Friday, August 18, 2006

Marakesh Merah (PM 6)

Tak Ada Fez, Marakesh Pun Jadi

Aku di kota tua Marakesh, dengan menara Kutubia-nya yang berdiri tegar

Salah satu agenda yang kucita-citakan sejak masih di Tunis, adalah mengunjungi kota Fez di Maroko. Fez, 198 km timur Rabat, adalah kota kebudayaan terpenting di Maroko, bahkan di kawasan al maghrib al arabi. Nilai sejarah yang dimiliki Fez, bisa disejajarkan dengan Kairouan di Tunisia, dan Kairo di Mesir.

Fez pada masa dulu, adalah pusat peradaban Islam dan kota ilmu. Di kota ini, terdapat Mesjid Qurawiyyin -didirikan pada tahun 857 M, yang menjadi cikal bakal Universitas Qurawiyyin.. Juga terdapat makam para sufi dan ulama terkenal yang menjadi obyek ziarah populer umat Islam, termasuk para ulama/kyai dari Indonesia. Seperti makam Syekh Abal Abbas Ahmad at-Tijani, pendiri tarekat at-Tijaniyah, serta makam Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shonhaji, wafat tahun 723, pengarang kitab al-Jurumiyah yang terkenal di seluruh pesantren di Indonesia.

Di era modern, Fez juga melahirkan banyak cendekiawan. Seperti Alal al Fasi, ahli Ushul Fiqh yang terkenal dengan bukunya, Maqasid as Syariah ai Islamiyyah wa Makarimuha. Juga ada Fatima Mernissi, tokoh feminisme yang sudah tak asing lagi dalam dunia pemikiran Islam kontemporer.

Aku sangat berkeinginan mengunjungi Fez, mengunjungi mesjid tua-nya, berziarah ke makam para ulamanya.

Renovasi Fez
Aku merencanakan pergi ke Fez pada hari Senin (31/7). Tetapi, Ahad (30/7) malam, usai menelusuri kota Rabat, aku bertemu seorang kawan yang baru saja tiba dari kota Fez, menemani al mukarram KH Mustafa Bisri. “Saran saya, Anda tidak usah ke Fez. Anda akan kecewa. Seluruh situs sejarah, mesjid dan makam para ulama, sedang direnovasi, ditutup untuk umum”, tuturnya.

Oya?! Aku kaget dan agak kecewa. Bagaimana jika aku ngotot pergi ke sana?! “Ya silahkan saja. Tetapi Anda tidak bisa masuk mesjid, juga komplek makam. Hanya berdiri di luar. Gus Mus pun tadi agak kecewa”, tutur sang kawan lagi.

Aku mengangguk-angguk tanda percaya. Sang kawan ini, di kalangan WNI di Maroko, memang dikenal sebagai guide spesialis kota Fez dan lokasi-lokasi wisata spiritual lainnya. Aku tak jadi ke Fez, itu tak apa. Beruntung aku tahu lebih awal. Andai sudah tiba di sana, lalu ternyata semua obyek wisata itu ditutup, tentu aku akan lebih kecewa dan kebingungan.

Hari ini, aku harus rela menunda cita-cita untuk pergi ke kota Fez. Jika Allah berkehendak, aku akan bisa mengunjungi Fez, suatu hari nanti. Begitu pikirku menghibur diri.

Pergi ke Marakesh
Setelah mendengarkan saran beberapa kawan, malam itu aku memutuskan untuk memilih Marakesh - 321 km selatan Rabat, sebagai pengganti Fez. Marakesh, kota terindah di Maroko, terletak di kaki Gunung Toubkal, yang tingginya 4167 m diatas permukaan laut. Daratan tertinggi di Maroko, yang terkenal karena di puncaknya terdapat salju abadi. Marakesh adalah kota wisata utama dan juga kota sejarah. Selain menyimpan mesjid-mesjid kuno, kota tua dan pasar rakyat di Sahah Jami el Fina yang eksotis, di kota ini juga terdapat makam Syekh Aby Abdulloh Muhammad Bin Sulaeman al- Jazuly ( wafat tahun 870 ), pengarang kitab Dala'il al-Choirot yang sering dijadikan aurod oleh para kyai dan santri di Indonesia. Juga ada makam ulama terkenal, Qadi Iyadh, yang sekarang diabadikan sebagai nama universitas di Marakesh.

