Friday, August 25, 2006

Filosof Maroko (PM7)

Maroko, Negeri Para Ulama

Salah satu sudut kampus Universitas Darul Hadits, Rabat

Hanya 6 hari aku berada di Maroko. Di sela-sela kesibukan acara dan jadwal perjalanan, aku berusaha untuk mengetahui banyak hal tentang Maroko, termasuk yang berkaitan dengan studi Islam.

Diantara hal terpenting yang kucatat, Maroko adalah negeri gudangnya ulama, tempat munculnya para kyai dan intelektual muslim. Sejak dulu hingga sekarang. Tradisi ilmiahnya tetap terpelihara. Karena itu, negeri kerajaan berpenduduk 35 juta jiwa ini sangat cocok untuk menjadi lokasi belajar Islam.

Negeri Para WaliMaroko kaya dengan ulama sejak zaman awal Islam. Dan karya-karya mereka tetap bisa dibaca hingga saat ini. Anda yang pernah belajar di pesantren, tentu mengenal kitab Jurumiyyah dan Dalail al Khairat. Jurumiyah, kitab ilmu tata bahasa Arab (Nahwu) ditulis oleh Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shonhaji, atau yang dikenal dengan Ibnu al Jurrumy. Beliau adalah orang Maroko, wafat tahun 723 H. Makamnya di kota Fes, saat ini menjadi salah satu lokasi wisata ziarah yang sangat terkenal. Sedangkan Dalail al Khairat, yang juga sangat terkenal di kalangan pesantren di Tanah Air karena sering dijadikan aurod oleh para kyai dan santri kita, juga ditulis oleh orang Maroko. Yakni Syeh Aby Abdulloh Muhammad Bin Sulaeman al- Jazuly, yang wafat tahun 870 H dan dimakamkan di Marakesh, 321 km selatan Rabat.

Anda yang menekuni tarekat sufi, mungkin pernah mendengar tarekat Tijaniyah. Ulama pendiri tarekat ini adalah Syeh Abal Abbas Ahmad at-Tijani, ulama Maroko yang wafat dan dimakamkan juga di kota Fes.

Dalam bidang ilmu Fiqh, Maroko pernah memiliki ulama besar bernama Ibnu al Arabi. Nama lengkapnya Qodi Abu Bakar Muhammad bin Abdulloh bin Muhammad al-Ma'afiri, yang wafat tahun 544. Beliau adalah ahli fiqih terkemuka pada zamannya, yang terkenal dengan kitabnya Ahkam al Quran. Saat ini, kitab Ahkam al Quran menjadi salah satu rujukan terpenting para mahasiswa pengkaji Ulumul Quran dan Fiqh.

Juga ada Imam as-Sholih Abu Zaid bin Abdurrahman bin Ali bin Sholih al-Makudy atau yang dikenal dengan Imam al-Makudy, pengarang kitab al-Makudy, syarah dari Khasiyah Ibnu Hamdun. Beliaulah ulama pertama yang menulis syarah kitab Alfiyah-nya Ibnu Malik.

Masih banyak ulama lain yang pernah lahir dan dibesarkan di Maroko. Diantaranya ada Qodi ‘Iyadh , wafat tahun 544 H, juga Ibnu Batutah, pengembara terkenal itu. Mereka semua orang Maroko.

Negeri Para Filosof
Di era modern sekarang, Maroko terkenal dalam pentas pemikiran Islam karena memiliki sederet ahli filsafat, juga pemikir modern lainnya. Anda mungkin pernah mendengar nama Abed al Jabiri, Abdullah al Urwi, Thaha Abdurahman dan tokoh feminisme, Fatima Mernisi. Mereka semua adalah para ilmuwan Maroko terkemuka yang buku-bukunya menjadi rujukan penting saat ini. Keberadaan mereka membuat posisi Maroko tak bisa diabaikan dalam kancah dinamika pemikiran Islam modern.

Dedi Wahyudin, seorang rekan akrab, kandidat doktor jurusan Sejarah dan Peradaban Timur di Universitas Abdel Malek Sakdi, Tetouan, menuturkan bahwa dinamika pemikiran filsafat Maroko dimulai pada dekade 50an. Ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V, Rabat. Adalah Dr. Muhammad Aziz al Habbabi, yang menjabat sebagai Dekan fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Muhammad V saat itu, dinilai sebagai tokoh penting yang menanam benih pemikiran filsafat di Maroko.

