Thursday, August 03, 2006

Belajar di Maroko (PM 2)

Mereka Belajar Islam di Maroko


Aku berpose di salah satu sudut kampus Darul Hadis al Hasaniyah, Rabat.

Menjelang pukul 11 siang waktu Maroko, aku tiba di sekretariat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, di kawaan Hay el Quwas, kota Rabat. Sebuah komplek pemukiman kelas menengah ke bawah, berupa apartemen-apartemen pendek – dua atau tiga lantai – dengan jalanan sempit yang berkelok-kelok.

Sekretariat PPI Maroko menempati lantai pertama sebuah apartemen yang terdiri dari 3 lantai. Lantai dasar digunakan sebagai sasana taekwondo milik orang Maroko. Sedangkan lantai kedua adalah rumah keluarga seorang mahasiswa Indonesia.

Seorang pria muda berperawakan sedang menyambut kedatanganku di pintu rumah. “Ahlan wa sahlan”, tuturnya seraya tersenyum. Dialah Dedi Wahyudin, ketua PPI Maroko. Kami bersalaman erat.

Dedi, kawan akrabku, sesama peserta program S2 Departemen Agama tahun 2001. Cuma beda nasib. Ia bersama 10 rekannya pergi ke Maroko, lalu belajar S2 dan umumnya selesai pada tahun 2003. Kini, sebagian besar mereka telah kembali ke tanah air, beberapa diantaranya diterima sebagai PNS. Dedi beserta 3 rekan, memilih melanjutkan S3 di Maroko.

Sedangkan aku, bersama 16 orang lainnya, dikirim ke Mesir, untuk belajar S2 di Al Azhar. Hingga hari ini, belum satu pun diantara kami yang selesai S2. Subhanallah. Aku masih saja berkutat dengan tesis, yang insya Allah akan selesai awal tahun depan.

Kampus Tertua
Dedi yang asal NTB ini kini sedang merampungkan disertasi bidang filsafat Islam di Universitas Malik Sa’di, Tetouan. Selain Dedi, ada sekitar 25 mahasiswa Indonesia lainnya yang tengah belajar di 8 perguruan tinggi Maroko dan tersebar di 6 kota. Baik pada program S1, S2 maupun S3.

Aku senang bisa bersilaturahmi dengan para mahasiswa Indonesia di Maroko. Mereka, para mahasiswa yang memiliki semangat belajar tinggi. Mereka, anak-anak muda yang sedang mengasah potensi, menempa diri dengan ilmu agama, di negeri ujung barat Afrika. Meski harus berjauhan satu sama lain, tanpa banyak rekan satu negeri. Meski harus tinggal di kota pelosok, jauh dari keluarga besar KBRI.

Kota Tetouan misalnya, lokasi Dedi belajar, berjarak 294 km utara Rabat. Tetouan - kota kelahiran Ibnu Batuta, seorang petualang abad pertengahan yang telah melakukan perjalanan fantastis sepanjang 120.000km – terletak di tepi selat Gibriltar, perbatasan Maroko dan Spanyol. Di kota ini, terdapat 8 mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di dua kampus ; Universitas Malik Sa’di dan Universitas Qurawiyyin.

Universitas Qurawiyyin adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia. Didirikan pada tahun 245 / 857 M, oleh Fatimah Fihriyah, seorang wanita dari kota Kairouan, Tunisia. (Tentang Kairouan, bisa Anda baca dalam tulisan : Berziarah ke Kota Sejarah). Maka, nama Qurawiyyin pun diambil dari kata Kairouan ini.

Universitas Qurawiyyin memiliki empat kampus, di empat kota. Kampus utama berada di kota Fes, kota ulama dan kota pelajar Maroko, 198 km timur Rabat. Kampus Fes berdekatan dengan makam Syekh ash-Shonhaji, pengarang kitab nahwu, Al Jurumiyah.

Di kota Fes, saat ini hanya ada satu orang mahasiswa Indonesia. Namanya Suhartono. Pun juga di kota Meknes -60 km dari Fes- hanya ada satu mahasiswa, yakni Fauzan, yang kini tengah belajar S2 bidang Tafsir.

Kampus II Universitas Qurawiyyin berlokasi di kota Tetouan. Tahun ini, ada 3 mahasiswa Indonesia yang selesai S1 dari Tetouan. Yakni Firman, Sabiq dan Nasrullah. Beberapa orang lainnya masih dalam tahap studi, baik S1, S2 maupun S3.

Kampus III terletak di kota Aqadir, 602 km selatan Rabat. Aqadir adalah sebuah wilayah Maroko yang dikenal memiliki lahan pertanian subur dan lokasi ternak unta. Di Aqadir, tak ada mahasiswa Indonesia. Barangkali karena terlalu jauh.

Sedangkan kampus IV berada di kota Marakesh, salah satu kota tujuan wisata di Maroko, terletak pada posisi 321 km selatan Rabat. Kampus Marakesh berdekatan dengan makam Syeh Jazuly, pengarang kitab Dala’ilul Choirot. Seperti halnya di Fes dan Meknes, di kota ini juga hanya ada satu orang mahasiswa kita, yakni Suprapto.

Aku kagum pada ketiga sosok ini. Suhartono, Fauzan dan Suprapto. Mereka berani hidup menjadi WNI sendirian di tengah-tengah orang asing, di penghujung barat Afrika, nun jauh di sana. Hanya untuk belajar, dalam rangka menghiasi diri dengan ilmu. Semoga Allah memudahkan jalan mereka.

