak. Dongeng horor kerap menghantui malam-malamku hingga tidur tak tenang.

Maklum, dunia anak adalah dunia dongeng, dunia permainan, dunia pembelajaran. Maka dongeng bisa menjadi kisah teladan bagi anak, dongeng bisa menakut-nakuti anak, dongeng bisa merangsang imajinasi anak. Dongeng bisa jadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan bagi anak. Jika disampaikan secara proporsional, dongeng bisa mendongkrak rasa percaya diri dan mental positif sang anak. Dampak negatifnya, kegandrungan pada dongeng bisa membuat anak abai dari tugas belajar atau mengaji. Pokoknya, dongeng adalah segalanya bagi seorang anak.

Menyadari hal itu, aku menjadikan dongeng sebagai salah satu metode mendidik anak. Kala kuliah di IAIN Ciputat, aku sempat mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak Alquran (TKA) selama tahun 1999-2001. Dari lima ustad yang ada, aku dikenal sebagai ustad pendongeng. Gara-gara aku kerap menyelipkan dongeng di tengah materi pelajaran Iqra. Setiap hari Jumat, para santri dari lima kelas, belajar bersama di aula. Pelajarannya berupa mewarnai gambar, kaligrafi dan mendongeng. Nah, untuk mendongeng ini, aku menjadi petugas tetapnya. Wuih, senang sekali. Aku senang memperhatikan mimik lucu anak-anak murid yang mungil, kala mereka terlarut oleh dongeng. Atau tawa lepas mereka yang tanpa beban, kala aku bertutur kisah jenaka. Kisah sedih Yusuf as yang dibuang saudara-saudaranya ke dalam sumur tua kututurkan dengan ekspresif. Imbasnya, butir-butir bening air mata, menetes dari sudut-sudut indah bola mata anak-anak manis itu.

Jika kebetulan pulang kampung, aku kerap menggantikan Mang Guru Ali mengajari anak-anak desa mengaji usai magrib di surau. Biar beliau istirahat. Nah, di sela-sela pelajaran Alquran, aku biasa menyelipkan dongeng. Berupa kisah para Nabi, para ulama sufi atau kisah hikmah lainnya, tetapi dengan sentuhan emosional sebisanya. Meniru guru kelasku di SD atau ibuku dahulu. Suara para tokoh juga kubedakan, seperti dalam dongeng radio. Dan anak-anak santri kecil itu, duduk melingkariku sembari terdiam terpana. Sisi-sisi buruk dan baik dalam cerita kututurkan secara jelas, agar mudah dicerna dan diapresiasi oleh alam pikiran mereka yang masih sederhana. “Firaun itu raja yang sangat jahat dan prilakunya jelek. Rambutnya kusut dan banyak ketombe, mukanya hitam karena jarang mandi..”. Dan anak-anak itu spontan komentar sambil nyengir, “Jorok yach, Firaun itu”, “Ih, amit-amit”, “Aku tak mau kayak Firaun”, dan seterusnya. Jika ada komentar-komentar begitu, aku sebagai pendongeng sangat merasa senang. Artinya, sikap kritis dan imajinasi dini mereka akan menajam secara perlahan.

Siang harinya, tak jarang anak-anak kecil itu berdatangan ke rumah, mencari aku. “Aya naon barudak?”, tanya ibu di beranda. “Aya Mang Dede teu Bu..?! Kami ingin dongeng..”, kata anak-anak manis itu. Ah, dongeng memang selalu dirindukan oleh anak-anak...

Jumat 13 Januari 2006Salam Manis dari Tunis

Wednesday, January 04, 2006

Pulau Yahudi

Metik Kecapi di Pulau Yahudi


Diatas ferry penyeberangan ke Djerba
Seekor camar melayang rendah, dan begitu saja hinggap di geladak kapal ferry yang kutumpangi. Seolah tak takut dengan puluhan manusia yang berdiri berjejer di sana. Biru laut tetap kentara meski dalam keremangan senja. Matahari yang hampir sembunyi di ufuk barat masih sempat mengirimkan cahayanya yang hangat. Saat itulah, semburat keemasan mencuat dimana-mana. Pada angkasa yang luas, pada air laut yang tenang, pada pepohonan di pantai daratan Afrika yang baru saja kutinggalkan, dan mungkin saja pada hati setiap orang ada di atas ferry. Kulemparkan pandangan ke depan sana, pulau Djerba yang sesaat lagi akan kusambangi nampak samar.

