Sunday, August 13, 2006

Kota Rabat (PM 5)

Rabat, Indah dan Bersejarah


Bangunan putih, lokasi pusara Raja Muhammad V dan Hassan II, di kota Rabat

Gersang dan panas. Itulah barangkali komentar sebagian orang ketika ditanyai tentang kondisi Tanah Arab atau benua Afrika. Namun, komentar ini takkan sepenuhnya benar, terutama jika kita berada di Maroko, khususnya di ibukotanya, yakni Rabat.

Rabat kota yang indah. Jalanannya lebar, bersih dan lalu lintasnya teratur. Pepohonan tinggi berderet di hampir semua tepian jalan.

Di kota ini ada sebuah perempatan namanya Hilton Square. Aku berdecak kagum kala melewati tempat ini. Kagum akan rindangnya pepohonan, bunga warna-warni, serta hotel Hilton yang megah. Melewati Hilton Square serta jalan-jalan raya di sekitarnya, serasa melewati Jalan Padjadjaran di kota Bogor – terutama jalur antara terminal Baranangsiang dan Plaza Jambu Dua- yang rindang karena pepohonan di kebun raya-nya.

Bermalam minggu di alun-alun
Rabat, didirikan oleh Raja Abdul Mukmin pada tahun 1152 M. Selanjutnya diperluas dan mengalami masa keemasan di zaman Raja Yaqoub al Mansur, dari Dinasti Muwahhidin. Pada tahun 1610, Rabat menjadi kota penampungan bagi Arab muslim yang meninggalkan Tanah Andalusia alias Spanyol. Saat ini, kota Rabat dihuni oleh 2,3 juta jiwa.

Enam hari aku berada di kota ini. Waktu yang sangat singkat, untuk bisa menelusuri keindahan sudut-sudutnya, serta untuk merasakan desah nafas budaya masyarakatnya. Belum lagi kesibukan acara seminar dua hari yang kuikuti. Tetapi aku berusaha mencuri-curi waktu senggang, untuk sekedar ‘menikmati’ Rabat.

Jumat (28/7) senja, aku naik taksi bersama dua orang rekan menuju kampus Darul Hadis. Sebagaimana kututurkan dalam tulisan Pesona Maroko 2. Sabtu malam keesokan harinya, aku bermalam minggu dengan cara menelusuri alun-alun kota Rabat. Pusat kota yang terkonsentrasi pada Jalan Hassan II dan Jalan Muhammad V.

Dua jalan ini terbentang panjang. Gedung-gedung kuno berderet. Gedung-gedung berwarna kuning emas dengan arsitek klasik nan antik. Di tengah jalan Muhammad V, ada trotoar luas yang diapit deretan pepohonan rindang. Para pejalan kaki atau mereka, muda-mudi Rabat yang duduk-duduk santai, memadati kawasan ini.

Aku berjalan menelusuri trotoar itu bersama dua rekan. Satu delegasi PPMI Mesir, satu lagi delegasi PPI Saudi. Keduanya tak henti menjepretkan kameranya pada obyek-obyek pemandangan yang eksotik.

Alun-alun Rabat ini, Tunis banget...!, gumamku dalam hati. Maksudku, setting jalan raya lebar dengan trotoar luas di tengahnya dan diapit deretan pepohonan, mirip sekali dengan alun-alun kota Tunis. Dan konon, juga serupa dengan Paris. Maklum, Maroko dan Tunisia, khan negara bekas jajahan Perancis. Pantas jika setting alun-alunnya pun mengikuti gaya Paris.

Sepanjang jalan Muhammad V, ada beberapa gedung penting. Seperti gedung parlemen Maroko, Mesjid Sunnah dan Istana Raja. Pun juga hotel-hotel mewah yang berderet.