Kampus Ilmuwan
Sebagian mahasiswa Indonesia juga belajar di Rabat, ibukota Maroko. Di kota ini, terdapat dua kampus bergengsi ; Universitas Muhammad V dan Universitas Darul Hadits al Hasaniyyah. Sedangkan pada jarak 40 km utara Rabat, ada kota kecil bernama Kenitra. Di kota ini, terdapat empat orang mahasiswa kita pada jenjang S1. Mereka adalah Asep, Indra, Muhlas dan Imam. Nama kampus lokasi mereka belajar adalah Universitas Ibnu Thufail.

Bagi mereka yang akrab dengan dunia pemikiran Islam modern, tentu takkan asing dengan nama Universitas Muhammad V. Karena di kampus ini, terdapat banyak pemikir Islam terkemuka. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, Abed al Jabiri dan Ahmed Raisuni.

Gedung kampus Universitas Muhammad V bertebaran di kota Rabat. Salah satunya di kawasan Agdal, dekat asrama penginapanku selama di Rabat. Gedung kampusnya berdiri megah, halaman depannya dihiasi taman dan pepohonan hijau. Di kalangan orang Maroko, kawasan Agdal di kota Rabat ini kerap disebut juga dengan madinatul irfan, kota ilmu pengetahuan.

Sedangkan kampus Darul Hadits terletak di sebuah kawasan pemukiman yang padat. Meski demikian, gedung kampus ini sangat terkenal di Maroko. Karena didirikan oleh Raja Maroko, Hassan II, pada tahun 1964.

Senja Jumat (28/7) lalu, aku berkesempatan mengunjungi Darul Hadits. Gedungnya dua lantai diatas lahan yang tak terlalu luas. Akan tetapi, arsitektur gedung ini sangat menarik. Gaya bangunan lama yang antik, serta dinding yang dilapisi marmer dan hiasan warna-warni. Kental nuansa Andalusia.

Di pelataran depan, ada kotak kaca berukuran besar. Didalamnya tersimpan ratusan disertasi doktor, buah karya para alumninya. Di halaman dalam, terdapat taman bunga dan pepohonan rindang serta air mancur. Membuat suasana terasa nyaman dan resik. Beberapa kali aku berdecak kagum. “Andai kampus-kampus Mesir seperti ini… “, tutur Rio, delegasi PPMI Mesir yang juga berkunjung ke Darul Hadits senja itu.

Di kampus ini, ada mushalla kecil, kira-kira seluas 30 meter persegi. Berdampingan dengan ruangan perpustakaan. Percikan air mancur, taman-taman yang hijau, serta keheningan, sempat membuatku terbuai, seolah lupa bahwa aku kini tengah berada dalam sebuah kampus di negeri Arab.

Amal, seorang mahasiswa S2 Darul Hadits yang menemaniku sore itu, tak henti bertutur tentang kampusnya. Amal, yang juga sahabat lamaku di Kairo, kini tengah menuis tesis bidang ilmu hadits. Selain Amal, mahasiswa kita yang belajar di Darul Hadis adalah Abdus Somad dan Nur Kholidin.

Dukungan Raja
Belajar di Maroko - sejauh cerita kawan- sangat menyenangkan. Sistem studinya modern dan mudah. Jenjang S1, S2 dan S3 dapat ditempuh dengan masa studi masing-masing empat, dua dan tiga tahun. Semua mahasiswa juga mendapat beasiswa dari AMCI (L’Agence Marocaine de la Coperatione Intrnationale).

Kebebasan berpendapat dan tradisi berpikir sangat terbuka di negeri kerajaan ini. Pemerintah tidak memaksa rakyat untuk berpola pikir secara kaku atau seragam. Barangkali salah satunya adalah karena faktor penguasa Maroko saat ini, Raja Muhammad VI, seorang lulusan Eropa yang berpikiran maju.

Sang raja bertekad untuk memodernkan Maroko, namun tetap melandaskannya kepada agama Islam. Raja yang berusia 43 tahun ini tengah berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang berusia ribuan tahun dengan arus globalisasi. Maka tak heran jika di negeri bekas jajahan Perancis ini, simbol-simbol formal keagamaan dan tradisi Islam tetap kentara. Aktifitas religius selalu semarak. Aneka ritual tarekat sufi bebas berekspresi. Di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang berhembus dari Barat.

Belajar Islam di Maroko memang sangat menarik. Ada beberapa kelebihan yang barangkali takkan dijumpai di negeri lain. Semoga semua itu menjadi jalan kemudahan bagi para tunas bangsa yang tengah menuntut ilmu di sana.

Rabat, 30 Juli 2006




2 comments:

  1. ass, ni ademahnun dari yaman. salam kenal kak buat antum, jg perwakilan ppi yaman mas IKROM dari PP.Alamin madura

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum.wr.wb.
    akh, ana ahmad khoiruddin dari Lampung. ana mengikuti test non beasiswa untuk kuliah tujuan maroko. tidak ada alumni kami yang kuliah disana. ana mau tanya akh, bagaimana munurut akh tentang kuliah non beasiswa disana? ana mendapat peringkat tertinggi se-Indonesia pada test kemaren di DEPAG pusat yang di prioritaskan mendapat beasiswa, bagaimana pula dengan syahriah disana? apakah kalau disana perlu biaya yang besar umtuk keseharian?

    Saya minta tolong bagaimana caranya melampirkan surat pendaftaran kita ke Universitas yang kita tuju? menurut akh universitas yang bagus dimana untuk bidang tafsir atau lughoh?
    akh, terimasih atas bantuannya....

    ini alamat YM saya, el_shafa@yahoo.com
    hormat saya, Ahmad Khoirudin.

    ReplyDelete