Keindahan senja Jumat 30 Desember 2005 di Laut Tengah, saat aku meninggalkan Pantai Jorf, 483 km selatan kota Tunis, menuju Djerba, memang sulit kulukiskan. Senja yang temaram, di tengah laut yang berair tenang dan semilir angin yang dingin.

Jorf ke Djerba hanya terpaut jarak 7 km. Saat menanti giliran naik ferry, aku duduk di kafe tepian pantai, sembari mereguk nescafe panas. Pengusir dingin. Antrian bis wisata dan kendaraan pribadi memanjang hingga 50 meteran. Maklum, menjelang tahun baru. Mirip suasana penyeberangan Terusan Suez di kota Ismailiya, Mesir, yang dulu sering kukunjungi.

Djerba hanyalah pulau kecil. Luasnya kira-kira 550 km persegi. Tetapi ia layak dikunjungi karena pesona keindahan pantai serta nilai sejarah yang dimilikinya. Di kawasan er Riyadh, tengah-tengah pulau, terdapat sebuah synagog Yahudi tertua di Afrika, yang didirikan pada abad ke-6 SM. Menurut cerita, kala itu orang-orang Yahudi dari Jerussalem melarikan diri ke Djerba, menghindari kekacauan yang terjadi di Jerussalem. Hingga kini, keturunan mereka masih ada di Djerba, dan synagog itu dirawat apik. Synagog Djerba kini menjadi salah obyek wisata spiritual terpenting bagi umat Yahudi. “Setiap bulan Mei ada ritual keagamaan yang dihadiri orang-orang Yahudi Arab dan Afrika”, tutur seorang senior.

Tetapi tujuan utamaku ke Djerba kali ini bukan untuk ziarah ke synagog Yahudi itu. Aku datang untuk metik kecapi di sebuah acara tahun baru yang diadakan oleh komunitas masyarakat Indonesia di Tunisia dan Libya. Kecapiku mengiringi haleuang 3 lagu Sunda terkenal ; Kalangkang, Sorban Palid dan Bubuy Bulan. Seperti yang kualami pada malam tahun baru 2002 lalu di Kairo. Selain itu, aku memanfaatkan perjalanan ke Djerba ini untuk refreshing, melupakan kepenatan dan rutinitas akademis yang menjemukan itu.

Senja itu, saat ferry bergerak perlahan, bibirku bergetar, menggumamkan doa pada Allah Yang Kuasa. Penyeberangan ini hanya 15 menit, tetapi selayaknya aku berpasrah diri pada-Nya.

Aku berdiri mematung, memandangi lautan biru. Aku terlena dengan keindahan senja dan riak-riak air laut. Aku lupa akan kelelahan tubuh usai duduk tujuh jam di bis, dari kota Tunis ke Jorf. Ya, tujuh jam, untuk jarak 483 km. Pemandangan sepanjang jalannya monoton, tak banyak variasi. Tak lebih dari perkebunan zaitun dan kurma, perkampungan penduduk serta sesekali pantai Laut Tengah.

Dari perjalanan darat itu, aku melihat bahwa Tunisia jauh lebih hijau ketimbang dua negara yang pernah kukunjungi ; Mesir dan Saudi. Pantas dinamakan Tunis al Khadra. Meski hijaunya bukan karena hutan lebat atau pepohonan yang tinggi. Melainkan karena perkebunan zaytun, kurma, pohon pinus atau sesekali kebun palawija.

Pada jarak 156 km dari kota Tunis, aku melewati Kairouan, kota Islam tertua di Afrika Utara. Kota yang didirikan oleh sahabat Nabi, Uqbah bin Nafi pada tahun 50 H. Mesjid Uqbah masih berdiri tegar hingga saat ini. Juga sejumlah zawiyah lainnya. Suatu saat aku berharap bisa berziarah ke sana. Insya Allah. Di pintu gerbang kota Kairouan, terdapat tugu besar bercorak lukisan karpet. Maklum, di Tunisia, Kairouan terkenal sebagai kota karpet.