Senin pagi, pukul 08.30 aku sudah berada di stasiun kota Rabat. Tiket KA kelas II jurusan Rabat – Marakesh adalah 101 Dirham, atau sekitar 100 ribu rupiah. Aku duduk satu kamar dengan tujuh orang Maroko lain. Kawan seperjalananku, Ikbal, duduk di kamar lain. Karena kebetulan, tak ada kamar yang menyisakan dua kursi kosong.

Ketujuh orang Maroko itu, masing-masing 3 laki-laki dan 4 perempuan. Tiga pasang suami isteri dan seorang ibu-ibu tua. Keempat wanita itu menggunakan jilbab. Ibu-ibu tua yang duduk berhadapan denganku, nampak mengantuk. Punggung telapak tangannya dihiasi hena, tato khas Arab yang bergambar bunga-bunga. Kren juga nih si Ibu, pikirku.

Beberapa orang diantara mereka ngobrol dengan bahasa Arab logat Maroko. Aku pura-pura melihat ke luar, padahal telinga kupasang untuk mencoba mengikuti isi pembicaraan mereka. Aduh, bahasa Arab mereka ternyata sangat susah difahami.

Itulah IndonesiaAku merasa bosan. Sendirian tak ada kawan ngobrol. Aku menyesal, mengapa koran Maroko yang kubeli semalam di kota tua Rabat, pagi ini tak kubawa. Padahal koran itu memuat liputan panjang tentang kehidupan pribadi Raja Maroko, Muhammad VI. Data-data koran itu penting kuketahui, setidaknya untuk bekal berbagi cerita, dalam tulisanku di blog, hehe..

Haruskah aku tidur?! Ah, jangan. Aku tak biasa tidur dalam perjalanan, apalagi jika rute yang ditempuh adalah daerah yang baru pertama kukunjungi. Sayang banget jika pemandangan sepanjang jalan itu dilewatkan.

Tak ada kawan bicara, kecuali orang-orang Maroko itu. Maka, aku harus memulai pembicaraan dengan mereka. Aku pura-pura bertanya jam kepada seorang bapak yang duduk di sebelah kiriku. Aku juga bertanya tentang lama perjalanan ke Marakesh.

Si bapak itu menjawab seperlunya. Tetapi, seorang ibu yang duduk di pojok, tiba-tiba bertanya. “Kamu dari mana?!”. Aku menjawab, “saya dari Indonesia, saat ini sedang sekolah di Rabat”. Aku berbohong sedikit, hehe..

Ketika mendengar nama “Indonesia”, bapak-bapak yang duduk dekat jendela mengangkat mukanya. Mulanya ia menunduk. “Indonesia?! Jakarta?!”, ia bertanya. Rupanya ia tahu nama ibukota kita. “Indonesia adalah negeri Islam terbesar. Saya sering mendengar banyak hal positif tentang Islam di Indonesia”, tutur dia lagi. “Indonesia?! Yang ada tsunami itu?!”, tutur seorang ibu lain di sebelahnya.

Aku hanya mesem. Sering aku mendengar kalimat ini terucap dari mulut orang Arab. Bahwa Indonesia adalah negeri muslim terbesar. Dan betapa hal itu sangat dibanggakan oleh muslim Arab. Tetapi aku belum sepenuhnya yakin, negeriku tercinta layak menyandang gelar sebagai negeri Islam terbesar. Besar hanya dalam kuantitas, belum diimbangi oleh keunggulan kualitas. Semoga jalan menuju ke sana terus terbuka..

