Sunday, August 06, 2006

Islam di Maroko (PM3)

Ini Rabat, Bukan Tunis


Alun-alun kota Rabat, Sabtu malam. Gelap fotonya, indah kotanya...
Sore Ahad (30/7) langit kota Rabat nampak cerah. Udara masih terasa panas. Pelataran luas depan makam Raja Hassan II dan Raja Muhammad V yang menghadap ke Laut Atlantik, dipenuhi ribuan pengunjung.

Aku berjalan memasuki gerbang komplek makam yang dijaga dua tentara kerajaan berkuda putih. Di taman hijau depan gerbang, dua orang Arab Maroko nampak sedang salat Ashar berjamaah. Beralaskan hijaunya rumput.

Spontan aku menghentikan langkah. Aku mengamati kedua orang itu. Juga mengamati orang-orang yang ada di sekitar mereka. Para peziarah yang lalu lalang, serta para polisi kerajaan yang berjaga-jaga.

Rupanya, salat di ruangan terbuka begini, menjadi hal biasa di negeri ini. Seperti yang sering kusaksikan – bahkan kulakukan - dulu di Mesir. “Rabat ternyata berbeda dengan Tunis”, gumamku. Di kota Tunis, hal seperti ini tidak ada. Karena memang ritual keagamaan masih belum bebas berekspresi di ruang publik. Akibat iklim politik yang masih sensitif terhadap segala hal yang bernuansa Islam.
* * *
Keeseokan harinya aku naik kereta api menuju Marakesh, salah satu kota tujuan wisata utama Maroko, 321 km selatan Rabat. Tiket KA kelas dua jurusan Rabat-Marakesh adalah 101 Dirham (14 Dinar Tunis, 12 Dolar AS).

Di kereta, aku duduk satu kamar dengan 7 orang Maroko. Tiga laki-laki dan empat perempuan. Tiga pasang suami isteri dan seorang ibu-ibu tua. Keempat wanita itu menggunakan jilbab.

Saat kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Rabat, lelaki yang duduk di dekat jendela memeriksa isi tasnya. “Mungkin ia mau periksa uangnya. Siapa tahu ada copet”, pikirku berspekulasi. Ah ternyata, ia mengambil mushaf kecil Alquran.

Lelaki itu kemudian membaca Alquran. Pelan. Tak peduli orang-orang sekitarnya sedang ngobrol ngalor ngidul. Tak peduli isterinya yang menyandarkan bahunya kepadanya. Manja.

Aku iri pada lelaki itu. Ia bisa memandangi hijaunya pemandangan alam Maroko, sambil membaca ayat suci, didampingi isteri tercintanya yang berjilbab.

Menurut cerita, membaca Alquran di ruang publik, seperti yang dilakukan lelaki itu, adalah pemandangan biasa di kota Rabat ini. Sedangkan di kota Tunis, hal seperti ini masih sangat jarang terjadi. Orang-orang masih takut dicurigai sebagai Islam fundamental yang membahayakan.

Di Rabat, agama seolah tengah kembali ke masyarakat. Di negeri kerajaan ini, kini semakin banyak generasi muda terdidik yang kembali membaca Alquran dan menekuni ilmu-ilmu agama.

Aku juga iri pada keempat wanita yang duduk di dekatku ini. Juga pada semua kaum muslimah Maroko. Sepertinya mereka bebas berekspresi dengan jilbab. Tak seperti saudari-saudari seiman mereka di Tunisia, yang masih sering mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah hanya karena jilbab. Lagi-lagi aku hanya bisa bergumam, Rabat memang berbeda dengan Tunis.
* * *
Aku kembali dari Marakesh pukul 21.00. Naik kereta malam menuju Rabat. Menjelang pukul 01.00 dinihari, kereta tiba di stasiun Casablanca. Masih 91 km lagi ke Rabat. Puluhan penumpang naik. Seorang pria separuh baya duduk di sebelahku.

Aku menduga-duga. Dari tampangnya, sepertinya ia seorang yang berpendidikan. Lalu, dengan penuh percaya diri, kubuka obrolan basa- basi. Ternyata ia merespon dengan baik. Ia mengaku bernama Abdul Aziz, bekerja sebagai guru SMA di kota Casablanca.

Kala aku menjelaskan identitasku, bahwa aku sekolah S2 Syariah Islamiyyah di Tunis, si bapak nampak kaget. Matanya terbelalak.