Buah pemikiran para filosof Maroko, terutama yang berkaitan pola hubungan ideal antara umat Islam saat ini dengan tradisi (turats), merupakan salah satu bahan polemik menarik di kalangan para pemikir muslim. Untuk menggapai kemajuan yang diidamkan, apakah umat Islam harus berpegang pada turats, ataukah harus mengabaikan turats sama sekali ?!

Abdullah al Urwi, seorang pemikir terkemuka Maroko mengatakan bahwa Dunia Arab terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu. Hingga menghalanginya melompat ke masa depan. Maka, jika Dunia Arab dan Islam mau maju, al Urwi meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi. Lalu, modernitas menjadi keniscayaan. Dan modernitas tidak bisa dicapai kecuali dengan melakukan revolusi kebudayaan. Maka al Urwi mengusulkan konsep nalar (mafhum al aql), konsep kemerdekaan (mafhum al hurriya), konsep ideologi, konsep negara (mafhum ad daulah), dan konsep sejarah (mafhum at tarikh).

Sementara itu, Abid al Jabiri melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ unsur-unsur tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Konsepnya ini tertuang dalam proyek pemikiran yang terkenal dengan sebutan Kritik Nalar Arab.

Al Jabiri adalah sosok yang sudah tak asing di kalangan intelektual Islam di Indonesia. Di kalangan NU, ada seorang pemikir muda yang secara serius menekuni pemikiran Al Jabiri. Dialah Ahmad Baso. Sewaktu masih di Ciputat, aku sering melihat Baso berbicara tentang pemikiran Al Jabiri. Baik dalam sesi-sesi diskusi mingguan di Piramida Circle, atau di acara-acara seminar biasa.

Saat ini, Al Jabiri dianggap sebagai guru filsafat Maroko kontemporer. Buah pemikirannya dapat dibaca melalui buku-bukunya : Madkhal li Falsafat al Ulum (1976), Nahnu Wa Turats (1980), al Khitab al Arabi al Muashir (1982), Isykaliyat al Fikr al Arabi al Muashir (1989), Qadlaya fi al Fikr al Arabi al Muashir (1997), al Mas’alah ats Tsaqafiyah (1994), ad Dimuqrathiyyah wa Huquq al Insan (1994), Mas’alat al Huwiyyah (1995), ad Din wa ad Daulah (1996), serta Ruba’iyat Naqd al Aql al Arabi (Takwin al Aql al Arabi, Bunyah al Aql al Arabi, al Aql as Siyasi al Arabi dan al Aql al Akhlaqi al Arabi).
Masih dalam polemik seputar tradisi (turats), Ali Omlel, pemikir filsafat Maroko lainnya yang terkenal karena bukunya as Sultah as Siyasiyah wa as Sultah ats Tsaqafiyah (1996) mengusulkan keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya, dalam rangka menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda.

Satu lagi pemikir Maroko yang bicara soal turats, yakni Thaha Abdurahman. Sikapnya berbeda dengan Omlel dan al Urwi. Thaha mengkritik modernitas dan membela dua displin keilmuan Islam yang sering dikambinghitamkan sebagai biang kemunduran umat, yakni Ilmu Kalam dan Tasawuf. Thaha melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam Ilmu Kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Menurut Thaha, umat Islam bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan dari filsafat hingga teknologi), dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama. Menurut Dedi, Thaha Abdurahman sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para filosof Maroko saat ini.

Belajar S3 ke Maroko
Masih banyak intelektual Maroko lainnya yang belum kusebut. Dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Aku sendiri, yang selama ini sedang berusaha menekuni ilmu Ushul Fiqh, mengenal beberapa nama ilmuwan Maroko seperti Alal al Fasi, yang terkenal karena bukunya Maqasid as Syariah al Islamiyyah wa Makarimuha. Juga nama Ahmed Raisuni, Guru Besar Ushul Fiqh di Universitas Muhammad V, Rabat, yang karya-karnya banyak kubaca di Tunis, dan bahkan dulu di Mesir.

Dalam beberapa kali pembicaraan dengan rekan-rekan di Maroko, aku sempat menjajaki kemungkinan melanjutkan S3 ke sana. Aku sempat mencatat beberapa nama profesor bidang ilmu Syariah dan Ushul Fiqh di Maroko yang mungkin bisa diminta untuk menjadi promotor disertasi. "Coba saja dulu. Insya Allah profesor-profesor di Maroko selalu ramah dan kooperatif terhadap mahasiswa asing", tutur Dedi meyakinkanku. “Insya Allah, ustad”, tuturku pelan. Tetapi menyiratkan keinginan yang tinggi, untuk belajar Islam di negeri muslim tetangga Spanyol ini. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 25 Agustus 2006

No comments:

Post a Comment