Pemandangan sepanjang jalan dari Kairouan ke kota-kota berikutnya ; Gabes dan Mareth pun tak beda ; membosankan. Hanya sempat dua kali mampir di restoran, sekedar makan siang dan beristirahat salat. Di Gabes, kota yang terkenal karena buah delimanya, 405 km dari Tunis, aku menikmati legmi, tuak khas Tunis yang disadap dari pohon kurma. Serupa wedang dari pohon aren untuk bahan gula merah yang sering dibikin oleh kakek-nenekku dulu di desa. Saat aku mereguk legmi untuk gelas yang ketiga, seorang kawan orang Tunis nyeletuk, “hati-hati, kalo banyak anda bisa mabuk”. Aku hanya nyengir. Tak peduli. Salah sendiri kenapa legmi itu enak.
# # #


Suasana dalam synagog Yahudi, Djerba

Cukup waktu dua jam untuk berkeliling pulau Djerba. Maklum, diameter pulau ini hanya 25 km. Tiga kota pentingnya adalah Fallalah, Midoun dan Hammet Souk. Fallalah adalah kota pusat kerajinan tembikar. Midoun adalah kota dekat kawasan utama wisata pantai, lokasi hotel-hotel berbintang berada. Hammet Souk yang terletak di pantai utara, adalah “ibukota” Djerba. Kotanya bersih dan rapi, hijau serta tentu saja indah. Hammet Souk memiliki sebuah bandara internasional.

Senja Sabtu (31/12) aku berkesempatan berkunjung ke Hammet Souk. Usai berkeliling Djerba, melihat-lihat aneka tembikar cantik di Fallalah dan synagog Yahudi di er Riyadh. Di Hammet Souk, aku menelusuri pasar tradisional penjual kerajinan tangan khas Djerba - seperti aneka ukiran keramik, tembikar dan perhiasan - yang menempati komplek luas di alun-alun. Mirip komplek pertokoan permata di Martapura yang pernah kukunjungi tahun 2000 lalu.

Di pelataran beraspal dekat taman kota, sekelompok pemuda menggelar panggung musik. Cukup menarik perhatian para pejalan kaki. Aku ikut berdiri di sela-sela ratusan penonton. “Ini adalah pertunjukan musik Rai”, tutur seorang pemuda Tunisia yang kutanya. Musik Rai ? Apa ada kaitannya dengan Ade Rai? Oh, tiba-tiba aku ingat grup musik Sting, dengan lagu Rose Dessert-nya yang hit beberapa tahun lalu. Saat di Kairo, aku punya klipnya. Dalam lagu itu, Sting menggaet Syabmami, penyanyi musik Rai terkenal asal Aljazair yang kini bermukim di Paris. Rai memang musik khas Aljazair. Lagunya Arab, tetapi iramanya nge-reff. Berbeda dengan musik-musik Arab lainnya. Album musik Rai milik artis-artis Aljazair semisal Syabfaudal, Syabtoha atau Syabmami, saat ini beredar luas di pasaran kota Tunis.

Saat irama musik rai itu menggelegar, aku nyaris ikut bergoyang bersama orang-orang Tunis, jika saja tak diingatkan oleh seorang rekan, bahwa kami harus segera kembali ke hotel.

Dengan berat hati, aku ngeloyor pergi. Rai, kau kusapa lagi lain kali yach, gumam hatiku. Saat bis bergerak, aku terus mengarahkan pandangan ke arah panggung Rai hingga hilang dibalik belokan.

Tapi ternyata, aku tak rugi meninggalkan Rai. Ada keindahan lain yang kutemukan sepuluh menitan kemudian. Kala bis menyusuri dermaga Pelabuhan Hammet Souk yang tidak terlalu luas, menghampiri belasan perahu sedang berwarna coklat keemasan. Kontras dengan sinar merah dari ufuk senja di arah barat sana. Tak berkedip aku memandangi perahu-perahu indah itu. Bentuknya menarik, kerangka tiang dan layarnya tertata rapi. Mirip perahu-perahu layar milik para petualang Eropa abad pertengahan yang kulihat di film-film. Sayang sekali, aku tak bisa turun sekedar untuk foto, mengekalkan keindahan senja itu.
# # #

Selain melewati penyeberangan ferry dari Pantai Jorf, ada jalan lain menuju Djerba. Yakni melewati jalan el Qantara, yang menghubungkan Djerba Timur dengan Pantai Jerjis, di daratan Afrika. Jalan lurus dan beraspal ini memiliki lebar 5 meter, kiri kanannya disangga bebatuan besar. Menurut cerita, jalan yang melintasi Selat Djerba sejauh 5 km ini dibangun oleh orang Romawi pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Hampir berbarengan dengan eksodus kaum Yahudi dari Jerussalem itu.