“Dari sisi jumlah, negeriku memang muslim terbesar. Jumlah umat Islam Indonesia bahkan lebih banyak ketimbang jumlah kaum muslimin di seluruh Tanah Arab”, aku menjawab. Orang-orang Maroko itu berdecak. “Akan tetapi, umat Islam di negeri kami, masih sedang dalam perjuangan panjang. Kami sedang terus berusaha memperbaiki pendidikan kami, memperbaiki keislaman kami...”, tuturku agak panjang.

Dan pembicaraan kami berlanjut. Hingga tentang Aceh, tentang bencana tsunami, dan tentang tujuan kunjunganku ke kota Marakesh. Mereka cukup antusias mendengar, juga bertanya. Atau sesekali mereka bertutur tentang negerinya. Mereka nampaknya senang bertemu dengan orang Asia yang muslim.

Alam Gersang
Setelah dua jam perjalanan, aku merasa lapar. Maklum, tadi pagi belum sempat sarapan. Kebetulan, di kereta ada penjual makanan keliling. Penjual resmi KA. Aku pesan sandwich ayam. Harganya 18 dirham. Juga sebotol air mineral setengah liter, seharga 6 dirham. Wah, mahal juga, pikirku. Tetapi rasa lapar mengalahkan segalanya.

Sebagian orang-orang Maroko yang tadi menjadi kawan ngobrolku, telah turun di stasiun yang terlewati. Ibu tua yang duduk di depanku nampak sedang dibuai mimpi, alias bobo, hehe.. Sambil menikmati sarapan, aku menatapi pemandangan di luar, dari balik kaca. Sesekali kereta melewati jembatan tinggi, di bawahnya ada rimbunan pepohonan, dan bahkan danau berair jernih. Indah sekali.

Akan tetapi, pada pukul 11.15, jalur kereta mulai melewati padang pasir yang jarang pepohonan. Pemandangan hijau mulai hilang. Anginnya nampak kencang. Maklum, musim panas. Lama-lama, kami melewati padang pasir yang benar-benar gersang.

Agak lama pemandangan ini kulewati. Hingga menjelang pukul 12.00. Aku kaget, selama lebih setengah jam perjalanan, tak ada stasiun satu pun. Tak bisa dibayangkan jika kereta tiba-tiba mogok di tengah jalan ini. Betapa sulitnya, jauh kemana-mana..

Marakesh Itu MerahSetelah beberapa saat, kereta kembali melewati jalur yang hijau pepohonan. Juga mulai nampak rumah-rumah penduduk. Bangunan-bangunan tembok berwarna merah. Baik merah tua, ataupun merah hati. Benar kata seorang kawan, bahwa gedung-gedung di kawasan Maroko Selatan, didominasi oleh warna merah.

Pukul 12.45, kereta berhenti di stasiun Marakesh. Sebuah stasiun yang luas, gedungnya besar. Juga berwarna merah. Alhamdulillah, gumamku sambil beranjak dari tempat duduk.

Aku berjalan melewati pintu kereta. Badan terasa pegal. Suasana di pelataran dalam stasiun itu nampak sibuk. Pandanganku tertumpu pada sebuah plang kecil di dinding stasiun. Plang itu bertuliskan Arab dan latin. Bacanya : M a r a k e s h.

Aku keluar dari stasiun. Berjalan pelan menuju jalan raya yang terbentang di depan stasiun. Melewati deratan mobil parkir serta para sopir taksi yang berdiri berjajar sambil menawarkan jasa. Stasiun Marakesh, di tepi jalan raya besar, dengan gedung-gedung megah yang berderet. Semuanya berwarna merah. Ternyata benar, kawan. Marakesh itu merah..! Salam manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 14 Agustus 2006

1 comment:

  1. berjalanlah terus kawanku, karena di sana kamu dapat menemui-Nya.

    salam dari Indonesia :D

    ReplyDelete