“Kamu belajar syariah di Tunis?!”
“Iya Pak. Memang kenapa?!”
“Saya tidak yakin, kamu akan jadi seorang faqih, yang ngerti agama. Jika kamu belajar ilmu syariah di sana”.
“Kenapa bisa begitu Pak?! Bukankah sekolah itu sama saja?! Yang penting kitanya bisa belajar atau tidak?!” aku penasaran.

Si Bapak lalu bertutur panjang. Mula-mula ia mengkritik pola beragama orang Tunisia. Bahwa Islam yang dikembangkan di Tunisia, bukanlah Islam yang sebenarnya.

“Kamu lihat tuh Presiden Borguiba. Bagaimana mungkin seorang presiden di negara muslim mengajak umatnya untuk tidak berpuasa Ramadan?!”

Si Bapak terus bertutur. Mula-mula ia mengkritik sistem politik di Tunisia yang sering diskriminatif terhadap Islam. Lama-lama, ia bahkan mengkritik umat Islam yang sering tidak konsisten terhadap ajaran agamanya. Nada bicara si bapak itu tinggi, penuh semangat.

Aku berusaha menimpali, serta sesekali memancing-mancing dengan pertanyaan yang nadanya berseberangan dengan arah opini si bapak. Sebagaimana teori wawancara jurnalistik yang dulu pernah kupelajari. Katanya sih, agar nara sumber bicara ‘habis-habisan’.

Tapi aku merasa was-was juga. Khawatir tiba-tiba ada intel menangkap kami. Karena untuk ukuran Tunis, bicara seperti itu sudah dianggap tabu, alias berbahaya. Tetapi aku lihat orang-orang Maroko di kereta itu ; semuanya cuek.

Hampir satu jam kemudian, pembicaraan hangat kami terputus, karena aku harus turun di stasiun Rabat Agdal. Sungguh tak terasa.

Dari stasiun, aku naik taksi menuju penginapan. Dalam kesenyapan, di tengah gemerlap lampu malam, aku berfikir, betapa di Rabat ini, kebebasan mengeluarkan pendapat, relatif lebih terbuka ketimbang di kota Tunis. Bicara soal Islam, adalah hal yang lumrah. “Di Maroko, kajian keislaman sangat terbuka lebar”, tutur seorang rekan S3 di Maroko.

Lagi-lagi aku ingat Tunis, negeri tempat tinggalku saat ini. Tunisia dan Maroko, dua negara Arab yang bersahabat, juga bertetangga dekat. Tetapi, wajah Islam nampak berbeda di kedua negara ini.
* * *
Aku belum tahu secara pasti, mengapa semua ini bisa terjadi. Selama ini aku mencoba bertanya kepada banyak orang, juga pada beberapa buku.

Temuan sementaraku, semua ini merupakan imbas dari sikap beragama penguasa. Ar Rojulu ala dini mulkihi, kata orang Arab. Corak beragama penguasa sangat mewarnai corak beragama rakyatnya.

Tunisia sangat alergi dengan hal-hal yang berbau Islam. Trauma dengan konflik perang saudara yang dulu terjadi di negara tetangganya, Aljazair. Maka, segala hal yang berbau Islam, selalu diawasi oleh pemerintah. Tak terkecuali ritual keagamaan dalam skala sekecil apapun.

Pada saat yang sama, ideologi sekulerisme gencar dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Simbol-simbol agama, dalam image umum yang berkembang di Tunisia, hanya layak dibicarakan dan diekspresikan di mesjid, atau di ruang-ruang akademis.

Sedangkan di Maroko, kebebasan mengekspresikan syiar agama sangat didukung oleh penguasa. Bahkan raja bertugas untuk menjaga dan memelihara syiar agama di seluruh negeri. Sesuai dengan salah satu gelar raja di Maroko, yakni amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman.

Maka, Raja Muhammad VI di kota Rabat adalah kepala negara sekaligus pemimpin agama. Berbeda dengan konsep mendiang Habib Borguiba di Tunis ; agama harus disingkirkan dari pentas politik.

Akhirnya, aku hanya kembali berkomentar, Rabat memang tak sama dengan Tunis.

Tunis al Khadra, 5 Agustus 2006

1 comment:

  1. Assalamu'alaikum...
    La bas kang De? Mana lagi nih tulisan tentang Maroko hasil seminar sambil bertualang di negeri impian kang De? Tulisannya baru tiga, kurang tujuh tulisan lagi. Targetnya kemarin sepuluh tulisan kan??!!!Ditunggu yaks!! ;)
    Sukses selalu

    (Amal)

    ReplyDelete