Saat melintasi jalan itu hari Ahad pagi, aku ingat Nabi Musa yang membelah Laut Merah dan Nyi Roro Kidul yang naik kereta kuda melintasi Laut Selatan. Anganku berfikir, kerja orang-orang Romawi mengangkut batu dan tanah hingga terbentuk jalan itu sangat luar biasa. Saat teknologi masih sederhana. Nabi Musa as bisa melintasi Laut Merah karena mukjizat dari Tuhan. Nyi Roro Kidul khan hanya legenda, yang belum tentu benar adanya.

Seorang kawan bertutur bahwa semasa Libya masih diembargo, jalan ini sering dilewati orang asing yang keluar-masuk Libya. Terutama ratusan tenaga ahli Korea Selatan untuk pembangunan bendungan besar di Libya. Orang-orang Korea itu bekerja secara shift per 3 bulan. Dari Libya, mereka naik kendaraan darat ke Djerba, lalu terbang ke negerinya melalui bandara internasional Hammet Souk itu. Dari Jerjis ke perbatasan Libya memang hanya 90 km lagi.

Sayang sekali, indahnya jalan el Qantara juga kulewatkan tanpa kenangan foto. Para penumpang tak dibolehkan turun dari kendaraan. Aku hanya sempat memotret dari balik kaca belakang bis. Tapi, tak apalah. Karena suatu saat, toh foto atau gambar lahir bakal usang. Sedangkan kenangan dan keindahan yang terpatri dalam hati, itulah yang abadi. Seperti halnya kenangan indahku di Djerba, saat melepas dua ribu lima...

Selamat Tahun Baru 2006, dan Salam Manis dari Tunis.

Selasa 3 Januari 2006

Monday, January 02, 2006

Baca Buku di Tunis

Beli Buku di Kairo, Baca Buku di Tunis

Kawasan Tahrir, Kairo, yang sarat dengan toko buku


Kita merasakan nikmat sehat itu jika kita pernah merasakan sakit. Kita bisa menilai sesuatu yang indah karena sebelumnya kita pernah melihat sesuatu yang jelek. Analogi ini barangkali bisa melukiskan penilaian sekaligus pengalaman saya soal buku dan tradisi baca di dua negara Arab yang pernah saya tinggali ; Mesir dan Tunisia.

Setibanya di kota Tunis, saya semakin menyadari bahwa Kairo memang surga buku. Di kota Kairo, makhluk yang namanya buku itu berserakan dimana-mana, temanya beragam, harganya pun murah-murah. Berbeda dengan di Tunis ; tak seberapa banyak, tema terbatas dan harganya lebih mahal.

Saat masih di Kairo, saya senang jalan-jalan menelusuri Tahrir, kawasan down town-nya Kairo. Selain karena keindahan Nil dan gedung-gedung tuanya, Tahrir juga menarik perhatian saya karena toko-toko bukunya. Terutama toko-toko buku agama. Di Talaat Harb Square, ada dua toko buku besar dan terkenal ; Dar Shourouq dan Madbouli Kabir. Keduanya sama-sama penerbit, dan dikenal karena buku-buku pemikiran kontemporernya. Jika kebetulan mengantar tamu pejabat atau dosen dari Jakarta yang hendak belanja buku agama, saya biasa membawa mereka ke dua toko ini.

Masih di Tahrir, ada toko buku besar yang terkenal karena buku turas-nya ; Dar al Maarif. Ia memiliki banyak cabang di kota Kairo. Mungkin juga di luar negeri. Karya-karya Abdul Halim Mahmoud, grand syekh Al Azhar tahun 1960an tersedia lengkap di sini. Dar al Maarif juga terkenal karena buku-buku mininya, seukuran buku saku yang dijual seharga 2,5 Pound (Rp 3500), tetapi kualitasnya bagus. Misalnya saja buku al Muamalat fil Islam karya Sayyed Thantawi, grand syekh Al Azhar sekarang. Buku ini memuat gagasan-gagasan awalnya soal kehalalan bunga bank, sebelum ia menuliskannya dalam bukunya yang lebih besar ; Muamalatul Bunuk wa Ahkamuha as Syar’iyyah. Selain itu, ada juga buku-buku agama karya pemikir terkemuka Muhammad Imarah, Abbas al Aqqad serta buku-buku sastra Arab.