Napak Tilas
Ahad (30/7) sore, aku bersama kawan-kawan kembali menelusuri lekuk-lekuk kota Rabat. Juga mengunjungi beberapa monumen sejarah yang dimilikinya. Karena ternyata, Rabat juga sarat nilai sejarah. Di kota ini, ada puing-puing reruntuhan gedung Romawi Kuno di situs sejarah Sella. Juga ada benteng Kasbah dan Kota Tua Oudaya, peninggalan dinasti Muwahhidin. Makam raja Hassan II dan Raja Muhammad V juga ditata rapi dan jadi salah satu obyek wisata terkenal. Oya, satu hal lagi. Di kota Rabat ini, ternyata ada jejak Indonesia. Ada jalan Soekarno, Jalan Jakarta, Jalan Indonesia dan Jalan Bandung.

Situs sejarah Sella adalah sebuah musium terbuka, berupa reruntuhan bangunan peninggalan Romawi Kuno. Terletak di tepi utara kota Rabat. Pintu gerbangnya berupa tembok tua dan usang setinggi 5 meteran. Seseorang berpakaian adat Maroko dan bertopeng, mendadak menari-nari sambil menabuh gendang kecil yang dipegangnya. Ceritanya, menyambut kedatangan para turis. Ada-ada saja, pikirku.

Area dalam komplek Sella dipadati pepohonan rindang. Diselingi reruntuhan bangunan tua. Berupa tembok-tembok setinggi 1 meteran. Ada ruangan-ruangan kamar, juga menara yang tinggi. Katanya sih, itu bekas istana.

Aku tak banyak berjalan di dalam komplek Sella ini. Selain untuk menghimpun tenaga, juga karena suasananya tak beda dengan Chartage, di pesisir Laut Tengah, tepian kota Tunis. Yang juga kawasan reruntuhan puing-puing Romawi Kuno. Di Chartage bahkan ada gedung teater kuno yang hingga kini masih dipakai untuk acara festival seni. Seperti Roman Theatre di kota Iskandariah Mesir itu.

Usai dari Sella, kami pergi ke Dharih Hassan II, yakni komplek makam dua Raja Maroko; Muhammad V –meninggal tahun 1961- dan Hassan II –meninggal tahun 1999.

Komplek makam ini kira-kira seluas lapangan sepak bola. Dikelingi pagar tembok yang dijaga para tentara kerajaan berkuda putih. Di salah satu sudut kompek ini ada bangunan persegi empat berwarna putih yang menandai lokasi pusara kedua raja. Atapnya ditutupi genting berwarna biru.

Di pintu makam, ada dua orang tentara kerajaan, tubuhnya tegap, tinggi besar. Memakai seragam tentara tradisional kerajaan dan memegang senjata laras panjang. Mirip dengan tentara keamanan dalam salah satu episode film Mr Bean itu. Yang kemudian dijadikan model kawan foto Mr Bean.

Ruangan tempat pusara berada, luasnya kira-kira 200 meter persegi, ditata rapi dan sangat artistik. Dindingnya berlapiskan marmer dan berhiaskan warna-warni. Ukiran bunga-bunga khas Andalusia. Juga ada lampu-lampu besar yang indah.

Dari tempat ini, Laut Atlantik yang biru, kelihatan jelas. Maklum, hanya terpaut jarak 300an meter. Indah sekali. Pantas jika setiap hari, lokasi ini dipadati ribuan peziarah. Baik orang Maroko, atau juga para turis asing.

Jejak Indonesia
Setelah puas mengunjungi makam raja, kami kembali ke bis. “Kita akan menelusuri jejak Indonesia di kota Rabat”, tutur seorang panitia.

Bis bergerak, lalu berjalan menelusuri jalan-jalan utama kota Rabat. Menuju alun-alun. Ketika tiba di jalan Muhammad V, dekat kantor pos besar, bis belok kanan. “Ini adalah jalan Soekarno”, kata panitia lagi. Bis berjalan pelan. Ternyata benar, di tembok gedung sebelah kanan jalan, nampak tertulis jeas : Avenue Soekarno. Aku berdecak kagum. Nama presiden kita diabadikan sebagai nama jalan besar, di jantung kota Rabat.