Dua ratusan meter arah belakang Dar al Maarif, ada Dar al Kutub al Lubnani dan Dar Kutub al Misry. Juga markas buku-buku keagamaan klasik/turas. Kitab-kitab klasik yang jarang dimiliki toko buku lain biasanya ada di sini.

Di Atabah, kawasan dekat Tahrir, toko buku agama juga bejibun. Meski tokonya kecil-kecil, tetapi mereka biasanya memiliki koleksi buku-buku menarik. Seperti toko buku Nahdhah Masr yang menyediakan karya-karya Yusuf Qardhawi secara lengkap.

Toko-toko buku di Tahrir dan Atabah menempati komplek pertokoan yang rapi di kawasan perkotaan. Sedangkan di belakang Mesjid Al Azhar, puluhan toko buku kecil berderet, menempati kios-kios sempit, di tengah komplek pemukiman kumuh nan berdebu. Jalananya tak beraspal, sempit dan berkelok-kelok. Beberapa bagian jalan itu malah berfungsi sebagai pasar tradisional. Tapi jangan salah, di tengah suasana kumuh ini buku-buku agama bertumpuk, dengan harga yang relatif lebih murah, dibawah standar harga di toko-toko lain. Diantara toko yang terkenal di sini adalah Darul Bayan dan Maktabah Taufikiyyah.

Bagi penggemar buku yang enggan keluar duit banyak tetapi ingin buku bagus, bisa belanja di Pasar Azbakia alias pasar loak. Meski ternyata tak semua buku di azbakia adalah bekas pakai. Ada juga yang masih baru.

Di Kairo, penjual buku azbakia tersebar di berbagai penjuru kota. Ada yang digelar di emperan trotoar alias kaki lima, seperti yang sering saya lihat di dekat stasiun Metro di Dokki serta di dekat Nadi Shaid, Mohandesen. Di tepian tumpukan buku-buku itu tertulis, kullu hagah bi gneh. Semua buku seharga 1 Pound. Murah banget. Ada juga azbakia yang menempati kios-kios, seperti komplek pasar buku loak di kawasan Senen, Jakarta.

Di Kairo, pasar azbakia yang paling terkenal adalah Pasar Azbakia Atabah. Tak jauh dari terminal bis Atabah. Berupa deretan 30an kios kecil, masing-masing seukuran 3x3 meteran. Berbelanja di sana, kita harus pandai menawar. Para penjual itu memang biasa menaik-naikkan harga buku. Seorang kawan yang kolektor buku, punya trik jitu memperoleh buku murah. Ia mengakrabi beberapa orang pedagang langganan. Saking akrabnya, para pedagang itu tahu nama sang kawan serta selalu menyambut kedatangan sang kawan dengan muka ceria dan sapaan akrab. Hasilnya, sang kawan biasa mendapat buku bagus dengan harga 3 hingga 4 pound. Seperti buku Hayat Muhammad-nya Husein Haikal yang dijual seharga 30 Pound di toko lain.

Buku-buku lama karya penulis kontraversial yang jarang beredar di pasaran terkadang bisa kita temukan di azbakia. Seperti karya-karya Said Ashmawi, Farag Fauda atau Nasr Hamid. Para pedagang biasanya tahu bahwa buku-buku itu terlarang dan dicari orang. Karena itu mereka menaik-naikan harga dulu. Tetapi jika kita pandai bahasa Arab Mesir serta mau sedikit berbasa-basi memuji-muji pedagang, harga-harga buku itu akan turun. Dari 20 Pound bisa berubah hingga 3 pound.

Itulah Kairo, dengan toko-toko buku agamanya yang berserakan dan murah. Saya bersyukur bisa menikmati suasana ini, sempat membeli beberapa buku lalu mengirimkannya ke tanah air. Buat bekal nanti di sana, insya Allah.

Saya kenal beberapa mahasiswa Indonesia di Kairo yang hobi koleksi buku. Satu diantaranya adalah seorang kawan dari Karawang, yang memiliki koleksi buku hingga 36 dus besar seukuran karton Malboro. Ia membeli berbagai kitab tafsir, hadis, fiqh berbagai mazhab, ushul fiqhnya, serta aneka buku keislaman lainnya. Padahal sang kawan bukan pembaca buku. Tapi semangat beli bukunya itu benar-benar patut mendapat acungan jempol. Ia biasa beli buku secara lengkap. Misalnya, jika ia tertarik dengan Hassan Hanafi, maka ia mencari seluruh karya Hassan Hanafi. Ia juga rajin mendatangi para mahasiswa yang akrab dengan buku, lalu menanyainya, buku baru apa yang sekarang sedang trend? Jika sang mahasiswa itu bisa menjawab secara meyakinkan, maka sang kawan akan segera membeli buku itu.

Murahnya buku di Kairo memang tak lepas dari dukungan pemerintah. Kampanye gemar membaca terus didengungkan. Industri kertas mendapat subsidi yang besar, hingga buku dan koran bisa diakses dengan mudah oleh rakyat. Koran Al Ahram yang terbitan Kairo - harian terbesar di Timur Tengah - dicetak dua gelombang per hari. Di Mesir, Al Ahram dijual seharga 0,75 Pound = seribu rupiah. Aneka majalah mingguan – termasuk edisi keagamaan- bisa kita nikmati juga dengan harga murah. Roz el Youssef, mingguan terkemuka Mesir setebal 100 halaman, dijual seharga 2 Pound. Popularitasnya semisal Gatra atau Tempo di Indonesia. Ada juga mingguan seharga 1 Pound, semisal Al Usbu (politik oposisi), Al Qahirah (seni-budaya), Shaut al Azhar, al Liwa al Islamy (agama) dan lain-lain. Untuk edisi mingguan, Al Ahram punya edisi berbahasa Perancis (terbit Rabu), edisi Inggeris (Ahram Week, Kamis) serta edisi Arab (Ahram Araby, Jumat).

Murahnya harga koran terbukti mendongkrak tradisi baca orang Mesir. Tukang koran sangat mudah dijumpai di hampir setiap sudut jalan. Setiap pagi koran-koran harian menumpuk di sana. Lewat tengah hari, koran-koran itu jarang tersisa. Mingguan terbitan hari Sabtu, biasanya sulit dijumpai pada hari Senin sore. Mingguan kesukaan saya, Al Qahirah dan Rouz el Youssef, biasa saya beli pada hari pertama mereka beredar ; Selasa dan Sabtu.

Bentuk lain dari perhatian pemerintah terhadap buku di Mesir adalah adanya Maktabah al Usroh (MU), perusahaan penerbitan yang disponsori langsung oleh Suzan Mubarak, ibu negara. Saya tidak tahu pasti soal angka-angka subsidi pemerintah itu. Yang jelas, setiap tahun, MU mencetak puluhan buku, meski terkadang ada buku-buku yang pernah dicetak sebelumnya oleh penerbit lain. MU banyak berkonsentrasi pada buku-buku sastra, sejarah, kebudayaan dan agama. Semboyannya adalah Mahrajan lil Jami, pameran buku untuk semua kalangan. Harga bukunya - seingat saya – hanya ada 3 tingkatan ; 2 Pound untuk buku kecil, 4 Pound untuk buku sedang, dan 7 Pound untuk buku besar. Buku karya Ahmad Amin yang terkenal, Dhuha al Islam, dicetak ulang oleh MU lalu dijual seharga 4 Pound. Jauh lebih murah dari harga aslinya yang mencapai 20an Pound. Setiap musim panas, MU menggelar bazar buku murah di sejumlah tempat di Kairo. Cabang toko bukunya banyak, satu yang sering saya kunjungi adalah yang terbesar di Atabah, samping gedung Pengadilan Tinggi itu. Saat ini, 15 persen dari koleksi buku saya adalah terbitan MU, hehehe….

Program bazar murah seperti ini bukan hanya milik MU saja. Banyak penerbit lain yang menggelar acara serupa. Penerbit terkenal, Muassasah Risalah biasa menggelar bazaar murah pada awal Ramadhan di mesjid Rab’ah. Saya membeli buku Fiqh al Zakat-nya Qardhawi dan al Tasyri al Jina’i al Islamy-nya Ali Audah di arena ini. Dengan harga masing-masing 40 dan 60 Pound. Dar al Maarif mengadakan bazaar dengan cara sendiri ; berupa pemberian diskon 20 persen selama bulan Ramadan setiap tahunnya.

Bagi para peminat buku di tanah air yang hendak berbelanja ke Kairo, saya menyarankan berangkat ke Kairo pada akhir Januari setiap tahunnya. Ada arena Pameran Internasional Buku atau Al Ma'rad al Qahirah ad Dauli lil Kitab. Menurut cerita, ini adalah pameran buku terbesar kedua di dunia setelah pameran Frankfurt. Untuk kategori pameran buku agama, ini adalah yang terbesar.