Lalu bis berputar-putar lagi. Melewati jalur-jalur utama, kemudian menelusuri jalan-jalan sempit. Sepertinya menuju kawasan dekat pantai. Di sebuah perempatan dengan jalan agak menurun, bis berhenti. Di sebelah kanan, nampak tertulis plang : Rue Bandung. Jalannya agak sempit. Wah, aku kaget lagi. Betapa kota Bandung dinilai bersejarah oleh orang Maroko.

Beberapa saat kemudian, kami juga melewati Jalan Indonesia dan Jalan Jakarta. Tak jauh posisinya dari Rue Bandung itu.

Aku berfikir, tentu orang Maroko tak begitu saja menamakan jalan-jalan ini dengan nama-nama Indonesia. Melainkan buah dari persahabatan antara kedua negara yang terjalin baik sejak lama. Hingga sampai saat ini, Maroko memberikan On Arrival Visa kepada WNI yang berniat pergi ke Maroko. Visa gratis, tanpa harus diurus ke kedutaan.

Aku jadi ingat Mesir. Di sana, ada kota kecil di tepi Terusan Suez, namanya Ismailia. Di kota ini, ada perempatan bernama Indonesian Square. Sangat masyhur di kalangan warga setempat. Juga ada toko Soekarno. Aku pernah mengunjunginya pada bulan April 2004, bersama seorang wartawan Gatra dari Jakarta. Lalu, Gatra menulis pesona kota Ismailia ini dengan judul Mutiara Indonesia di Terusan Suez.
Aku juga ingat, betapa Bung Karno sangat disegani oleh para pemimpin negara lain. Gaya diplomasi dan lobi politiknya tentu sangat memikat para petinggi negara sahabat. Hingga mereka merasa perlu mengabadikan nama pendiri republik kita ini, dalam nama-nama jalan di kota mereka. Suatu prestasi yang layak ditiru oleh para pemimpin kita sekarang.

Kota Tua Rabat
Menjelang senja, kami menuju Benteng Kasbah dan Kota Tua Oudaya. Keduanya terletak di di pinggir pantai Samudera Atlantik. Yang sekaligus sebagai peninggalan Kota Tua Rabat. Dekat benteng ini, ada sungai Bouregreg yang tidak pernah kering sepanjang tahun.

Benteng Kasbah dibangun oleh Raja Moulay Ismail pada masa Dinasti Alawy, yang memerintah selama 1672-1694. Tujuannya, untuk mengawasi ancaman serangan laut dari Spanyol. Saat ini, Kasbah berfungsi sebagai museum yang menyimpan barang bersejarah.

Tak jauh dari Kasbah, ada pasar kuno Oudaya, yang menjual barang souvenir khas Arab Maroko. Pasarnya mirip dengan Khan Khalili di Old Cairo ; kios-kios yang berderet diantara jalan yang berkelok-kelok. Souvenirnya juga kebanyakan sama.

Di pasar ini, aku membeli beberapa piring indah dan gantungan kunci bertuliskan “Maroc”. Tak banyak yang kubeli, karena memang harganya cukup mahal. Gantungan kunci saja dijual seharga 8 dirham, atau sekitar 8 ribu rupiah. Di Tunis, benda serupa dijual seharga 0,8 dinar (enam ribu rupiah). Di Pasar Khan Khalili Mesir, bahkan lebih murah lagi, hanya 2 Pound, atau 3 ribu rupiah.

Aku membeli sedikit souvenir ini, sekedar untuk buah tangan bagi rekan-rekan di Tunis. Sebagiannya akan kusimpan sendiri, sebagaimana aku telah menyimpan memori perjalanan ini, dalam lubuk sanubari. Sekedar perekat kenangan, bahwa aku pernah berkunjung ke kota ini. Salam manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 12 Agustus 2006

1 comment:

  1. hidup yang benar-benar penuh warna, selamat menikmati nuansa maroko...tapi setahu saya di maroko juga melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka dan universitas islam tertua kalo ente belum sempat ke sana moga untuk kedua kalinya, so... bukan hanya kota-kotanya yang di share..da..da..

    ReplyDelete