Pameran tahun 2006 adalah yang ke-38. Biasanya digelar selama 2 minggu. Pameran tahun 2004 diikuti oleh 3150 stand toko buku, dari 97 negara. Dari angka 3150 itu, 650 diantaranya adalah stand non Arab, 900 stand Arab non Mesir, dan 1600 stand Mesir. Pada pameran tahun 2005, 4 juta buah buku masuk ke arena ini dari 90 negara, termasuk stand IKAPI. Tahun 2005 juga, ada 30 orang perwakilan penerbit Islam di tanah air datang berbelanja di arena ini.

Di arena itu, semua penerbit Mesir dan Arab berkumpul, menempati stand-stand pameran yang saling berdekatan. Kita bisa berbelanja di berbagai toko buku tanpa harus berlelah-lelah mengunjungi kantornya di Tahrir, Atabah, Al Azhar, atau di tempat lain di Kairo. Penerbit-penerbit besar luar Mesir semisal Dar al Fikr al Islami atau Maktabah Ubaikan juga turut serta. Di arena ini juga, kita bisa membanding-bandingkan harga buku lebih dahulu sebelum membelinya. Para mahasiswa Kairo biasa menjadikan pameran ini sebagai ajang beli buku. Saya membeli Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu-nya Wahbah Zuhaili yang 11 jilid, Fathul Bari yang 13 jilid, juga beragam kitab-kitab klasik mujalladat lainnya pada pameran 2002.

Pameran Buku 2006 kini telah diambang pintu. Saya jadi kangen Kairo. Kangen buku-bukunya yang murah. Di Tunis, kota tempat tinggal saya sekarang, harga buku lebih mahal. Jumlah dan macam bukunya juga terbatas. Tak seperti di Mesir ; kaya dengan buku-buku agama dengan beragam corak ; dari yang paling kiri hingga yang paling kanan. Maklum, Mesir negeri besar – penduduknya 70 juta jiwa- sedangkan Tunisia adalah negeri berpenduduk 10 juta. Tradisi keilmuan di Mesir jauh lebih kuat, meski sama-sama memiliki perguruan tinggi Islam yang berumur lebih 1000 tahun ; Zaytuna dan Al Azhar. Mahasiswa asing di Al Azhar lebih 20 ribu orang. Wong orang Indonesia saja ada 4000an. Di Tunis, saat ini mahasiswa Indonesia hanya 13 orang, dari total jumlah mahasiswa asing 377 orang dari 34 negara. Berarti, rata-rata 11 orang per negara. Pemerintah Tunisia memang sangat membatasi jumlah penerimaan mahasiswa asing, karena menyangkut persoalan fasilitas, beasiswa dan pertimbangan lain.

Hanya saja, sejauh yang saya tahu, di Tunisia, buku-buku pemikiran kontemporer nan liberal lebih diapresiasi oleh pemerintah dan kalangan akademisnya. Berbeda dengan Mesir yang masih agak sensitif dengan pemikiran liberal. Di Universitas Zaytuna, buku-buku para pemikir progressiv semisal Hassan Hanafi, Abed al Jabiri, Abdullah al Urwi dan Ali Harb, dijadikan referensi resmi perkuliahan. Tak heran, jika buku-buku itu banyak dijumpai di perpustakaan atau toko-toko buku kota Tunis. Trilogi-nya Ali Harb (An Nash wa al Haqiqah) berderet berdampingan dengan Fathul Bari, kitab syarah hadis Nabi.

Untuk literatur pendukung studi Islam, koleksi buku di toko-toko buku kota Tunis sepertinya cukup memadai. Empat toko buku besar di Borguiba Avenue, down town-nya Tunis, memiliki koleksi buku yang beragam. Ada buku-buku keislaman klasik yang berjilid-jilid, ada juga buku-buku keislaman kontemporer, buku-buku sosiologi, sastra, ilmu komputer, hingga kamus bahasa. Mereka juga punya koleksi buku-buku berbahasa Perancis, yang jumlahnya nyaris menyamai buku Arab. Saya lihat, buku-buku berbahasa Perancis itu terbitan Tunisia juga, berisi tema-tema umum seperti sejarah dan juga tema agama.

Persoalannya adalah pada harga yang relatif lebih mahal dari Kairo. Di sebuah toko buku di Borguiba Avenue, Kitab Ihya Ulumuddin karya Al Gazali dijual seharga 12 Dinar (10 Dolar). Di Kairo, saya dulu beli seharga 28 Pound (5 Dolar) , terbitan Maktabah al Iman, sebuah penerbit di kota Manshura, Mesir.

Di Bab Manara, kawasan Old Tunis, ada toko buku Muassasah Ibnu Asyur. Ibnu Asyur - nama lengkapnya Muhammad Thahir bin Asyur - adalah ulama terkemuka Tunisia yang meninggal tahun 1972. Diantara karya besarnya adalah buku Maqasid al Syariah al Islamiyyah. Di Kairo, buku ini dicetak oleh penerbit Darus Salam dan dijual seharga 20 Pound. Di Ibnu Asyur, buku serupa dijual seharga 6 Dinar ( 30 Pound). Toko ini sepertinya hanya menjual buku-buku agama. Saya melihat banyak buku agama terbitan Dar Tunis lit Tauzi’ dijual disini.

Salah satu momen berharga untuk menambah koleksi buku di Tunis adalah pameran buku internasional yang biasa digelar setiap bulan Maret, di kawasan Lekram, pinggiran barat kota Tunis. Tak jauh dari lokasi KBRI Tunis. Meski tak sebesar pameran Kairo. Tapi khan lumayan, karena katanya sering ada diskon besar-besaran dari para penerbit. Saya berharap, semoga saya bisa mengunjunginya nanti, agar bisa bercerita bagi pembaca.

Dalam segala keterbatasan, saya selalu berusaha untuk dekat dengan buku, karena buku adalah sumber ilmu. Mahalnya harga buku di Tunis memacu saya untuk rajin berkunjung ke perpustakaan. Untung saja, perpustakaan kampus sangat memadai, koleksinya lengkap. Setidaknya untuk bidang studi yang sedang saya geluti saat ini ; ushul fiqh. Aneka kitab fiqh dan ushul fiqh tersedia, baik karya-karya dari kalangan Ulama Sunnah maupun Syiah. Di Universitas Zaytuna, perpustakaan dan ruang baca bagi para mahasiswa pascasarjana dibedakan dari perpustakaan dan ruang baca anak-anak S1. Seorang mahasiswa S2 bisa meminjam buku hingga 3 judul sekaligus, berbeda dengan mahasiswa S1 yang hanya 1 judul.

Untuk menambah warna bahan bacaan, sesekali saya juga berkunjung ke perpustakaan kampus tetangga ; Fakultas Ilmu Sosial Universitas Tunis. Kebetulan kampus kami berdampingan. Perpustakaannya lebih besar dan nyaman. Hanya saja, saya sering bersedih karena di sana banyak sekali buku-buku berbahasa Perancis. Andai saya faham Perancis…

Jika kangen dengan bacaan berbahasa Indonesia, saya pergi ke perpustakaan KBRI Tunis. Tak terlalu besar, hanya berukuran 3x6 meter. Enam lemari besar berderet rapi, menyimpan sekitar 2000 buah buku. Ya, cukup layak untuk komunitas masyarakat Indonesia yang hanya 60an orang. Itupun mahasiswanya hanya 13. Sisanya keluarga KBRI.

Buku-buku Islam terbitan Paramadina dan Mizan tersedia di sini. Seperti beberapa karya Cak Nur, Qurais Shihab serta Jalaludin Rakhmat. Juga ada buku Wacana Islam Liberal-nya Charles Kurzman. Perpustakaan KBRI Tunis ini kerap mengingatkan saya pada perpustakaan KBRI Kairo serta perpustakaan Mesjid Indonesia Kairo yang lumayan kaya dengan koleksi buku-buku Indonesia.

Di Tunis, saya relatif punya waktu lebih banyak untuk baca buku. Tak terlalu banyak kesibukan seperti kala masih di Kairo dulu. Di Tunis, buku benar-benar menjadi teman kala sepi, pegangan kala tak ada kawan. Jika di perpustakaan – atau dimanapun - saya menemukan buku bagus yang layak dimiliki, saya segera mencatat judul, pengarang serta penerbitnya. Jika ada rezeki dan waktu yang tepat, suatu hari nanti saya akan mencari dan membeli buku-buku itu di Kairo, biar harganya lebih murah. Sekalian bernostalgia, bertemu kawan-kawan lama serta mengunjungi tempat-tempat yang dulu menyimpan kenangan. Insya Allah.
Salam Manis dari TunisTunis, 25 Desember 2005